Aldric membuang puntung rokoknya begitu orang yang dia tunggu telah datang. Kenan Rexton, kepala mafia senjata yang membantunya menyiapkan segala jenis senjata untuk memperlancar aksinya.
Aldric sempat terkejut saat melihat Kenan sendiri yang datang untuk melakukan transaksi. Ini memang bukan kali pertama dia bertemu Kenan. Aldric sering berjumpa di Zoo Bar & Club.
"Lama tak bertemu Mr. Rexton," ucap Aldric sambil mengulurkan tangannya.
"Jangan kaku begitu, Al." Kenan menyambut tangannya dan tersenyum ramah.
"Aku hanya tersanjung, kau datang langsung menemuiku untuk mengantarkan pesananku."
"Aku selalu ramah dan kau tahu itu." Seringai Kenan membuat Aldric mendengkus. Semua orang harus waspada dengan senyum itu.
Kenan mengepulkan asap rokoknya sambil memberi instruksi pada anak buahnya untuk membuka dua koper yang berisi senjata pesanan Aldric.
"Ini sangat indah," ucap Aldric dan Kenan mengangguk setuju.
"Kedua pistol ini bukan pistol biasa, pelurunya dimodifikasi dengan sangat rinci dan jika itu menembus kepalamu dipastikan kau akan mati dalam hitungan sepuluh detik karena racun yang terdapat di ujung peluru dan sama seperti pistol modern lainnya, senjata mematikan ini tidak memiliki suara jadi kau bisa dengan sesuka hati memainkannya."
Aldric menatap kedua pistol itu dengan kagum, membayangkan jika pistol itu berhasil menembus kepala targetnya. Mungkin orang lain akan bergidik ngeri, tapi tidak dengannya. Aldric menatap senjata api itu dengan pandangan yang berbeda, seperti menatap sebuah harta karun.
"Kau memang yang terbaik, Ken." Aldric memberikan sebuah koper dan membukanya. Kenan mengangguk saat melihat tumpukan uang di dalam koper itu.
"Tidak ingin bermain dengan para wanita di Club, Al?" tanya Kenan basa-basi.
"Aku lebih bergairah memainkan senjata ini." Aldric tersenyum sambil melirik koper yang berisikan senjata api itu.
"Oh, aku akan menyiapkan karangan bunga untuk targetmu kalau begitu." Kedipan mata menjijikkan dari Kenan membuat Aldric tersenyum tipis.
Aldric berlalu pergi untuk segera menyelesaikan misinya. Keyond pasti sudah berada di hotel tempat Cregwal menginap sekarang. Malam ini mereka akan membunuh Cregwal sesuai dengan instruksi Mr. X.
Saat akan masuk ke dalam mobil, langkah Aldric terhenti saat mendengar seseorang yang memanggilnya. Dia berbalik dan mendengkus ketika melihat Lukas yang berlari kecil ke arahnya.
Si Bedebah!
"Ada apa?"
"Kau akan pergi, Ric?" tanya Lukas bodoh.
Aldric menatap pemuda di hadapannya dengan tajam, "Berhenti berbasa-basi dan apa maumu?”
Begitu menyeramkan dan membuat Lukas meneguk ludahnya takut. "Aku hanya ingin mentraktirmu minum. Apa kau lupa jika aku berhutang padamu?" jawab Lukas hati-hati.
"Tidak perlu, kau hanya perlu membayar utangmu. Berhentilah bersikap kau mengenalku." Aldric masuk ke dalam mobil dan menutup pintunya kencang. Memberi tanda jika dia benar-benar tidak ingin meladeni pemuda konyol maniak judi seperti Lukas.
Mesin menyala tapi Aldric tak langsung melajukan mobilnya, dia membuka jendela dan menatap Lukas yang masih berdiri dengan kaku.
Senyuman manis terukir di bibir Aldric membuat Lukas kembali bergidik ngeri, "Ingat, waktumu tinggal 5 hari."
Sial!
Lukas mengumpat begitu mobil Aldric telah berlalu. Dia meninju udara dengan kesal membayangkan jika wajah Aldric yang dipukulnya. Lukas memang sengaja membujuk Aldric untuk mempermudah hutangnya. Jujur saja dia belum mendapatkan uang sama sekali. Mungkin dia akan merampok toko lagi nanti malam.
***
Aldric menangkap kunci kamar yang dilempar Keyond dengan sigap. Setelah mendapat informasi dari Mr. X, mereka langsung bergerak menuju Hotel tempat Cregwal bermalam hari ini. Mendengar jika targetnya tidak sembarangan membuat Aldric tersenyum senang. Dia rindu mencongkel mata targetnya. Kali ini mata tidaklah cukup mengingat jika dia harus bekerja sama dengan Keyond. Mr. X tentu menginginkan bukti yang lebih dari sekedar mata.
"Dia berada di kamar 1006 dan akan membawa wanita ke kamar itu setiap pukul 3 dini hari." Keyond berbicara dengan mata yang menyipit, "Lalu, kita kepung dan habisi dia saat sedang lengah. Setelahnya, kita kirim kepalanya untuk Mr. X sialan itu!"
Aldric membuka pintu bernomor 1007 begitu Keyond sudah masuk ke kamar 1005. Malam ini mereka akan bersiap selagi menunggu Cregwal datang dengan para pengawalnya.
Rencana dibuat dengan sangat mudah. Habisi para pengawal dan penggal kepala Cregwal selagi bercinta. Aldric berdecak melihat betapa konyolnya targetnya kali ini. Bukan Cregwal yang menakutkan, justru para pengawal bandot tua itu yang harus dibereskan.
Kamera pengintai di lorong lantai ini juga sudah aman. Dengan keahlian meretasnya, Aldric berhasil menggantikan rekaman malam ini dengan rekaman malam sebelumnya yang terlihat tenang. Tidak, dia tidak mematikan CCTV, hal itu akan membuat pekerjaannya semakin rumit. Dapat dipastikan jika malam ini mereka akan menjalankan misi dengan aman.
Sambil menunggu waktu, Aldric duduk di ujung kasur sambil mengasah pisau kecil kesukaannya. Pisau yang selalu menemaninya dari awal membunuh hingga sekarang. Sederhana tapi mematikan. Sudah puluhan nyawa hilang karena pisau kecil itu.
Keadaan begitu hening, hanya bunyi jarum jam yang terdengar. Namun ini yang Aldric suka. Dia suka keheningan, karena dengan keheningan dia bisa berpikir bagian mana yang akan membuat Cregwal kesakitan dan memilih untuk mati saja.
Aldric sadar jika dia memiliki keanehan dalam dirinya. Dia bukan hanya menjadi pembunuh bayaran tapi dia juga menikmati semua apa yang dia lakukan. Menikmati setiap tetesan darah dan suara rintihan kesakitan dari pada korbannya.
Aldric merebahkan tubuhnya sambil memejamkan mata. Namun dia kembali membuka matanya begitu bayangan mata berwarna unik itu menghantuinya.
"Betty," gumam Aldric dan tersenyum miring.
Apa menariknya gadis itu? Betty hanya gadis polos dan penakut. Aldric yakin jika diminta membunuh semut pun gadis itu tidak akan mau. Sangat jauh dari tipenya.
Ketika masih asik memikirkan warna mata Betty yang unik, sesuatu mulai mengganggunya. Dia bangkit dari kasur dan mengintip apa yang terjadi di luar kamar. Benar saja, instingnya tidak pernah salah. Cregwal datang dengan dua wanita di sampingnya, diikuti 5 pengawal yang berhenti di depan kamar.
Aldric kembali ke kasur dan melihat pistolnya. Sedikit menimang dan akhirnya dia meraih pistolnya beserta pisau lipat yang baru saja dia asah. Dimasukkannya senjata itu ke dalam jaket kulit yang dia pakai. Jika Keyond tidak bergerak, maka dia yang akan membereskan para boneka Lincoln itu terlebih dahulu.
Aldric membuka pintu kamar dan bersandar dengan santai. Tangannya terlipat di dada dan menatap para pengawal Cregwal yang menatapnya terkejut. Sepertinya orang-orang Lincoln tahu dengan bahaya yang akan datang.
"Terkejut?" tanya Aldric santai.
"Sialan!"
Salah satu dari pengawal itu maju membuat Aldric mundur dan kembali masuk ke dalam kamar. Begitu pengawal itu mengikutinya, dengan gerakan cepat Aldric menutup pintu hingga membuat wajah pria itu terpental ke belakang dengan darah yang keluar dari hidungnya. Tidak puas, Aldric kembali membuka sedikit pintu membuat tangan pria itu masuk untuk menggapainya dan Aldric kembali menekan pintunya, menjepit tangan pengawal itu hingga merintih kesakitan. Tanpa kasihan Aldric menarik tangan itu dan mematahkannya dengan mudah.
Tidak ingin membuang waktu untuk bermain-main, Aldric kembali membuka pintu lebar membiarkan empat pengawal itu melawannya. Senyuman manis tersungging di bibir Aldric begitu salah satu dari mereka mengeluarkan pistol.
Tidak menarik. Jika untuk tikus kecil seperti ini, Aldric bisa menggunakan tangan kosong. Dia menyayangkan kehebatan senjatanya jika digunakan untuk menghabisi pria-pria bodoh seperti mereka.
Aldric menunduk saat sebuah pukulan hampir mengenai kepalanya. Tangannya dengan cepat memukul perut pengawal itu dan menendangnya menjauh hingga menghantam lemari. Saat akan menghampirinya, Aldric merasakan tarikan pada jaketnya. Dengan cepat dia melepaskan jaketnya dengan gerakan memutar dan menendang pria di belakangnya. Pria itu langsung terjatuh berlutut dan Aldric segera menghantamkan lututnya di wajah pria itu agar kehilangan fokus. Begitu sudah lemas, dengan gerakan cepat dan kuat Aldric meraih leher pria itu dan memutarnya hingga terdengar suara tulanh yang begitu menyakitkan.
Aldric merasakan perih pada punggungnya begitu salah satu dari 3 pengawal itu menggoreskan sebuah pisau di sana. Tidak begitu dalam tapi bisa meninggalkan bekas. Aldric mengerang dan berbalik, meraih tangan pria yang akan kembali menancapkan pisaunya dan memutarnya dengan cepat hingga pisau itu berbalik menancap bahunya. Aldric mendorong pria itu hingga terjatuh dan menginjak bahunya agar pisau itu semakin dalam tertancap. Setelah itu kakinya menendang dagu pria itu ke atas seperti menendang bola. Pria itu langsung tak sadarkan diri seketika.
Aldric beralih pada pengawal yang membawa pistol tadi dan melemparnya dengan kursi rias, sebagai pengalihan agar pistol itu terlepas. Kursi itu hancur begitu saja menghantam tubuh pengawal itu dan pistol berhasil terlepas. Sadar masih ada satu orang di belakangnya, Aldric meraih patahan kayu dari kursi dan berbalik. Tanpa ragu dia menancapkan kayu di leher pria itu hingga darah mengalir deras tanpa bisa dihindari. Pria itu jatuh begitu saja membuat Aldric tersenyum senang.
Tinggal satu, pria yang menodongkan pistol padanya tadi. Aldric kembali berbalik dan pria itu masih duduk ketakutan dengan luka di kepalanya karena hantaman kursi rias. Aldric berjalan dengan langkah tegap, seakan luka di punggungnya tidak berarti apa-apa untuknya saat ini.
"Kau takut?" tanya Aldric santai. Pria itu semakin mundur hingga membentur lemari, di samping mayat temannya yang mati mengenaskan dengan leher yang mengarah ke belakang.
Tanpa Aldric duga, pria itu mengeluarkan pisau kecil dari kaos kakinya dan melemparnya dengan cepat ke arah Aldric. Terkejut, Aldric menerima pisau itu dengan tangan terbuka dan berhasil menggores tangannya.
"Benar-benar memalukan," rutuk Aldric dan kembali melemparkan pisau kecil kembali dan berhasil menancap dengan sempurna di mata pria itu. Suara rintihab terdengar keras dan Aldric kembali meraih potongan kayu dan memasukkannya ke dalam mulut pria itu, menendangnya dengan keras hingga menembus ke belakang. Seketika suara erangan itu terhenti. Pria itu mati, detik itu juga.
Aldric menghela nafas dalam dan menatap keadaan kamarnya. Begitu mengerikan dengan darah dan mayat yang mati dengan mengenaskan. Matanya beralih pada cermin yang menampilkan keadaan dirinya.
Aldric menggeleng sambil terkekeh. Tangannya membuka kaos putih yang penuh akan darah itu dan melemparnya ke segala arah. Dia melihat tampilan punggungnya dari cermin dan mendengkus. Lukanya tidak begitu besar tapi Aldric benci jika harus meninggalkan bekas. Aldric meraih handuk kecil dan melilitkannya di pinggang untuk menutupi luka di punggungnya. Dia meraih jaket dan memakainya. Ini lebih baik.
Aldric keluar kamar dan menghampiri kamar Keyond. Pria itu masih belum keluar sama sekali. Malas mengetuk pintu, Aldric dengan keras menendang pintu itu sampai terbuka dan membuat si penghuni kamar terkejut dan menatapnya tajam.
Aldric tidak peduli dengan tatapan marah Keyond. Matanya hanya fokus pada wanita yang sudah mati mengenaskan dengan tubuh yang polos.
"Kau bercinta dengan mayat, Keyond?" tanya Aldric tidak percaya.
Keyond berdecak, "Seleraku masih tinggi." Ia mengelap pisau yang dipenuhi oleh darah dan kembali bergumam, "Dia mencoba membunuhku dengan pisau kecil itu, konyol sekali," tunjuknya pada pisau kecil yang tertancap di sebuah lukisan.
Aldric berjalan masuk dan menatap wanita yang mati di tangan Keyond, "Resepsionis tadi, eh?"
"Benar, Si keparat Cregwal sudah merencanakan semua ini." Keyond mengelap tangannya dan menatap tampilan Aldric yang kacau, "Dan kau, ada apa denganmu?"
Aldric mendengkus dan berjalan keluar kamar, "Terima kasih karena sudah membiarkanku menghabisi pengawal Cregwal sendirian," ucap Aldric sarkasme.
Sebelum memasuki kamar Cregwal, Keyond melirik sebentar ke arah kamar Aldric. Banyak darah dan mayat yang mati secara mengenaskan.
Keyond terkekeh dan menepuk bahu Aldric, "Tak salah aku mengajakmu."
Aldric berdecak dan menatap pintu kamar Cregwal, "Secara halus atau...?" Aldric menggantungkan ucapannya dan menatap Keyond meminta persetujuan.
Pria itu hanya mengedikkan bahunya acuh dan menendang pintu kamar Cregwal hingga engsel terlepas. Membuat tiga orang yang sedang bermain itu terkejut dan mulai melepaskan diri.
Keyond melangkah masuk dan melipat kedua tangannya di dada, "Bermain tanpa mengajakku, Lincoln?"
"Siapa kau?!" tanya Cregwal mulai menutupi dirinya dengan selimut.
Aldric masuk ke dalam kamar dan melihat keadaan ranjang Cregwal yang dipenuhi oleh alat-alat yang ekstrim. Aldric mengumpat dan menatap dua wanita yang sudah berdiri di ujung ruangan, mencoba mengamankan diri, "Kau menyukai permainan keras, cantik?" tanya Aldric berjalan mendekat.
Kedua wanita itu sudah meringis ketakutan, ketampanan Aldric seakan tidak mengubah keadaan apapun. Darah kering itu masih terlihat jelas membuat kedua gadis berambut brunette itu berpelukan dengan takut.
"Aku juga bisa, aku yakin si gendut Lincoln tidak bisa memuaskanmu. Benar bukan?" Aldric tersenyum manis dan mulai mengeluarkan pisau kecil miliknya, "Ingin mencobanya?"
Kedua wanita itu berteriak dan mulai berlari keluar. Namun dengan gerakan cepat Aldric berhasil meraih lengan-lengan kecil itu dan membantingnya ke sofa.
Matanya melirik Keyond dan mengangguk. Pria itu yang akan menghabisi Cregwal dan Aldric ingin bersenang-senang dengan dua wanita di hadapannya
"Aku mohon jangan lakukan ini padaku."
"Well.." Aldric meraih wanita yang berbicara tadi dan memutarnya hingga membungkuk membelakanginya. “Aku tidak akan menyentuhmu. Sayang sekali kau tidak menggunakan kaca mata malam ini, jika iya mungkin aku bisa membiarkanmu lolos."
Aldric mengeluarkan pisaunya, "Katakan, kau ingin aku menggambar apa di punggungmu ini?"
"Aku mohon, Tuan. Lepaskan aku." Wanita itu mulai menangis ketika suara kesakitan Cregwal terdengar. Mungkin Keyond sudah melakukan aksinya, tapi Aldric tidak peduli. Dia harus membereskan kedua wanita ini. Tidak boleh ada saksi mata yang berhasil lolos dalam keadaan hidup.
"Nikmati saja, kau akan menyukainya," ucap Aldric dan melirik wanita lainnya yang duduk meringkuk sambil menangis, "Kau!" ucap Aldric pada wanita itu, "Buka matamu dan lihat temanmu yang akan mati ini."
Mulai malam ini, Hotel ini tidak akan lagi sama. Aldric dan Keyond sudah melakukan misi mereka dengan baik. Meskipun harus direcoki dengan anak buah Lincoln, tapi itu bukanlah hal yang sulit untuk diatasi. Keyond berhasil mengirimkan kepala Cregwal pada Mr. X.
Jika biasanya Aldric merayakan kemenangannya dengan bercinta, tapi tidak untuk kali ini. Begitu akan memulai, dia langsung teringat dengan gadis berkaca mata yang selalu mengacaukan pikirannya akhir-akhir ini.
Dasar kaca mata sialan! Itu yang membuatku bernapsu!
***
Betty kembali menutup kedua telinganya begitu ponselnya tidak berhenti untuk berdering. Ujung matanya melirik ke arah ponsel guna melihat siapa yang menghubunginya sedari tadi. Lagi-lagi nama seseorang yang tidak dia harapkan.
Ponsel kembali berdering membuat Betty berdecak. Dengan cepat tangan kecil itu meraih ponsel dan mengangkatnya.
"Sudah kubilang aku tidak punya uang!" ucap Betty membentak. Namun seseorang di seberang sana malah terkekeh. Tidak takut dengan bentakan Betty yang bahkan tidak terdengar seperti amarah.
"Ayo lah adikku, Sayang. Aku benar-benar membutuhkan uang."
Betty mendengkus dan menggigit apelnya kesal. Wajahnya yang cemberut dapat membuat semua orang yang menatapnya menjadi gemas.
"Saat membutuhkan uang saja, kau memanggilku sayang!"
Seseorang di seberang sana kembali tertawa, "Aku harus meminta siapa lagi jika bukan kau, Beth?"
"Bekerjalah! Berhenti menyusahkanku!" sahut Betty dan memutuskan sambungan secara sepihak.
Dia tidak akan mengangkat telepon dari kakaknya lagi. Sebenarnya siapa yang adik di sini? Kenapa pria itu selalu meminta uang dan menyusahkannya. Betty pikir setelah ikut ke London, kakaknya itu akan mencari kerja, tapi apa sekarang? Tempat tinggalnya pun Betty tidak tahu.
Suara ketukan pintu membuat Betty mengangkat kepalanya waspada. Sinyal tanda bahaya membuatnya berdiri dengan tegang. Dia takut jika kakaknya yang datang malam ini. Dia bisa berbuat nekat jika Betty selalu menghindar seperti ini. Tangan kecil itu kembali membenarkan letak kaca matanya dan mulai berjalan ke arah pintu. Dia sedikit mengintip untuk melihat siapa yang berada di depan flat-nya. Betty menghela nafas lega begitu melihat Rubby di sana.
"Ada apa dengan wajahmu?" tanya Rubby dan masuk begitu saja ke dalam rumah Betty.
"Aku pikir kau kakakku." Betty dengan cepat mengunci pintu dan menyusul Rubby yang sudah membongkar dapurnya untuk mencari makanan.
"Kakakmu menghubungimu lagi?" tanya Rubby tidak menghentikan pencariannya.
"Jadi, kenapa kau di sini? Kau tidak bekerja?" tanya Betty mengalihkan pembicaraan.
Rubby melirik jam sebentar, "Sebentar lagi aku berangkat." Dia berjalan mendekat dan meraih bahu Betty, "Tapi kali ini kau harus mendengarkanku dulu."
"Apa?" tanya Betty tidak antusias.
"Ikut aku dan pasang telingamu baik-baik.” Rubby menarik lengan Betty untuk duduk di sofa. Lengkap dengan sebungkus roti gandum yang sudah dia selipkan di ketiak.
Aku mohon jangan berhutang lagi, batin Betty. Ternyata tidak, Rubby sedang membicarakan seorang pria sekarang.
***
TBC
Betty keluar dari flat-nya sambil memasang mantel. Matanya melirik ke flat Rubby dengan bingung. Tidak biasanya wanita itu tidak mengganggunya di pagi hari. Biasanya Rubby selalu meminta, lebih tepatnya merampok makanan di dapurnya untuk sarapan.Untuk berangkat bekerja, Betty memilih untuk menggunakan jalan pintas. Setelah 3 hari menghindari gang sempit itu, akhirnya dia kembali memberanikan diri. Betty memang penakut tapi dia sedang dikejar waktu sekarang. Dia tidak ingin terlambat dan mendapatkan teguran. Mata Betty tertuju pada tempat sampah, tempat di mana Gordon tergeletak dengan mengenaskan. Kepala Betty menggeleng mengingat itu, dia tidak ingin mengingatnya lagi. Memang tidak meninggalkan trauma tapi cukup membuat Betty semakin ketakutan dengan dunia malam.Betty melihat ada pekerja yang sedang mengumpulkan sampah, mencoba memilahnya sebelum dimasukkan ke mobil sampah yang berada di depan gang. Betty masih menatap tempat sampah itu untuk melihat sisa-sisa jejak Gordon, tapi t
Betty tidak bisa berpikir dengan jernih saat ini. Jantungnya berdetak dengan cepat saat pria yang bernama Chris membukakan pintu untuknya. Mau tidak mau Betty menurut dan masuk ke dalam mobil.Betty baru saja mendengar kabar buruk. Rubby berada di rumah sakit sekarang. Entah apa yang terjadi tapi Betty yakin jika Rubby tidak mempunyai riwayat penyakit apapun. Lalu siapa orang-orang yang menjemputnya saat ini?"Kalian siapa?" tanya Betty takut. Dari semua orang yang menjemputnya, tidak ada yang menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Hanya pria bernama Chris yang berbicara dengannya, itu pun juga secara singkat.Tidak ada yang menjawab, Chris hanya melirik sebentar dan mengangguk. Seolah memberikan keyakinan pada Betty agar tidak khawatir dan percaya pada mereka. Anggap saja Betty bodoh karena langsung percaya begitu saja, tapi apa yang akan kau lakukan jika mendengar orang yang berarti dalam hidupmu berada di rumah sakit? Keraguan Betty sirna begitu mobil benar-benar memasuki area ru
Lukas membuang topeng hitamnya ke tempat sampah saat akan masuk ke dalam bar. Tangan kanannya membawa tas yang penuh akan uang untuk membayar hutangnya pada Aldric. Hari ini adalah hari terakhir kesempatannya dan sepertinya pria itu sudah menunggu di dalam.Lukas mengedarkan pandangannya ke segala arah dan menemukan seorang pria berkaos hitam yang sedang duduk sendirian. Selalu seperti itu, padahal bisa dibilang Aldric adalah Dewa judi tapi dia tidak akan bermain jika tidak ada yang menantangnya. Orang-orang di sini cukup pintar dan waras untuk tidak mengajak Aldric bermain karena tahu akan bagaimana akhirnya. Hanya Lukas bodoh yang berani melakukannya. Dia seperti terobsesi untuk mengalahkan Aldric.Dengan langkah mantap, Lukas menghampiri Aldric dan duduk di sampingnya. Meminum dengan asal minuman yang Aldric pesan tanpa rasa sungkan. Aldric hanya melirik sebentar dan menghembuskan asap rokoknya, matanya dengan lihai melihat para wanita yang berusaha menggodanya, tapi sayang dia tid
Aldric menatap gadis yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit dengan tatapan kosong. Kedua tangannya terkepal saat ingatan tentang Pedro kembali menghantuinya. Aldric menggeram. Dia tidak menyangka jika Pedro kembali mengganggu hidupnya. Tidakkah cukup dia menembak kepala Abi dengan timah panas? Dan kali ini Pedro kembali mengusiknya melalui Betty.Si gadis kaca mata, batin Aldric dengan senyuman tipis. Dia mendekat ke arah ranjang dan memasukkan kedua tangannya ke dalam saku. Tidak berniat untuk menyentuh adiknya."Terima kasih karena sudah mau menjenguknya. Aku yakin dia merindukanmu," ucap wanita tua yang duduk di sofa. Sibuk merajut sebuah cardigan yang entah ke berapa kalinya itu."Kesehatannya menurun, apa benar?" tanya Aldric bergerak menyentuh tangan Abigail. Hanya satu jari dan dia kembali menarik tangannya menjauh."Ya, seminggu yang lalu."Aldric mengangkat wajahnya tidak suka, "Kenapa kau tidak memberitahuku?""Maaf, tapi Simon melarangku."Aldric berdecak, "Aku yang me
Betty turun dari mobil dengan berat hati. Tangannya bergerak memeluk tubuhnya sendiri untuk menghalangi angin malam yang berhembus. Aldric benar-benar membawanya ke rumah lagi. Betty sempat melayangkan protes tapi begitu diingatkan dengan dua pria yang mengikutinya tadi, dia memilih diam."Kau tidak turun?" tanya Betty saat Aldric masih diam di dalam mobil."Tidak, kau masuklah."“Kau meninggalkanku sendiri?" tanya Betty khawatir.Aldric menatap Betty jengah, "Ada Roy di dalam. Aku pergi sebentar."Betty mengangguk d an mobil berlalu begitu saja. "Hati-hati," gumamnya saat mobil Aldric sudah menghilang dari pandangannya.Betty berlari kecil menuju pintu rumah. Dia menggeram pelan saat udara musim dingin begitu menusuk tulangnya. Untung saja keadaan rumah Aldric begitu hangat. Betty melepas mantelnya dan menggantungnya di lemari sebelah pintu masuk. Dia melihat ke sekitar dan tidak menemukan Roy di manapun.Langkah Betty membawanya masuk ke ruang tengah. Di sana dia melihat punggung te
Aldric memasuki kamarnya dengan langkah pelan, berusaha untuk tidak membangunkan Roy yang tampak tertidur pulas di sofa ruang tengah. Selain itu, dia juga tidak ingin membangunkan Betty yang tengah terlelap di kamar Abigail.Aldric menyimpan pisau favoritnya ke dalam laci sebelum berbaring di atas ranjang. Belum sepenuhnya menutup mata, terdengar suara dering ponsel yang membuatnya kembali membuka mata.Unknown Number"Hadiah yang menarik," ucap seseorang di seberang sana yang membuat Aldric tersenyum."Kau menyukainya?""Tidak, tapi setidaknya itu menunjukkan jika kau masih seperti dulu."“Apa maumu?" tanya Aldric tidak ingin berbasa-basi."Membuat hidupmu menderita." Aldric semakin tersenyum mendengar itu."Hidupku memang tidak pernah bahagia," jawab Aldric penuh maksud tapi ekspresi wajahnya yang tenang seolah menutupi itu semua."Ya, sebelum wanita berkaca mata itu datang. Bisa-bisanya kau melupakan anakku begitu saja setelah apa yang kau lakukan?""Aku tidak pernah melupakan Kate
Aldric membersihkan tangannya setelah selesai berkutat dengan mobil sport yang dia perbaiki. Udara pagi di musim dingin tidak membuat tubuhnya beku sedikitpun. Pintu garasi yang terbuka seolah memberikan angin segar tersendiri untuknya.Roy datang dari dalam rumah dengan sepiring penuh sosis bakar. Mulutnya sibuk mengunyah dan duduk di kursi kayu ujung ruangan."Kau tidak sarapan?" tanya Roy meminum sodanya. Sosis dan soda, perpaduan yang aneh untuk sarapan."Tidak.""Bagaimana dengan Pedro? Dia kembali mengganggumu?""Tidak.""Dengan Betty?" tanya Roy menggoda.Aldric terdiam sebelum akhirnya menggeleng, "Sepertinya juga tidak, dia tidak menghubungiku."Roy mendengkus, "Kau pikir dia akan menghubungimu? Jangan konyol!"Aldric tersenyum mendengar itu. Tentu saja Betty tidak akan menghubunginya. Tiga hari telah berlalu dan Aldric yakin jika Betty merasa bebas dari penjara. Memang mereka tidak bertemu secara langsung, tapi Aldric tetap mengawasi Betty."Apa kau tidak curiga karena Pedro
Betty keluar dari kamar saat sudah siap untuk berangkat bekerja. Matanya mengedar ke segala arah dan tidak menemukan adanya kehidupan. Dengan tergesa dia berkeliling untuk mencari Lukas. Tidak mungkin jika pria itu belum bangun, karena Betty tahu jika Lukas adalah tipe orang yang selalu bangun pagi. Hanya ada selimut yang tergeletak di atas lantai. Tangan Betty meraih selimut dan merapikannya. Pandangannya tertuju pada kertas bungkus roti isi semalam yang telah tersobek rapi. Di sana tertulis sebuah kalimat dari Lukas.Aku pergi malam ini, mungkin akan kembali siang. Tinggalkan kuncimu.Betty mendengkus membaca itu. Dia pikir Lukas merasa terhina dengan ucapannya semalam dan memilih pergi tapi ternyata dia akan kembali lagi nanti. Tentu saja! Betty tahu akan sifat Lukas yang tidak tahu diri itu.Betty keluar dari flat-nya dan melirik pintu sebelah kamarnya. Tangannya bergerak mengetuk pintu itu berharap jika Rubby akan keluar. Namun seperti biasa, tidak ada sahutan dari dalam. Sebenar
Di dalam ruangan yang serba putih itu, Betty terlihat fokus dengan buku di tangannya. Kaca mata yang bertengger di hidungnya seolah menambah kesan serius pada dirinya. Banyaknya senjata yang menggantung di sekitar Betty tidak lagi membuatnya takut. Setidaknya sudah 6 tahun lebih dia terbiasa dengan senjata-senjata itu.Suara pintu besi yang terbuka tidak mengalihkan pandangan Betty. Dia masih fokus pada buku di tangannya. Dia mengabaikan seorang pria yang duduk di depannya, pria yang selama ini mengisi hari-harinya."Aku pikir kau membenci buku," ucap Aldric."Ini buku resep." Betty memperlihatkan cover bukunya di depan Aldric."Kenapa kau mengurung diri di tempat ini?" tanya Aldric berpindah duduk di samping Betty.Betty menutup bukunya dan bersandar di dada Aldric, "Apa kau sudah selesai membicarakan pekerjaanmu?"Kening Aldric berkerut mendengar itu. Dia memang sedang membicarakan pekerjaan bersama Roy dan Lukas di ruang tengah. Pekerjaan yang berbahaya tentu saja. Dia tidak tahu j
Suara tendangan pintu yang keras membuat Betty terlonjak kaget. Dia berdiri dan mengikat rambutnya asal lalu membuka pintu kamar Aldric."Beth! Keluar sekarang!"Mendengar suara Lukas yang berteriak membuat Betty menghentikan langkahnya. Dia berbalik dan mendapati Aldric sudah terbangun dari tidurnya. Rambut pria itu tampak berantakan yang membuatnya terlihat lebih seksi. Betty merutuki pikirannya sendiri."Kenapa Lukas berteriak sepagi ini?" tanya Aldric menyandarkan tubuhnya di kepala ranjang."Ini sudah jam 11 siang, Al."Aldric tersadar dan menatap Betty dengan senyuman. "Malam yang indah, Beth.""Berikan kunci kamar. Aku sudah lapar."Betty memang sudah bangun sejak pagi. Dia kelaparan dan tidak bisa keluar kamar karena pintu yang terkunci. Dia tidak ingin membangunkan Aldric yang tampak nyenyak dalam tidurnya. Hanya di saat tidur, Betty bisa menikmati dan melihat betapa polosnya wajah Aldric.Sedikit menguap, Aldric berdiri dengan keadaan tubuh yang telanjang. Dia mengenakan cel
Bersikap biasa menjadi hal yang Betty lakukan untuk saat ini. Dia berusaha membaur dengan orang-orang baru. Padahal Betty memiliki sejuta pertanyaan dan amarah yang ingin dikeluarkan, tapi dia memendamnya untuk sekarang.Di dalam kamar, Betty dan Allena tampak sibuk membantu Abigail yang sedang latihan berjalan. Seiring berjalannya waktu gadis muda itu mulai bisa menggerakkan tubuhnya. Meskipun sedikit kaku, tapi setidaknya Abigail tidak membutuhkan kursi roda lagi."Aku bisa, Allena." Abigail melepas tangan Allena dari pinggangnya.Allena berdecak. "Aku hanya tidak ingin kau jatuh.""Aku sudah bisa berjalan, jangan berlebihan." Abigail berucap kesal.Betty menatap Abigail dan tersenyum. Akhirnya dia mendapat kesempatan untuk bertemu gadis itu. Meskipun sudah bertemu sebelumnya tapi mereka belum sempat saling menyapa. Betty sudah lebih dulu pergi sebelum Abigail sadar."Dengarkan Allena, Abi." Betty berucap sabar."Aku bisa, Beth.""Kau ingin Pedro memarahi Allena lagi, eh?" tanya Bet
Di pagi hari, Betty tampak sibuk berkutat di dapurnya. Sandwich menjadi menu sarapannya kali ini. Sudah 2 minggu dia tidak berbelanja karena kesibukannya bekerja. Begitu juga dengan Lukas."Kak! Bangun!" teriak Betty pada Lukas yang tertidur di sofa. Entah jam berapa pria itu pulang Betty tidak tahu. Lukas selalu lembur dan dia mempercayainya, karena pria itu memang memberikan uang hasil kerjanya pada Betty selama ini."Bangun!" teriak Betty lagi sambil menepuk pipi Lukas keras.Lukas mengerang dan menutup wajahnya rapat. "Kenapa kau kasar sekali, Beth? Ke mana perginya Betty-ku yang manis?" gumamnya dengan nada mengantuk."Cepat bangun, Kak!""Aku bangun!" Lukas melempar bantal sofa dan mengusap wajahnya kesal.Dia sangat lelah dan masih mengantuk. Dia baru pulang jam 5 pagi dan dia hanya tidur selama dua jam."Bisakah kau membantuku mengambilkan surat-surat? Semalam aku melihat kotak surat sudah penuh," ucap Betty kembali berkutat di dapurnya.Dengan mata yang setengah terbuka, Luka
Mobil berwarna hitam mengkilap berhenti tepat di depan rumah Aldric. Pedro keluar dengan senyum merekah di wajahnya. Dari kejauhan dia bisa melihat Abigail tampak menikmati udara segar di depan rumahnya."Kau datang lagi?" Roy yang sedang mencuci mobil merasa jengah melihat kedatangan Pedro setiap harinya."Jangan pedulikan aku," jawab Pedro acuh sambil berlalu menghampiri Abigail.Abigail tersenyum melihat kedatangan Pedro. Dia ingin sekali berdiri, tapi dia tidak bisa melakukannya. Tubuhnya masih kaku pasca sadar dari koma. Dia membutuhkan terapi agar bisa beraktivitas seperti biasa."Kau datang?!" tanya Abigail saat Pedro sudah berada di depannya."Bagaimana kondisimu?" tanya Pedro mencium kening Abigail. Pria itu sudah menganggap Abigail seperti anaknya, pengganti Kate."Aku baik." Abigail tampak antusias. "Mana burgerku? Apa kau membawanya?" Lanjutnya.Pedro menggeleng, "Tidak.""Kenapa?""Kau harus pulih terlebih dahulu baru bisa memakannya. Kau masih harus membutuhkan banyak nu
Cahaya matahari yang muncul di musim dingin tidak terlalu menyilaukan mata. Betty membuka kaca mobil dan menikmati angin dingin yang menerpa wajahnya. Perlahan senyum manis mengembang di bibirnya. Setelah beberapa minggu bertempur, akhirnya dia bisa terbebas dari beban berat yang dia alami.Salvator sudah mati. Pria itu tidak akan mengganggunya lagi. Pria itu tidak akan mengganggu teman-temannya lagi. Meskipun ada darah yang sama mengalir di tubuhnya, Betty tetap tidak akan menganggap pria itu sebagai keluarganya."Tutup jendelanya, kau bisa sakit."Jendela perlahan mulai tertutup dan Betty kembali memasukkan kepalanya ke dalam mobil. Mata indah itu menatap Aldric dengan bibir yang mengerucut tapi itu tidak bertahan lama karena rasa kesalnya berganti dengan rasa haru.Tangan Betty perlahan menyentuh pipi Aldric yang terdapat luka karena melawan anak buah Salvator. "Masih sakit?" tanyanya."Tidak terasa sama sekali," jawab Aldric tersenyum tipis.Betty mendengkus dan kembali menatap ke
Ruangan yang penuh akan alat-alat canggih itu membuat Betty terdiam. Dia semakin yakin jika Salvator bukanlah ilmuwan biasa. Melihat banyak buku yang bertumpuk membuat Betty muak. Mereka memiliki hobi yang sama dan itu membuat Betty membenci dirinya sendiri."Kau akan memiliki semua ini jika bergabung denganku," ucap Salvator.Betty mencoba melepaskan diri dari anak buah Salvator dan menatap pria tua di hadapannya dengan penuh kebencian, "Aku tidak sudi bergabung denganmu. Lebih baik aku mati.""Ahh, keras kepala seperti ayahmu. Kadang aku berpikir kenapa Amber mau menikahi Alan yang penakut.""Aku bangga dengan ayahku," sahut Betty acuh.Salvator mendekat dan meminta anak buahnya untuk melepaskan Betty. Dia tersenyum melihat betapa keras kepalanya wanita itu, sama seperti dirinya."Kau tahu aku menyayangimu, Beth. Bahkan aku melarang anak buahku untuk melukaimu."Sekarang Betty paham kenapa dia tidak mendapatkan serangan yang begitu berarti dari anak buah Salvator. Ternyata pria itu
Membutuhkan waktu berjam-jam untuk mereka sampai ke Pulau Kuril. Hal itu harusnya bisa dimanfaatkan Betty dan Aldric untuk beristirahat, tapi tidak untuk Betty. Selama perjalanan, Betty tidak bisa memejamkan matanya. Berbeda dengan Aldric. Pria itu tampak nyaman tidur dengan jas yang menutupi wajahnya.Pikiran Betty begitu kalut. Sebentar lagi dia akan menantang maut. Memang ini yang harus dia dan teman-temannya lakukan sedari dulu. Yaitu menemukan Salvator dan membunuhnya. Namun sebelum itu terjadi ada satu hal yang ingin Betty tanyakan pada Salvator. Kenapa pria itu menginginkannya?Pikiran-pikiran itu semakin membuat Betty tidak sabar untuk melakukan rencananya. Matanya melirik Aldric yang tampak nyaman bersandar di bahunya. Betty tidak bisa bergerak. Dia tidak ingin Aldric sadar jika dirinya tidak tidur sedari tadi.***Aldric dan Betty turun dari mobil saat sudah berhenti di depan markas yang Kenan siapkan. Di sana sudah ada Kenan, Rubby, Keyond, dan Veila yang tampak bersiap-sia
Betty adalah tipe orang yang selalu memanfaatkan waktu luangnya dengan baik. Namun tidak untuk kali ini. Perasaannya begitu gelisah, bahkan lebih parah dari hari kemarin. Apa ini yang dinamakan serangan panik? Berulang kali Betty menghela nafas kasar yang sedikit mengusik ketenangan Aldric."Tidurlah," perintah Aldric yang sedang menyetir tanpa menatap wanita di sampingnya.Tidak ingin membantah, Betty mengangguk dan mulai memejamkan mata. Hanya memejamkan mata karena dia tidak bisa tidur sekarang. Otaknya terlalu kreatif untuk memikirkan kemungkinan apa saja yang bisa terjadi nanti."Aku tidak memaksamu untuk bercerita, Beth. Tapi jujur saja tingkahmu sangat mengganggu." Tiba-tiba Aldric berbicara. Dia sadar betul akan sikap Betty yang sedikit aneh akhir-akhir ini. Aldric tahu jika kekasihnya itu sedang khawatir."Aku tidak mengerti maksudmu," gumam Betty masih memejamkan matanya."Ada buku di belakang jika kau tidak ingin tidur."Betty kembali membuka mata dan menegakkan posisi dudu