Share

7. Ciuman Pertama

Aldric menatap gadis yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit dengan tatapan kosong. Kedua tangannya terkepal saat ingatan tentang Pedro kembali menghantuinya. Aldric menggeram. Dia tidak menyangka jika Pedro kembali mengganggu hidupnya. Tidakkah cukup dia menembak kepala Abi dengan timah panas? Dan kali ini Pedro kembali mengusiknya melalui Betty.

Si gadis kaca mata, batin Aldric dengan senyuman tipis. Dia mendekat ke arah ranjang dan memasukkan kedua tangannya ke dalam saku. Tidak berniat untuk menyentuh adiknya.

"Terima kasih karena sudah mau menjenguknya. Aku yakin dia merindukanmu," ucap wanita tua yang duduk di sofa. Sibuk merajut sebuah cardigan yang entah ke berapa kalinya itu.

"Kesehatannya menurun, apa benar?" tanya Aldric bergerak menyentuh tangan Abigail. Hanya satu jari dan dia kembali menarik tangannya menjauh.

"Ya, seminggu yang lalu."

Aldric mengangkat wajahnya tidak suka, "Kenapa kau tidak memberitahuku?"

"Maaf, tapi Simon melarangku."

Aldric berdecak, "Aku yang membayarmu di sini, bukan dia."

"Maaf, Ric. Lain kali aku akan menghubungimu jika terjadi apa-apa."

Tanpa bicara lagi, Aldric keluar dari ruang rawat itu dan berlalu pergi. Dia tidak bisa berlama-lama di sana karena Pedro sudah mulai mengawasinya lagi sekarang.

Aldric masuk ke dalam mobil dan menghela nafas lelah. Dia belum tidur seharian karena semalam dia kembali menjalankan misi dari Mr. X. Setelah itu, Aldric langsung melanjutkan perjalanannya ke rumah sakit di Cumbria yang berjarak 5 jam dari London.

Aldric yang memilih kota Cumbria. Dia ingin Abigail aman sampai dia sadar dari komanya. Setidaknya tidak ada yang boleh mengetahui keberadaan adiknya kecuali orang terdekatnya.

Suara dering ponsel membuat Aldric membuka matanya kembali. Baru semenit dia memejamkan mata, sesuatu kembali mengganggunya. Jika ini tidak penting, Aldric bersumpah akan mencabut gigi orang yang menghubunginya saat ini ketika tidur.

"Apa?"

"Pedro kembali mengirim surat, tapi aku belum membukanya."

Tubuh Aldric menegang, dia duduk dengan tegap saat mendengar nama Pedro. Pria itu benar-benar mencari masalah dengannya. Aldric pikir masalah 2 tahun lalu telah selesai tapi ternyata tidak.

"Buka saja, apa isinya." Aldric memejamkan matanya lelah.

"Tunggu sebentar."

Terdengar suara robekan di seberang sana dan Aldric masih menunggu.

"Sial! Dia tidak main-main, Al." Roy mengumpat saat melihat isi amplop itu.

"Katakan, Roy."

"Gadismu.. Betty, dia diawasi."

Aldric membuka matanya lebar, rasa lelahnya tiba-tiba menguap entah ke mana. Sekarang dia malah khawatir dengan nasib Betty yang harus terlibat dengan semua ini.

"Kirim fotonya sekarang. Lima jam lagi aku akan sampai."

"Apa? Kau ada di mana sebenarnya?!" tanya Roy tidak percaya.

"Menjenguk Abi. Tidak perlu banyak tanya, sekarang cepat kirim fotonya." Aldric memutus sambungan telepon dan mulai menjalankan mobil.

Jika dalam keadaan santai, Aldric akan sampai dalam waktu 5 jam. Namun jika dalam keadaan seperti ini, 3 jam pun bisa dia lakukan.

Bunyi pemberitahuan membuat Aldric membuka ponselnya cepat. Roy mengirimkan sebuah foto yang cukup gelap, tapi Aldric dapat melihat jelas jika ada Betty yang tengah berbicara dengan seorang pria berjas putih.

Pedro sudah berani muncul di hadapan Betty. Sinyal tanda bahaya berbunyi. Aldric semakin cepat menjalankan mobilnya tanpa peduli dengan mobil lain yang terganggu dengan laju mobilnya.

***

Betty melepaskan mantelnya begitu sudah kembali ke perpustakaan setelah makan siang bersama Rubby. Dia cukup takjub dengan sahabatnya pulih dengan cepat dari luka tembak.

"Beth, ada seorang pria yang mencarimu tadi. Kenapa kau tidak bilang jika sudah punya kekasih?"

"Jangan bercanda." Betty tertawa konyol, "Aku tidak punya kekasih."

"Jangan mengelak. Apa kalian bertengkar? Dia terlihat khawatir tadi."

"Aku tidak mengerti maksudmu, Max." Betty mengambil sebuah buku dan membacanya. "Siapa yang mencariku? Aku tidak mempunyai teman pria." Lanjutnya.

"Ric, dia hanya berkata jika namanya adalah Ric." Betty seketika menghentikan kegiatannya dan menatap Max dalam.

Pria berumur pertengahan 30-an itu menyeringai, "Kenapa kau terkejut? Benar bukan jika dia kekasihmu?"

Betty kembali menormalkan wajahnya dan menggeleng cepat. Dia memilih untuk mengabaikan Max. Otaknya penuh dengan pertanyaan saat ini. Kenapa Aldric datang? Sudah seminggu pria itu tidak menemuinya dan hanya mengirim pesan untuk bertanya tentang keadaannya. Seperti yang dikatakan Aldric dulu, dia akan mengawasi Betty mulai dari sekarang.

Betty berdecak saat mengingat nasihat yang dia berikan pada Rubby agar berhati-hati dengan pria asing. Dia seolah menjilat ludahnya sendiri karena saat ini dia juga terjebak dengan pria misterius seperti Aldric. Mencoba untuk fokus, Betty kembali pada pekerjaannya. Dia berusaha menghilangkan bayangan wajah Aldric dari kepalanya. Jika memang penting, pria itu akan menghubunginya lagi.

Suara deheman membuat Betty menutup bukunya cepat. Dia berdiri dan menatap pengunjung setia perpustakaan yang jarang dia temui akhir-akhir ini. “Lama tidak melihatmu.”

“Aku sedikit sibuk. Ini milikku,” ucap wanita itu memberikan kartu memberinya. Betty dengan cepat melaksanakan pekerjaannya.

“Terima kasih, Dwyne.”

Betty menggeleng dengan cepat, “Sudah kukatakan, panggil saja aku Betty. Orang-orang biasa memanggilku seperti itu.

“Terima kasih, Betty.” Wanita di hadapan Betty mengulang ucapannya dengan tersenyum.

“Sama-sama, Veila.”

***

Udara malam yang dingin membuat Betty mengusap kedua tangannya pelan. Dia lembur lagi malam ini tapi tidak begitu larut. Max memintanya pulang terlebih dahulu karena pria itu tidak mau Betty pulang malam.

Jalanan yang sepi membuat Betty sedikit mempercepat langkahnya. Dia menoleh dan menemukan dua orang pria yang berjalan jauh di belakangnya. Bibirnya bergumam meminta perlindungan pada Tuhan. Entah kenapa sejak peristiwa Gordon, Betty selalu berpikir jika London tidak lagi aman saat malam hari.

Betty kembali melihat sekitar yang masih sepi. Kepalanya berputar ke belakang dan terkejut saat melihat dua pria yang jauh di belakangnya tadi sudah berada tepat di belakangnya. Betty cukup terkejut melihat itu, begitupun dua pria asing itu. Mereka juga terkejut saat tiba-tiba Betty menoleh pada mereka.

Seolah paham dengan apa yang terjadi, Betty berlari untuk memastikan sesuatu. Benar saja! Kedua pria itu berteriak dan ikut mengejarnya.

Ya Tuhan! Apa lagi ini?!

Betty berlari menuju jalanan yang ramai. Dia tidak bodoh untuk kembali ke rumah saat ini. Dia tidak ingin kedua pria itu tahu di mana tempat tinggalnya. Betty masih berlari sambil sesekali melihat ke belakang. Lagi-lagi gang-gang sempit menjadi pilihannya. Betty ingat, tidak jauh dari tempatnya saat ini ada pasar malam yang ramai.

Betty masih berlari dengan gelisah. Dua pria tadi sudah jauh tertinggal. Bukan karena kecepatan larinya, tapi karena kecerdikan otak Betty yang memilih untuk berputar-putar di gang sempit itu.

"Hei, berhenti!" Betty mengumpat begitu dia kembali bertemu dengan pria-pria yang mengejarnya.

Sebuah tarikan pada lengannya membuat Betty berteriak. Seseorang menarik tubuhnya hingga sampai pada gang yang gelap dan kumuh.

Ya Tuhan! Mereka menangkapku, mereka menangkapku!

"Lepaskan aku! Jangan culik aku!" Punggung Betty terasa panas saat pria yang menariknya tadi menghempaskannya begitu saja ke tembok.

Sial, ini sakit!

Namun Betty tidak berlama-lama dengan rasa sakitnya saat merasakan sesuatu yang lembut dan kenyal menyentuh bibirnya. Mata Betty membulat saat melihat pria yang menariknya tadi.

Aldric!

Bukan, bukan itu yang membuat Betty terdiam. Namun apa yang dilakukan pria itu yang membuatnya terkejut. Aldric menciumnya. Betty mencoba mendorong tubuh Aldric, tapi pria itu semakin mendekatkan tubuhnya dan memeluk pinggang Betty erat. Tangan besar Aldric dengan cepat melepaskan mantel Betty dan melemparkannya entah ke mana. Betty tidak tahu harus melakukan apa. Bahkan tenaganya seperti sia-sia untuk melawan.

Aldric masih mencium Betty, mengabaikan fakta jika mereka tengah berada di ruang terbuka saat ini. Betty memejamkan matanya dan meremas pundak Aldric erat. Kepalanya menunduk dan bertumpu pada kepala Aldric. Entah ke mana perlawanannya tadi. Betty hanya diam dan pasrah menerima serangan Aldric.

"Sialan! Di mana gadis itu?!" Suara itu membuat Betty kembali menegang. Dia menegakkan tubuhnya tapi Aldric masih tetap pada kegiatannya. Mau tidak mau Betty kembali memejamkan matanya.

"Aku melihatnya berlari ke tempat inii." Suara orang yang saling bersahutan itu masih terdengar jelas di telinga Betty. Jika dua orang itu berhasil menangkapnya, Betty akan membunuh Aldric detik ini juga.

"Hei, lihat itu!"

"Hei, pasangan gila! Carilah kamar!" Suara teriakan dan tawa itu perlahan mulai menjauh dan Betty mulai bernafas lega. Tidak begitu lega, karena Aldric masih sibuk dengan lehernya.

Butuh satu menit untuk Aldric memastikan sesuatu. Setelah itu dia mengangkat kepalanya. Aldric tersenyum dan mengelap bibir gadis di hadapannya.

"Mereka sudah pergi," gumam Aldric meremas pinggang Betty. Tubuh mereka masih menempel dan tidak ada yang berniat untuk menjauhkan diri. "Aku tidak tahu jika kau begitu manis," bisik Aldric lagi yang membuat Betty mendorong pria itu menjauh.

"Dasar kurang ajar!" teriak Betty memukul Aldric keras. Dia tidak percaya jika pria itu menciumnya hanya karena ingin menghindar dari dua orang yang mengejarnya tadi.

Apa tidak ada cara lain?!

"Hei, berhenti! Kau seharusnya mengucapkan terima kasih."

"Terimakasih? Terimakasih katamu?! Berterima kasih karena sudah mencuri cium—" Betty menghentikan kemarahannya dan menatap Aldric bodoh. Namun pria itu justru menyeringai yang semakin membuat Betty kesal dan malu.

"Kenapa tidak melanjutkan ucapanmu?" tanya Aldric angkuh.

"Bukan urusanmu!" Betty berlalu pergi. Baru beberapa langkah, dia kembali berhenti dan berbalik menatap Aldric bingung. "Kau lempar ke mana mantelku?"

Aldric mengulum bibirnya dan menunjuk tong sampah besar di ujung gang, "Aku membuangnya."

"Apa?! Sia—kau ini benar-benar!" Betty meremas tangannya kesal dan kembali berjalan menjauh. Dia ingin segera pergi dari sini. Berdua bersama Aldric hanya akan membuatnya kesal.

"Apa kau yakin pergi sendiri? Pria-pria tadi masih berkeliaran di luar sana."

Betty menghentikan langkahnya dan menatap Aldric kesal, "Apa kau hanya akan berdiri saja dan tidak mengantarku pulang?!"

Aldric tersenyum tipis dan berjalan mendekat, "Ayo, aku antar pulang.” Tangannya menarik lengan Betty untuk mengikutinya, “Ke tempatku." Lanjutnya.

Astaga!

***

TBC

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status