Ayla. Dua bulan ini hidupnya seperti di ujung tanduk. Menunggu kapan keluarga Fawaz mengutus seseorang untuk 'mengusirnya'. Ayla sadar, mereka tidak pernah setengah-setengah untuk membuangnya.Baru saja Ayla menduga. Seseorang ke luar dari mobil bercat hitam."Siapa itu?" Ayla hanya bersama Balqis, Yusuf belum pulang sekolah. Ayla menoleh ke kamar Balqis. Berusaha berhati-hati membukakan pintu takut Balqis terjaga. "Siapa,ya?" Mungkin ini salahnya membuka pintu langsung. Ayla cuma berpikir ini masih sangat pagi dan ia tidak punya firasat buruk. Yang datang Samir. Ayla terbengong karena pria itu tau-tau di sini."Assalamuaikum, Mbak. Aku disuruh Zu ke sini!" Ayla ber-ooh-ria dalam hati. Jadi dia kemari atas suruhan Zulaekah."Walaikumsallam. Tapi untuk apa?" "Gini Mbak. Kami berencana mengambil hak asuh Yusuf dan Balqis. Mbak juga tau, kami sebentar lagi akan menikah!" Terlalu kaget. Ayla membuka pintu semakin lebar. Pegangannya yang menahan pintu terlepas. "Apa? Gak bisa. Aku g
Ayla berusaha memutar tubuhnya lalu terlihat wajah tak tahu malu Samir sedang menjulurkan lidah. Tangan Ayla menampik bibir monyong Samir yang ingin mencium pipinya. "Ah! Tolong... Tolong!" Ayla berteriak, membuat Balqis bangun. Sayangnya pintu kamarnya ditutup dan Balqis masih kesulitan membuka knop pintu sendiri."Bunda. Bunda kenapa?" Resah Balqis berteriak juga berjingke berusaha meraih gagang pintu, ia membuang boneka yang tadi ia peluk dan sedikit loncat agar sampai, sayangnya knop pintunya masih terlalu keras untuk gadis kecil sepertinya.Baik Ayla dan Samir menatap arah kamar Balqis."Diam dan jangan berteriak!" Samir menunjuk wajah Ayla. Ia sudah berubah jadi monster yang hanya mementingkan birahinya tanpa memperdulikan tangisan Balqis.Kemudian, mulut Ayla dibekap kencang. Ayla cuma bisa bergumam membuat suara berharap Balqis berhenti menangis.Namun, yang paling melinukan, hatinya juga menangisi keadaan. Samir terlalu kuat untuk ia lawan sendiri.Bagaimanapun kekuatan pria
'Mas tolong selamatkan aku. Kamu di mana, Mas?' Ayla terus merintih dalam hati. Betapa ia putus asa disaat tubuhnya berusaha ditindih Samir. Ia menghempaskan kepala ke kanan dan kiri supaya bibir Samir tidak bermuara di pipi atau mungkin bibirnya."Kau seharusnya malu dengan mas Fawaz!" Kedua tangan Ayla sudah dikunci sejajar dengan kepala. Sedang tubuhnya berhasil ditindih Samir. Pria itu mengukung pinggul Ayla diantara pahanya seolah menunggangi wanita itu."Akan aku ingat. Tapi sebelum itu, kau harus pastikan dulu. Apa dia betulan akan kembali?" Seringai mengejek Ayla begitu nyata. Cengkraman tangan Samir di pergelangan Ayla pun tambah kuat. Mungkin tangan kurus Ayla sudah bergalang kebiruan. Beruntung, saat yang sama Adnan membuka pintu rumah Ayla. Yah, ia baru saja menjemput Yusuf pulang sekolah. Awalnya, guru TK Yusuf menelpon Ayla karena ia tidak datang menjemput seperti biasa. Padahal dua bulan ini Ayla terasa sangat posesif pada Yusuf. Supaya tidak kesalahan, guru Yusuf
"Letda!" Wishaka memanggil Pierre. Biasanya Pierre sangat antusias memberikan pengajaran untuk anak-anak. Tapi sejak tadi pagi, ia sedikit berbeda.Pierre jadi banyak melamun. Pierre sedang memikirkan Ayla. Bagaimanapun ia berusaha melupakan, Pierre akan selalu teringat.Pasti mbak Ayla kesepian. Apa ia akan tetap teguh seperti biasa atau... .Segala pertanyaan yang tak mampu ia jawab malah semakin memfokuskan Pierre terhadap bayang-bayang Ayla.Wanita itu tak akan pernah tau, seberapa banyak Pierre memikirkan penderitaannya. "Hah!" Pierre bersandar di bawah pohon sambil terdongak."Kamu kenapa?" Wishaka sudah duduk di sebelahnya. "Aku? Aku baik-baik saja!" "Enggak. Daritadi kamu seperti gak fokus." Pierre tidak menjawab lagi. Cuma memang, perasaannya tidak enak. "Mungkin karena aku rindu pulang." Pierre tidak bilang kalau ia sebatang kara di Jakarta. Ia seolah mau mengatakan ada yang menunggu dirinya. Wishaka tersenyum, ia pun sama rindunya dengan keluarga."Yah kita harus sab
Nimas tidak mengerti mengapa setelah sempat bangun, Ikhsan tidak lagi menunjukkan tanda-tanda akan sadar sepenuhnya. Hal itu ia ungkapkan pada dokter, tapi dokter bilang. Pasien yang baru sadar dari koma masih sangat lemah. Hal wajar jika dia kembali tidur karena mungkin kinerja otaknya masih belum stabil.Nimas sangat sedih. Ingin menceritakan ini pada abinya. Tapi sang ayah belum juga kembali. "Abi, cepat ke sini. Ikhsan sempat sadar, Bi!" Nimas bergumam seorang diri.Sementara itu,Dalam perjalanan, mantri Yanto dan pak Majid mengalami masalah. Mobil yang mereka sewa bannya pecah di jalan.Terpaksa mantri Yanto harus turun demi memperbaikinya. "Pak Majid di dalam saja,ya. Saya gak lama kok benerin bannya." Pria kurus itu sudah membawa mesin dongkrak juga ban serep ke arah depan ban. Ia melakukan pekerjaan membuka ban yang telah koyak dengan cepat. Meski peluh membanjiri pelipisnya. Pak Majid melihat dari kaca jendela. Ia tahu mantri Yanto kesulitan sendiri. Merasa tidak enak, pa
Tidak ada rumah sakit besar lain yang bisa mereka tuju selain tempat di mana Fawaz juga dirawat. Semula, Nimas tidak mengetahui jika ayahnya dibawa kemari dalam keadaan sekarat. Ia baru tau setelah beberapa suster meributkan ada dua orang pasien korban pembegalan.'Astagfirullah.' Nimas berucap dalam hati, langkahnya mengikuti beberapa suster yang panik. Rumah sakit itu lumayan sepi karena jauh dari pemukiman padat penduduk. Hanya orang-orang desa sekitar yang memberanikan diri ke rumah sakit bekas bangunan massa penjajahan itu.Jadi, saat ada kondisi darurat hampir seluruh penghuni rumah sakit mendengar beritanya dan berkumpul."Kasihan, korbannya bapak-bapak." Nimas mencoba membelah beberapa orang yang membentuk kerumunan. Entah mengapa firasatnya sangat tidak enak. "Astagfirullah!" Nimas menutup mulut saat melihat mantri Yanto didorong dengan kondisi yang mengenaskan. Tergelatk dengan mukanya yang pucat.Di otaknya langsung mau tau bagaimana kabar ayahnya. Mereka kemarin pergi
Zulaekah bersikukuh, mencoba mengeyampingkan logika.Soal itu, biar ia pikirkan nanti. Baginya menikah dengan Samir bertujuan menaiki nilai diri. Bukan cuma membina keluarga yang harmonis seperti harapan orang saat menikah.Samir menatap Zulaekah yang sibuk dengan pikirannya. "Kamu... tapi kamu mau ngbebasin aku kan?!" "Ya, Mas akan aku bebaskan kamu dengan jaminan." Bagi Zulaekah tidak perlu berunding dengan pelapor yang tak lain Adnan. Ia punya pengacara yang bisa mengurus hal ini.Zulaekah memaksakan senyum sembari menggenggam tangan Samir. "Mas tenang aja,ya!" Ia meyakini diri jika Samir adalah korban dan pastinya lelaki itu bisa berubah setelah mereka menikah.Pada kenyataannya, pernikahan bukan tempat seseorang untuk berubah. Sifat dan prilaku tidak semudah itu berganti kecuali ada niatan dalam diri. Melanjutkan pernikahan saat tau orang tersebut tidak layak lalu berharap pasangan bisa menjadi sosok yang diinginkan sama saja membohongi diri sendiri. ***Zulaekah mengetuk pin
Ayla hanya ingin berpikir logis, alih-alih tidak terima Ayla menguatkan hati."Kita beresin aja dulu,ya. Yusuf sudah siapin apa saja yang mesti dibawa kan?" Yusuf mengangguk. Ia pergi ke kamarnya, sementara Ayla membantu Balqis membereskan barang-barang. Ayla membuka lemari pink dan menarik koper milik Balqis yang sudah disiapkannya."Kita bakal jauh,ya pindahnya, Bun. Ayah udah dikasih tau belum?" tanya Balqis sambil memakai tas ranselnya. Ayla berpura tidak dengar. Orang yang mengusir mereka berteriak dari luar. "Cepat. Kalian gak punya waktu buat berlama-lama.""Tuh Balqis. Kita diminta cepat. Ayok!" Ayla menuntun tangan Balqis. Diikuti Yusuf menarik koper kecil susah payah. Baru saja Kia berniat main ke rumah Ayla. Tapi ia melihat beberapa orang ramai di depan."Lho ada apa ini?" Kia memperhatikan pria-pria berotot itu secara intens."Ada apa,ya, Pak?" "Rumah ini harus segera dikosongkan!" Dengan angkuh salah satunya mengatakan hal tersebut. Ayla ke luar, "Mbak?!" Kia merasa
Nimas sudah keluar hutan. Beruntung ia tidak mengalami banyak hambatan kecuali wajahnya lesu terlalu kelelahan. Karena dirinya mengitari jalan berbeda dari biasanya, ia tidak langsung bertemu jalan raya tetapi sungai kecil dengan air yang cukup deras itu menantinya dan mesti ia seberangi. Nimas berpegangan pada setiap batu besar, jemari kaki mencengkram kerikil sampai rasanya telapak kakinya linu.Semua itu tidak Nimas pedulikan. Ia sudah sampai di sini. Pantang untuknya kembali. Setelah melalui sungai, Nimas memanjat ke atas tepi jalan dan menunggu mobil yang lewat. "Sebentar lagi subuh." Ia merasa ada kemungkinan bertemu dengan mobil pengangkut hewan ternak yang biasa akan ke pasar dan bisa ia mintai tolong. Nimas menunggu tanpa memperdulikan penampilannya yang kucal. Tapi itu bagus, orang-orang tidak akan bisa mengenalinya apa lagi ini masih sangat gelap. Nimas hanya berharap bukan para penjahat yang ditemuinya.Setengah jam menunggu, terlihat lampu mobil dari ujung berlawanan
Nimas menutup mata lekat. Tangannya ia letakkan di dada seraya merapal doa. Nimas tau, saat dirinya kabur. Artinya ia tidak bisa lagi bebas kembali ke makam ayahnya. Hal itu membuat air matanya jatuh tapi ia berusaha menahan sesenggukkan sampai rasanya dadanya sangat sesak. Sangat sakit bukan, tidak bisa mengunjungi makam orangtua saat rindu melanda. Tapi Nimas juga gak ingin menjadi istri kedua lelaki tua bangka. Tepat seperti dugaannya, beberapa orang terlihat mencarinya dengan tampang panik. Nimas yakin, mereka semua dimarahi oleh pak Rudi. Cepat ia memepet batang pohon. Berharap rindangnya dedauan dapat menutupi bayangannya. 'Apa aku naik saja ke atas?' Nimas ingin nekat panjat pohon. Tapi ia juga tidak begitu lihai, yang ada malah memancing keributan. Nimas mulai merapal doa. Ia sangat percaya, hanya doa yang bisa menyelamatkannya saat ini. Hasbunallah wa ni'mal wakiil(Cukuplah Allah menjadi penolong kami. Dan Allah adalah sebaik-baiknya pelindung)Doa yang terus ia lantun
Kesedihan masih membayanginya, dan kini Nimas kembali ditimpa masalah.Ditinggal sebatang kara di dunia yang belum puas ia kenali. Kekejaman ditunjukkan para warga, yang selama ini Nimas anggap sebagai saudara membuat ia putus asa. Namun, di tengah kegamangan yang Nimas rasakan. Pak Rudi memawarkan secercah sinar. Kabarnya lelaki itu punya sebidang tanah khusus makam keluarga. Di sana, Nimas diperbolehkan mensemayamkan jasad ayahnya."Alhamdulilah Ya Allah. Terima kasih, Pak." "Saya hanya membantu sebagai keluarga." Tanpa bertanya lebih lanjut, Nimas mengikuti setiap prosesi. Butuh satu jam untuk menyelesaikannya. Kini, ia terjongkok di samping papan nisan yang berdiri tegak seraya mengelusnya. "Abi gak perlu khawatirin aku. Aku pasti bisa mengurus diri aku sendiri." Gadis itu tersenyum, mencoba untuk kuat. Setelahnya, Nimas menghampiri pak Rudi demi menyampaikan rasa terima kasihnya sekali lagi. Habis itu Nimas berencana pulang lalu esoknya kembali menemani Ikhsan di rumah sakit
Dengan berat hati Nimas memberi kabar ke para pemangku wilayah di daerah kampungnya tentang kepergiaan abi Majid.Sementara di rumah sakit, ia telah mengurus ijin kepulangan jenazah. "Terima kasih pak Said. Mohon dibantu mencarikan tanah kuburan buat abi." Nimas menelpon dari telepon rumah sakit. Menurut pak Said, ia akan menyiarkan berita duka ini ke semua warga dan mungkin tidak lama akan ada mobil yang menjemput mereka. "Kamu yang sabar, Nimas." Nimas tersenyum tipis. Kata-kata pak Said cukup menghiburnya, tapi ada yang ia pikirkan. Yaitu nasib pria yang ia tolong, salah satu kenangan perbuatan baik abinya semasa hidup.Bila Nimas kembali ke desa untuk waktu lama, lalu pria itu dengan siapa?!Akhirnya Nimas menitipkan Fawaz pada seorang suster tua. "... saya minta tolong Suster. Saya harus kembali secepatnya. Tapi saya juga kesulitan meninggalkannya." Nimas melirik ke arah Fawaz. Suster bernama Jihan itu ikut merasakan kegelisahan yang Nimas rasakan. Bisa dilihat, Nimas sangat
"Hah! Mbak, benaran deh. Mbak gak bisa kayak gini. Mbak tau kan, seorang ayah bertanggung jawab menafkahi anak-anaknya. Meski mas Fawaz sudah gak ada, tapi dia punya harta peninggalan yang bisa diberikan ke Yusuf juga Balqis." Ayla yang menjalani musibah, Kia yang merasa tidak tahan. Melihat anak-anak Fawaz hidup hemat. Pun, Ayla yang mulai mencari pekerjaan sebagai penjaga toko.Katanya, selama menjaga toko roti itu Ayla boleh membawa Balqis. Gaji yang ditawarkan tidak besar. Tetapi Ayla begitu bersyukur masih bisa kerja.Kia menyentuh punggung tangan Ayla. "Mbak gak mau kan mas Fawaz gak tenang di sana karena mengabaikan anak dan istrinya." "Ki!" Ayla jadi tegas. Baginya, Fawaz tidak begitu. Ia tidak pernah mengabaikan keluarga. Malah, Fawaz selalu mengutamakan keluarga di atas segalanya. Tapi saat ini lelaki itu sudah habis kewajibannya. Giliran Ayla merawat kedua hatinya agar menjadi anak yang soleh dan soleha.Baru berharap demikian, ia mendengar keributan di luar."Mbak. Itu
Hari ini giliran Pierre mengajar di taman bersama anak-anak, ia sama sekali tidak terlihat risih. Pierre sampai berpikir apa 'kelainan' yang ia idap perlahan menghilang? Atau hanya faktor cuaca cerah dan berkumpul di taman yang lega membuat perasaannya lebih tentram.Semua pertanyaan anak-anak itu Pierre jawab dengan suka cita."Om udah punya anak belom?" "Belum, Shafea," jawab Pierre tersenyum pada anak usia enam tahun itu. "Kok belom sih?" Shafea tidak sepenuhnya percaya. Gaya anak itu untuk mengintrograsi dirinya membuat Pierre terkekeh geli."Yah Om nikah aja belum... ." Sedetik ia bilang begitu, beberapa gadis remaja melirik ke Pierre. Spontan Wishaka tertawa keras.Apa yang Pierre katakan ibaratnya seperti memberi umpan untuk ikan kelaparan. Sebab kini mereka belajar di tengah kerumunan banyak orang. 'Aduh gawat nih!' Pierre menutup muka cepat. Rasa groginya timbul lagi.Ide belajar di luar kelas darurat sepertinya tidak berjalan dengan baik.Malam harinya, setelah ia seles
Hari berganti hari, keadaan abi Majid masuk ke tahap kritis. Bukannya membaik, pak Majid malah semakin memprihatinkan. Sisi lain, Fawaz juga tidak lagi membuka mata semenjak hari itu. Dokter bilang, itu karena pasien masuk ke fase penyembuhan secara emosional setelah mengalami kecelakaan mendadak. "... sebaiknya kita tunggu pasien kembali siuman. Saat itu, barulah pemeriksaan selanjutnya bisa dilakukan," ucap dokter.Padahal mimpi Nimas sangat sederhana. Melihat kedua pria itu sadar, tapi jika sudah begini, rasanya sangat jauh dari khayalan. Hatinya bernas seiring dengan semangat yang semakin pupus. 'Bi. Tolong jangan tinggalkan aku sendiri.' Ia memohon, merengek agar abinya bisa membuka mata.Posisi yang tidak pernah Nimas harapkan terjadi. Namun mengapa ia malah terjebak di dalamnya. Ia merenung di depan kamar ICU. Seandainya ia tidak memaksa sang ayah membawa lelaki itu ke sini, kira-kira apa yang terjadi. Apa mungkin kejadian ini tidak pernah ada."Astagfirullah!" Nimas tidak
Ayla hanya ingin berpikir logis, alih-alih tidak terima Ayla menguatkan hati."Kita beresin aja dulu,ya. Yusuf sudah siapin apa saja yang mesti dibawa kan?" Yusuf mengangguk. Ia pergi ke kamarnya, sementara Ayla membantu Balqis membereskan barang-barang. Ayla membuka lemari pink dan menarik koper milik Balqis yang sudah disiapkannya."Kita bakal jauh,ya pindahnya, Bun. Ayah udah dikasih tau belum?" tanya Balqis sambil memakai tas ranselnya. Ayla berpura tidak dengar. Orang yang mengusir mereka berteriak dari luar. "Cepat. Kalian gak punya waktu buat berlama-lama.""Tuh Balqis. Kita diminta cepat. Ayok!" Ayla menuntun tangan Balqis. Diikuti Yusuf menarik koper kecil susah payah. Baru saja Kia berniat main ke rumah Ayla. Tapi ia melihat beberapa orang ramai di depan."Lho ada apa ini?" Kia memperhatikan pria-pria berotot itu secara intens."Ada apa,ya, Pak?" "Rumah ini harus segera dikosongkan!" Dengan angkuh salah satunya mengatakan hal tersebut. Ayla ke luar, "Mbak?!" Kia merasa
Zulaekah bersikukuh, mencoba mengeyampingkan logika.Soal itu, biar ia pikirkan nanti. Baginya menikah dengan Samir bertujuan menaiki nilai diri. Bukan cuma membina keluarga yang harmonis seperti harapan orang saat menikah.Samir menatap Zulaekah yang sibuk dengan pikirannya. "Kamu... tapi kamu mau ngbebasin aku kan?!" "Ya, Mas akan aku bebaskan kamu dengan jaminan." Bagi Zulaekah tidak perlu berunding dengan pelapor yang tak lain Adnan. Ia punya pengacara yang bisa mengurus hal ini.Zulaekah memaksakan senyum sembari menggenggam tangan Samir. "Mas tenang aja,ya!" Ia meyakini diri jika Samir adalah korban dan pastinya lelaki itu bisa berubah setelah mereka menikah.Pada kenyataannya, pernikahan bukan tempat seseorang untuk berubah. Sifat dan prilaku tidak semudah itu berganti kecuali ada niatan dalam diri. Melanjutkan pernikahan saat tau orang tersebut tidak layak lalu berharap pasangan bisa menjadi sosok yang diinginkan sama saja membohongi diri sendiri. ***Zulaekah mengetuk pin