Bersikap biasa menjadi hal yang Betty lakukan untuk saat ini. Dia berusaha membaur dengan orang-orang baru. Padahal Betty memiliki sejuta pertanyaan dan amarah yang ingin dikeluarkan, tapi dia memendamnya untuk sekarang.Di dalam kamar, Betty dan Allena tampak sibuk membantu Abigail yang sedang latihan berjalan. Seiring berjalannya waktu gadis muda itu mulai bisa menggerakkan tubuhnya. Meskipun sedikit kaku, tapi setidaknya Abigail tidak membutuhkan kursi roda lagi."Aku bisa, Allena." Abigail melepas tangan Allena dari pinggangnya.Allena berdecak. "Aku hanya tidak ingin kau jatuh.""Aku sudah bisa berjalan, jangan berlebihan." Abigail berucap kesal.Betty menatap Abigail dan tersenyum. Akhirnya dia mendapat kesempatan untuk bertemu gadis itu. Meskipun sudah bertemu sebelumnya tapi mereka belum sempat saling menyapa. Betty sudah lebih dulu pergi sebelum Abigail sadar."Dengarkan Allena, Abi." Betty berucap sabar."Aku bisa, Beth.""Kau ingin Pedro memarahi Allena lagi, eh?" tanya Bet
Suara tendangan pintu yang keras membuat Betty terlonjak kaget. Dia berdiri dan mengikat rambutnya asal lalu membuka pintu kamar Aldric."Beth! Keluar sekarang!"Mendengar suara Lukas yang berteriak membuat Betty menghentikan langkahnya. Dia berbalik dan mendapati Aldric sudah terbangun dari tidurnya. Rambut pria itu tampak berantakan yang membuatnya terlihat lebih seksi. Betty merutuki pikirannya sendiri."Kenapa Lukas berteriak sepagi ini?" tanya Aldric menyandarkan tubuhnya di kepala ranjang."Ini sudah jam 11 siang, Al."Aldric tersadar dan menatap Betty dengan senyuman. "Malam yang indah, Beth.""Berikan kunci kamar. Aku sudah lapar."Betty memang sudah bangun sejak pagi. Dia kelaparan dan tidak bisa keluar kamar karena pintu yang terkunci. Dia tidak ingin membangunkan Aldric yang tampak nyenyak dalam tidurnya. Hanya di saat tidur, Betty bisa menikmati dan melihat betapa polosnya wajah Aldric.Sedikit menguap, Aldric berdiri dengan keadaan tubuh yang telanjang. Dia mengenakan cel
Di dalam ruangan yang serba putih itu, Betty terlihat fokus dengan buku di tangannya. Kaca mata yang bertengger di hidungnya seolah menambah kesan serius pada dirinya. Banyaknya senjata yang menggantung di sekitar Betty tidak lagi membuatnya takut. Setidaknya sudah 6 tahun lebih dia terbiasa dengan senjata-senjata itu.Suara pintu besi yang terbuka tidak mengalihkan pandangan Betty. Dia masih fokus pada buku di tangannya. Dia mengabaikan seorang pria yang duduk di depannya, pria yang selama ini mengisi hari-harinya."Aku pikir kau membenci buku," ucap Aldric."Ini buku resep." Betty memperlihatkan cover bukunya di depan Aldric."Kenapa kau mengurung diri di tempat ini?" tanya Aldric berpindah duduk di samping Betty.Betty menutup bukunya dan bersandar di dada Aldric, "Apa kau sudah selesai membicarakan pekerjaanmu?"Kening Aldric berkerut mendengar itu. Dia memang sedang membicarakan pekerjaan bersama Roy dan Lukas di ruang tengah. Pekerjaan yang berbahaya tentu saja. Dia tidak tahu j
Raut wajah polos tanpa polesan make-up itu terlihat cemberut saat mendengar ucapan pria di hadapannya. Lagi-lagi Max akan pulang lebih awal dan meninggalkannya menata buku sendiri. Bukan itu yang membuat Betty kesal, dia hanya takut pulang sendiri, itu saja."Ayo lah, jangan memasang wajah seperti itu. Aku berjanji, setelah anakku lahir aku tidak akan merepotkanmu lagi.""Bukan itu, Max. Kau tahu aku takut pulang malam," sahut Betty mulai mengurutkan buku yang akan dia tata."Sudah ku bilang, naiklah taksi."Betty menatap Max aneh, "Aku hanya membutuhkan waktu 10 menit dengan berjalan kaki. Kenapa harus memakai taksi?”"Kalau begitu berhenti mengeluh. Aku sudah memberikan saran yang baik." Max mengedikkan bahunya acuh dan mulai meraih tasnya. Jam sudah menunjukkan pukul 5 lebih dan sebentar lagi perpustakaan akan tutup."Aku pulang, Beth."Betty mengangguk pasrah. "Ya, berikan salamku pada Wanda.”Sudah dua jam Betty berkutat dengan kegiatannya menata buku. Entah kenapa banyak sekali
Suara sorakan terdengar menggema saat Aldric—yang dikenal sebagai Dewa Judi— kembali menang tiga kali berturut-turut. Wajah Lukas tampak pias begitu tidak ada uang lagi yang tersisa. Namun dia ingin lagi! Dia tidak akan pernah puas jika belum bisa mengalahkan Aldric."Bagaimana?" tanya Aldric sambil melipat kedua tangannya."Jangan senang dulu, Master. Kita main sekali lagi. Aku yakin kali ini akan menang."Aldric menggaruk pelipisnya pelan dan menunjuk uang Lukas yang hanya tinggal beberapa lembar, "Sepertinya uangmu sudah habis.""Kalau begitu pinjami aku uang," jawab Lukas santai, "Kali ini kita bertaruh, jika aku menang maka semua utangku lunas.""Dan jika aku yang menang?"Lukas mendengkus, "Bodoh! Tentu saja utangku bertambah. Jangan konyol.""Tidak ada untungnya untukku." Aldric berdiri dan mulai mengenakan jaketnya. Dia tidak perlu menanggapi pemuda bodoh yang terobsesi untuk mengalahkannya itu."Tunggu! Baiklah, tiga kali lipat." Lukas mencegah Aldric untuk pergi, "Utangku ak
Aldric membuang puntung rokoknya begitu orang yang dia tunggu telah datang. Kenan Rexton, kepala mafia senjata yang membantunya menyiapkan segala jenis senjata untuk memperlancar aksinya.Aldric sempat terkejut saat melihat Kenan sendiri yang datang untuk melakukan transaksi. Ini memang bukan kali pertama dia bertemu Kenan. Aldric sering berjumpa di Zoo Bar & Club."Lama tak bertemu Mr. Rexton," ucap Aldric sambil mengulurkan tangannya."Jangan kaku begitu, Al." Kenan menyambut tangannya dan tersenyum ramah."Aku hanya tersanjung, kau datang langsung menemuiku untuk mengantarkan pesananku.""Aku selalu ramah dan kau tahu itu." Seringai Kenan membuat Aldric mendengkus. Semua orang harus waspada dengan senyum itu.Kenan mengepulkan asap rokoknya sambil memberi instruksi pada anak buahnya untuk membuka dua koper yang berisi senjata pesanan Aldric."Ini sangat indah," ucap Aldric dan Kenan mengangguk setuju."Kedua pistol ini bukan pistol biasa, pelurunya dimodifikasi dengan sangat rinci
Betty keluar dari flat-nya sambil memasang mantel. Matanya melirik ke flat Rubby dengan bingung. Tidak biasanya wanita itu tidak mengganggunya di pagi hari. Biasanya Rubby selalu meminta, lebih tepatnya merampok makanan di dapurnya untuk sarapan.Untuk berangkat bekerja, Betty memilih untuk menggunakan jalan pintas. Setelah 3 hari menghindari gang sempit itu, akhirnya dia kembali memberanikan diri. Betty memang penakut tapi dia sedang dikejar waktu sekarang. Dia tidak ingin terlambat dan mendapatkan teguran. Mata Betty tertuju pada tempat sampah, tempat di mana Gordon tergeletak dengan mengenaskan. Kepala Betty menggeleng mengingat itu, dia tidak ingin mengingatnya lagi. Memang tidak meninggalkan trauma tapi cukup membuat Betty semakin ketakutan dengan dunia malam.Betty melihat ada pekerja yang sedang mengumpulkan sampah, mencoba memilahnya sebelum dimasukkan ke mobil sampah yang berada di depan gang. Betty masih menatap tempat sampah itu untuk melihat sisa-sisa jejak Gordon, tapi t
Betty tidak bisa berpikir dengan jernih saat ini. Jantungnya berdetak dengan cepat saat pria yang bernama Chris membukakan pintu untuknya. Mau tidak mau Betty menurut dan masuk ke dalam mobil.Betty baru saja mendengar kabar buruk. Rubby berada di rumah sakit sekarang. Entah apa yang terjadi tapi Betty yakin jika Rubby tidak mempunyai riwayat penyakit apapun. Lalu siapa orang-orang yang menjemputnya saat ini?"Kalian siapa?" tanya Betty takut. Dari semua orang yang menjemputnya, tidak ada yang menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Hanya pria bernama Chris yang berbicara dengannya, itu pun juga secara singkat.Tidak ada yang menjawab, Chris hanya melirik sebentar dan mengangguk. Seolah memberikan keyakinan pada Betty agar tidak khawatir dan percaya pada mereka. Anggap saja Betty bodoh karena langsung percaya begitu saja, tapi apa yang akan kau lakukan jika mendengar orang yang berarti dalam hidupmu berada di rumah sakit? Keraguan Betty sirna begitu mobil benar-benar memasuki area ru