Mungkin karena lelah pasca resepsi, Aluna tidak sadar ketika Bima kembali ke kamar dan tidur di sisinya.
Aluna cukup terkejut ketika terbangun, tangannya yang menggeliat melenturkan otot-otot membentur sesuatu yang keras.Aluna menatap lelaki 'baru' di atas ranjangnya. Abimanyu Basudewa. Meringkuk menghadap ke arahnya dengan wajah teduh tanpa dosa.Jika ingatan tangisannya semalam tidak mampir di otaknya, mungkin Aluna akan mengagumi wajah rupawan itu."Arghh!!!" desis Aluna menggerakkan seluruh jari jemarinya seperti hendak mencakar wajah Bima.Demi apapun, lelaki ini membuat malam pertama pernikahannya seperti mimpi buruk. Aluna ingin memberi perhitungan.Namun tentu itu hanya keinginan terpendam yang tidak bisa dia lakukan sebab ... tidak lucu rasanya Aluna dilaporkan KDRT di hari pertama berumah tangga.Belum mengalihkan tatapan dari wajah Bima, tiba-tiba kelopak mata berbulu mata lentik Bima terbuka.Aluna hampir saja memekik karena terkejut. Terutama karena tatapan Bima begitu tajam menusuk. Tidak ada tatapan sayu seperti orang bangun tidur pada umumnya.Lelaki ini benar-benar ... mengerikan."Kenapa melihatku seperti itu?" tanya Bima serak."Emang kenapa dengan tatapanku?" Aluna balas bertanya sinis."Kaya mau bunuh aku.""Emang, aku lagi mikir gimana mungkin ada orang enggak tahu malu udah hina aku tapi masih berani tidur di ranjangku," serang Aluna dengan tatapan 'dasar enggak tahu malu!!'"Kalau enggak mikirin nama baik kamu, aku udah pulang ke rumahku sendiri.""Eh punten ya Pak Dosen, kenapa jadi blunder ke aku? Mikirin nama baikku? Jangan sok limpahin kesalahan deh, kalau salah ya salah!""Ya masa pengantin baru udah pisah?""Ya bisa aja kalau suaminya brengsek.""Languange, Al!""Ah, persetan! Bodo amat!" seru Aluna mengobarkan api peperangan dengan melakukan apa yang ditegur oleh suaminya. "Kenyataanya emang brengsek kok."Aluna Lizna Wijaya melakukan apa yang ada di kepalanya. Dia sama sekali tidak menahan diri. Dia tidak punya kewajiban menjaga sikap dari orang yang terang-terangan menyakitinya.Dan sikap Aluna yang 'bar-bar dan pemberontak' ini secara tidak langsung mengingatkan mereka akan masa kecil. Dari cerita Lizy dan Mitha, mereka adalah sepasang teman yang sering bertengkar.Biasanya berakhir dengan kemenangan Aluna.Aluna adalah tukang pukul sejak kecil.Dan sekarang Aluna 'menahan bakatnya' itu karena postur tubuh Bima jauh lebih besar daripada dirinya. Selain itu, ini juga adalah pagi pertama mereka setelah menjadi suami istri, akan mencengangkan keluarga besar jika dirinya dan Bima keluar dari kamar dengan wajah penuh lebam.Mereka akan berpikir gaya bermesraan mereka sangat 'kasar'.Memalukan.Mendapati Aluna memaki kasar, Bima sangat sabar. Lelaki itu hanya menatap datar. Hal itu bertolak belakang dengan Aluna yang sudah siap mencakar."Sebaiknya aku mandi duluan," kata Bima menyibak selimut dan pergi meninggalkan Aluna yang masih duduk di atas ranjang dengan sprei dan selimut acak-acakan."Jangan lupa gosok kepalamu Bim, mungkin bakal lebih waras.""Terima kasih nasihatnya," balas Bima tenang yang bukannya memadamkan api pertengkaran malah membuat Aluna makin emosi."Dan jangan lama-lama, orang numpang harus sadar diri!"Bima tidak menjawab. Tetapi suara air yang mengalir menandakan lelaki itu bukan mengabaikan ucapan Aluna karena ingin tetapi karena suara Aluna tidak terdengar.Menjadikan hal itu sebagai kesempatan, Aluna mengomel dari posisinya di atas ranjang."Semoga kamu kepleset Bim, terus kepala kamu kejedot dan benjol."Setelah itu Aluna bangun tuk merapihkan ranjangnya selagi menunggu Bima menyelesaikan mandinya. Sekarang masih pukul 5 pagi. Suasana rumahnya pun masih minim aktifitas.Sekitar 30 menit kemudian, saat Aluna tengah mengosongkan sebagian lemarinya tuk diisi oleh pakaian suaminya, pintu kamar mandi terbuka.Abimanyu Basudewa dengan pakaian baru dan wajah lebih segar keluar dengan handuk di leher."Untuk ukuran perempuan berumur 33 tahun, kamu cukup kekanakan Al."Aluna yang sudah mereda emosinya kembali tersulut. Dia mendongak dan melotot mendapati dahi Bima memerah. Lebam ungu tercetak jelas sekali."Sabun cair kamu bocor, aku kepleset."Aluna tertawa sampai lupa dia sedang membereskan pakaiannya. Tawa itu, secara otomatis menjadi tawa paling lepas Aluna di hari pertama dirinya menjalani status baru.Sangat ironis.***Bima menjebaknya.Aluna menggigit ujung lidahnya agar tidak mengumpat ketika suaminya yang sangat seksi ketika menyetir ini membawa mobilnya ke area ... pemakaman."Kamu bilang kita mau ke rumah kamu Bim," desis Aluna tak menutupi rasa marahnya."Iya, tapi mampir dulu kesini.""Kamu keras kepala ya Bim.""Kamu juga begitu.""Aku punya hak buat menolak 'melakukan hal konyol dengan izin kepada orang meninggal." Aluna menyerang Bima dengan opini logisnya. Aluna sampai mengeraskan ekspresi agar Bima—yang punya gelar sarjana dari universitas ternama ini—memahami dirinya."Kita cuma datang buat ziarah, itu enggak konyol," balas Bima tenang."Itu konyol karena secara enggak langsung kedatangan kita kesini buat menegaskan kalau aku cuma 'istri penggenap kewajiban' di hidup kamu!!!""Apa masalahnya dengan itu? Kamu juga menerima lamaranku karena terburu-buru usia, kan?"Bima kembali mengingatkan Aluna betapa bodohnya dia menjadikan pernikahan sebagai deadline yang harus segera dia lakukan. Aluna jadi merasa sangat naiv. Kebahagiaannya digadaikan demi sebuah misi 'membuat keluarganya bahagia'.Diberi ultimatum itu, Aluna jadi terdiam. Dia sakit hati, tetapi cukup malu mengakuinya. Dia tidak ingin membuat Bima menang."Hanya ziarah Al, jangan lebay!"Jangan sakit hati Al, gumam Aluna menyabarkan diri ketika label 'lebay' Bima utarakan tanpa perasaan. Akhirnya dia mengikuti Bima turun dari mobi.Aluna sengaja berjalan di belakang Bima, dia tidak sudi berjalan beriringan dengan lelaki tanpa perasaan.Bima yang memakai celana jeans dan kaos lengan pendek membimbing Aluna menyusuri jalan setapak.Mereka melewati banyak kuburan yang tertata apik dan rapih. Di kuburan yang berada di tengah, Bima menghentikan langkah.Aluna menggigit bibir bawahnya melihat makam Sandra. Ada sebuket bunga yang masih baru disana. Tampak seperti kemarin sore ditaruh di atas pusara tersebut."Aku mah ngaji," kata Bima memberitahu rencananya. Lelaki itu mengeluarkan ponsel dan terlihat membuka aplikasi Al-Qur'an.Aluna merasa sedikit iba melihat catatan kematian Sandra. Perempuan itu meninggal di usia masih muda. 25 tahun. Pasti rasanya menyakitkan di usia tersebut harus bergulat dengan penyakit mematikan.Aluna tidak membenci Sandra, dia hanya kesal kepada Bima yang mengagungkan Sandra dan mengabaikan perasaan Aluna yang sudah menjadi istrinya.Pernikahan ini memang tanpa perasaan, pun dengan Bima yang sudah menegaskan bahwa perasaannya tidak akan terlibat di pernikahan ini, tetapi sikap lelaki itu lama-lama seolah menganggap Aluna hanya 'objek' penggugur kewajiban menikah.Sebuah tingkah laku yang bertolak belakang dengan profesi Bima yang mengedukasi banyak murid-muridnya.Selama Bima menyelesaikan suratnya, Aluna tidak melakukan apapun selain berdiri dengan tangan bersedekap.Aluna seolah mengeraskan hati.Namun ketika Bima mengelus ukiran nama Cassandra di pusara itu dengan tatapan dalam, tiba-tiba Aluna merasa cemburu.Dia cemburu kepada orang mati.Dan sungguh membingungkan, sebab Aluna merasa tidak punya perasaan apapun ke Bima. Lagipula mereka baru bertemu lagi setelah perjodohan. Tak ada yang spesial.Aluna tidak mengenali hatinya sendiri ketika berhubungan dengan Bima, dan Aluna berpikir, akan sangat beresiko jika dia membiarkan perasaannya ini tumbuh di pernikahan ini."Bim?""Ya?" sahut Bima setelah dia mengecup ukiran nama Cassandra."Sebaiknya kita bikin perjanjian di pernikahan ini. Mungkin berpisah setelah punya anak, bisa jadi syarat utama di perjanjian itu," cetus Aluna menatap Bima dengan tatapan penuh ketakutan.Sungguh, melihat betapa besar cinta Bima kepada Cassandra, rasanya seperti asam yang diam-diam mengikis pertahanan besi yang kuat. Besi itu akan keropos dan kehilangan kekuatannya.Itu pula yang terjadi dengan hati Aluna.Dia yang mengaku bisa bangkit setelah diselingkuhi, merasa ragu bisa bangkit ketika jatuh di pernikahan ini.***"Sebaiknya kita bikin perjanjian di pernikahan ini. Mungkin berpisah setelah punya anak, bisa jadi syarat utama di perjanjian itu," cetus Aluna menatap Bima dengan tatapan penuh ketakutan. "Aku ... ngerasa harus bikin 'asuransi' buat nyelamatin diri aku sendiri.""Apa yang bikin kamu ngerasa terancam?" tanya Bima ketika mereka bertatapan di depan makam Cassandra. "Semuanya," jawab Aluna menunjuk Bima dan makam Cassandra. Tatapan perempuan itu kosong seperti tengah melamun. "Ini sedikit konyol, tapi aku enggak mungkin rela hamil besar dan melihat kamu berziarah setiap hari ke kuburan ini."Bukan tentang perasaan, tetapi ego Aluna sebagai perempuan merasa tersentil ketika dia melihat Bima lebih 'dalam' menatap pusara kuburan dibanding menatap dirinya—yang berstatus sebagai istri. Ini, benar-benar hanya tentang ego, bukan?"Aku sudah menekankan sejak awal—""Ya aku tahu, kamu sudah menekankan sejak awal kalau pernikahan ini tanpa melibatkan perasaan. Makanya aku mau memberi sedikit jar
"Aku enggak pernah bayangin sih tubuhku dicium-cium sama ... orang lain yang bukan keluargaku. Pasti aneh. Ih jijik ya enggak sih? Apalagi harus buka baju dan ... ya gitu deh ...." Perkataan di atas adalah ucapan Aluna waktu dia kuliah. Aluna Lizna yang tomboy membuat dia memandang 'keintiman' sebagai hal menjijikan. Pemikiran ini terus berlanjut bahkan ketika dia berpacaran dengan Cakra—salah satu sahabatnya. Gaya berpacaran mereka sangat aneh. Cakra bahkan tidak merubah sikapnya ketika mereka resmi berpacaran. Hanya status yang berubah. Selebihnya sama saja. Mereka menjalani hubungan seperti seseorang teman. Tidak ada yang spesial. Tidak heran ketika Cakra selingkuh, Aluna biasa saja. Namun hal itu membuat usia Aluna tidak sejalan dengan pemahamannya akan 'seksualitas'.Aluna sangat amatir. Namun berbeda dengan malam ini ....Bima membuat Aluna merasakan apa itu gugup ketika nafas saling terhembus satu sama lain. Panas sekali tubuhnya. Aluna gelisah bahkan ketika Bima hanya men
Percintaan dini hari tadi yang sangat menakjubkan ... diakhiri dengan panggilan yang bukan dirinya. Jika ada kata yang lebih tinggi dari sakit hati, Aluna akan menggunakan itu.Namun dari sana, Aluna belajar untuk memupus harapannya kepada Bima. Dia kembali mengingat tujuan awalnya menikah; hanya agar 'aman'. Bukan untuk menjadi istri yang dicintai suami. Ya, hanya itu. Untuk itulah, pada esok harinya, Aluna bersikap biasa saja. Dia tetap memakai kaos polos over size kesukaannya dengan training berbahan lembut membalut kaki kurusnya. Tidak ada yang berubah.Tidak akan ada adegan Aluna malu-malu mendapati punggung telanjang suaminya, karena kenyataanya, jangankan tersipu, melihat Bima saja rasanya seperti ada jarum yang menusuk-nusuk jantung Aluna. Dia sakit hati. "Tumben pagi-pagi udah di dapur Al."Aluna menoleh ketika sapaan itu menyapanya. Perempuan itu mengangguk. Tangannya sedikit menaikkan kerah kaos yang agak melorot, ibunya jangan sampai tahu ada banyak bercak kemerahan d
"Kamu mau langsung tidur?" tanya Bima ketika keluar dari kamar mandi Aluna langsung masuk ke atas ranjang. "Hm," jawab Aluna menggumam. Perempuan itu meringkuk di sisi paling ujung, benar-benar menghindari kemungkinan bersentuhan dengan Bima. Padahal ranjang king size itu masih ber-space lebar. "Besok kita pindah.""Hm.""Al?""Aku ngantuk Bim.""Ini benar-benar bukan karena semalam, kan?""Astaga Bim!" seru Aluna menyibak selimut dan dia menekuk sikut agar bisa menatap suaminya itu. Rambut Aluna yang sebahu, kini acak-acakan karena sebelumnya telah dibaringkan di atas ranjang. "Begini ya Bim, berhenti meromantisasi kejadian dini hari tadi—""Tapi kamu menghindariku," potong Bima seolah keberatan dengan hal itu. "Aku enggak menghindari kamu kok, kepergianku tadi pure karena udah janji nemenin Kalis. Karena aku pikir enggak ada yang penting, ya sudah aku iyain," jelas Aluna. "Kamu lupa hari ini harusnya kita beli peralatan?""Peralatan apa?""Rumah.""Itu kan bisa kamu beli sendir
Aluna yang tertidur di sisi kiri, terus membolak-balik tubuhnya ke kiri dan kanan. Tingkahnya itu membuat Bima yang sudah memejamkan mata menoleh tuk menatap istrinya itu. "Kenapa?" tanya Bima dengan suara serak. Aluna menekuk tubuhnya dengan sikut. Dia membalikkan bantal dan menepuk-nepuknya dengan raut wajah datar. Aluna baru menjawab ketika Bima bertanya tuk kedua kalinya. "Aku enggak bisa tidur, mungkin di kuburan mantan tunangan kamu itu lagi sumpahin aku!" seru Aluna ketus. "Dia enggak ikhlas Prince Charming-nya punya wanita lain, jadi nyumpahin siapapun yang tidur disini bakal kena penyakit punggung."Bima tidak menjawab apapun ketika ucapan 'kasar' Aluna diserukan di kamar mereka. Heningnya suasana malam membuat suara Aluna sangat mengudara. Keras sekali. Setelah bolak-balik mencari posisi nyaman yang membuat ranjang bergoyang, akhirnya Aluna mendapatkannya. Dia menekuk lutut dan memeluknya. Aluna nanar menatap lampu nakas. Minimnya pencahayaan tak mampu menyembunyikan
Di toko furniture, Aluna yang memakai jaket jeans menaikkan sebelah alisnya ketika Bima yang terlihat segar dengan kaos dan celana pendek membawanya ke deretan ranjang yang dijual. "Kamu mau yang gimana Al?" tanya Bima sambil melihat-lihat ranjang. Lelaki itu mengelus ukiran ranjang kayu yang terlalu 'berlebihan' dan sangat jauh dari selera Aluna. Syukurlah Bima beralih ke bagian ranjang minimalis. "Ngapain beli ranjang? Kamar tamu sama kamar belakang udah ada, kan?" tanya Aluna pura-pura tak tertarik menatap deretan ranjang di lantai atas toko furnitur ini. Mereka sampai pergi ke luar kota untuk membeli furniture rumah. Biar lengkap, begitu kata Bima ketika Aluna mengeluh lama di jalan. "Buat kamar utama," jawab Bima. Aluna menaikkan sebelah alisnya. "Kan kamar utama udah ada ranjang kenangan penuh cinta yang sangat nyaman."Nada sinis yang diucapkan Aluna membuat Bima menoleh sehingga tatapan mereka bertaut. Aluna menunggu Bima membalas ucapannya. Dia menunggu kesempatan itu
Untuk urusan kamar saja mereka sampai adu urat. Aluna emosi sekali sampai dia menyikat giginya dengan gerakan tergesa-gesa. Bisa dia lihat, wajahnya yang terpantul di cermin wastafel benar-benar memerah. Dia lekas berkumur ketika rasa perih terasa kuat di gusinya. Begitu dia memuntahkan air kumurannya ke westafel, noda darah terlihat. Astaga, Aluna sering lupa mengontrol diri ketika emosi. Dia memang mudah emosi dan bukan perempuan anggun yang memilih diam ketika marah menguasai tubuhnya. Dia akan mengaum seperti singa. Dan mungkin sedikit membanting barang seperti monyet gila. Sedikit bantingan pintu kamar mandi akhirnya menjadi penutup kemarahan Aluna. Perempuan itu mengeraskan wajah ketika Bima terlihat menipiskan bibir melihat pintu kamarnya dibanting keras. Aluna berbaring memunggungi Bima. Dia menopang pipi dengan lengannya. Semalaman itu, hanya karena debat soal dekorasi kamar, sepasang suami istri itu sampai tak saling bicara. Keduanya masih keras kepala. Belum menemuk
"Astaga!!" pekik Aluna ketika Bima menekan klakson berulang kali dengan sangat berisik. Akibat hal itu, Siberian Hamdan menggonggong keras sekali. Siberian manis berbulu lebat milik Hamdan baru berhenti menggonggong ketika mobil Bima sudah hilang dari gerbang. Aluna menggeleng-gelengkan kepalanya dengan heran. Dia tak menyangka Bima bisa sangat kekanakan. "Its okay Joy, its okay."Aluna menatap Hamdan yang sedang menenangkan anjingnya. Siberian itu luluh di bawah elusan majikannya. Setelah Joy tenang, mereka melanjutkan jogging ke depan lalu berputar tuk kembali ke perumahan mereka. Hamdan adalah tetangga Bima, posisi rumahnya cukup jauh tetapi lelaki itu mengaku sering mengajak Siberiannya jalan-jalan setiap 3 hari sekali. Mereka dengan mudah akrab karena Aluna pecinta binatang. Joy takluk di bawah tangannya. Hal itu sepertinya membuat Hamdan terkesan karena menurut cerita Hamdan, Joy sangat pemalu. Dia akan menyalak galak ketika berhadapan dengan orang asing yang tidak familia