"Malam jum'at. Oh, berarti nanti malem dong, Ustadzah."Ayla mengangguk maksum. "Iyah, ba'da maghrib ya ibu-ibu.""Dalam rangka apa nih Ustadzah Ayla?" Hanifah menimbrung. Ia yang sudah cerita jika Ayla menerima tamu lelaki malam hari, bahkan saat suaminya sedang dinyatakan menghilang.Para ibu yang tadinya mau simpatik jadi mengira, itulah harapan Ayla. Suaminya menghilang lalu dia bisa menikah lagi. Hati tidak ada yang tau berapa dalam ukurannya.Wajah Ayla berubah sendu. Ia tidak pernah cerita ini ke yang lain, selain Kia. Bukan tidak percaya, tapi Ayla merasa tidak nyaman saja mengeluh. Daripada waktunya dihabiskan mencari simpati orang lain yang belum tentu tulus. Lebih baik ia berdoa siang dan malam agar dipertemukan kembali dengan Fawaz. Ayla buntu. Disaat teman-teman Fawaz memberikan kesaksian jika Fawaz benar menghilang dan kantor Fawaz juga mengkonfirmasi rasa bela sungkawa. Disaat yang sama, hatinya tidak rela.Ayla cemas. Firasat Fawaz masih hidup hanya halusinasi seorang
Ayla memendam kekecewaannya pada keluarga Fawaz seorang diri. Ia berdehem, berusaha setegar mungkin"Ya, saya mengerti. Untuk yang lain, saya minta maaf pengajian malam ini dibatalkan." "Jadi bener, Ustadzah kalo pak Fawaz meninggal?!" Tetangga mendesaknya untuk bilang. Hanya Ayla tetap diam, ini urusan pribadinya. Ia tidak akan mengatakan apapun sebelum ia bicara dengan keluarga Fawaz."Maaf sekali ibu-ibu!" Ayla menangkup tangan dan pergi dari sana. Jika melihat reaksinya, ibu-ibu percaya Ayla juga baru tau ini. Buktinya dia sangat kaget sampai pingsan."Hah! Kasihan banget,ya Ustadzah Ayla." "Iyah. Eh, tapi katanya, beberapa hari yang lalu ada anak cowok masih muda main ke sini. Apa jangan-jangan pengganti pak Fawaz?" "Hussh! Jangan ngomong gitu. Mana mungkin sih. Ustadzah kan orang cerdas dan paham agama. Mana mungkin sudah mencari pengganti, tau suaminya meninggal saja baru sekarang." Ada pihak yang masih membela Ayla dan percaya pada wanita itu tapi ada juga yang meragukan.
Dua orang ibu dan anak ini punya pikiran yang sama. Bedanya hanya cara mereka menyampaikan. Ayla tidak bisa berkata apapun. Ayla ditinggal sendiri di ruang tamu. Sementara Zulaekah dan Amena pergi begitu saja. Ayla pulang. Sayangnya ini bukan akhir, mungkin ia tidak punya kekuatan. Tapi Ayla percaya Fawaz belum meninggal. "Lebih baik aku cepat pulang!" Ayla menarik nafas dalam. Ia merasa tidak boleh terpancing emosi. Di tengah tekanan ia harus berpikir jernih.Ayla sangat ingin mencari Fawaz. Berlari ke dalam pelukkan sang suami dan tersedu di sana.Tapi daerah Kalimantan yang jauh dari ibukota juga rawan tersebut tidak memungkinkan ia membawa anak-anaknya ikut serta.Sedang saat ini, Ayla hanya bisa menjaga Balqis juga Yusuf. *Ayla sampai di rumah. Balqis sudah tidur sementara Yusuf belajar di kamarnya. "Gimana, Mbak?" Kia buru-buru menghampiri Ayla. Ia bisa melihat wajah Ayla pias. Pasti ada yang tidak beres. "Ki. Adik dan ibunya mas Fawaz mau aku menerima berita kematian mas
Pun Pierre terkesima saat beberapa orang mengusap wajah begitu bahagia. Dadanya plong. Terbesit rasa gembira yang sulit ia gambarkan.Pierre kontan tersedu. Tidak pernah menyangka dua kalimat syahadat membuatnya menangis seperti bayi. Seluruh tubuhnya gemetar. Perasaannya meluap, ia bisa berjingkrak saat ini juga akan tetapi, terbayang semua dosa yang sudah ia lakukan sampai sekarang. Dan katanya, itu akan terhapuskan seiring dengan pelafalannya tadi. Ah, bagaimana mungkin Tuhan semudah itu menghapus. Tapi begitulah adanya, tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah. Apa yang menurut manusia sulit sangat mudah bagi-Nya.Mengingat semua ucapan Ustadz Hasan, Pierre semakin menangis sejadinya. Pierre merasa jadi orang yang sangat kaya. Meskipun terlihat dari luar ia yang sekarang dan kemarin sama saja. Tapi tidak, kali ini ia berbeda. Ia punya iman di lubuk hati dan itu akan ia jaga sampai mati. Kepuasaan batin. Mungkin lebih dari itu. "Bagaimana, Pier?" Ustadz Hasan menghapus lelehan
Namun, Pierre ragu bila ia menemui Balqis. Ia teringat kemarin ada janji mau kirim salam dari Balqis pada Fawaz. Hanya, bagaimana mungkin hal itu terlaksana. Pierre memutuskan ke kantor sahabatnya saja, Pierre tidak datang dengan tangan kosong. Ia membawa beberapa buah tangan untuk sang dokter, Harvey. Pierre ingin berbagi kegembiraan kepada siapa saja termasuk Harvey.Harvey cuma menyeritkan alis, bingung waktu Pierre menyerahkan sebuket buah."Dalam rangka apa?" Tangannya sambil mengambil keranjang buah. Harvey cukup senang akhirnya Pierre menunjukkan kepedulian pada orang lain. "Aku memutuskan menjadi muslim." Harvey terdiam. Mencoba menealah apa itu ucapan asal atau..."Kau dipaksa seseorang?!" Pierre tersenyum. "Har, kamu kan psikiater. Tentu tau, apa saat ini aku sedang dalam keadaan tertekan atau sebaliknya." "Ya, kamu terlihat senang," imbuh Harvey seraya mencibikkan bibir. Dalam hati, ia miris dengan Pierre apa ini lanjutan dari rasa bersalahnya."Tapi Pier, kamu gak bi
"Iyah. Bunda bilang kita gak bisa selamanya tinggal di sini." "Tapi kenapa. Balqis tau gak kenapanya?" Saat Pierre mengintrograsi Balqis. Ayla baru pulang menjemput Yusuf. Tatapan mereka bersiborok. Lantas Ayla berdehem. Yusuf memperhatikan raut bundanya bergantian melihat Pierre. Yusuf jadi tidak menyukai Pierre saat itu juga. Karena yang ia lihat, ibunya terluka dan sedih. "Kalian masuk dulu,ya!" Ayla sudah ada di hadapan Pierre. Pierre ingin bertanya langsung tapi ia tidak enak. Siapa dirinya, sampai harus tau sedetail itu."Yang Balqis bilang itu benar. Kami akan pindah dari rumah ini!" Namun, Ayla duluan yang membuka percakapan. Pierre terangga lalu segera menyanyakan alasan. "Alasan?!" Senyum getir tersunggil. "Rumah ini atas nama mas Fawaz. Dan aku..." Ayla mengulum bibir. Pierre mengasumsikan Ayla tidak bisa tinggal di rumah yang menyimpan banyak kenangan Fawaz.Ah, kenapa Pierre semakin merasa ditikam perasaan bersalah. Tapi ia membisu tidak bisa bilang dirinya sangat
Teringat saat Fawaz menyebutkan namanya di depan penghulu. Saat itu Ayla berjanji akan menjadi istri Fawaz selamanya. Tak akan pernah terganti. Namun kini, apa benar mereka sudah terpisah alam. Pantaskah Ayla menerima begitu saja. Lalu, mana jenazah Fawaz."Mas... Hiks, Mas, pulang, Mas. Aku gak kuat!" Ayla tersedu seorang diri sampai bahunya bergetar hebat.*Hanya Ayla teringat dengan Balqis. Anak itu sedang mengaji dan ia harus menjemputnya. Ayla gak mungkin berlarut-larut dalam kesedihan. Anak-anaknya masih sangat membutuhkan kewarasan dia sebagai ibu.Di jalan, Ayla jadi melamun. Terbayang nasib ia dan anak-anaknya selanjutnya. Di tempat pengajian, Ayla bertemu ibu-ibu lain. Ia memaksakan senyum. "Ustadzah jadi bener pak Fawaz sudah meninggal. Memangnya apa yang terjadi sama pak Fawaz?" Ayla tidak menjawab. Tepatnya, ia tidak mampu menjawab karena setiap mengingat semua itu air matanya berlinang. "Tapi Uma, maaf sekali. Pria yang mengontrakkan Uma Ayla rumah itu siapa? Apa dia
Ayla. Dua bulan ini hidupnya seperti di ujung tanduk. Menunggu kapan keluarga Fawaz mengutus seseorang untuk 'mengusirnya'. Ayla sadar, mereka tidak pernah setengah-setengah untuk membuangnya.Baru saja Ayla menduga. Seseorang ke luar dari mobil bercat hitam."Siapa itu?" Ayla hanya bersama Balqis, Yusuf belum pulang sekolah. Ayla menoleh ke kamar Balqis. Berusaha berhati-hati membukakan pintu takut Balqis terjaga. "Siapa,ya?" Mungkin ini salahnya membuka pintu langsung. Ayla cuma berpikir ini masih sangat pagi dan ia tidak punya firasat buruk. Yang datang Samir. Ayla terbengong karena pria itu tau-tau di sini."Assalamuaikum, Mbak. Aku disuruh Zu ke sini!" Ayla ber-ooh-ria dalam hati. Jadi dia kemari atas suruhan Zulaekah."Walaikumsallam. Tapi untuk apa?" "Gini Mbak. Kami berencana mengambil hak asuh Yusuf dan Balqis. Mbak juga tau, kami sebentar lagi akan menikah!" Terlalu kaget. Ayla membuka pintu semakin lebar. Pegangannya yang menahan pintu terlepas. "Apa? Gak bisa. Aku g