Suara sorakan terdengar menggema saat Aldric—yang dikenal sebagai Dewa Judi— kembali menang tiga kali berturut-turut. Wajah Lukas tampak pias begitu tidak ada uang lagi yang tersisa. Namun dia ingin lagi! Dia tidak akan pernah puas jika belum bisa mengalahkan Aldric.
"Bagaimana?" tanya Aldric sambil melipat kedua tangannya.
"Jangan senang dulu, Master. Kita main sekali lagi. Aku yakin kali ini akan menang."
Aldric menggaruk pelipisnya pelan dan menunjuk uang Lukas yang hanya tinggal beberapa lembar, "Sepertinya uangmu sudah habis."
"Kalau begitu pinjami aku uang," jawab Lukas santai, "Kali ini kita bertaruh, jika aku menang maka semua utangku lunas."
"Dan jika aku yang menang?"
Lukas mendengkus, "Bodoh! Tentu saja utangku bertambah. Jangan konyol."
"Tidak ada untungnya untukku." Aldric berdiri dan mulai mengenakan jaketnya. Dia tidak perlu menanggapi pemuda bodoh yang terobsesi untuk mengalahkannya itu.
"Tunggu! Baiklah, tiga kali lipat." Lukas mencegah Aldric untuk pergi, "Utangku akan bertambah tiga kali lipat jika aku kalah."
Aldric menggelengkan kepalanya tidak percaya dan kembali duduk. Lukas bertindak sangat bodoh. Semua orang juga tahu siapa yang akan menang. Bermodal tekat saja tidaklah cukup. Hutang tiga kali lipat itu sudah bisa digunakan untuk membeli sebuah mobil sport jika Lukas mau.
"Dasar bodoh!" umpat Aldric saat Lukas kembali kalah. Pria itu begitu keras kepala untuk tetap bermain. Tentu saja dia akan kalah! Tidak ada yang bisa menandingi kehebatan Aldric di meja judi.
"Satu minggu, aku beri waktu satu minggu untuk melunasi semua utangmu." Aldric berdiri dan berjalan menjauh.
"Hei, tunggu! Kenapa cepat sekali?!"
Aldric tetap berjalan meninggalkan Lukas yang berteriak frustrasi. Pemuda bodoh yang labil. Aldric tidak suka itu, bahkan dia tidak sebodoh dan selugu itu dulu dalam menangani banyak hal. Terbukti dengan usianya yang baru berkepala tiga, dia sudah berhasil menjadi pembunuh bayaran profesional.
***
Betty mendengkus mendengar suara nyaring nan merdu dari seberang telepon. Rubby selalu saja mengganggunya, tapi itu tidak masalah. Sejak kedatangan Rubby di hidupnya, Betty mulai merasakan bagaimana rasanya mempunyai teman. Rubby akan maju di barisan paling depan jika Betty mengalami sesuatu. Meskipun tak jarang sahabatnya itu juga selalu membuatnya kesal.
"Iya, roti isi ikan tuna dengan ekstra selada, aku paham."
"Ah, kau memang yang terbaik Betty. Aku menyayangimu!"
Betty mendengus, "Hentikan, itu menjijikkan." Rubby hanya tertawa di seberang sana dan panggilan berakhir.
Jam sudah menunjukkan pukul enam petang dan dia harus segera membeli pesanan Rubby jika tidak ingin pulang malam. Betty juga akan membeli roti isi untuk makan malamnya nanti. Hidup sendiri di kota besar seperti ini membuatnya harus mandiri. Untung saja dia sudah mempunyai pekerjaan yang dia sukai.
Langkah Betty berubah pelan saat melewati gang yang menjadi tempat tewasnya Gordon. Tidak ada hal yang mencurigakan di sana. Bahkan garis polisi pun tidak ada. Tempat itu tampak biasa saja tanpa keanehan sedikitpun. Betty bergidik ngeri saat mengingat kejadian semalam, kejadian menakutkan yang tidak akan pernah bisa hilang dari otaknya.
Lonceng berbunyi saat Betty memasuki kedai. Bibirnya tersenyum ketika melihat Khalid—pemilik kedai—yang sudah menyambutnya.
"Seperti biasa, Betty?"
Betty mengangguk, "Ya, tambah satu lagi isi tuna dengan ekstra selada."
"Ah, untuk si pirang?" tanya Khalid mulai membuat pesanan Betty.
"Ya, dia merindukan roti isi buatanmu."
Khalid tertawa, "Tidak ada yang bisa menandingi roti isi milikku."
Betty bersandar pada meja sambil menyaksikan begitu lihainya tangan Khalid dalam membuat pesanannya. Melihat itu, perut Betty mulai bergemuruh. Dia tidak sabar untuk menikmati makanan sederhana itu.
"Khalid, berikan aku salad." Betty mengalihkan pandangannya begitu mendengar suara yang terdengar tidak asing untuknya.
Benar saja! Mata bening itu membulat begitu melihat pria yang ditemuinya semalam di zoo bar & club. Sialan! Dia tidak menyangka jika akan bertemu dengan pria menakutkan itu lagi.
"Kau!" ucap Betty terkejut.
"Ahh, Ric! Lama tidak melihatmu." Khalid menyapa Aldric dan tersenyum.
"Ric?" tanya Betty bingung. Siapa Ric? Bukannya pria itu bernama Al?
Seolah sadar dengan apa yang terjadi. Aldric menatap Betty dengan tajam. Ada sarat akan ancaman di sana dan Betty sadar dengan itu.
"Kau mengenal Betty, Ric?" tanya Khalid saat melihat interaksi kedua orang itu.
"Tidak." Aldric melirik Betty sebentar dan mulai duduk di kursi, menunggu pesanannya siap.
Betty memilih menunduk dan menggeser duduknya. Entah kenapa dia merasakan aura menyeramkan sejak Aldric datang dan dia tidak menyukai itu. Betty sudah berdoa ke pada Tuhan agar tidak bertemu lagi dengan pria itu, tapi lihat sekarang? Doanya seperti sedang menghianatinya. Pria menyeramkan itu sudah berada di sampingnya dengan jarak yang begitu dekat.
Aldric tersenyum melihat reaksi Betty. Gadis itu ketakutan dan entah kenapa Aldric menyukainya. Ketika melihat Khalid sibuk dengan makanannya, Aldric mulai menyandarkan tubuhnya ke kursi dan menatap Betty dari atas ke bawah. Tatapan aneh yang membuat Betty risih. Gadis itu lebih memilih untuk menutup mulut dari pada mendapatkan tatapan tajam dari Aldric.
"Kita bertemu lagi," ucap Aldric dengan pelan.
Betty semakin menunduk, bertingkah seolah tidak mendengar apa yang dikatakan pria di sampingnya.
Aldric menggeleng tidak percaya. Dia tersenyum manis, senyum yang penuh akan maksud, "Sudah melupakanku ternyata." Aldric berusaha memancing Betty untuk membuka suara, "Apa aku harus mengingatkanmu akan perut Gordon yang terbuka lebar?"
Aldric kembali tersenyum saat berhasil membuat Betty melihatnya. Mata gadis itu benar-benar indah jika diperhatikan dari balik kaca mata tebal itu. Aldric tidak tahu apa warna mata Betty, tapi yang pasti warna mata itu begitu langka. Sangat menarik.
"Bisakah kau diam?" ucap Betty dengan tenang. Tidak terlihat marah atau apapun itu. Namun Aldric tahu jika Betty menyembunyikan ekspresi aslinya sekarang.
"Ah, kembali menjadi singa betina, Betty?"
Mata Betty membulat mendengar ucapan Aldric. Pria itu mengetahui namanya. Betty sangat ingat jika dia tidak pernah menyebutkan namanya semalam. Dari mana pria itu mengetahuinya?
"Dari mana kau tahu namaku?" tanya Betty gugup. Jujur saja dia takut dengan pria misterius itu.
"Ini pesananmu, Beth. Dan ini milikmu, Ric." Khalid datang dengan membawa dua bungkus makanan.
Aldric menunjuk Khalid sebagai jawaban. "Dia menyebutkan namamu tadi. Jadi jangan menatapku seolah aku adalah pria menakutkan."
"Kau memang menakutkan," gumam Betty dan mulai bangkit.
"Kau apa?" tanya Aldric menatap Betty tidak percaya. Dia mendengar jelas ucapan gadis itu tadi.
"Tidak. Aku tidak mengatakan apapun." Dengan cepat Betty membayar makanannya dan berlalu keluar.
"Aku akan membayar ini nanti, aku pergi dulu." Aldric yang merasa diacuhkan langsung mengikuti Betty tanpa menatap Khalid yang berdecak kesal.
Betty melangkah dengan cepat berharap jika akan segera sampai di flat-nya. Pertemuannya dengan Aldric benar-benar membuatnya takut dan trauma. Dia tidak percaya jika akan bertemu dengan pria seperti Aldric, pria yang Betty yakini hidup di dunia yang gelap.
Suara klakson membuat Betty terkejut dan menyentuh dadanya. Mobil Aston Martin keluaran lama berjalan pelan di sampingnya. Begitu jendela mobil terbuka, Betty mendengkus. Langkahnya semakin cepat membuat Aldric kembali menekan klakson beberapa kali.
"Apa yang kau inginkan?" tanya Betty kesal.
"Aku antar pulang, ayo masuk." Ajak Aldric di luar dugaan. Kenapa? Pria itu mengajaknya dengan wajah datar. Apa bisa Betty menerima ajakannya begitu saja?
"Tidak, terima kasih." Betty kembali berjalan membuat Aldric berdecak.
"Aku tidak suka penolakan, Beth. Anggap saja ini ucapan terima kasihku akan semalam."
"Tidak perlu! Flat-ku sebentar lagi terlihat, kau tidak perlu mengantarku." tunjuk Betty pada salah satu gedung yang masih terlihat lumayan jauh.
Aldric tersenyum tipis dan mengangguk. Tanpa disadari Betty sudah menunjukkan letak tempat tinggalnya. Namun seolah tidak peduli, Aldric membuka mobilnya untuk Betty dan kembali meminta gadis itu untuk masuk.
"Masuklah,"
"Al, aku tida—"
"Pelankan suaramu!" bentak Aldric tiba-tiba membuat Betty mundur selangkah, "Masuk, Beth. Aku tidak akan memintanya lagi." Aldric kembali melembut saat Betty mulai ketakutan akan bentakannya.
Entah apa yang dipikirkan Betty, tapi saat ini dia sudah berada di dalam mobil Aldric. Dia seperti terhipnotis saat mendengar bentakan pria itu tadi. Betty tidak pernah dibentak, bahkan kedua orang tuanya yang sudah meninggal pun tidak pernah membentaknya.
"Jangan panggil aku Al."
Betty menatap Aldric bingung, "Kenapa?"
"Jangan sebut namaku, kau hanya boleh memanggilku Aldric ketika kita hanya berdua."
Tiba-tiba Betty berdecak membuat Aldric terkejut. Akhirnya gadis itu mau mengeluarkan ekspresi baru. "Kau berkata seolah kita akan bertemu lagi nanti,” ucap Betty.
Lampu merah berlangsung cukup lama. Aldric menatap jalanan sambil menunggu. Matanya beralih pada mobil jeep hitam di sampingnya dengan pandangan tertarik. Cukup mencolok dengan kaca gelap yang tidak dapat dilihat orang. Namun entah kenapa insting Aldric berkata lain.
Pandangannya beralih pada sebelah kiri mobil dan mendapati mobil yang sama. Gurat emosi muncul saat mobil yang sama juga Aldric temukan di belakangnya. Aldric menggeleng tidak percaya melihat itu. Dia sudah dikepung, entah oleh siapa.
Ketika lampu telah berubah warna, dengan cepat Aldric melajukan mobilnya sampai membuat Betty berteriak histeris. Gadis itu terkejut dengan apa yang dilakukan Aldric. Keadaan jalan yang ramai itu seolah tidak berarti apa-apa. Pria itu masih menyetir dengan santai tanpa adanya guratan ketakutan.
"Apa yang kau lakukan?! Ya Tuhan, tolong aku! Aku tidak mau mati. Aldric ada apa ini?" Betty terus berteriak dan berdoa untuk keselamatannya. Ini bukan lagi jalan menuju flat-nya. Tempat tinggalnya sudah berada jauh di belakang sana.
"Aldric aku takut, aku mohon berhenti!"
"Pejamkan matamu." Hanya itu yang Aldric ucapkan dan Betty menurut. Perutnya sudah mual dan tidak ada yang bisa dia lakukan selain memejamkan mata dan berdoa.
Cukup lama mereka berkendara. Bibir Betty masih bergumam meminta keselamatan. Rasa tubuh yang melayang menandakan jika kecepatan mobil tidak menurun sama sekali. Betty berasa bodoh karena menerima ajakan Aldric tadi. Jika tahu akan seperti ini dia lebih memilih untuk jalan kaki. Peduli setan dengan ancaman pria itu. Dia saja yang bodoh karena terlalu menurut.
"Buka matamu," ucap Aldric tiba-tiba.
Betty mulai membuka matanya dan pandangannya mengedar ke segala arah. Dia mendapati dirinya sudah berada di bawah jembatan, tepat di samping sungai. Betty mengalihkan tatapannya pada Aldric. Pria itu masih duduk kaku dengan tangan yang mencengkeram setir mobil dengan erat. Keningnya berkerut dalam menandakan jika ia sedang berpikir keras saat ini.
Dengan takut Betty memanggil, "Al?"
Tidak ada sahutan. Tangan Betty perlahan mulai menyentuh lengan Aldric. "Al?" panggilnya lagi yang membuat Aldric mulai menatapnya.
Pria itu menatap tangan Betty yang berada di lengannya. Begitu hangat dan menyengat. Lagi-lagi Aldric merasakan reaksi aneh pada tubuhnya. Ada apa ini?
Sadar dengan tatapan Aldric, Betty dengan cepat menarik tangannya dan menunduk, "Ma—maaf. Aku tidak bermak—"
Betty kembali mengangkat kepalanya saat mendengar suara pintu yang dibuka. Aldric keluar dari mobil dan bersandar pada pintu. Tatapannya menatap jauh ke arah sungai yang dihiasi oleh banyak lampu. Langit sudah mulai gelap dan lampu-lampu itu membuat sungai menjadi lebih indah, tapi tidak untuk Betty. Suasana hatinya begitu kelam dengan keberadaan Aldric di sampingnya.
Dengan ragu, Betty turun dari mobil dan menghampiri Aldric. Berdiri di sampingnya dan ikut menatap air sungai yang berkilauan.
"Sebenarnya ada apa?" tanya Betty hati-hati. Dia memang takut, tapi rasa penasaran itu lebih menguasai hatinya.
"Pedro sialan!" umpat Aldric pelan. Tiga mobil jeep yang mengikutinya tadi tentu mempunyai maksud. Aldric yakin jika itu adalah ulah Pedro. Pria tua itu kembali mengirim anak buahnya untuk mengawasinya, atau bahkan membunuhnya kali ini.
"Siapa Pedro?"
Aldric menatap Betty kesal. Gadis itu begitu banyak bicara dan dia tidak menyukainya. Namun rasa kesal itu hilang saat tubuhnya seolah tenggelam ke dalam mata indah Betty. Warna biru bercampur abu dan hijau, itu yang membuat Aldric tenggelam.
Begitu indah.
"Al? Kau tidak apa?" tanya Betty tidak sadar akan tatapan terpesona yang Aldric berikan.
Aldric kembali menatap sungai dan mulai mengeluarkan rokoknya. Betty sendiri memilih diam karena bertanya pun akan sia-sia. Aldric tidak akan mau menjawab pertanyaannya. Suara dering telepon membuyarkan lamunan mereka. Aldric mengambil ponselnya dan menemukan nama Keyond di sana.
"Ya?" sapa Aldric sambil menghembuskan asap rokoknya.
"Cregwal Lincoln! Dia selanjutnya." Sambungan telepon terputus begitu saja.
Keyond sialan!
"Kita pulang sekarang," ajak Aldric.
Dengan semangat Betty mengangguk dan berlari kecil memasuki mobil. Akhirnya hari menegangkan bersama Aldric akan berakhir. Dia tidak akan berhenti berdoa pada Tuhan agar benar-benar menjauhkannya dari pria seperti Aldric
***
TBC
Aldric membuang puntung rokoknya begitu orang yang dia tunggu telah datang. Kenan Rexton, kepala mafia senjata yang membantunya menyiapkan segala jenis senjata untuk memperlancar aksinya.Aldric sempat terkejut saat melihat Kenan sendiri yang datang untuk melakukan transaksi. Ini memang bukan kali pertama dia bertemu Kenan. Aldric sering berjumpa di Zoo Bar & Club."Lama tak bertemu Mr. Rexton," ucap Aldric sambil mengulurkan tangannya."Jangan kaku begitu, Al." Kenan menyambut tangannya dan tersenyum ramah."Aku hanya tersanjung, kau datang langsung menemuiku untuk mengantarkan pesananku.""Aku selalu ramah dan kau tahu itu." Seringai Kenan membuat Aldric mendengkus. Semua orang harus waspada dengan senyum itu.Kenan mengepulkan asap rokoknya sambil memberi instruksi pada anak buahnya untuk membuka dua koper yang berisi senjata pesanan Aldric."Ini sangat indah," ucap Aldric dan Kenan mengangguk setuju."Kedua pistol ini bukan pistol biasa, pelurunya dimodifikasi dengan sangat rinci
Betty keluar dari flat-nya sambil memasang mantel. Matanya melirik ke flat Rubby dengan bingung. Tidak biasanya wanita itu tidak mengganggunya di pagi hari. Biasanya Rubby selalu meminta, lebih tepatnya merampok makanan di dapurnya untuk sarapan.Untuk berangkat bekerja, Betty memilih untuk menggunakan jalan pintas. Setelah 3 hari menghindari gang sempit itu, akhirnya dia kembali memberanikan diri. Betty memang penakut tapi dia sedang dikejar waktu sekarang. Dia tidak ingin terlambat dan mendapatkan teguran. Mata Betty tertuju pada tempat sampah, tempat di mana Gordon tergeletak dengan mengenaskan. Kepala Betty menggeleng mengingat itu, dia tidak ingin mengingatnya lagi. Memang tidak meninggalkan trauma tapi cukup membuat Betty semakin ketakutan dengan dunia malam.Betty melihat ada pekerja yang sedang mengumpulkan sampah, mencoba memilahnya sebelum dimasukkan ke mobil sampah yang berada di depan gang. Betty masih menatap tempat sampah itu untuk melihat sisa-sisa jejak Gordon, tapi t
Betty tidak bisa berpikir dengan jernih saat ini. Jantungnya berdetak dengan cepat saat pria yang bernama Chris membukakan pintu untuknya. Mau tidak mau Betty menurut dan masuk ke dalam mobil.Betty baru saja mendengar kabar buruk. Rubby berada di rumah sakit sekarang. Entah apa yang terjadi tapi Betty yakin jika Rubby tidak mempunyai riwayat penyakit apapun. Lalu siapa orang-orang yang menjemputnya saat ini?"Kalian siapa?" tanya Betty takut. Dari semua orang yang menjemputnya, tidak ada yang menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Hanya pria bernama Chris yang berbicara dengannya, itu pun juga secara singkat.Tidak ada yang menjawab, Chris hanya melirik sebentar dan mengangguk. Seolah memberikan keyakinan pada Betty agar tidak khawatir dan percaya pada mereka. Anggap saja Betty bodoh karena langsung percaya begitu saja, tapi apa yang akan kau lakukan jika mendengar orang yang berarti dalam hidupmu berada di rumah sakit? Keraguan Betty sirna begitu mobil benar-benar memasuki area ru
Lukas membuang topeng hitamnya ke tempat sampah saat akan masuk ke dalam bar. Tangan kanannya membawa tas yang penuh akan uang untuk membayar hutangnya pada Aldric. Hari ini adalah hari terakhir kesempatannya dan sepertinya pria itu sudah menunggu di dalam.Lukas mengedarkan pandangannya ke segala arah dan menemukan seorang pria berkaos hitam yang sedang duduk sendirian. Selalu seperti itu, padahal bisa dibilang Aldric adalah Dewa judi tapi dia tidak akan bermain jika tidak ada yang menantangnya. Orang-orang di sini cukup pintar dan waras untuk tidak mengajak Aldric bermain karena tahu akan bagaimana akhirnya. Hanya Lukas bodoh yang berani melakukannya. Dia seperti terobsesi untuk mengalahkan Aldric.Dengan langkah mantap, Lukas menghampiri Aldric dan duduk di sampingnya. Meminum dengan asal minuman yang Aldric pesan tanpa rasa sungkan. Aldric hanya melirik sebentar dan menghembuskan asap rokoknya, matanya dengan lihai melihat para wanita yang berusaha menggodanya, tapi sayang dia tid
Aldric menatap gadis yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit dengan tatapan kosong. Kedua tangannya terkepal saat ingatan tentang Pedro kembali menghantuinya. Aldric menggeram. Dia tidak menyangka jika Pedro kembali mengganggu hidupnya. Tidakkah cukup dia menembak kepala Abi dengan timah panas? Dan kali ini Pedro kembali mengusiknya melalui Betty.Si gadis kaca mata, batin Aldric dengan senyuman tipis. Dia mendekat ke arah ranjang dan memasukkan kedua tangannya ke dalam saku. Tidak berniat untuk menyentuh adiknya."Terima kasih karena sudah mau menjenguknya. Aku yakin dia merindukanmu," ucap wanita tua yang duduk di sofa. Sibuk merajut sebuah cardigan yang entah ke berapa kalinya itu."Kesehatannya menurun, apa benar?" tanya Aldric bergerak menyentuh tangan Abigail. Hanya satu jari dan dia kembali menarik tangannya menjauh."Ya, seminggu yang lalu."Aldric mengangkat wajahnya tidak suka, "Kenapa kau tidak memberitahuku?""Maaf, tapi Simon melarangku."Aldric berdecak, "Aku yang me
Betty turun dari mobil dengan berat hati. Tangannya bergerak memeluk tubuhnya sendiri untuk menghalangi angin malam yang berhembus. Aldric benar-benar membawanya ke rumah lagi. Betty sempat melayangkan protes tapi begitu diingatkan dengan dua pria yang mengikutinya tadi, dia memilih diam."Kau tidak turun?" tanya Betty saat Aldric masih diam di dalam mobil."Tidak, kau masuklah."“Kau meninggalkanku sendiri?" tanya Betty khawatir.Aldric menatap Betty jengah, "Ada Roy di dalam. Aku pergi sebentar."Betty mengangguk d an mobil berlalu begitu saja. "Hati-hati," gumamnya saat mobil Aldric sudah menghilang dari pandangannya.Betty berlari kecil menuju pintu rumah. Dia menggeram pelan saat udara musim dingin begitu menusuk tulangnya. Untung saja keadaan rumah Aldric begitu hangat. Betty melepas mantelnya dan menggantungnya di lemari sebelah pintu masuk. Dia melihat ke sekitar dan tidak menemukan Roy di manapun.Langkah Betty membawanya masuk ke ruang tengah. Di sana dia melihat punggung te
Aldric memasuki kamarnya dengan langkah pelan, berusaha untuk tidak membangunkan Roy yang tampak tertidur pulas di sofa ruang tengah. Selain itu, dia juga tidak ingin membangunkan Betty yang tengah terlelap di kamar Abigail.Aldric menyimpan pisau favoritnya ke dalam laci sebelum berbaring di atas ranjang. Belum sepenuhnya menutup mata, terdengar suara dering ponsel yang membuatnya kembali membuka mata.Unknown Number"Hadiah yang menarik," ucap seseorang di seberang sana yang membuat Aldric tersenyum."Kau menyukainya?""Tidak, tapi setidaknya itu menunjukkan jika kau masih seperti dulu."“Apa maumu?" tanya Aldric tidak ingin berbasa-basi."Membuat hidupmu menderita." Aldric semakin tersenyum mendengar itu."Hidupku memang tidak pernah bahagia," jawab Aldric penuh maksud tapi ekspresi wajahnya yang tenang seolah menutupi itu semua."Ya, sebelum wanita berkaca mata itu datang. Bisa-bisanya kau melupakan anakku begitu saja setelah apa yang kau lakukan?""Aku tidak pernah melupakan Kate
Aldric membersihkan tangannya setelah selesai berkutat dengan mobil sport yang dia perbaiki. Udara pagi di musim dingin tidak membuat tubuhnya beku sedikitpun. Pintu garasi yang terbuka seolah memberikan angin segar tersendiri untuknya.Roy datang dari dalam rumah dengan sepiring penuh sosis bakar. Mulutnya sibuk mengunyah dan duduk di kursi kayu ujung ruangan."Kau tidak sarapan?" tanya Roy meminum sodanya. Sosis dan soda, perpaduan yang aneh untuk sarapan."Tidak.""Bagaimana dengan Pedro? Dia kembali mengganggumu?""Tidak.""Dengan Betty?" tanya Roy menggoda.Aldric terdiam sebelum akhirnya menggeleng, "Sepertinya juga tidak, dia tidak menghubungiku."Roy mendengkus, "Kau pikir dia akan menghubungimu? Jangan konyol!"Aldric tersenyum mendengar itu. Tentu saja Betty tidak akan menghubunginya. Tiga hari telah berlalu dan Aldric yakin jika Betty merasa bebas dari penjara. Memang mereka tidak bertemu secara langsung, tapi Aldric tetap mengawasi Betty."Apa kau tidak curiga karena Pedro