Ayla memendam kekecewaannya pada keluarga Fawaz seorang diri. Ia berdehem, berusaha setegar mungkin"Ya, saya mengerti. Untuk yang lain, saya minta maaf pengajian malam ini dibatalkan." "Jadi bener, Ustadzah kalo pak Fawaz meninggal?!" Tetangga mendesaknya untuk bilang. Hanya Ayla tetap diam, ini urusan pribadinya. Ia tidak akan mengatakan apapun sebelum ia bicara dengan keluarga Fawaz."Maaf sekali ibu-ibu!" Ayla menangkup tangan dan pergi dari sana. Jika melihat reaksinya, ibu-ibu percaya Ayla juga baru tau ini. Buktinya dia sangat kaget sampai pingsan."Hah! Kasihan banget,ya Ustadzah Ayla." "Iyah. Eh, tapi katanya, beberapa hari yang lalu ada anak cowok masih muda main ke sini. Apa jangan-jangan pengganti pak Fawaz?" "Hussh! Jangan ngomong gitu. Mana mungkin sih. Ustadzah kan orang cerdas dan paham agama. Mana mungkin sudah mencari pengganti, tau suaminya meninggal saja baru sekarang." Ada pihak yang masih membela Ayla dan percaya pada wanita itu tapi ada juga yang meragukan.
Dua orang ibu dan anak ini punya pikiran yang sama. Bedanya hanya cara mereka menyampaikan. Ayla tidak bisa berkata apapun. Ayla ditinggal sendiri di ruang tamu. Sementara Zulaekah dan Amena pergi begitu saja. Ayla pulang. Sayangnya ini bukan akhir, mungkin ia tidak punya kekuatan. Tapi Ayla percaya Fawaz belum meninggal. "Lebih baik aku cepat pulang!" Ayla menarik nafas dalam. Ia merasa tidak boleh terpancing emosi. Di tengah tekanan ia harus berpikir jernih.Ayla sangat ingin mencari Fawaz. Berlari ke dalam pelukkan sang suami dan tersedu di sana.Tapi daerah Kalimantan yang jauh dari ibukota juga rawan tersebut tidak memungkinkan ia membawa anak-anaknya ikut serta.Sedang saat ini, Ayla hanya bisa menjaga Balqis juga Yusuf. *Ayla sampai di rumah. Balqis sudah tidur sementara Yusuf belajar di kamarnya. "Gimana, Mbak?" Kia buru-buru menghampiri Ayla. Ia bisa melihat wajah Ayla pias. Pasti ada yang tidak beres. "Ki. Adik dan ibunya mas Fawaz mau aku menerima berita kematian mas
Pun Pierre terkesima saat beberapa orang mengusap wajah begitu bahagia. Dadanya plong. Terbesit rasa gembira yang sulit ia gambarkan.Pierre kontan tersedu. Tidak pernah menyangka dua kalimat syahadat membuatnya menangis seperti bayi. Seluruh tubuhnya gemetar. Perasaannya meluap, ia bisa berjingkrak saat ini juga akan tetapi, terbayang semua dosa yang sudah ia lakukan sampai sekarang. Dan katanya, itu akan terhapuskan seiring dengan pelafalannya tadi. Ah, bagaimana mungkin Tuhan semudah itu menghapus. Tapi begitulah adanya, tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah. Apa yang menurut manusia sulit sangat mudah bagi-Nya.Mengingat semua ucapan Ustadz Hasan, Pierre semakin menangis sejadinya. Pierre merasa jadi orang yang sangat kaya. Meskipun terlihat dari luar ia yang sekarang dan kemarin sama saja. Tapi tidak, kali ini ia berbeda. Ia punya iman di lubuk hati dan itu akan ia jaga sampai mati. Kepuasaan batin. Mungkin lebih dari itu. "Bagaimana, Pier?" Ustadz Hasan menghapus lelehan
Namun, Pierre ragu bila ia menemui Balqis. Ia teringat kemarin ada janji mau kirim salam dari Balqis pada Fawaz. Hanya, bagaimana mungkin hal itu terlaksana. Pierre memutuskan ke kantor sahabatnya saja, Pierre tidak datang dengan tangan kosong. Ia membawa beberapa buah tangan untuk sang dokter, Harvey. Pierre ingin berbagi kegembiraan kepada siapa saja termasuk Harvey.Harvey cuma menyeritkan alis, bingung waktu Pierre menyerahkan sebuket buah."Dalam rangka apa?" Tangannya sambil mengambil keranjang buah. Harvey cukup senang akhirnya Pierre menunjukkan kepedulian pada orang lain. "Aku memutuskan menjadi muslim." Harvey terdiam. Mencoba menealah apa itu ucapan asal atau..."Kau dipaksa seseorang?!" Pierre tersenyum. "Har, kamu kan psikiater. Tentu tau, apa saat ini aku sedang dalam keadaan tertekan atau sebaliknya." "Ya, kamu terlihat senang," imbuh Harvey seraya mencibikkan bibir. Dalam hati, ia miris dengan Pierre apa ini lanjutan dari rasa bersalahnya."Tapi Pier, kamu gak bi
"Iyah. Bunda bilang kita gak bisa selamanya tinggal di sini." "Tapi kenapa. Balqis tau gak kenapanya?" Saat Pierre mengintrograsi Balqis. Ayla baru pulang menjemput Yusuf. Tatapan mereka bersiborok. Lantas Ayla berdehem. Yusuf memperhatikan raut bundanya bergantian melihat Pierre. Yusuf jadi tidak menyukai Pierre saat itu juga. Karena yang ia lihat, ibunya terluka dan sedih. "Kalian masuk dulu,ya!" Ayla sudah ada di hadapan Pierre. Pierre ingin bertanya langsung tapi ia tidak enak. Siapa dirinya, sampai harus tau sedetail itu."Yang Balqis bilang itu benar. Kami akan pindah dari rumah ini!" Namun, Ayla duluan yang membuka percakapan. Pierre terangga lalu segera menyanyakan alasan. "Alasan?!" Senyum getir tersunggil. "Rumah ini atas nama mas Fawaz. Dan aku..." Ayla mengulum bibir. Pierre mengasumsikan Ayla tidak bisa tinggal di rumah yang menyimpan banyak kenangan Fawaz.Ah, kenapa Pierre semakin merasa ditikam perasaan bersalah. Tapi ia membisu tidak bisa bilang dirinya sangat
Teringat saat Fawaz menyebutkan namanya di depan penghulu. Saat itu Ayla berjanji akan menjadi istri Fawaz selamanya. Tak akan pernah terganti. Namun kini, apa benar mereka sudah terpisah alam. Pantaskah Ayla menerima begitu saja. Lalu, mana jenazah Fawaz."Mas... Hiks, Mas, pulang, Mas. Aku gak kuat!" Ayla tersedu seorang diri sampai bahunya bergetar hebat.*Hanya Ayla teringat dengan Balqis. Anak itu sedang mengaji dan ia harus menjemputnya. Ayla gak mungkin berlarut-larut dalam kesedihan. Anak-anaknya masih sangat membutuhkan kewarasan dia sebagai ibu.Di jalan, Ayla jadi melamun. Terbayang nasib ia dan anak-anaknya selanjutnya. Di tempat pengajian, Ayla bertemu ibu-ibu lain. Ia memaksakan senyum. "Ustadzah jadi bener pak Fawaz sudah meninggal. Memangnya apa yang terjadi sama pak Fawaz?" Ayla tidak menjawab. Tepatnya, ia tidak mampu menjawab karena setiap mengingat semua itu air matanya berlinang. "Tapi Uma, maaf sekali. Pria yang mengontrakkan Uma Ayla rumah itu siapa? Apa dia
Ayla. Dua bulan ini hidupnya seperti di ujung tanduk. Menunggu kapan keluarga Fawaz mengutus seseorang untuk 'mengusirnya'. Ayla sadar, mereka tidak pernah setengah-setengah untuk membuangnya.Baru saja Ayla menduga. Seseorang ke luar dari mobil bercat hitam."Siapa itu?" Ayla hanya bersama Balqis, Yusuf belum pulang sekolah. Ayla menoleh ke kamar Balqis. Berusaha berhati-hati membukakan pintu takut Balqis terjaga. "Siapa,ya?" Mungkin ini salahnya membuka pintu langsung. Ayla cuma berpikir ini masih sangat pagi dan ia tidak punya firasat buruk. Yang datang Samir. Ayla terbengong karena pria itu tau-tau di sini."Assalamuaikum, Mbak. Aku disuruh Zu ke sini!" Ayla ber-ooh-ria dalam hati. Jadi dia kemari atas suruhan Zulaekah."Walaikumsallam. Tapi untuk apa?" "Gini Mbak. Kami berencana mengambil hak asuh Yusuf dan Balqis. Mbak juga tau, kami sebentar lagi akan menikah!" Terlalu kaget. Ayla membuka pintu semakin lebar. Pegangannya yang menahan pintu terlepas. "Apa? Gak bisa. Aku g
Ayla berusaha memutar tubuhnya lalu terlihat wajah tak tahu malu Samir sedang menjulurkan lidah. Tangan Ayla menampik bibir monyong Samir yang ingin mencium pipinya. "Ah! Tolong... Tolong!" Ayla berteriak, membuat Balqis bangun. Sayangnya pintu kamarnya ditutup dan Balqis masih kesulitan membuka knop pintu sendiri."Bunda. Bunda kenapa?" Resah Balqis berteriak juga berjingke berusaha meraih gagang pintu, ia membuang boneka yang tadi ia peluk dan sedikit loncat agar sampai, sayangnya knop pintunya masih terlalu keras untuk gadis kecil sepertinya.Baik Ayla dan Samir menatap arah kamar Balqis."Diam dan jangan berteriak!" Samir menunjuk wajah Ayla. Ia sudah berubah jadi monster yang hanya mementingkan birahinya tanpa memperdulikan tangisan Balqis.Kemudian, mulut Ayla dibekap kencang. Ayla cuma bisa bergumam membuat suara berharap Balqis berhenti menangis.Namun, yang paling melinukan, hatinya juga menangisi keadaan. Samir terlalu kuat untuk ia lawan sendiri.Bagaimanapun kekuatan pria
Nimas sudah keluar hutan. Beruntung ia tidak mengalami banyak hambatan kecuali wajahnya lesu terlalu kelelahan. Karena dirinya mengitari jalan berbeda dari biasanya, ia tidak langsung bertemu jalan raya tetapi sungai kecil dengan air yang cukup deras itu menantinya dan mesti ia seberangi. Nimas berpegangan pada setiap batu besar, jemari kaki mencengkram kerikil sampai rasanya telapak kakinya linu.Semua itu tidak Nimas pedulikan. Ia sudah sampai di sini. Pantang untuknya kembali. Setelah melalui sungai, Nimas memanjat ke atas tepi jalan dan menunggu mobil yang lewat. "Sebentar lagi subuh." Ia merasa ada kemungkinan bertemu dengan mobil pengangkut hewan ternak yang biasa akan ke pasar dan bisa ia mintai tolong. Nimas menunggu tanpa memperdulikan penampilannya yang kucal. Tapi itu bagus, orang-orang tidak akan bisa mengenalinya apa lagi ini masih sangat gelap. Nimas hanya berharap bukan para penjahat yang ditemuinya.Setengah jam menunggu, terlihat lampu mobil dari ujung berlawanan
Nimas menutup mata lekat. Tangannya ia letakkan di dada seraya merapal doa. Nimas tau, saat dirinya kabur. Artinya ia tidak bisa lagi bebas kembali ke makam ayahnya. Hal itu membuat air matanya jatuh tapi ia berusaha menahan sesenggukkan sampai rasanya dadanya sangat sesak. Sangat sakit bukan, tidak bisa mengunjungi makam orangtua saat rindu melanda. Tapi Nimas juga gak ingin menjadi istri kedua lelaki tua bangka. Tepat seperti dugaannya, beberapa orang terlihat mencarinya dengan tampang panik. Nimas yakin, mereka semua dimarahi oleh pak Rudi. Cepat ia memepet batang pohon. Berharap rindangnya dedauan dapat menutupi bayangannya. 'Apa aku naik saja ke atas?' Nimas ingin nekat panjat pohon. Tapi ia juga tidak begitu lihai, yang ada malah memancing keributan. Nimas mulai merapal doa. Ia sangat percaya, hanya doa yang bisa menyelamatkannya saat ini. Hasbunallah wa ni'mal wakiil(Cukuplah Allah menjadi penolong kami. Dan Allah adalah sebaik-baiknya pelindung)Doa yang terus ia lantun
Kesedihan masih membayanginya, dan kini Nimas kembali ditimpa masalah.Ditinggal sebatang kara di dunia yang belum puas ia kenali. Kekejaman ditunjukkan para warga, yang selama ini Nimas anggap sebagai saudara membuat ia putus asa. Namun, di tengah kegamangan yang Nimas rasakan. Pak Rudi memawarkan secercah sinar. Kabarnya lelaki itu punya sebidang tanah khusus makam keluarga. Di sana, Nimas diperbolehkan mensemayamkan jasad ayahnya."Alhamdulilah Ya Allah. Terima kasih, Pak." "Saya hanya membantu sebagai keluarga." Tanpa bertanya lebih lanjut, Nimas mengikuti setiap prosesi. Butuh satu jam untuk menyelesaikannya. Kini, ia terjongkok di samping papan nisan yang berdiri tegak seraya mengelusnya. "Abi gak perlu khawatirin aku. Aku pasti bisa mengurus diri aku sendiri." Gadis itu tersenyum, mencoba untuk kuat. Setelahnya, Nimas menghampiri pak Rudi demi menyampaikan rasa terima kasihnya sekali lagi. Habis itu Nimas berencana pulang lalu esoknya kembali menemani Ikhsan di rumah sakit
Dengan berat hati Nimas memberi kabar ke para pemangku wilayah di daerah kampungnya tentang kepergiaan abi Majid.Sementara di rumah sakit, ia telah mengurus ijin kepulangan jenazah. "Terima kasih pak Said. Mohon dibantu mencarikan tanah kuburan buat abi." Nimas menelpon dari telepon rumah sakit. Menurut pak Said, ia akan menyiarkan berita duka ini ke semua warga dan mungkin tidak lama akan ada mobil yang menjemput mereka. "Kamu yang sabar, Nimas." Nimas tersenyum tipis. Kata-kata pak Said cukup menghiburnya, tapi ada yang ia pikirkan. Yaitu nasib pria yang ia tolong, salah satu kenangan perbuatan baik abinya semasa hidup.Bila Nimas kembali ke desa untuk waktu lama, lalu pria itu dengan siapa?!Akhirnya Nimas menitipkan Fawaz pada seorang suster tua. "... saya minta tolong Suster. Saya harus kembali secepatnya. Tapi saya juga kesulitan meninggalkannya." Nimas melirik ke arah Fawaz. Suster bernama Jihan itu ikut merasakan kegelisahan yang Nimas rasakan. Bisa dilihat, Nimas sangat
"Hah! Mbak, benaran deh. Mbak gak bisa kayak gini. Mbak tau kan, seorang ayah bertanggung jawab menafkahi anak-anaknya. Meski mas Fawaz sudah gak ada, tapi dia punya harta peninggalan yang bisa diberikan ke Yusuf juga Balqis." Ayla yang menjalani musibah, Kia yang merasa tidak tahan. Melihat anak-anak Fawaz hidup hemat. Pun, Ayla yang mulai mencari pekerjaan sebagai penjaga toko.Katanya, selama menjaga toko roti itu Ayla boleh membawa Balqis. Gaji yang ditawarkan tidak besar. Tetapi Ayla begitu bersyukur masih bisa kerja.Kia menyentuh punggung tangan Ayla. "Mbak gak mau kan mas Fawaz gak tenang di sana karena mengabaikan anak dan istrinya." "Ki!" Ayla jadi tegas. Baginya, Fawaz tidak begitu. Ia tidak pernah mengabaikan keluarga. Malah, Fawaz selalu mengutamakan keluarga di atas segalanya. Tapi saat ini lelaki itu sudah habis kewajibannya. Giliran Ayla merawat kedua hatinya agar menjadi anak yang soleh dan soleha.Baru berharap demikian, ia mendengar keributan di luar."Mbak. Itu
Hari ini giliran Pierre mengajar di taman bersama anak-anak, ia sama sekali tidak terlihat risih. Pierre sampai berpikir apa 'kelainan' yang ia idap perlahan menghilang? Atau hanya faktor cuaca cerah dan berkumpul di taman yang lega membuat perasaannya lebih tentram.Semua pertanyaan anak-anak itu Pierre jawab dengan suka cita."Om udah punya anak belom?" "Belum, Shafea," jawab Pierre tersenyum pada anak usia enam tahun itu. "Kok belom sih?" Shafea tidak sepenuhnya percaya. Gaya anak itu untuk mengintrograsi dirinya membuat Pierre terkekeh geli."Yah Om nikah aja belum... ." Sedetik ia bilang begitu, beberapa gadis remaja melirik ke Pierre. Spontan Wishaka tertawa keras.Apa yang Pierre katakan ibaratnya seperti memberi umpan untuk ikan kelaparan. Sebab kini mereka belajar di tengah kerumunan banyak orang. 'Aduh gawat nih!' Pierre menutup muka cepat. Rasa groginya timbul lagi.Ide belajar di luar kelas darurat sepertinya tidak berjalan dengan baik.Malam harinya, setelah ia seles
Hari berganti hari, keadaan abi Majid masuk ke tahap kritis. Bukannya membaik, pak Majid malah semakin memprihatinkan. Sisi lain, Fawaz juga tidak lagi membuka mata semenjak hari itu. Dokter bilang, itu karena pasien masuk ke fase penyembuhan secara emosional setelah mengalami kecelakaan mendadak. "... sebaiknya kita tunggu pasien kembali siuman. Saat itu, barulah pemeriksaan selanjutnya bisa dilakukan," ucap dokter.Padahal mimpi Nimas sangat sederhana. Melihat kedua pria itu sadar, tapi jika sudah begini, rasanya sangat jauh dari khayalan. Hatinya bernas seiring dengan semangat yang semakin pupus. 'Bi. Tolong jangan tinggalkan aku sendiri.' Ia memohon, merengek agar abinya bisa membuka mata.Posisi yang tidak pernah Nimas harapkan terjadi. Namun mengapa ia malah terjebak di dalamnya. Ia merenung di depan kamar ICU. Seandainya ia tidak memaksa sang ayah membawa lelaki itu ke sini, kira-kira apa yang terjadi. Apa mungkin kejadian ini tidak pernah ada."Astagfirullah!" Nimas tidak
Ayla hanya ingin berpikir logis, alih-alih tidak terima Ayla menguatkan hati."Kita beresin aja dulu,ya. Yusuf sudah siapin apa saja yang mesti dibawa kan?" Yusuf mengangguk. Ia pergi ke kamarnya, sementara Ayla membantu Balqis membereskan barang-barang. Ayla membuka lemari pink dan menarik koper milik Balqis yang sudah disiapkannya."Kita bakal jauh,ya pindahnya, Bun. Ayah udah dikasih tau belum?" tanya Balqis sambil memakai tas ranselnya. Ayla berpura tidak dengar. Orang yang mengusir mereka berteriak dari luar. "Cepat. Kalian gak punya waktu buat berlama-lama.""Tuh Balqis. Kita diminta cepat. Ayok!" Ayla menuntun tangan Balqis. Diikuti Yusuf menarik koper kecil susah payah. Baru saja Kia berniat main ke rumah Ayla. Tapi ia melihat beberapa orang ramai di depan."Lho ada apa ini?" Kia memperhatikan pria-pria berotot itu secara intens."Ada apa,ya, Pak?" "Rumah ini harus segera dikosongkan!" Dengan angkuh salah satunya mengatakan hal tersebut. Ayla ke luar, "Mbak?!" Kia merasa
Zulaekah bersikukuh, mencoba mengeyampingkan logika.Soal itu, biar ia pikirkan nanti. Baginya menikah dengan Samir bertujuan menaiki nilai diri. Bukan cuma membina keluarga yang harmonis seperti harapan orang saat menikah.Samir menatap Zulaekah yang sibuk dengan pikirannya. "Kamu... tapi kamu mau ngbebasin aku kan?!" "Ya, Mas akan aku bebaskan kamu dengan jaminan." Bagi Zulaekah tidak perlu berunding dengan pelapor yang tak lain Adnan. Ia punya pengacara yang bisa mengurus hal ini.Zulaekah memaksakan senyum sembari menggenggam tangan Samir. "Mas tenang aja,ya!" Ia meyakini diri jika Samir adalah korban dan pastinya lelaki itu bisa berubah setelah mereka menikah.Pada kenyataannya, pernikahan bukan tempat seseorang untuk berubah. Sifat dan prilaku tidak semudah itu berganti kecuali ada niatan dalam diri. Melanjutkan pernikahan saat tau orang tersebut tidak layak lalu berharap pasangan bisa menjadi sosok yang diinginkan sama saja membohongi diri sendiri. ***Zulaekah mengetuk pin