Namun, Pierre ragu bila ia menemui Balqis. Ia teringat kemarin ada janji mau kirim salam dari Balqis pada Fawaz. Hanya, bagaimana mungkin hal itu terlaksana. Pierre memutuskan ke kantor sahabatnya saja, Pierre tidak datang dengan tangan kosong. Ia membawa beberapa buah tangan untuk sang dokter, Harvey. Pierre ingin berbagi kegembiraan kepada siapa saja termasuk Harvey.Harvey cuma menyeritkan alis, bingung waktu Pierre menyerahkan sebuket buah."Dalam rangka apa?" Tangannya sambil mengambil keranjang buah. Harvey cukup senang akhirnya Pierre menunjukkan kepedulian pada orang lain. "Aku memutuskan menjadi muslim." Harvey terdiam. Mencoba menealah apa itu ucapan asal atau..."Kau dipaksa seseorang?!" Pierre tersenyum. "Har, kamu kan psikiater. Tentu tau, apa saat ini aku sedang dalam keadaan tertekan atau sebaliknya." "Ya, kamu terlihat senang," imbuh Harvey seraya mencibikkan bibir. Dalam hati, ia miris dengan Pierre apa ini lanjutan dari rasa bersalahnya."Tapi Pier, kamu gak bi
"Iyah. Bunda bilang kita gak bisa selamanya tinggal di sini." "Tapi kenapa. Balqis tau gak kenapanya?" Saat Pierre mengintrograsi Balqis. Ayla baru pulang menjemput Yusuf. Tatapan mereka bersiborok. Lantas Ayla berdehem. Yusuf memperhatikan raut bundanya bergantian melihat Pierre. Yusuf jadi tidak menyukai Pierre saat itu juga. Karena yang ia lihat, ibunya terluka dan sedih. "Kalian masuk dulu,ya!" Ayla sudah ada di hadapan Pierre. Pierre ingin bertanya langsung tapi ia tidak enak. Siapa dirinya, sampai harus tau sedetail itu."Yang Balqis bilang itu benar. Kami akan pindah dari rumah ini!" Namun, Ayla duluan yang membuka percakapan. Pierre terangga lalu segera menyanyakan alasan. "Alasan?!" Senyum getir tersunggil. "Rumah ini atas nama mas Fawaz. Dan aku..." Ayla mengulum bibir. Pierre mengasumsikan Ayla tidak bisa tinggal di rumah yang menyimpan banyak kenangan Fawaz.Ah, kenapa Pierre semakin merasa ditikam perasaan bersalah. Tapi ia membisu tidak bisa bilang dirinya sangat
Teringat saat Fawaz menyebutkan namanya di depan penghulu. Saat itu Ayla berjanji akan menjadi istri Fawaz selamanya. Tak akan pernah terganti. Namun kini, apa benar mereka sudah terpisah alam. Pantaskah Ayla menerima begitu saja. Lalu, mana jenazah Fawaz."Mas... Hiks, Mas, pulang, Mas. Aku gak kuat!" Ayla tersedu seorang diri sampai bahunya bergetar hebat.*Hanya Ayla teringat dengan Balqis. Anak itu sedang mengaji dan ia harus menjemputnya. Ayla gak mungkin berlarut-larut dalam kesedihan. Anak-anaknya masih sangat membutuhkan kewarasan dia sebagai ibu.Di jalan, Ayla jadi melamun. Terbayang nasib ia dan anak-anaknya selanjutnya. Di tempat pengajian, Ayla bertemu ibu-ibu lain. Ia memaksakan senyum. "Ustadzah jadi bener pak Fawaz sudah meninggal. Memangnya apa yang terjadi sama pak Fawaz?" Ayla tidak menjawab. Tepatnya, ia tidak mampu menjawab karena setiap mengingat semua itu air matanya berlinang. "Tapi Uma, maaf sekali. Pria yang mengontrakkan Uma Ayla rumah itu siapa? Apa dia
Ayla. Dua bulan ini hidupnya seperti di ujung tanduk. Menunggu kapan keluarga Fawaz mengutus seseorang untuk 'mengusirnya'. Ayla sadar, mereka tidak pernah setengah-setengah untuk membuangnya.Baru saja Ayla menduga. Seseorang ke luar dari mobil bercat hitam."Siapa itu?" Ayla hanya bersama Balqis, Yusuf belum pulang sekolah. Ayla menoleh ke kamar Balqis. Berusaha berhati-hati membukakan pintu takut Balqis terjaga. "Siapa,ya?" Mungkin ini salahnya membuka pintu langsung. Ayla cuma berpikir ini masih sangat pagi dan ia tidak punya firasat buruk. Yang datang Samir. Ayla terbengong karena pria itu tau-tau di sini."Assalamuaikum, Mbak. Aku disuruh Zu ke sini!" Ayla ber-ooh-ria dalam hati. Jadi dia kemari atas suruhan Zulaekah."Walaikumsallam. Tapi untuk apa?" "Gini Mbak. Kami berencana mengambil hak asuh Yusuf dan Balqis. Mbak juga tau, kami sebentar lagi akan menikah!" Terlalu kaget. Ayla membuka pintu semakin lebar. Pegangannya yang menahan pintu terlepas. "Apa? Gak bisa. Aku g
Ayla berusaha memutar tubuhnya lalu terlihat wajah tak tahu malu Samir sedang menjulurkan lidah. Tangan Ayla menampik bibir monyong Samir yang ingin mencium pipinya. "Ah! Tolong... Tolong!" Ayla berteriak, membuat Balqis bangun. Sayangnya pintu kamarnya ditutup dan Balqis masih kesulitan membuka knop pintu sendiri."Bunda. Bunda kenapa?" Resah Balqis berteriak juga berjingke berusaha meraih gagang pintu, ia membuang boneka yang tadi ia peluk dan sedikit loncat agar sampai, sayangnya knop pintunya masih terlalu keras untuk gadis kecil sepertinya.Baik Ayla dan Samir menatap arah kamar Balqis."Diam dan jangan berteriak!" Samir menunjuk wajah Ayla. Ia sudah berubah jadi monster yang hanya mementingkan birahinya tanpa memperdulikan tangisan Balqis.Kemudian, mulut Ayla dibekap kencang. Ayla cuma bisa bergumam membuat suara berharap Balqis berhenti menangis.Namun, yang paling melinukan, hatinya juga menangisi keadaan. Samir terlalu kuat untuk ia lawan sendiri.Bagaimanapun kekuatan pria
'Mas tolong selamatkan aku. Kamu di mana, Mas?' Ayla terus merintih dalam hati. Betapa ia putus asa disaat tubuhnya berusaha ditindih Samir. Ia menghempaskan kepala ke kanan dan kiri supaya bibir Samir tidak bermuara di pipi atau mungkin bibirnya."Kau seharusnya malu dengan mas Fawaz!" Kedua tangan Ayla sudah dikunci sejajar dengan kepala. Sedang tubuhnya berhasil ditindih Samir. Pria itu mengukung pinggul Ayla diantara pahanya seolah menunggangi wanita itu."Akan aku ingat. Tapi sebelum itu, kau harus pastikan dulu. Apa dia betulan akan kembali?" Seringai mengejek Ayla begitu nyata. Cengkraman tangan Samir di pergelangan Ayla pun tambah kuat. Mungkin tangan kurus Ayla sudah bergalang kebiruan. Beruntung, saat yang sama Adnan membuka pintu rumah Ayla. Yah, ia baru saja menjemput Yusuf pulang sekolah. Awalnya, guru TK Yusuf menelpon Ayla karena ia tidak datang menjemput seperti biasa. Padahal dua bulan ini Ayla terasa sangat posesif pada Yusuf. Supaya tidak kesalahan, guru Yusuf
"Letda!" Wishaka memanggil Pierre. Biasanya Pierre sangat antusias memberikan pengajaran untuk anak-anak. Tapi sejak tadi pagi, ia sedikit berbeda.Pierre jadi banyak melamun. Pierre sedang memikirkan Ayla. Bagaimanapun ia berusaha melupakan, Pierre akan selalu teringat.Pasti mbak Ayla kesepian. Apa ia akan tetap teguh seperti biasa atau... .Segala pertanyaan yang tak mampu ia jawab malah semakin memfokuskan Pierre terhadap bayang-bayang Ayla.Wanita itu tak akan pernah tau, seberapa banyak Pierre memikirkan penderitaannya. "Hah!" Pierre bersandar di bawah pohon sambil terdongak."Kamu kenapa?" Wishaka sudah duduk di sebelahnya. "Aku? Aku baik-baik saja!" "Enggak. Daritadi kamu seperti gak fokus." Pierre tidak menjawab lagi. Cuma memang, perasaannya tidak enak. "Mungkin karena aku rindu pulang." Pierre tidak bilang kalau ia sebatang kara di Jakarta. Ia seolah mau mengatakan ada yang menunggu dirinya. Wishaka tersenyum, ia pun sama rindunya dengan keluarga."Yah kita harus sab
Nimas tidak mengerti mengapa setelah sempat bangun, Ikhsan tidak lagi menunjukkan tanda-tanda akan sadar sepenuhnya. Hal itu ia ungkapkan pada dokter, tapi dokter bilang. Pasien yang baru sadar dari koma masih sangat lemah. Hal wajar jika dia kembali tidur karena mungkin kinerja otaknya masih belum stabil.Nimas sangat sedih. Ingin menceritakan ini pada abinya. Tapi sang ayah belum juga kembali. "Abi, cepat ke sini. Ikhsan sempat sadar, Bi!" Nimas bergumam seorang diri.Sementara itu,Dalam perjalanan, mantri Yanto dan pak Majid mengalami masalah. Mobil yang mereka sewa bannya pecah di jalan.Terpaksa mantri Yanto harus turun demi memperbaikinya. "Pak Majid di dalam saja,ya. Saya gak lama kok benerin bannya." Pria kurus itu sudah membawa mesin dongkrak juga ban serep ke arah depan ban. Ia melakukan pekerjaan membuka ban yang telah koyak dengan cepat. Meski peluh membanjiri pelipisnya. Pak Majid melihat dari kaca jendela. Ia tahu mantri Yanto kesulitan sendiri. Merasa tidak enak, pa