Lukas membuang topeng hitamnya ke tempat sampah saat akan masuk ke dalam bar. Tangan kanannya membawa tas yang penuh akan uang untuk membayar hutangnya pada Aldric. Hari ini adalah hari terakhir kesempatannya dan sepertinya pria itu sudah menunggu di dalam.
Lukas mengedarkan pandangannya ke segala arah dan menemukan seorang pria berkaos hitam yang sedang duduk sendirian. Selalu seperti itu, padahal bisa dibilang Aldric adalah Dewa judi tapi dia tidak akan bermain jika tidak ada yang menantangnya. Orang-orang di sini cukup pintar dan waras untuk tidak mengajak Aldric bermain karena tahu akan bagaimana akhirnya. Hanya Lukas bodoh yang berani melakukannya. Dia seperti terobsesi untuk mengalahkan Aldric.Dengan langkah mantap, Lukas menghampiri Aldric dan duduk di sampingnya. Meminum dengan asal minuman yang Aldric pesan tanpa rasa sungkan. Aldric hanya melirik sebentar dan menghembuskan asap rokoknya, matanya dengan lihai melihat para wanita yang berusaha menggodanya, tapi sayang dia tidak tergoda.Kecuali jika mereka adalah gadis berkaca mata itu."Ini, aku bayar malam ini. Lunas!" Lukas menepuk tasnya sebelum memberikannya pada Aldric.Aldric membuka tas itu dan mengeceknya sebentar. Dia tidak perlu menghitungnya karena pemuda bodoh seperti Lukas tidak akan berani membohonginya. Hanya dengan tatapan tajam saja Lukas sudah dibuat ketakutan oleh Aldric."Kau terlambat 13 menit," jawab Aldric acuh.Lukas berdecak, "Ayo lah, hanya 13 menit. Jangan berlebihan.""Toko mana lagi yang kau rampok?"Lukas mendengkus. Aldric selalu tahu apa yang dia lakukan. “Hanya sebuah toko kecil di gas station. Aku sudah mendapatkan sisanya dari adikku.""Dasar kakak tidak berguna!" rutuk Aldric dan mematikan rokoknya."Hei! Ini juga karenamu yang selalu menang.”"Konyol," gumam Aldric singkat dan berjalan meninggalkan Lukas."Kau ingin ke mana?" Lukas ikut berdiri dan berteriak, "Kita belum main malam ini, pinjami aku uang lagi dan aku pasti akan menang. Ric! Hei, Ric! Sialan!" Lukas berteriak dan mengumpat."Jaga mulutmu," ucap seseorang dari sebelahnya."Ah! Temanmu itu benar-benar menyebalkan. Dia tidak pernah membiarkanku menang." Lukas melirik Roy sebentar dan kembali duduk di kursi."Kau saja yang bodoh selalu menantangnya."Lukas terdiam menatap gelas dingin di hadapannya. Tanpa aba-aba dia menoleh cepat ke arah Roy yang langsung terkejut karena gerakan refleknya."Sialan! Kau mengagetkanku bodoh!" rutuk Roy mengelus dadanya."Katakan apa rahasia Ric? Apa yang membuat dia selalu menang?” tanya Lukas menyentuh erat kedua bahu Roy."Berhenti bertingkah konyol!" Roy menghentakkan tangan Lukas dan berlalu pergi. Lebih baik dia pulang dan memeluk bemper mobil kesayangannya.***Betty mengusap kedua tangannya dan berjalan cepat memasuki apotek saat tubuhnya sudah tidak kuat lagi menahan hawa dingin. Seperti biasa, tubuhnya akan rentan jika memasuki musim dingin. Malam ini adalah puncaknya, hidung Betty sudah mulai buntu untuk menghirup udara dan dia membenci itu.Sambil menunggu obatnya siap, mata Betty mengedar ke segala arah. Apotek yang berjarak dua blok dari flat-nya ini buka 24 jam dan dia bersyukur dengan itu. Stok obatnya sudah habis dan terpaksa harus membelinya di tengah malam seperti ini."Terima kasih," gumam Betty begitu menerima obat pesanannya. Sebelum keluar dari apotek, dia menghirup udara dalam dan memeluk tubuhnya sendiri. Seolah sedang bersiap untuk mengikuti lomba lari.Benar saja, detik berikutnya Betty langsung berlari kecil untuk sampai ke flat-nya. Kali ini dia tidak melewati jalan pintas. Betty tidak mau jika harus menemukan mayat lain selain Gordon, atau yang lebih gilanya lagi dia akan berurusan dengan pria seperti Aldric.Sambil menaikkan kaca matanya yang turun ke hidung, Betty mulai menyeberang jalan dengan menunduk. Langkahnya yang cepat membuatnya tidak sengaja menabrak seseorang dengan keras."Oh astaga! Maafkan aku!" Betty meminta maaf, padahal tubuhnya yang terjatuh."Tidak masalah," ucap pria itu dengan suara beratnya.Betty mengangkat wajahnya dan menatap pria yang ada di hadapannya. Keningnya berkerut saat melihat pakaian yang pria itu pakai, sebuah jas yang berwarna putih terlihat cukup mencolok di tengah malam seperti ini. Betty mencoba berpikir positif, mungkin pria itu baru saja pulang dari pesta."Kau tidak apa?" tanya pria itu lagi yang entah membuat Betty merinding. Dalam artian benar-benar merinding. Dia ketakutan.Mata Betty mengedar ke segala arah yang terlihat sangat sepi. Refleks dia mengeratkan mantelnya dan tersenyum kaku, "Aku tidak apa. Maaf, aku harus pergi."Betty berlalu cepat membuat pria itu tersenyum sinis. Tangannya dengan gerakan elegan melambai dan langsung membuat 2 mobil yang terparkir di pinggir jalan mulai mendekatinya."Aku menemukannya, ikuti ke mana dia pulang," ucap pria itu pada mobil sedan yang langsung melakukan perintahnya.Pria itu berlalu pada mobil kedua dan memasukinya, "Kita pulang.""Baik, Pak."Pria itu menyeringai di kegelapan malam. Dia tidak menyangka jika gadis pilihan Aldric kali ini akan berbeda. Sangat jauh dari sifat anaknya, begitu polos dan mudah diintimidasi.***Aldric menatap rumah sederhana di depannya dengan lekat. Lingkungan yang kumuh membuat si penghuni rumah tidak perlu memusingkan keadaan rumah. Tempat masa kecilnya itu tidak pernah berubah, bahkan terlihat semakin buruk dari hari ke hari.Mungkin sudah 2 bulan Aldric tidak datang ke tempat ini. Tempat yang berjarak 3 jam dari rumahnya dan dihuni oleh wanita yang melahirkannya. Perlahan Aldric mendekat dan berjalan hingga ke bagian belakang rumah. Tangannya mencongkel jendela yang dengan sangat mudah karena memang sudah rusak—akibat ulahnya yang terus memaksa masuk selama ini—sebelumnya.Jendela itu membawanya langsung ke arah dapur. Aldric berjalan dengan acuh tanpa takut ketahuan oleh si pemilih rumah. Dia membuka pintu sebuah kamar dan menemukan seorang wanita paruh baya yang tengah tertidur dengan meringkuk. Tubuhnya jauh lebih kurus dari yang terakhir Aldric lihat.Dia melirik Ibunya dan meja secara bergantian. Terlihat ada banyak pil yang sering wanita itu konsumsi beberapa tahun terakhir ini. Aldric tersenyum tipis melihat itu. Jika seperti ini terus dia hanya bisa berharap jika Ibunya akan cepat mati.Aldric berjongkok dan memasukkan tas berisi uang yang diberikan Lukas tadi ke kolong tempat tidur. Dia selalu melakukan ini setiap 2 bulan sekali, memberi Ibunya uang tanpa adanya komunikasi. Aldric tahu jika uang itu akan habis untuk narkoba dan bersenang-senang dengan kekasihnya. Namun Aldric tidak mempermasalahkan itu, dia malah berharap Ibunya cepat mati karena overdosis. Anggap saja dia durhaka, karena itu memang benar. Ada kewajiban dan keinginan yang membuat Aldric melakukan ini.Aldric keluar dari kamar dan kembali ke dapur. Dia akan pergi tapi sebelum itu dia mengambil tiga botol beer persediaan di dalam lemari. Sebelum keluar, terdengar suara bariton yang membuat langkah Aldric terhenti."Menjenguk ibumu lagi?" tanya Simon —kekasih ibunya— dengan tubuh kotornya, khas seorang pemabuk.Aldric hanya mengangguk. Dia malas berurusan dengan pria parasit seperti Simon. Benar-benar menjijikkan! Jika tidak lupa bahwa dia yang menemani ibunya selama ini tentu Aldric tidak ragu untuk menebas kepalanya dan memajangnya di rumah."Apa kau membawa uang? Karena jika tidak aku tidak akan membiarkanmu keluar dengan beer-ku.""Cukup untuk membuat kalian mati karena overdosis," balas Aldric santai.Tanpa diduga Simon tertawa, "Tidak pernah mengecewakan seperti biasa."Aldric mendengkus dan kembali berniat untuk keluar dari neraka kecil ini."Oh iya, Al. Mungkin kau harus menjenguk adikmu." Aldric menghentikan gerakannya dan menatap Simon dengan tatapan tajam. Dia tidak suka jika pria itu membahas adiknya."Hei! Santai lah. Aku tidak mencoba memperkosanya lagi. Dia semakin kurus, aku tidak berselera." Simon tertawa melihat ekspresi Aldric.Mata Aldric terpejam dengan tangan yang mengepal erat. Dengan cepat, dia melempar beer di tangannya ke luar jendela dan mendekat ke arah Simon."Apa? Kau tidak terima?" tanya Simon dengan tertawa, "Pukul aku! Aku yakin ibumu akan terkejut dengan apa yang aku katakan nanti."Aldric menyeringai, "Apa kau lupa jika aku bisa membungkam mulutmu untuk selamanya sebelum itu terjadi."Simon tersenyum remeh, "Lakukan saja, lalu ibumu akan sendirian dan berubah menjadi gila!""Sialan!" Aldric memukul Simon keras. Bahkan pria itu langsung terjatuh dengan darah yang keluar dari mulutnya, menandakan betapa kerasnya pukulan Aldric."Ini sakit bodoh!" rutuk Simon dan berkumur dengan beer di genggamannya."Jaga mulutmu atau aku benar-benar akan mengukir lehermu dengan gunting taman,” ancam Aldric dan berlalu pergi."Hei, aku serius! Kunjungi Abigail, kesehatannya menurun. Aku takut kau tidak bisa melihatnya jika dia mati nanti!" teriak Simon.Aldric membuka pintu mobil dan melempar beer-nya begitu saja ke kursi belakang. Tangannya mengusap wajahnya dengan pelan. Ucapan Simon kembali terngiang-ngiang di kepalanya.Kesehatan Abi menurun.***TBCAldric menatap gadis yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit dengan tatapan kosong. Kedua tangannya terkepal saat ingatan tentang Pedro kembali menghantuinya. Aldric menggeram. Dia tidak menyangka jika Pedro kembali mengganggu hidupnya. Tidakkah cukup dia menembak kepala Abi dengan timah panas? Dan kali ini Pedro kembali mengusiknya melalui Betty.Si gadis kaca mata, batin Aldric dengan senyuman tipis. Dia mendekat ke arah ranjang dan memasukkan kedua tangannya ke dalam saku. Tidak berniat untuk menyentuh adiknya."Terima kasih karena sudah mau menjenguknya. Aku yakin dia merindukanmu," ucap wanita tua yang duduk di sofa. Sibuk merajut sebuah cardigan yang entah ke berapa kalinya itu."Kesehatannya menurun, apa benar?" tanya Aldric bergerak menyentuh tangan Abigail. Hanya satu jari dan dia kembali menarik tangannya menjauh."Ya, seminggu yang lalu."Aldric mengangkat wajahnya tidak suka, "Kenapa kau tidak memberitahuku?""Maaf, tapi Simon melarangku."Aldric berdecak, "Aku yang me
Betty turun dari mobil dengan berat hati. Tangannya bergerak memeluk tubuhnya sendiri untuk menghalangi angin malam yang berhembus. Aldric benar-benar membawanya ke rumah lagi. Betty sempat melayangkan protes tapi begitu diingatkan dengan dua pria yang mengikutinya tadi, dia memilih diam."Kau tidak turun?" tanya Betty saat Aldric masih diam di dalam mobil."Tidak, kau masuklah."“Kau meninggalkanku sendiri?" tanya Betty khawatir.Aldric menatap Betty jengah, "Ada Roy di dalam. Aku pergi sebentar."Betty mengangguk d an mobil berlalu begitu saja. "Hati-hati," gumamnya saat mobil Aldric sudah menghilang dari pandangannya.Betty berlari kecil menuju pintu rumah. Dia menggeram pelan saat udara musim dingin begitu menusuk tulangnya. Untung saja keadaan rumah Aldric begitu hangat. Betty melepas mantelnya dan menggantungnya di lemari sebelah pintu masuk. Dia melihat ke sekitar dan tidak menemukan Roy di manapun.Langkah Betty membawanya masuk ke ruang tengah. Di sana dia melihat punggung te
Aldric memasuki kamarnya dengan langkah pelan, berusaha untuk tidak membangunkan Roy yang tampak tertidur pulas di sofa ruang tengah. Selain itu, dia juga tidak ingin membangunkan Betty yang tengah terlelap di kamar Abigail.Aldric menyimpan pisau favoritnya ke dalam laci sebelum berbaring di atas ranjang. Belum sepenuhnya menutup mata, terdengar suara dering ponsel yang membuatnya kembali membuka mata.Unknown Number"Hadiah yang menarik," ucap seseorang di seberang sana yang membuat Aldric tersenyum."Kau menyukainya?""Tidak, tapi setidaknya itu menunjukkan jika kau masih seperti dulu."“Apa maumu?" tanya Aldric tidak ingin berbasa-basi."Membuat hidupmu menderita." Aldric semakin tersenyum mendengar itu."Hidupku memang tidak pernah bahagia," jawab Aldric penuh maksud tapi ekspresi wajahnya yang tenang seolah menutupi itu semua."Ya, sebelum wanita berkaca mata itu datang. Bisa-bisanya kau melupakan anakku begitu saja setelah apa yang kau lakukan?""Aku tidak pernah melupakan Kate
Aldric membersihkan tangannya setelah selesai berkutat dengan mobil sport yang dia perbaiki. Udara pagi di musim dingin tidak membuat tubuhnya beku sedikitpun. Pintu garasi yang terbuka seolah memberikan angin segar tersendiri untuknya.Roy datang dari dalam rumah dengan sepiring penuh sosis bakar. Mulutnya sibuk mengunyah dan duduk di kursi kayu ujung ruangan."Kau tidak sarapan?" tanya Roy meminum sodanya. Sosis dan soda, perpaduan yang aneh untuk sarapan."Tidak.""Bagaimana dengan Pedro? Dia kembali mengganggumu?""Tidak.""Dengan Betty?" tanya Roy menggoda.Aldric terdiam sebelum akhirnya menggeleng, "Sepertinya juga tidak, dia tidak menghubungiku."Roy mendengkus, "Kau pikir dia akan menghubungimu? Jangan konyol!"Aldric tersenyum mendengar itu. Tentu saja Betty tidak akan menghubunginya. Tiga hari telah berlalu dan Aldric yakin jika Betty merasa bebas dari penjara. Memang mereka tidak bertemu secara langsung, tapi Aldric tetap mengawasi Betty."Apa kau tidak curiga karena Pedro
Betty keluar dari kamar saat sudah siap untuk berangkat bekerja. Matanya mengedar ke segala arah dan tidak menemukan adanya kehidupan. Dengan tergesa dia berkeliling untuk mencari Lukas. Tidak mungkin jika pria itu belum bangun, karena Betty tahu jika Lukas adalah tipe orang yang selalu bangun pagi. Hanya ada selimut yang tergeletak di atas lantai. Tangan Betty meraih selimut dan merapikannya. Pandangannya tertuju pada kertas bungkus roti isi semalam yang telah tersobek rapi. Di sana tertulis sebuah kalimat dari Lukas.Aku pergi malam ini, mungkin akan kembali siang. Tinggalkan kuncimu.Betty mendengkus membaca itu. Dia pikir Lukas merasa terhina dengan ucapannya semalam dan memilih pergi tapi ternyata dia akan kembali lagi nanti. Tentu saja! Betty tahu akan sifat Lukas yang tidak tahu diri itu.Betty keluar dari flat-nya dan melirik pintu sebelah kamarnya. Tangannya bergerak mengetuk pintu itu berharap jika Rubby akan keluar. Namun seperti biasa, tidak ada sahutan dari dalam. Sebenar
Cahaya matahari masuk ke dalam kamar dan membangunkan seorang gadis yang masih bergelung nyaman di balik selimut. Betty mengubah posisi tubuhnya dan semakin mengeratkan selimut yang melindungi tubuhnya dari hawa dingin. Dia sungguh lelah dan hanya ingin memejamkan mata. Kepalanya benar-benar pusing karena baru bisa tidur jam tiga pagi.Mata Betty perlahan terbuka saat rasa kantuk tidak lagi menyerangnya. Matanya mengerjap beberapa kali berusaha untuk menyesuaikan cahaya. Dia bangkit dari tempat tidur dan menatap dirinya di cermin. Daerah sekitar bawah matanya menghitam dan berubah mengerikan. Hal itu terjadi karena dia sulit untuk tidur nyenyak akhir-akhir ini. Bagaimana bisa dia tidur tenang jika banyak hal yang mengganggu sampai membuatnya takut?Betty merasakan tenggorokannya begitu kering dan dia memutuskan untuk ke dapur. Perutnya juga lapar, jadi dia bisa mencari makanan di sana, meskipun Betty yakin jika hanya ada telur, sosis, dan roti."Astaga!" Betty menutup matanya dan berb
Mobil berhenti tepat di depan flat Betty. Selama perjalanan, hanya ada keheningan di antara mereka. Betty tidak berharap lebih, Aldric memang tidak pandai untuk membangun interaksi."Terima kasih," ucap Betty ketika Aldric tidak membuka suara sedikitpun."Apa kau yakin?"Betty mengerutkan dahinya bingung, "Aku tidak mengerti.""Apa kau yakin akan kembali ke tempat ini?""Ini rumahku, ke mana lagi aku harus pulang?" tanya Betty bodoh.Aldric menatap Betty dalam, "Apa kau tidak takut?""Tentu saja aku takut! Kenapa masih bertanya?"Aldric mengalihkan pandangannya menatap jalanan yang mulai ramai. Dia masih tidak mengerti dengan jalan pikiran Betty. Jika dia masih takut kenapa harus kembali? Aldric tidak keberatan jika Betty kembali menggunakan kamar Abigail. Setidaknya gadis itu akan aman dari Pedro yang semakin menunjukkan rasa ketertarikannya."Keluarlah."Betty mengangguk dan segera membuka pintu. Belum benar-benar keluar, sebuah tarikan pada lengannya membuat Betty kembali masuk. Di
Aldric menyandarkan tubuhnya di kursi setelah mengirimkan pesan singkat untuk Betty agar menolak ajakan makan siang dari Pedro. Bagaimana bisa dia mengetahuinya? Itu hal yang mudah, karena Aldric sudah menempelkan sebuah alat kecil sebagai alat pelacak dan perekam suara di rambut Betty ketika mereka berciuman tadi pagi.Aldric tidak pernah segila ini dalam melindungi seorang wanita, tapi dia harus melakukannya karena dia tidak punya hak untuk melarang Betty melakukan kegiatannya. Aldric hanya bisa memantau dari jauh. Besok dia akan kembali menemui Betty dan memperingatinya secara langsung. Aldric tidak bisa jika hanya mengandalkan sebuah alat tanpa bisa bertatap muka secara langsung. Siapa tahu Betty sudah mencuci rambutnya saat mandi, sehingga akses untuk memantau gadis itu akan hilang.Aldric berdiri dan berjalan ke arah lemari besi di ujung ruangan yang memiliki banyak laci. Dia membuka salah satu laci di sana dan mengambil satu ponsel dari tumpukan ponsel yang ada. Laci itu seketi