Betty tidak bisa berpikir dengan jernih saat ini. Jantungnya berdetak dengan cepat saat pria yang bernama Chris membukakan pintu untuknya. Mau tidak mau Betty menurut dan masuk ke dalam mobil.
Betty baru saja mendengar kabar buruk. Rubby berada di rumah sakit sekarang. Entah apa yang terjadi tapi Betty yakin jika Rubby tidak mempunyai riwayat penyakit apapun. Lalu siapa orang-orang yang menjemputnya saat ini?
"Kalian siapa?" tanya Betty takut. Dari semua orang yang menjemputnya, tidak ada yang menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Hanya pria bernama Chris yang berbicara dengannya, itu pun juga secara singkat.
Tidak ada yang menjawab, Chris hanya melirik sebentar dan mengangguk. Seolah memberikan keyakinan pada Betty agar tidak khawatir dan percaya pada mereka. Anggap saja Betty bodoh karena langsung percaya begitu saja, tapi apa yang akan kau lakukan jika mendengar orang yang berarti dalam hidupmu berada di rumah sakit? Keraguan Betty sirna begitu mobil benar-benar memasuki area rumah sakit.
Betty turun dari mobil diikuti tiga pria di belakangnya. Chris berada di depannya seolah menjadi petunjuk arah. Risih karena tatapan banyak orang, akhirnya Betty memilih untuk menunduk dan mengeratkan mantelnya.
"Silahkan masuk.”
Ruangan rawat Rubby yang luas dan mewah membuat Betty terperangah. Dari mana sahabatnya itu mendapat uang untuk membayar semua ini? Hutang padanya saja Rubby belum membayar.
"Rubby," gumam Betty berjalan mendekat ke arah ranjang.
Sahabatnya itu sedang terbaring lemah dengan wajah pucatnya. Seketika Betty merasa sedih. Dia lebih menyukai Rubby yang ekspresif dan menyusahkan dari pada yang seperti ini. Saat Betty akan bertanya pada Chris, pria itu sudah tidak ada di tempat. Dia sendirian di ruangan ini.
Sialan! Sebenarnya apa yang terjadi Rubby?
***
Aldric menghentikan mobilnya di depan rumah sakit. Kedua alisnya terangkat begitu mobil yang dia ikuti berakhir di tempat ini. Aldric sebenarnya ingin menemui Betty, tapi niatnya harus sirna begitu melihat gadis itu keluar dengan beberapa pria di belakangnya. Tanpa ragu Aldric segera mengikuti ke mana Betty pergi.
Cukup lama Aldric menunggu di dalam mobil sampai akhirnya gadis bermantel tebal dengan kaca bata besarnya keluar dari lobi rumah sakit. Melihat jika Betty hanya sendiri, Aldric tidak ragu lagi untuk menghampirinya. Tanpa menyapa dan tersenyum, Aldric menarik tangan Betty untuk mengikutinya. Gadis itu reflek memberontak dan melepaskan diri. Aldric menatap Betty dengan tajam yang membuat gadis itu langsung terdiam. Aldric membuka pintu mobil dan mendorong Betty masuk.
Betty duduk dengan tegang dan membuat jarak sejauh mungkin dari pria yang tidak dia harapkan itu.
"Siapa tadi?" tanya Aldric tanpa basi-basi yang justru membuat Betty bingung.
"Siapa yang kau maksud?"
"Para pria yang membawamu tadi?"
Mata Betty membulat, "Kau mengikutiku?"
Aldric menatap Betty tajam, "Siapa mereka?" tanyanya lagi dengan nada yang lebih tinggi.
Betty menggigit bibirnya dan menunduk, "Aku tidak tahu."
"Bagaimana bisa kau tidak tahu?!" tanya Aldric tidak percaya. Gadis di sampingnya benar-benar bodoh.
"Aku memang tidak tahu! Mereka hanya memberitahu jika sahabatku berada di rumah sakit. Itu saja."
"Jadi kau tidak mengenal mereka?" tanya Aldric sekali lagi.
Betty menggeleng, "Memangnya kenapa?"
Aldric tidak menjawab dan mulai menjalankan mobil. Menjauh dari rumah sakit, "Lain kali jangan mudah percaya dengan orang asing."
Karena kau dalam bahaya saat ini.
"Aku hanya khawatir dengan sahabatku, dia memang berada di rumah sakit sekarang."
Aldric membuka jendela mobilnya dan mengambil puntung rokok baru. Betty mengerutkan dahinya tidak suka melihat itu. Kenapa saat bertemu Aldric, pria itu selalu merokok? Betty tidak menyukai bau rokok. Hal itu akan membuatnya ingat pada kakaknya yang sembrono itu.
"Bisakah kau tidak merokok?" tanya Betty memberanikan diri. Well, dia tidak setakut dulu. Ini sudah ketiga kalinya dia bertemu dengan Aldric.
"Tidak bisa," jawab Aldric begitu singkat, padat, dan menyebalkan.
"Aku tidak menyukai bau rokok."
"Bukan urusanku."
Betty semakin kesal, "Kalau begitu turunkan aku."
Aldric melirik sebentar dan mendengkus. Dia membuang puntung rokok itu keluar jendela. "Puas?"
"Ini lebih baik, terima kasih."
Tidak ada yang berbicara setelah itu. Mobil tetap melaju sampai melewati ladang yang sudah layu, efek musim dingin yang akan segera datang. Sadar akan sesuatu, Betty menegakkan tubuhnya dan menatap Aldric bingung.
"Kau akan membawaku ke mana?"
"Ke tempat yang aman.” Aldric masih fokus dengan jalanan.
"Kau tidak bisa membawaku pergi begitu saja, aku harus menjaga sahabatku!" Betty mulai panik. Dia takut diculik.
"Jangan konyol, banyak perawat dan satpam di rumah sakit. Sahabatmu akan baik-baik saja."
"Aldric aku serius, kau akan membawaku ke mana?!" teriak Betty kesal.
"Kecilkan suaramu! Aku tidak tuli,” bentak Aldric, "Simpan pertanyaanmu untuk nanti, setelah sampai aku akan menjelaskan semuanya."
Betty memilih diam. Dia masih menyayangi nyawanya. Betty tidak mau mati konyol hanya karena tidak menurut pada Aldric. Pria itu begitu sulit ditebak. Sangat misterius dan tak tersentuh.
Mobil mulai memasuki pekarangan rumah sederhana dengan dua lantai. Tidak begitu istimewa namun begitu mencolok karena hanya rumah ini yang berdiri sendiri di pinggir ladang. Rumah lainnya saling berdekatan, berbeda dengan rumah ini.
Betty melirik jam tangannya sebentar, butuh waktu satu jam untuk sampai ke tempat ini. Aldric terlihat memasuki garasi yang terbuka lebar. Banyak sekali mobil dan motor di sana, bahkan ada bangkai mobil yang habis karena terbakar. Seorang pria keluar dari sana dan menatapnya terkejut, tapi sedetik kemudian dia beralih pada Aldric dan menepuk bahunya pelan.
Ah ternyata pria menakutkan itu juga mempunyai teman.
"Hai!" sapa pria berwajah Asia yang menyapa Aldric tadi.
Betty hanya tersenyum dan melambaikan tangannya. Dia tidak tahu harus melakukan apa. Dia merasa asing pada tempat ini.
"Tidak perlu canggung, anggap saja rumah sendiri." Pria itu tersenyum dan Betty merasa lega, setidaknya ada manusia normal di sini.
"Namaku Roy, teman Aldric atau bisa dibilang pegawainya juga."
"Aku Betty," jawab Betty dengan tersenyum. Namun matanya bergerak memperhatikan garasi yang cukup sesak dengan peralatan otomotif.
"Maaf dengan kekacauan ini, aku harus menyelesaikan dua mobil sekaligus." Tunjuk Roy pada mobil Audi dan Range Rover di depannya.
"Ini bengkel?" tanya Betty polos.
Roy tertawa, "Bukan. Tapi bisa juga disebut bengkel pribadi."
"Pribadi?" Betty tampak terkejut.
"Ya, Aldric menyukai otomotif."
Betty menatap Roy tidak percaya, "Ini semua milik Aldric?"
"Sudahlah, lebih baik kau masuk." Roy mendorong bahu Betty untuk masuk ke dalam rumah, melewati pintu garasi, "Aku tidak percaya Aldric benar-benar membawa gadisnya ke mari."
"Apa katamu?"
"Ah— tidak, lebih baik kau masuk sebelum Al mengamuk."
Betty melangkah pelan begitu tubuhnya mulai memasuki bagian dalam rumah. Satu set sofa berwarna coklat langsung menyambutnya. Terdapat TV di tengah ruangan dan lemari besar yang penuh akan buku.
Betty senang melihat pemandangan itu. Dia menyukai buku. Jika tempat ini adalah rumahnya, mungkin dia akan berlari dan menubrukkan dirinya di atas tumpukan buku.
Betty berdiri di pinggir sofa dan melepaskan mantelnya. Dia kembali masuk lebih dalam karena menghirup aroma wangi dari masakan. Langkahnya membawanya ke sebuah ruangan yang merupakan dapur.
Terlihat Aldric berdiri di sana dengan kaos putihnya. Entah apa yang Betty pikirkan tapi pria itu terlihat mengagumkan saat berkutat dengan kompor seperti ini.
Menyadari keberadaannya, Aldric menoleh dan memberi isyarat Betty untuk mendekat. Pria itu menunjuk kursi di pantry dan meminta Betty untuk duduk di sana. Tidak lama, Aldric menghampirinya dengan sepiring telur acak dengan roti panggang.
"Scramble egg?" tanya Aldric meletakkan piringnya di hadapan Betty, "Aku hanya mempunyai telur."
Betty mengangguk dan menarik piringnya mendekat, "Ini memang menu sarapan, tapi tidak masalah. Aku sudah lapar."
Betty makan dengan diam. Bahkan keberadaan Aldric yang menatapnya makan dengan lahap tidak mengganggunya sama sekali. Harus diakui jika masakan sederhana ini begitu nikmat di lidah Betty. Entah karena efek lapar atau memang tangan Aldric yang lihai dalam mengolah bumbu.
"Ini enak," ucap Betty mendorong piring yang sudah kosong itu menjauh. Hanya butuh 7 menit untuknya menghabiskan makanan itu.
Mau tidak mau Aldric tersenyum tipis melihat tingkah konyol Betty. Tidak ingin memperlihatkan senyumnya, Aldric membawa piring kotor itu dan memasukkannya ke tempat cuci piring.
"Jadi kenapa kau membawaku ke mari?" tanya Betty memulai pembicaraan dengan serius.
Aku tidak tahu!
Aldric menatap Betty dalam. Lagi-lagi dia terhanyut dengan mata indah itu. Bahkan kaca mata tebal yang digunakan Betty tidak menutupi keindahan matanya sedikitpun. Aldric menunduk dan mengumpat. Rasa ingin mendekat dan merengkuh wajah polos itu begitu hebat menyerangnya.
“Al?” panggil Betty sekali lagi.
"Ada sesuatu." Aldric mengangkat kepalanya dan berbicara, "Mungkin untuk ke depannya kita akan lebih sering berjumpa."
"Aku tidak mengerti," jawab Betty jujur.
"Aku tidak bisa mengatakan apa yang terjadi. Hanya saja aku akan mengawasimu."
"Kau tidak bisa berbuat seenaknya seperti ini!" Betty mulai kesal dengan tingkah misterius Aldric.
"Jika aku berkata kau sedang dalam bahaya apa kau akan menurut sekarang?" Aldric menjauh dari area dapur dan duduk di sofa.
Betty mengikuti Aldric dengan bingung, "Bahaya? Aku tidak mengerti."
"Kau ingat saat aku membawamu ke bawah jembatan?"
Betty mengangguk. Tentu saja dia ingat! Aldric hampir saja membuatnya jantungan malam itu.
"Semua bermula dari sana. Kau tidak perlu khawatir, selama aku mengawasimu kau akan baik-baik saja."
Betty terdiam. Mencerna apa yang sudah Aldric jelaskan. Pria itu tidak memberitahunya secara detail. Apa Betty bisa percaya begitu saja mengingat jika pria itu baru saja menasihatinya untuk tidak mudah percaya dengan orang asing.
"Jadi apa yang harus kulakukan?" tanya Betty lirih.
Aldric berdiri, "Tidak ada. Kau bisa melakukan kegiatanmu seperti biasa tapi ingat, aku selalu mengawasimu."
Betty mengangguk seperti orang bodoh. Jika menyangkut bahaya, dia tidak bisa melakukan apa-apa. Setidaknya apa yang Aldric katakan tadi akan membuatnya sedikit berhati-hati.
"Ayo ikut aku." Aldric menaiki tangga diikuti Betty di belakangnya. Setelah dilihat-lihat, rumah ini begitu nyaman. Memang di bagian garasi terlihat berantakan, tapi itu memang ciri khas dari sebuah bengkel bukan?
Aldric membuka sebuah ruangan dan meminta Betty untuk masuk. Sebuah kamar tidur dengan ranjang berukuran sedang yang berbalut kain bermotif yang lucu. Merasa aneh, Betty berbalik menatap Aldric. "Ini kamarmu?"
Aldric mendengus dengan kebodohan gadis di depannya, "Ini kamar adikku. Kau bisa beristirahat di sini."
Betty menggeleng cepat, "Aku ingin pulang."
"Tidak, nanti sore aku akan kembali mengantarmu ke rumah sakit."
"Tapi—"
"Aku ada di garasi jika kau mencariku." Potong Aldric cepat dan menutup pintu dengan keras. Betty memejamkan matanya melihat itu, dia harus ekstra sabar menghadapi tingkah Aldric yang semaunya.
***
Aldric membuka lemari pendingin dan mengambil satu botol air mineral dingin. Entah kenapa tubuhnya begitu panas. Apalagi saat berada di dekat Betty. Aldric tidak bisa membohongi diri jika tubuhnya memang bereaksi berbeda saat berada di dekat gadis itu.
"Aku pikir kau hanya akan menemuinya, tapi ternyata kau juga membawanya ke mari." ucapan Roy tidak mengusik Aldric sama sekali. Pria itu kembali mengambil botol baru dan meneguk isinya, kali ini hanya setengah.
"Jadi, ada apa Al?"
"Apa maksudmu? Aku tidak mengerti." Aldric berjalan menjauh menuju garasi.
Roy mengikuti langkah Aldric sambil mengelap tangannya yang kotor dengan kain, "Well, membawanya ke tempat ini, membuatkannya makanan, dan membiarkannya tidur di ranjang Abigail? Dia wanita yang pertama bukan?"
Aldric menghentikan gerakan tangannya yang sedang mengelap mobil, tapi dia kembali melanjutkan kegiatannya lagi dengan acuh. Aldric bertingkah seolah tidak terusik, tapi sebenarnya ucapan Roy sedikit mengganggunya.
"Betty adalah wanita pertama yang kau pedulikan setelah Kate pergi."
Aldric tetap memilih diam dengan kegiatannya. Namun keahliannya dalam multitasking tidak menghentikannya untuk berpikir. Aldric mencerna ucapan Roy dengan baik. Ketenangan itu yang justru membuat Roy yakin jika Aldric akan membuka hatinya kembali untuk gadis bernama Betty.
***
TBC
Lukas membuang topeng hitamnya ke tempat sampah saat akan masuk ke dalam bar. Tangan kanannya membawa tas yang penuh akan uang untuk membayar hutangnya pada Aldric. Hari ini adalah hari terakhir kesempatannya dan sepertinya pria itu sudah menunggu di dalam.Lukas mengedarkan pandangannya ke segala arah dan menemukan seorang pria berkaos hitam yang sedang duduk sendirian. Selalu seperti itu, padahal bisa dibilang Aldric adalah Dewa judi tapi dia tidak akan bermain jika tidak ada yang menantangnya. Orang-orang di sini cukup pintar dan waras untuk tidak mengajak Aldric bermain karena tahu akan bagaimana akhirnya. Hanya Lukas bodoh yang berani melakukannya. Dia seperti terobsesi untuk mengalahkan Aldric.Dengan langkah mantap, Lukas menghampiri Aldric dan duduk di sampingnya. Meminum dengan asal minuman yang Aldric pesan tanpa rasa sungkan. Aldric hanya melirik sebentar dan menghembuskan asap rokoknya, matanya dengan lihai melihat para wanita yang berusaha menggodanya, tapi sayang dia tid
Aldric menatap gadis yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit dengan tatapan kosong. Kedua tangannya terkepal saat ingatan tentang Pedro kembali menghantuinya. Aldric menggeram. Dia tidak menyangka jika Pedro kembali mengganggu hidupnya. Tidakkah cukup dia menembak kepala Abi dengan timah panas? Dan kali ini Pedro kembali mengusiknya melalui Betty.Si gadis kaca mata, batin Aldric dengan senyuman tipis. Dia mendekat ke arah ranjang dan memasukkan kedua tangannya ke dalam saku. Tidak berniat untuk menyentuh adiknya."Terima kasih karena sudah mau menjenguknya. Aku yakin dia merindukanmu," ucap wanita tua yang duduk di sofa. Sibuk merajut sebuah cardigan yang entah ke berapa kalinya itu."Kesehatannya menurun, apa benar?" tanya Aldric bergerak menyentuh tangan Abigail. Hanya satu jari dan dia kembali menarik tangannya menjauh."Ya, seminggu yang lalu."Aldric mengangkat wajahnya tidak suka, "Kenapa kau tidak memberitahuku?""Maaf, tapi Simon melarangku."Aldric berdecak, "Aku yang me
Betty turun dari mobil dengan berat hati. Tangannya bergerak memeluk tubuhnya sendiri untuk menghalangi angin malam yang berhembus. Aldric benar-benar membawanya ke rumah lagi. Betty sempat melayangkan protes tapi begitu diingatkan dengan dua pria yang mengikutinya tadi, dia memilih diam."Kau tidak turun?" tanya Betty saat Aldric masih diam di dalam mobil."Tidak, kau masuklah."“Kau meninggalkanku sendiri?" tanya Betty khawatir.Aldric menatap Betty jengah, "Ada Roy di dalam. Aku pergi sebentar."Betty mengangguk d an mobil berlalu begitu saja. "Hati-hati," gumamnya saat mobil Aldric sudah menghilang dari pandangannya.Betty berlari kecil menuju pintu rumah. Dia menggeram pelan saat udara musim dingin begitu menusuk tulangnya. Untung saja keadaan rumah Aldric begitu hangat. Betty melepas mantelnya dan menggantungnya di lemari sebelah pintu masuk. Dia melihat ke sekitar dan tidak menemukan Roy di manapun.Langkah Betty membawanya masuk ke ruang tengah. Di sana dia melihat punggung te
Aldric memasuki kamarnya dengan langkah pelan, berusaha untuk tidak membangunkan Roy yang tampak tertidur pulas di sofa ruang tengah. Selain itu, dia juga tidak ingin membangunkan Betty yang tengah terlelap di kamar Abigail.Aldric menyimpan pisau favoritnya ke dalam laci sebelum berbaring di atas ranjang. Belum sepenuhnya menutup mata, terdengar suara dering ponsel yang membuatnya kembali membuka mata.Unknown Number"Hadiah yang menarik," ucap seseorang di seberang sana yang membuat Aldric tersenyum."Kau menyukainya?""Tidak, tapi setidaknya itu menunjukkan jika kau masih seperti dulu."“Apa maumu?" tanya Aldric tidak ingin berbasa-basi."Membuat hidupmu menderita." Aldric semakin tersenyum mendengar itu."Hidupku memang tidak pernah bahagia," jawab Aldric penuh maksud tapi ekspresi wajahnya yang tenang seolah menutupi itu semua."Ya, sebelum wanita berkaca mata itu datang. Bisa-bisanya kau melupakan anakku begitu saja setelah apa yang kau lakukan?""Aku tidak pernah melupakan Kate
Aldric membersihkan tangannya setelah selesai berkutat dengan mobil sport yang dia perbaiki. Udara pagi di musim dingin tidak membuat tubuhnya beku sedikitpun. Pintu garasi yang terbuka seolah memberikan angin segar tersendiri untuknya.Roy datang dari dalam rumah dengan sepiring penuh sosis bakar. Mulutnya sibuk mengunyah dan duduk di kursi kayu ujung ruangan."Kau tidak sarapan?" tanya Roy meminum sodanya. Sosis dan soda, perpaduan yang aneh untuk sarapan."Tidak.""Bagaimana dengan Pedro? Dia kembali mengganggumu?""Tidak.""Dengan Betty?" tanya Roy menggoda.Aldric terdiam sebelum akhirnya menggeleng, "Sepertinya juga tidak, dia tidak menghubungiku."Roy mendengkus, "Kau pikir dia akan menghubungimu? Jangan konyol!"Aldric tersenyum mendengar itu. Tentu saja Betty tidak akan menghubunginya. Tiga hari telah berlalu dan Aldric yakin jika Betty merasa bebas dari penjara. Memang mereka tidak bertemu secara langsung, tapi Aldric tetap mengawasi Betty."Apa kau tidak curiga karena Pedro
Betty keluar dari kamar saat sudah siap untuk berangkat bekerja. Matanya mengedar ke segala arah dan tidak menemukan adanya kehidupan. Dengan tergesa dia berkeliling untuk mencari Lukas. Tidak mungkin jika pria itu belum bangun, karena Betty tahu jika Lukas adalah tipe orang yang selalu bangun pagi. Hanya ada selimut yang tergeletak di atas lantai. Tangan Betty meraih selimut dan merapikannya. Pandangannya tertuju pada kertas bungkus roti isi semalam yang telah tersobek rapi. Di sana tertulis sebuah kalimat dari Lukas.Aku pergi malam ini, mungkin akan kembali siang. Tinggalkan kuncimu.Betty mendengkus membaca itu. Dia pikir Lukas merasa terhina dengan ucapannya semalam dan memilih pergi tapi ternyata dia akan kembali lagi nanti. Tentu saja! Betty tahu akan sifat Lukas yang tidak tahu diri itu.Betty keluar dari flat-nya dan melirik pintu sebelah kamarnya. Tangannya bergerak mengetuk pintu itu berharap jika Rubby akan keluar. Namun seperti biasa, tidak ada sahutan dari dalam. Sebenar
Cahaya matahari masuk ke dalam kamar dan membangunkan seorang gadis yang masih bergelung nyaman di balik selimut. Betty mengubah posisi tubuhnya dan semakin mengeratkan selimut yang melindungi tubuhnya dari hawa dingin. Dia sungguh lelah dan hanya ingin memejamkan mata. Kepalanya benar-benar pusing karena baru bisa tidur jam tiga pagi.Mata Betty perlahan terbuka saat rasa kantuk tidak lagi menyerangnya. Matanya mengerjap beberapa kali berusaha untuk menyesuaikan cahaya. Dia bangkit dari tempat tidur dan menatap dirinya di cermin. Daerah sekitar bawah matanya menghitam dan berubah mengerikan. Hal itu terjadi karena dia sulit untuk tidur nyenyak akhir-akhir ini. Bagaimana bisa dia tidur tenang jika banyak hal yang mengganggu sampai membuatnya takut?Betty merasakan tenggorokannya begitu kering dan dia memutuskan untuk ke dapur. Perutnya juga lapar, jadi dia bisa mencari makanan di sana, meskipun Betty yakin jika hanya ada telur, sosis, dan roti."Astaga!" Betty menutup matanya dan berb
Mobil berhenti tepat di depan flat Betty. Selama perjalanan, hanya ada keheningan di antara mereka. Betty tidak berharap lebih, Aldric memang tidak pandai untuk membangun interaksi."Terima kasih," ucap Betty ketika Aldric tidak membuka suara sedikitpun."Apa kau yakin?"Betty mengerutkan dahinya bingung, "Aku tidak mengerti.""Apa kau yakin akan kembali ke tempat ini?""Ini rumahku, ke mana lagi aku harus pulang?" tanya Betty bodoh.Aldric menatap Betty dalam, "Apa kau tidak takut?""Tentu saja aku takut! Kenapa masih bertanya?"Aldric mengalihkan pandangannya menatap jalanan yang mulai ramai. Dia masih tidak mengerti dengan jalan pikiran Betty. Jika dia masih takut kenapa harus kembali? Aldric tidak keberatan jika Betty kembali menggunakan kamar Abigail. Setidaknya gadis itu akan aman dari Pedro yang semakin menunjukkan rasa ketertarikannya."Keluarlah."Betty mengangguk dan segera membuka pintu. Belum benar-benar keluar, sebuah tarikan pada lengannya membuat Betty kembali masuk. Di