Share

6. Latar Belakang Keluarga

Lukas membuang topeng hitamnya ke tempat sampah saat akan masuk ke dalam bar. Tangan kanannya membawa tas yang penuh akan uang untuk membayar hutangnya pada Aldric. Hari ini adalah hari terakhir kesempatannya dan sepertinya pria itu sudah menunggu di dalam.

Lukas mengedarkan pandangannya ke segala arah dan menemukan seorang pria berkaos hitam yang sedang duduk sendirian. Selalu seperti itu, padahal bisa dibilang Aldric adalah Dewa judi tapi dia tidak akan bermain jika tidak ada yang menantangnya. Orang-orang di sini cukup pintar dan waras untuk tidak mengajak Aldric bermain karena tahu akan bagaimana akhirnya. Hanya Lukas bodoh yang berani melakukannya. Dia seperti terobsesi untuk mengalahkan Aldric.

Dengan langkah mantap, Lukas menghampiri Aldric dan duduk di sampingnya. Meminum dengan asal minuman yang Aldric pesan tanpa rasa sungkan. Aldric hanya melirik sebentar dan menghembuskan asap rokoknya, matanya dengan lihai melihat para wanita yang berusaha menggodanya, tapi sayang dia tidak tergoda.

Kecuali jika mereka adalah gadis berkaca mata itu.

"Ini, aku bayar malam ini. Lunas!" Lukas menepuk tasnya sebelum memberikannya pada Aldric.

Aldric membuka tas itu dan mengeceknya sebentar. Dia tidak perlu menghitungnya karena pemuda bodoh seperti Lukas tidak akan berani membohonginya. Hanya dengan tatapan tajam saja Lukas sudah dibuat ketakutan oleh Aldric.

"Kau terlambat 13 menit," jawab Aldric acuh.

Lukas berdecak, "Ayo lah, hanya 13 menit. Jangan berlebihan."

"Toko mana lagi yang kau rampok?"

Lukas mendengkus. Aldric selalu tahu apa yang dia lakukan. “Hanya sebuah toko kecil di gas station. Aku sudah mendapatkan sisanya dari adikku."

"Dasar kakak tidak berguna!" rutuk Aldric dan mematikan rokoknya.

"Hei! Ini juga karenamu yang selalu menang.”

"Konyol," gumam Aldric singkat dan berjalan meninggalkan Lukas.

"Kau ingin ke mana?" Lukas ikut berdiri dan berteriak, "Kita belum main malam ini, pinjami aku uang lagi dan aku pasti akan menang. Ric! Hei, Ric! Sialan!" Lukas berteriak dan mengumpat.

"Jaga mulutmu," ucap seseorang dari sebelahnya.

"Ah! Temanmu itu benar-benar menyebalkan. Dia tidak pernah membiarkanku menang." Lukas melirik Roy sebentar dan kembali duduk di kursi.

"Kau saja yang bodoh selalu menantangnya."

Lukas terdiam menatap gelas dingin di hadapannya. Tanpa aba-aba dia menoleh cepat ke arah Roy yang langsung terkejut karena gerakan refleknya.

"Sialan! Kau mengagetkanku bodoh!" rutuk Roy mengelus dadanya.

"Katakan apa rahasia Ric? Apa yang membuat dia selalu menang?” tanya Lukas menyentuh erat kedua bahu Roy.

"Berhenti bertingkah konyol!" Roy menghentakkan tangan Lukas dan berlalu pergi. Lebih baik dia pulang dan memeluk bemper mobil kesayangannya.

***

Betty mengusap kedua tangannya dan berjalan cepat memasuki apotek saat tubuhnya sudah tidak kuat lagi menahan hawa dingin. Seperti biasa, tubuhnya akan rentan jika memasuki musim dingin. Malam ini adalah puncaknya, hidung Betty sudah mulai buntu untuk menghirup udara dan dia membenci itu.

Sambil menunggu obatnya siap, mata Betty mengedar ke segala arah. Apotek yang berjarak dua blok dari flat-nya ini buka 24 jam dan dia bersyukur dengan itu. Stok obatnya sudah habis dan terpaksa harus membelinya di tengah malam seperti ini.

"Terima kasih," gumam Betty begitu menerima obat pesanannya. Sebelum keluar dari apotek, dia menghirup udara dalam dan memeluk tubuhnya sendiri. Seolah sedang bersiap untuk mengikuti lomba lari.

Benar saja, detik berikutnya Betty langsung berlari kecil untuk sampai ke flat-nya. Kali ini dia tidak melewati jalan pintas. Betty tidak mau jika harus menemukan mayat lain selain Gordon, atau yang lebih gilanya lagi dia akan berurusan dengan pria seperti Aldric.

Sambil menaikkan kaca matanya yang turun ke hidung, Betty mulai menyeberang jalan dengan menunduk. Langkahnya yang cepat membuatnya tidak sengaja menabrak seseorang dengan keras.

"Oh astaga! Maafkan aku!" Betty meminta maaf, padahal tubuhnya yang terjatuh.

"Tidak masalah," ucap pria itu dengan suara beratnya.

Betty mengangkat wajahnya dan menatap pria yang ada di hadapannya. Keningnya berkerut saat melihat pakaian yang pria itu pakai, sebuah jas yang berwarna putih terlihat cukup mencolok di tengah malam seperti ini. Betty mencoba berpikir positif, mungkin pria itu baru saja pulang dari pesta.

"Kau tidak apa?" tanya pria itu lagi yang entah membuat Betty merinding. Dalam artian benar-benar merinding. Dia ketakutan.

Mata Betty mengedar ke segala arah yang terlihat sangat sepi. Refleks dia mengeratkan mantelnya dan tersenyum kaku, "Aku tidak apa. Maaf, aku harus pergi."

Betty berlalu cepat membuat pria itu tersenyum sinis. Tangannya dengan gerakan elegan melambai dan langsung membuat 2 mobil yang terparkir di pinggir jalan mulai mendekatinya.

"Aku menemukannya, ikuti ke mana dia pulang," ucap pria itu pada mobil sedan yang langsung melakukan perintahnya.

Pria itu berlalu pada mobil kedua dan memasukinya, "Kita pulang."

"Baik, Pak."

Pria itu menyeringai di kegelapan malam. Dia tidak menyangka jika gadis pilihan Aldric kali ini akan berbeda. Sangat jauh dari sifat anaknya, begitu polos dan mudah diintimidasi.

***

Aldric menatap rumah sederhana di depannya dengan lekat. Lingkungan yang kumuh membuat si penghuni rumah tidak perlu memusingkan keadaan rumah. Tempat masa kecilnya itu tidak pernah berubah, bahkan terlihat semakin buruk dari hari ke hari.

Mungkin sudah 2 bulan Aldric tidak datang ke tempat ini. Tempat yang berjarak 3 jam dari rumahnya dan dihuni oleh wanita yang melahirkannya. Perlahan Aldric mendekat dan berjalan hingga ke bagian belakang rumah. Tangannya mencongkel jendela yang dengan sangat mudah karena memang sudah rusak—akibat ulahnya yang terus memaksa masuk selama ini—sebelumnya.

Jendela itu membawanya langsung ke arah dapur. Aldric berjalan dengan acuh tanpa takut ketahuan oleh si pemilih rumah. Dia membuka pintu sebuah kamar dan menemukan seorang wanita paruh baya yang tengah tertidur dengan meringkuk. Tubuhnya jauh lebih kurus dari yang terakhir Aldric lihat.

Dia melirik Ibunya dan meja secara bergantian. Terlihat ada banyak pil yang sering wanita itu konsumsi beberapa tahun terakhir ini. Aldric tersenyum tipis melihat itu. Jika seperti ini terus dia hanya bisa berharap jika Ibunya akan cepat mati.

Aldric berjongkok dan memasukkan tas berisi uang yang diberikan Lukas tadi ke kolong tempat tidur. Dia selalu melakukan ini setiap 2 bulan sekali, memberi Ibunya uang tanpa adanya komunikasi. Aldric tahu jika uang itu akan habis untuk narkoba dan bersenang-senang dengan kekasihnya. Namun Aldric tidak mempermasalahkan itu, dia malah berharap Ibunya cepat mati karena overdosis. Anggap saja dia durhaka, karena itu memang benar. Ada kewajiban dan keinginan yang membuat Aldric melakukan ini.

Aldric keluar dari kamar dan kembali ke dapur. Dia akan pergi tapi sebelum itu dia mengambil tiga botol beer persediaan di dalam lemari. Sebelum keluar, terdengar suara bariton yang membuat langkah Aldric terhenti.

"Menjenguk ibumu lagi?" tanya Simon —kekasih ibunya— dengan tubuh kotornya, khas seorang pemabuk.

Aldric hanya mengangguk. Dia malas berurusan dengan pria parasit seperti Simon. Benar-benar menjijikkan! Jika tidak lupa bahwa dia yang menemani ibunya selama ini tentu Aldric tidak ragu untuk menebas kepalanya dan memajangnya di rumah.

"Apa kau membawa uang? Karena jika tidak aku tidak akan membiarkanmu keluar dengan beer-ku."

"Cukup untuk membuat kalian mati karena overdosis," balas Aldric santai.

Tanpa diduga Simon tertawa, "Tidak pernah mengecewakan seperti biasa."

Aldric mendengkus dan kembali berniat untuk keluar dari neraka kecil ini.

"Oh iya, Al. Mungkin kau harus menjenguk adikmu." Aldric menghentikan gerakannya dan menatap Simon dengan tatapan tajam. Dia tidak suka jika pria itu membahas adiknya.

"Hei! Santai lah. Aku tidak mencoba memperkosanya lagi. Dia semakin kurus, aku tidak berselera." Simon tertawa melihat ekspresi Aldric.

Mata Aldric terpejam dengan tangan yang mengepal erat. Dengan cepat, dia melempar beer di tangannya ke luar jendela dan mendekat ke arah Simon.

"Apa? Kau tidak terima?" tanya Simon dengan tertawa, "Pukul aku! Aku yakin ibumu akan terkejut dengan apa yang aku katakan nanti."

Aldric menyeringai, "Apa kau lupa jika aku bisa membungkam mulutmu untuk selamanya sebelum itu terjadi."

Simon tersenyum remeh, "Lakukan saja, lalu ibumu akan sendirian dan berubah menjadi gila!"

"Sialan!" Aldric memukul Simon keras. Bahkan pria itu langsung terjatuh dengan darah yang keluar dari mulutnya, menandakan betapa kerasnya pukulan Aldric.

"Ini sakit bodoh!" rutuk Simon dan berkumur dengan beer di genggamannya.

"Jaga mulutmu atau aku benar-benar akan mengukir lehermu dengan gunting taman,” ancam Aldric dan berlalu pergi.

"Hei, aku serius! Kunjungi Abigail, kesehatannya menurun. Aku takut kau tidak bisa melihatnya jika dia mati nanti!" teriak Simon.

Aldric membuka pintu mobil dan melempar beer-nya begitu saja ke kursi belakang. Tangannya mengusap wajahnya dengan pelan. Ucapan Simon kembali terngiang-ngiang di kepalanya.

Kesehatan Abi menurun.

***

TBC

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status