Raut wajah polos tanpa polesan make-up itu terlihat cemberut saat mendengar ucapan pria di hadapannya. Lagi-lagi Max akan pulang lebih awal dan meninggalkannya menata buku sendiri. Bukan itu yang membuat Betty kesal, dia hanya takut pulang sendiri, itu saja.
"Ayo lah, jangan memasang wajah seperti itu. Aku berjanji, setelah anakku lahir aku tidak akan merepotkanmu lagi."
"Bukan itu, Max. Kau tahu aku takut pulang malam," sahut Betty mulai mengurutkan buku yang akan dia tata.
"Sudah ku bilang, naiklah taksi."
Betty menatap Max aneh, "Aku hanya membutuhkan waktu 10 menit dengan berjalan kaki. Kenapa harus memakai taksi?”
"Kalau begitu berhenti mengeluh. Aku sudah memberikan saran yang baik." Max mengedikkan bahunya acuh dan mulai meraih tasnya. Jam sudah menunjukkan pukul 5 lebih dan sebentar lagi perpustakaan akan tutup.
"Aku pulang, Beth."
Betty mengangguk pasrah. "Ya, berikan salamku pada Wanda.”
Sudah dua jam Betty berkutat dengan kegiatannya menata buku. Entah kenapa banyak sekali buku yang dikembalikan hari ini, sehingga dia harus menatanya sebelum perpustakaan kembali dibuka besok.
Entah berapa lama Betty berkutat dengan buku-bukunya. Waktu berputar begitu cepat sampai jam sudah menunjukkan pukul delapan malam. Tidak terlalu larut untuk Betty, setidaknya dia masih menemukan satu atau dua manusia di jalan nanti.
Betty mulai meninggalkan perpustakaan dengan mantel yang terpasang erat di tubuhnya. Musim dingin akan segera datang dan dia bimbang akan itu. Betty sangat menyukai musim dingin, tapi tidak dengan tubuhnya. Entah kenapa tubuhnya begitu sensitif dengan hawa dingin yang dapat membuatnya flu seketika.
Betty memilih untuk melewati jalan pintas. Dia memilih jalan ini untuk mempersingkat waktu. Keadaan jalan yang gelap sudah menjadi hal yang baisa untuk Betty. Namun entah kenapa kali ini berbeda. Langkahnya terhenti saat mendengar suara rintihan seseorang yang membuat bulu kuduknya berdiri. Mata indah itu menatap ke segala arah dengan penasaran, mencoba mencari tahu asal suara mengerikan itu.
Betty terus berjalan sampai akhirnya suara rintihan itu semakin jelas terdengar. Semakin penasaran, Betty tidak ragu lagi untuk mencari tahu. Matanya membulat begitu melihat ada jejak darah di depannya.
"Aku mohon, Tuhan. Jangan korban pembunuhan lagi," gumam Betty mengikuti jejak darah itu.
Langkah Betty terhenti saat melihat seorang pria tengah terbaring lemah di balik tempat sampah. Matanya mengedar ke segala arah untuk mencari bantuan. Pria itu masih hidup! Betty sangat yakin, karena tangan pria itu melambai padanya seolah meminta bantuan.
"Astaga! Apa yang terjadi? Kita harus ke rumah sakit sekarang!" Betty mendekat dan menatap ngeri pada luka menganga di perut pria itu.
"Ja—ngan." Pria itu meraih tangan Betty dan meletakkan sebuah kotak kecil di tangannya
"Apa ini?" tanya Betty bingung.
"Tol—ong berikan benda ini pada Al."
Betty terdiam dan menatap kotak itu penasaran, "Sebaiknya kita ke rumah sakit sekarang."
"Tidak! Biarkan aku mati di sini. Sekarang kau pergi dan berikan benda itu pada Al."
"Aku tidak mengerti!" Betty berteriak histeris. Tentu saja dia bingung karena pria di hadapannya memilih untuk mati malam ini.
"Zoo bar & club. Al ada di sana, cepat pergi atau kau akan berakhir mengenaskan sepertiku."
Takut, itu yang Betty rasakan. Matanya sudah memerah menahan tangis karena bingung harus melakukan apa. Dia hanya ingin pulang sekarang. Gadis itu tidak menyangka jika akan bertemu dengan pria sekarat malam ini.
"Ak—ku mohon, pergi sekarang."
"Bagaimana denganmu? Kau akan mati!" teriak Betty menangis.
Tanpa disangka pria itu tersenyum. "Ini sudah jalan yang aku pilih."
"Aku tidak bisa meninggalkanmu seperti ini.” Betty masih ragu untuk pergi.
"Sial! Bisakah kau menurut?! Aku tidak punya banyak waktu. Kau hanya perlu pergi menemui Al dan berikan benda itu. Ingat satu hal, namaku Gordon." Gordon berbicara dengan lemah. Rasa sakit di tubuhnya benar-benar tidak bisa ditolong. Hanya satu misi lagi dan semua akan berakhir. Dia belum bisa pergi dengan tenang jika kotak itu belum berada di tangan yang tepat.
"Tidak! Buka matamu! Jangan mati, setidaknya jangan mati sekarang! Astaga, bagaimana ini?!" Betty berteriak frustrasi. Tangannya bergetar berusaha untuk membangunkan Gordon yang mulai terpejam. Namun, sepertinya sia-sia karena pria itu tetap menutup matanya.
Kaki Betty terasa lemas melihat pemandangan itu. Tangannya dengan gemetar mencengkeram erat kotak pemberian Gordon. Jadi apa yang harus dia lakukan sekarang? Menghubungi polisi atau bagaimana?
Akhirnya Betty memutuskan untuk kembali ke jalan utama dengan langkah berat. Tubuhnya masih lemas melihat bagaimana Gordon mati di hadapannya. Ini pertama kalinya Betty melihat betapa kejamnya dunia malam.
Betty tidak akan memanggil polisi. Dia tidak mau terlibat dengan masalah Gordon. Lebih baik dia menyerahkan semua ini ke pada pria yang bernama Al. Betty yakin jika pria itu akan melakukan sesuatu nantinya.
***
Suasana bar yang ramai membuat Aldric mendengus tidak suka. Dia memang tidak suka keramaian tapi hanya Zoo Bar & Club yang menjadi tempat teraman untuknya saat ini, setidaknya untuk pria sepertinya.
Asap rokok kembali keluar dari bibir merah itu. Sudah 3 batang rokok yang Aldric habiskan dan Gordon belum juga datang. Apa pria itu lupa jalan kembali? Seharusnya Mr. X memberikan misi Gordon padanya. Target Gordon kali ini bukanlah main-main. Banyak tameng berlapis yang melindungi target dan hanya otak licik Aldric yang dapat menembusnya.
Tepukan pada bahunya membuat Aldric menoleh. “Ada seseorang yang mencarimu."
Alis Aldric bertaut, "Siapa?"
"Aku tidak tahu, dia bertanya pada semua orang di mana pria yang bernama Al. Tentu saja tidak ada yang tahu!"
Aldric terdiam. Tidak ada yang mengetahui namanya selama ini. Hanya orang-orang yang berkecimpung di dunia gelap yang mengetahui namanya. Jadi siapa orang yang mencarinya?
"Di mana dia?"
"Di sana," tunjuk Roy pada gadis yang tengah berdiri dengan gelisah, "Apa kau menghamilinya?" Lanjut Roy dengan bodoh.
Aldric memilih untuk mengabaikan Roy dan berjalan ke arah gadis yang terlihat mencolok dengan pakaian tertutupnya. Dari kejauhan, Aldric dapat melihat raut wajah ketakutan yang tidak dapat disembunyikan.
"Kau mencariku?" tanya Aldric dengan pelan, berusaha untuk tidak menarik perhatian banyak orang.
"Kau pria yang bernama Al?" tanya Betty bodoh. Matanya menatap pria di hadapannya dengan teliti. Kaos putih dengan balutan jaket kulit serta celana jeans membuat tampilan Aldric terlihat normal. Namun Betty meyakinkan diri jika pria di hadapannya sama bahayanya seperti Gordon.
"Jika kau pria yang bernama Al, ini untukmu." Betty meraih tangan Aldric dan meletakkan kotak pemberian Gordon dengan cepat.
Aldric terdiam dengan mata yang tertuju pada tangan Betty. Tangan kecil itu terasa hangat menggenggamnya.
"Apa ini?"
Pertanyaan bodoh! Tentu saja Aldric tahu apa isi kotak itu. Bukti fisik yang menunjukkan jika Gordon sudah melakukan pekerjaannya dengan baik. Entah mata, lidah, gigi, atau bahkan jantung dari target.
"Aku tidak tahu, Gordon memintaku untuk memberikannya padamu."
"Di mana dia?" tanya Aldric dengan dingin. Wajahnya begitu kaku saat sadar jika Gordon sedang tidak baik-baik saja sekarang. Jika keadaan Gordon baik, maka pria itu sendiri yang akan menemuinya.
"Dia—" Betty menelan ludahnya gugup, "Dia sudah meninggal, di sekitar Curzon st."
Aldric memejamkan matanya sebentar dan mengangguk. Benar dugaannya, Gordon sedang tidak baik-baik saja. Mungkin pria itu kewalahan dengan anak buah Richard yang terus mengejarnya karena berhasil membunuh tuannya.
"Kau harus mengambil jasadnya," ucap Betty dengan suara serak menahan tangis. Dia kembali teringat dengan Gordon yang mati secara mengenaskan.
"Tidak perlu," kata Aldric singkat dan berbalik meninggalkan Betty.
"Hei! Kau tidak bisa pergi begitu saja! Dia temanmu bukan?" Betty mengejar Aldric dan menarik lengannya. Lagi-lagi sengatan itu kembali Aldric rasakan.
"Jika kukatakan dia bukan temanku, apa kau akan menyerah?"
Betty menggaruk lehernya gugup. "Setidaknya kau mengenalnya. Demi Tuhan! Pria itu sudah mati dan sendirian di gang sempit itu!"
"Pelankan suaramu!" Mata Aldric menajam.
"Sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa dia bisa mati? Dan kenapa kau bisa sesantai ini?!" Betty berbicara dengan frustrasi. Dia tidak pernah berurusan dengan hal seperti ini. Bahkan untuk masuk ke dalam bar pun ini pertama kali untuknya. Sebut saja Betty kutu buku, karena itu benar adanya.
Aldric berjalan mendekat membuat Betty mundur dengan gugup, "Aku tekankan padamu. Semua ini bukan urusanmu."
"Jika kau tidak mau mengurus mayat Gordon, aku akan memanggil polisi." Ancam Betty yang justru membuat Aldric tersenyum manis. Senyum yang merupakan pertanda buruk.
"Menghubungi polisi, eh? Coba saja, mari kita lihat seberapa beraninya dirimu."
Betty memejamkan matanya menahan emosi. Pria di hadapannya benar-benar misterius dan menyebalkan. Jika memang itu maunya, Betty akan lakukan. Dia akan menghubungi polisi untuk mengatasi mayat Gordon. Biar bagaimanapun juga dia adalah manusia yang mempunyai hati. Dia tidak akan tega melihat mayat Gordon membusuk begitu saja.
"Baik jika itu yang kau inginkan. Tahu akan seperti ini lebih baik aku ke kantor polisi dari pada menemuimu." Betty berbalik untuk pergi. Dia sudah tidak nyaman berada di tempat ini. Bagaimana bisa Rubby bertahan bekerja di sini?
Sebuah cengkeraman erat berhasil membuat Betty meringis. Gadis itu berbalik dan menatap mata Aldric yang begitu menakutkan.
"Hati-hati dengan apa yang kau lakukan."
"Aku hanya melakukan apa yang harus aku lakukan. Jika kau tidak ma—"
"Sial!" Aldric mengumpat membuat ucapan Betty terhenti. Dia meraih ponselnya dan menghubungi seseorang, "Urus mayat Gordon, hilangkan jejak sampai bersih."
Aldric memutuskan panggilannya secara sepihak. "Kau puas, Nona?" tanyanya pada Betty.
"Ya aku puas, terima kasih,” ucap Betty tersenyum manis.
Lagi-lagi tubuh Aldric terpaku. Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa sentuhan dan senyum gadis itu begitu berefek padanya?
"Aku harap kau menutup mulutmu tentang semua ini. Jika tidak, jangan menyesal jika kita akan bertemu lagi." Aldric tersenyum manis dan membuat tubuh Betty merinding. Pria itu mengancamnya.
"Pergilah," usir Aldric dan berjalan menjauh. Namun dia kembali berbalik dan tersenyum manis, "Lain kali jangan sentuh orang asing seperti itu, kau tidak tahu apa yang ada di pikiran mereka."
Betty terdiam dan menatap tangannya kesal. Benar, dia begitu lancang menyentuh Aldric, tapi dia tidak bisa mencegahnya. Mungkin pria itu tidak suka jika ada orang asing yang menyentuhnya.
Namun pikiran Betty salah besar, justru sentuhan itu menimbulkan efek berbahaya untuk tubuh Aldric.
***
TBC
Suara sorakan terdengar menggema saat Aldric—yang dikenal sebagai Dewa Judi— kembali menang tiga kali berturut-turut. Wajah Lukas tampak pias begitu tidak ada uang lagi yang tersisa. Namun dia ingin lagi! Dia tidak akan pernah puas jika belum bisa mengalahkan Aldric."Bagaimana?" tanya Aldric sambil melipat kedua tangannya."Jangan senang dulu, Master. Kita main sekali lagi. Aku yakin kali ini akan menang."Aldric menggaruk pelipisnya pelan dan menunjuk uang Lukas yang hanya tinggal beberapa lembar, "Sepertinya uangmu sudah habis.""Kalau begitu pinjami aku uang," jawab Lukas santai, "Kali ini kita bertaruh, jika aku menang maka semua utangku lunas.""Dan jika aku yang menang?"Lukas mendengkus, "Bodoh! Tentu saja utangku bertambah. Jangan konyol.""Tidak ada untungnya untukku." Aldric berdiri dan mulai mengenakan jaketnya. Dia tidak perlu menanggapi pemuda bodoh yang terobsesi untuk mengalahkannya itu."Tunggu! Baiklah, tiga kali lipat." Lukas mencegah Aldric untuk pergi, "Utangku ak
Aldric membuang puntung rokoknya begitu orang yang dia tunggu telah datang. Kenan Rexton, kepala mafia senjata yang membantunya menyiapkan segala jenis senjata untuk memperlancar aksinya.Aldric sempat terkejut saat melihat Kenan sendiri yang datang untuk melakukan transaksi. Ini memang bukan kali pertama dia bertemu Kenan. Aldric sering berjumpa di Zoo Bar & Club."Lama tak bertemu Mr. Rexton," ucap Aldric sambil mengulurkan tangannya."Jangan kaku begitu, Al." Kenan menyambut tangannya dan tersenyum ramah."Aku hanya tersanjung, kau datang langsung menemuiku untuk mengantarkan pesananku.""Aku selalu ramah dan kau tahu itu." Seringai Kenan membuat Aldric mendengkus. Semua orang harus waspada dengan senyum itu.Kenan mengepulkan asap rokoknya sambil memberi instruksi pada anak buahnya untuk membuka dua koper yang berisi senjata pesanan Aldric."Ini sangat indah," ucap Aldric dan Kenan mengangguk setuju."Kedua pistol ini bukan pistol biasa, pelurunya dimodifikasi dengan sangat rinci
Betty keluar dari flat-nya sambil memasang mantel. Matanya melirik ke flat Rubby dengan bingung. Tidak biasanya wanita itu tidak mengganggunya di pagi hari. Biasanya Rubby selalu meminta, lebih tepatnya merampok makanan di dapurnya untuk sarapan.Untuk berangkat bekerja, Betty memilih untuk menggunakan jalan pintas. Setelah 3 hari menghindari gang sempit itu, akhirnya dia kembali memberanikan diri. Betty memang penakut tapi dia sedang dikejar waktu sekarang. Dia tidak ingin terlambat dan mendapatkan teguran. Mata Betty tertuju pada tempat sampah, tempat di mana Gordon tergeletak dengan mengenaskan. Kepala Betty menggeleng mengingat itu, dia tidak ingin mengingatnya lagi. Memang tidak meninggalkan trauma tapi cukup membuat Betty semakin ketakutan dengan dunia malam.Betty melihat ada pekerja yang sedang mengumpulkan sampah, mencoba memilahnya sebelum dimasukkan ke mobil sampah yang berada di depan gang. Betty masih menatap tempat sampah itu untuk melihat sisa-sisa jejak Gordon, tapi t
Betty tidak bisa berpikir dengan jernih saat ini. Jantungnya berdetak dengan cepat saat pria yang bernama Chris membukakan pintu untuknya. Mau tidak mau Betty menurut dan masuk ke dalam mobil.Betty baru saja mendengar kabar buruk. Rubby berada di rumah sakit sekarang. Entah apa yang terjadi tapi Betty yakin jika Rubby tidak mempunyai riwayat penyakit apapun. Lalu siapa orang-orang yang menjemputnya saat ini?"Kalian siapa?" tanya Betty takut. Dari semua orang yang menjemputnya, tidak ada yang menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Hanya pria bernama Chris yang berbicara dengannya, itu pun juga secara singkat.Tidak ada yang menjawab, Chris hanya melirik sebentar dan mengangguk. Seolah memberikan keyakinan pada Betty agar tidak khawatir dan percaya pada mereka. Anggap saja Betty bodoh karena langsung percaya begitu saja, tapi apa yang akan kau lakukan jika mendengar orang yang berarti dalam hidupmu berada di rumah sakit? Keraguan Betty sirna begitu mobil benar-benar memasuki area ru
Lukas membuang topeng hitamnya ke tempat sampah saat akan masuk ke dalam bar. Tangan kanannya membawa tas yang penuh akan uang untuk membayar hutangnya pada Aldric. Hari ini adalah hari terakhir kesempatannya dan sepertinya pria itu sudah menunggu di dalam.Lukas mengedarkan pandangannya ke segala arah dan menemukan seorang pria berkaos hitam yang sedang duduk sendirian. Selalu seperti itu, padahal bisa dibilang Aldric adalah Dewa judi tapi dia tidak akan bermain jika tidak ada yang menantangnya. Orang-orang di sini cukup pintar dan waras untuk tidak mengajak Aldric bermain karena tahu akan bagaimana akhirnya. Hanya Lukas bodoh yang berani melakukannya. Dia seperti terobsesi untuk mengalahkan Aldric.Dengan langkah mantap, Lukas menghampiri Aldric dan duduk di sampingnya. Meminum dengan asal minuman yang Aldric pesan tanpa rasa sungkan. Aldric hanya melirik sebentar dan menghembuskan asap rokoknya, matanya dengan lihai melihat para wanita yang berusaha menggodanya, tapi sayang dia tid
Aldric menatap gadis yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit dengan tatapan kosong. Kedua tangannya terkepal saat ingatan tentang Pedro kembali menghantuinya. Aldric menggeram. Dia tidak menyangka jika Pedro kembali mengganggu hidupnya. Tidakkah cukup dia menembak kepala Abi dengan timah panas? Dan kali ini Pedro kembali mengusiknya melalui Betty.Si gadis kaca mata, batin Aldric dengan senyuman tipis. Dia mendekat ke arah ranjang dan memasukkan kedua tangannya ke dalam saku. Tidak berniat untuk menyentuh adiknya."Terima kasih karena sudah mau menjenguknya. Aku yakin dia merindukanmu," ucap wanita tua yang duduk di sofa. Sibuk merajut sebuah cardigan yang entah ke berapa kalinya itu."Kesehatannya menurun, apa benar?" tanya Aldric bergerak menyentuh tangan Abigail. Hanya satu jari dan dia kembali menarik tangannya menjauh."Ya, seminggu yang lalu."Aldric mengangkat wajahnya tidak suka, "Kenapa kau tidak memberitahuku?""Maaf, tapi Simon melarangku."Aldric berdecak, "Aku yang me
Betty turun dari mobil dengan berat hati. Tangannya bergerak memeluk tubuhnya sendiri untuk menghalangi angin malam yang berhembus. Aldric benar-benar membawanya ke rumah lagi. Betty sempat melayangkan protes tapi begitu diingatkan dengan dua pria yang mengikutinya tadi, dia memilih diam."Kau tidak turun?" tanya Betty saat Aldric masih diam di dalam mobil."Tidak, kau masuklah."“Kau meninggalkanku sendiri?" tanya Betty khawatir.Aldric menatap Betty jengah, "Ada Roy di dalam. Aku pergi sebentar."Betty mengangguk d an mobil berlalu begitu saja. "Hati-hati," gumamnya saat mobil Aldric sudah menghilang dari pandangannya.Betty berlari kecil menuju pintu rumah. Dia menggeram pelan saat udara musim dingin begitu menusuk tulangnya. Untung saja keadaan rumah Aldric begitu hangat. Betty melepas mantelnya dan menggantungnya di lemari sebelah pintu masuk. Dia melihat ke sekitar dan tidak menemukan Roy di manapun.Langkah Betty membawanya masuk ke ruang tengah. Di sana dia melihat punggung te
Aldric memasuki kamarnya dengan langkah pelan, berusaha untuk tidak membangunkan Roy yang tampak tertidur pulas di sofa ruang tengah. Selain itu, dia juga tidak ingin membangunkan Betty yang tengah terlelap di kamar Abigail.Aldric menyimpan pisau favoritnya ke dalam laci sebelum berbaring di atas ranjang. Belum sepenuhnya menutup mata, terdengar suara dering ponsel yang membuatnya kembali membuka mata.Unknown Number"Hadiah yang menarik," ucap seseorang di seberang sana yang membuat Aldric tersenyum."Kau menyukainya?""Tidak, tapi setidaknya itu menunjukkan jika kau masih seperti dulu."“Apa maumu?" tanya Aldric tidak ingin berbasa-basi."Membuat hidupmu menderita." Aldric semakin tersenyum mendengar itu."Hidupku memang tidak pernah bahagia," jawab Aldric penuh maksud tapi ekspresi wajahnya yang tenang seolah menutupi itu semua."Ya, sebelum wanita berkaca mata itu datang. Bisa-bisanya kau melupakan anakku begitu saja setelah apa yang kau lakukan?""Aku tidak pernah melupakan Kate