Aldric memasuki kamarnya dengan langkah pelan, berusaha untuk tidak membangunkan Roy yang tampak tertidur pulas di sofa ruang tengah. Selain itu, dia juga tidak ingin membangunkan Betty yang tengah terlelap di kamar Abigail.Aldric menyimpan pisau favoritnya ke dalam laci sebelum berbaring di atas ranjang. Belum sepenuhnya menutup mata, terdengar suara dering ponsel yang membuatnya kembali membuka mata.Unknown Number"Hadiah yang menarik," ucap seseorang di seberang sana yang membuat Aldric tersenyum."Kau menyukainya?""Tidak, tapi setidaknya itu menunjukkan jika kau masih seperti dulu."“Apa maumu?" tanya Aldric tidak ingin berbasa-basi."Membuat hidupmu menderita." Aldric semakin tersenyum mendengar itu."Hidupku memang tidak pernah bahagia," jawab Aldric penuh maksud tapi ekspresi wajahnya yang tenang seolah menutupi itu semua."Ya, sebelum wanita berkaca mata itu datang. Bisa-bisanya kau melupakan anakku begitu saja setelah apa yang kau lakukan?""Aku tidak pernah melupakan Kate
Aldric membersihkan tangannya setelah selesai berkutat dengan mobil sport yang dia perbaiki. Udara pagi di musim dingin tidak membuat tubuhnya beku sedikitpun. Pintu garasi yang terbuka seolah memberikan angin segar tersendiri untuknya.Roy datang dari dalam rumah dengan sepiring penuh sosis bakar. Mulutnya sibuk mengunyah dan duduk di kursi kayu ujung ruangan."Kau tidak sarapan?" tanya Roy meminum sodanya. Sosis dan soda, perpaduan yang aneh untuk sarapan."Tidak.""Bagaimana dengan Pedro? Dia kembali mengganggumu?""Tidak.""Dengan Betty?" tanya Roy menggoda.Aldric terdiam sebelum akhirnya menggeleng, "Sepertinya juga tidak, dia tidak menghubungiku."Roy mendengkus, "Kau pikir dia akan menghubungimu? Jangan konyol!"Aldric tersenyum mendengar itu. Tentu saja Betty tidak akan menghubunginya. Tiga hari telah berlalu dan Aldric yakin jika Betty merasa bebas dari penjara. Memang mereka tidak bertemu secara langsung, tapi Aldric tetap mengawasi Betty."Apa kau tidak curiga karena Pedro
Betty keluar dari kamar saat sudah siap untuk berangkat bekerja. Matanya mengedar ke segala arah dan tidak menemukan adanya kehidupan. Dengan tergesa dia berkeliling untuk mencari Lukas. Tidak mungkin jika pria itu belum bangun, karena Betty tahu jika Lukas adalah tipe orang yang selalu bangun pagi. Hanya ada selimut yang tergeletak di atas lantai. Tangan Betty meraih selimut dan merapikannya. Pandangannya tertuju pada kertas bungkus roti isi semalam yang telah tersobek rapi. Di sana tertulis sebuah kalimat dari Lukas.Aku pergi malam ini, mungkin akan kembali siang. Tinggalkan kuncimu.Betty mendengkus membaca itu. Dia pikir Lukas merasa terhina dengan ucapannya semalam dan memilih pergi tapi ternyata dia akan kembali lagi nanti. Tentu saja! Betty tahu akan sifat Lukas yang tidak tahu diri itu.Betty keluar dari flat-nya dan melirik pintu sebelah kamarnya. Tangannya bergerak mengetuk pintu itu berharap jika Rubby akan keluar. Namun seperti biasa, tidak ada sahutan dari dalam. Sebenar
Cahaya matahari masuk ke dalam kamar dan membangunkan seorang gadis yang masih bergelung nyaman di balik selimut. Betty mengubah posisi tubuhnya dan semakin mengeratkan selimut yang melindungi tubuhnya dari hawa dingin. Dia sungguh lelah dan hanya ingin memejamkan mata. Kepalanya benar-benar pusing karena baru bisa tidur jam tiga pagi.Mata Betty perlahan terbuka saat rasa kantuk tidak lagi menyerangnya. Matanya mengerjap beberapa kali berusaha untuk menyesuaikan cahaya. Dia bangkit dari tempat tidur dan menatap dirinya di cermin. Daerah sekitar bawah matanya menghitam dan berubah mengerikan. Hal itu terjadi karena dia sulit untuk tidur nyenyak akhir-akhir ini. Bagaimana bisa dia tidur tenang jika banyak hal yang mengganggu sampai membuatnya takut?Betty merasakan tenggorokannya begitu kering dan dia memutuskan untuk ke dapur. Perutnya juga lapar, jadi dia bisa mencari makanan di sana, meskipun Betty yakin jika hanya ada telur, sosis, dan roti."Astaga!" Betty menutup matanya dan berb
Mobil berhenti tepat di depan flat Betty. Selama perjalanan, hanya ada keheningan di antara mereka. Betty tidak berharap lebih, Aldric memang tidak pandai untuk membangun interaksi."Terima kasih," ucap Betty ketika Aldric tidak membuka suara sedikitpun."Apa kau yakin?"Betty mengerutkan dahinya bingung, "Aku tidak mengerti.""Apa kau yakin akan kembali ke tempat ini?""Ini rumahku, ke mana lagi aku harus pulang?" tanya Betty bodoh.Aldric menatap Betty dalam, "Apa kau tidak takut?""Tentu saja aku takut! Kenapa masih bertanya?"Aldric mengalihkan pandangannya menatap jalanan yang mulai ramai. Dia masih tidak mengerti dengan jalan pikiran Betty. Jika dia masih takut kenapa harus kembali? Aldric tidak keberatan jika Betty kembali menggunakan kamar Abigail. Setidaknya gadis itu akan aman dari Pedro yang semakin menunjukkan rasa ketertarikannya."Keluarlah."Betty mengangguk dan segera membuka pintu. Belum benar-benar keluar, sebuah tarikan pada lengannya membuat Betty kembali masuk. Di
Aldric menyandarkan tubuhnya di kursi setelah mengirimkan pesan singkat untuk Betty agar menolak ajakan makan siang dari Pedro. Bagaimana bisa dia mengetahuinya? Itu hal yang mudah, karena Aldric sudah menempelkan sebuah alat kecil sebagai alat pelacak dan perekam suara di rambut Betty ketika mereka berciuman tadi pagi.Aldric tidak pernah segila ini dalam melindungi seorang wanita, tapi dia harus melakukannya karena dia tidak punya hak untuk melarang Betty melakukan kegiatannya. Aldric hanya bisa memantau dari jauh. Besok dia akan kembali menemui Betty dan memperingatinya secara langsung. Aldric tidak bisa jika hanya mengandalkan sebuah alat tanpa bisa bertatap muka secara langsung. Siapa tahu Betty sudah mencuci rambutnya saat mandi, sehingga akses untuk memantau gadis itu akan hilang.Aldric berdiri dan berjalan ke arah lemari besi di ujung ruangan yang memiliki banyak laci. Dia membuka salah satu laci di sana dan mengambil satu ponsel dari tumpukan ponsel yang ada. Laci itu seketi
Aldric menyantap salad-nya dengan mata yang masih memperhatikan layar televisi di hadapannya. Matanya menajam saat melihat pria yang sangat dia kenal keluar dari gedung dan tersenyum manis pada kamera. Aldric berdesis dan mematikan televisi dengan cepat. Dia hanya ingin menikmati paginya dengan tenang. Bukan dengan berita memuakkan yang memenuhi semua stasiun televisi."Kau tidak membutuhkan barang yang di sini?" tanya Roy yang tiba-tiba muncul dengan keranjang besi di tangannya."Tidak, musnahkan segera." Roy mengangguk dan segera menuruti ucapan Aldric. Pria bermata sipit itu berlalu ke belakang rumah menuju area pembakaran daun-daun kering. Tentu saja tidak ada daun kering, ini musim dingin. Roy hanya ingin memusnahkan segala benda yang tidak Aldric butuhkan.Aldric melanjutkan acara sarapannya dengan keheningan. Meskipun dia terlihat biasa, tapi di dalam hati dan otaknya, dia merasakan emosi yang luar biasa saat mengingat wajah pria di televisi tadi. Begitu bahagia dan tanpa beban
Lukas tersenyum senang saat pria yang dia tunggu akhirnya datang. Seperti biasa, dengan gaya angkuhnya, Aldric duduk di depannya tanpa diminta. Seolah paham jika Lukas memang memesan meja khusus untuk bermain dengannya."Kau siap?" tanya Lukas mengusap kedua tangannya tidak sabar."Tanya kau sendiri, apa kau siap?""Aku selalu siap untuk melawanmu." Lukas dengan semangat mengeluarkan tas yang berisi uang hasil curiannya ke atas meja.Aldric yang melihat itu hanya bisa menggeleng pelan. Pemuda di hadapannya benar-benar tidak punya otak. Rela merepotkan diri untuk merampok guna melawannya. Aldric yakin jika Lukas adalah pria terbodoh yang pernah dia kenal."Mencuri lagi?"Lukas berdecak, "Kau tidak perlu tahu, yang penting aku tidak akan berhutang lagi padamu.""Baiklah, ayo kita mulai."Saat pelayan tengah menyiapkan permainan mereka, terdengar dering telepon berbunyi dan Aldric melihat Lukas membuka ponselnya. Pria itu meliriknya sebentar sebelum mengangkat teleponnya.Lukas mendengku