Home / CEO / Jerat Cinta CEO Muda / BAB 7: Membangun Kembali

Share

BAB 7: Membangun Kembali

last update Last Updated: 2024-09-06 17:27:54

Pagi itu, kantor mulai terasa sedikit lebih ringan setelah ketegangan yang panjang. Sudah hampir seminggu sejak penangkapan Rian dan pengungkapan dalang sebenarnya di balik semua sabotase. Meski kepercayaan publik terhadap perusahaan sudah mulai pulih, tantangan baru tetap ada, dan beban untuk memperbaiki kerusakan besar masih ada di pundak gue dan Bima.

“Gue rasa kita udah bisa bernapas sedikit lebih lega,” ujar Bima sambil berjalan masuk ke ruang rapat pagi itu. Tapi sorot matanya, meski hangat, tetap mengandung sedikit kekhawatiran.

“Yah, lega mungkin, tapi ini belum selesai sepenuhnya, Bim,” jawab gue, melihat dokumen-dokumen yang tersebar di depan gue. “Masih ada beberapa klien besar yang ragu untuk melanjutkan kerja sama. Mereka butuh jaminan bahwa kita udah memperbaiki semuanya.”

Dia mengangguk, mengerti maksud gue. Peretasan kemarin gak cuma menyebabkan kerugian finansial, tapi juga menimbulkan keraguan yang mendalam terhadap integritas sistem keamanan kami. Dan sekarang, semua itu kembali ke tangan kami untuk membangun kembali dari dasar.

“Lo bener,” kata Bima sambil duduk di sebelah gue. “Tapi kita udah melalui yang terburuk, Dit. Tinggal langkah-langkah kecil untuk memperbaiki semuanya.” Dia tersenyum tipis. “Satu hal yang gue pelajari selama ini, kadang lo gak bisa memperbaiki semuanya sekaligus. Lo cuma bisa fokus pada langkah berikutnya, satu demi satu.”

Gue tersenyum mendengar nasihatnya. Bima selalu tahu cara menenangkan gue, bahkan di saat gue merasa semua ini seperti gunung yang gak mungkin didaki. Dan hari ini, gue membutuhkan dorongan itu.

“Kita ada rapat sama klien besar siang ini, kan?” tanya gue, memandang agenda yang gue catat di buku gue.

Bima mengangguk. “Iya, klien dari Amerika itu, perusahaan teknologi. Mereka salah satu yang paling khawatir soal keamanan kita.”

“Baiklah,” jawab gue sambil merapikan dokumen-dokumen di meja. “Kita harus meyakinkan mereka bahwa kejadian kemarin gak akan terulang lagi.”

**

Siang itu, gue dan Bima duduk berseberangan dengan perwakilan dari klien besar di ruang konferensi. Mereka terlihat serius, wajah-wajah tanpa senyum yang menunjukkan betapa kritis situasi ini bagi mereka. Di hadapan kami ada Jonathan, direktur operasional mereka, yang langsung membuka pembicaraan dengan nada tegas.

“Kami masih khawatir soal peretasan yang terjadi minggu lalu,” ujar Jonathan dengan nada tegas. “Ini bukan hanya tentang uang yang hilang, tapi juga tentang reputasi. Dan kami gak bisa bekerja dengan perusahaan yang keamanannya gak bisa dijamin.”

Gue bisa merasakan sedikit ketegangan di udara, tapi gue tetap berusaha tenang. “Kami paham kekhawatiran Anda, Pak Jonathan,” jawab gue sambil menatapnya langsung. “Sejak kejadian itu, kami telah melakukan audit keamanan menyeluruh, meningkatkan enkripsi data kami, dan memperkuat sistem dengan teknologi baru. Kami juga telah bekerja sama dengan ahli keamanan dunia maya terbaik untuk memastikan tidak ada lagi celah di sistem kami.”

Jonathan mengangkat alisnya. “Audit itu hasilnya apa?”

Gue melanjutkan dengan yakin, “Kami menemukan beberapa celah yang berhasil diperbaiki. Tim kami telah bekerja tanpa henti untuk memastikan tidak ada lagi ancaman dari luar atau dalam. Semua kerentanan sudah ditangani. Kami bisa memberikan Anda laporan lengkapnya kalau mau.”

Bima ikut menambahkan, “Kami juga sudah menambah lapisan keamanan yang akan melindungi data klien kami secara lebih efektif. Kami paham bahwa keamanan adalah prioritas utama, dan itulah yang kami fokuskan sejak hari pertama setelah insiden.”

Jonathan terdiam sejenak, mempertimbangkan apa yang baru saja kami katakan. Setelah beberapa detik yang terasa seperti satu abad, dia akhirnya angkat bicara lagi. “Baiklah, kami akan meninjau laporan Anda. Jika hasilnya memuaskan, kita bisa melanjutkan kerja sama. Tapi ingat, ini kesempatan terakhir bagi perusahaan Anda. Kami gak akan mentolerir kegagalan lagi.”

“Terima kasih atas kesempatan ini, Pak Jonathan,” jawab Bima sambil tersenyum. “Kami gak akan mengecewakan Anda.”

Rapat berakhir dengan ketegangan yang sedikit mereda, tapi gue tahu ini hanya awal dari perjalanan panjang untuk membangun kembali kepercayaan. Setelah Jonathan dan timnya pergi, gue dan Bima kembali ke kantor dengan perasaan campur aduk.

“Gue benci situasi kayak gini,” ujar gue, menatap ke arah jendela. “Selalu ada perasaan bahwa satu kesalahan lagi, dan semuanya akan runtuh.”

Bima mendekat dan meletakkan tangan di pundak gue. “Kita udah jauh lebih kuat dari sebelumnya, Dit. Lo harus percaya pada apa yang udah kita bangun.”

Gue mengangguk, meski rasa khawatir masih ada. Perjalanan ini jelas gak akan mudah, tapi setidaknya gue tahu gue gak sendirian. Ada Bima yang selalu ada di samping gue, memberi dukungan saat gue butuh, dan itu udah cukup buat gue terus maju.

**

Hari-hari berlalu dengan cepat. Setelah pertemuan dengan Jonathan dan timnya, gue semakin sibuk dengan pekerjaan yang rasanya gak ada habisnya. Setiap hari penuh dengan rapat, laporan yang harus diperiksa, dan keputusan-keputusan besar yang harus diambil. Meski begitu, gue mulai merasakan sedikit kemajuan. Tim IT kami bekerja keras memperkuat sistem, dan klien mulai merespon positif dengan pembaruan yang kami lakukan.

Namun, di balik kesibukan itu, ada satu hal yang mulai mengusik pikiran gue. Hubungan gue dengan Bima. Sejak kami berbicara tentang perasaan kami satu sama lain beberapa waktu lalu, rasanya ada dinding tak terlihat yang menghalangi kami untuk melangkah lebih jauh. Kami berdua sibuk, dan entah kenapa, percakapan kami jadi lebih formal dan jarang menyentuh hal-hal personal lagi.

Suatu malam, setelah seharian bekerja tanpa henti, gue memutuskan untuk tinggal lebih lama di kantor. Gue tahu ada beberapa hal yang perlu gue selesaikan, tapi ada juga yang bikin gue pengen kabur dari kerumitan ini. Saat gue lagi tenggelam dalam pekerjaan, suara ketukan di pintu ruang kerja gue mengalihkan perhatian gue.

“Masih di sini?” suara Bima terdengar dari balik pintu, diikuti dengan senyuman yang udah familiar di wajahnya.

“Ya, gue gak bisa ninggalin ini semua begitu aja,” jawab gue sambil tersenyum tipis.

Bima masuk ke ruangan dan duduk di sofa di sudut ruangan gue. “Gue paham. Kadang pekerjaan ini kayak monster yang terus menggerogoti waktu kita.”

Gue tertawa kecil. “Iya, dan semakin gue kerja, semakin banyak yang harus diselesaikan.”

“Kita perlu istirahat, Dit. Lo tau itu, kan?” ujar Bima sambil menatap gue dengan serius.

Gue menghela napas. “Iya, gue tau. Tapi sekarang bukan waktu yang tepat buat istirahat.”

“Lo ngomong kayak gitu selama seminggu terakhir,” balas Bima, nadanya sedikit khawatir. “Lo gak bisa terus-terusan mengorbankan kesehatan lo cuma buat kerja. Gue gak mau lo jatuh sakit.”

Ada kehangatan dalam kata-katanya yang bikin hati gue bergetar. Selama ini, dia selalu ada buat gue, dan gue tahu dia peduli, bukan hanya soal pekerjaan, tapi juga soal gue sebagai pribadi.

“Apa kita gak bisa ngobrol lebih dari ini, Dit?” tanyanya tiba-tiba. Suaranya terdengar ragu, seperti dia juga gak yakin apa dia seharusnya melontarkan pertanyaan itu.

Gue menatapnya, bingung dengan maksud pertanyaannya. “Maksud lo?”

Bima menghela napas panjang sebelum berbicara lagi. “Gue cuma merasa... kita gak pernah melanjutkan apa yang udah kita bicarakan dulu. Soal perasaan kita. Lo tau maksud gue, kan?”

Gue terdiam sejenak, merenungkan kata-katanya. Dia bener. Sejak pembicaraan kami di rooftop waktu itu, kami gak pernah benar-benar menyelesaikan masalah perasaan kami. Semua terlalu sibuk, terlalu rumit.

“Gue tau, Bima,” jawab gue pelan. “Gue juga merasain hal yang sama. Tapi gue gak tau apa yang harus gue lakuin sekarang. Semua ini... pekerjaan, masalah keamanan, tanggung jawab gue merasa itu lebih besar dari kita.”

Bima tersenyum kecil, meski sorot matanya terlihat sedikit terluka. “Gue ngerti. Gue gak maksud buat bikin lo merasa terbebani lebih dari ini. Tapi gue cuma pengen kita jujur satu sama lain.”

Gue menunduk, merasa sedikit bersalah karena udah mengabaikan perasaan dia. “Lo bener,” gue akhirnya mengaku, meskipun suara gue terasa berat. “Gue terlalu fokus sama kerjaan ini sampai gue lupa kalau ada hal lain yang juga penting. Gue gak bermaksud buat ngejauhin lo, Bim. Gue cuma... bingung.”

Bima mengangguk pelan. Matanya menatap gue dengan lembut, tapi di balik itu, gue bisa melihat ada sedikit rasa sakit yang dia sembunyikan. “Gue gak pernah minta lo untuk milih antara pekerjaan sama hubungan kita, Dit,” katanya dengan tenang. “Gue cuma pengen kita jujur tentang apa yang kita rasain, tanpa harus nyembunyiin apapun.”

Gue terdiam, memikirkan apa yang baru dia bilang. Ini bukan pertama kalinya gue menghadapi situasi kayak gini, di mana pekerjaan dan kehidupan pribadi bertabrakan. Tapi kali ini, berbeda. Kali ini, orang yang terlibat adalah Bima—seseorang yang berarti lebih dari sekadar rekan kerja atau atasan.

“Gue juga pengen hal yang sama,” jawab gue akhirnya, meski suara gue terdengar lebih pelan dari biasanya. “Gue gak mau kita berakhir kayak ini, saling menjauh karena kerjaan.”

Bima tersenyum kecil, tapi kali ini ada sedikit keteguhan di balik senyumnya. “Kalau gitu, kita harus coba buat jaga keseimbangan. Kita tahu tanggung jawab kita berat, tapi kita juga tahu kalau kita gak bisa ngebiarin perasaan kita terkubur begitu aja.”

Gue mengangguk, meskipun di dalam hati, gue masih bertanya-tanya gimana caranya. Tapi gue tahu satu hal: gue gak mau kehilangan Bima karena gue terlalu sibuk dengan pekerjaan gue. Gue gak mau hubungan kita hanya berakhir menjadi korban dari ambisi yang kami kejar.

“Mungkin kita bisa mulai dengan lebih sering ngobrol,” lanjut gue, mencoba memberikan solusi kecil. “Bukan cuma tentang kerjaan, tapi tentang kita. Gimana perasaan kita. Mungkin dengan itu, kita bisa menemukan jalan yang lebih baik.”

Bima mengangguk setuju. “Gue setuju. Kita perlu komunikasi yang lebih baik, apalagi di tengah situasi kayak gini. Gue gak mau kita hilang di tengah semua ini.”

Kami terdiam sebentar, membiarkan keheningan menyelimuti ruangan. Tapi keheningan kali ini terasa berbeda. Lebih nyaman, seolah kami udah menemukan pijakan baru dalam hubungan kami—meskipun kecil, tapi cukup kuat untuk jadi dasar yang lebih baik ke depannya.

“Lo lapar?” tanya Bima tiba-tiba, memecah keheningan dengan senyum nakalnya.

Gue tertawa kecil, merasa sedikit lega setelah pembicaraan yang berat barusan. “Lapar banget. Tapi gue gak yakin gue bisa ninggalin kerjaan ini sekarang.”

“Gue udah bilang kan, lo perlu istirahat.” Bima berdiri dan menarik tangan gue. “Ayo, kita keluar sebentar. Makan malam dulu. Kerjaan bisa nunggu, tapi kesehatan lo gak bisa.”

Gue berpikir sejenak, tapi akhirnya gue mengalah. “Baiklah, lo menang kali ini,” jawab gue sambil tersenyum.

Kami keluar dari kantor dan berjalan menuju restoran favorit kami yang letaknya gak jauh dari gedung kantor. Malam itu, meski gue masih merasa terbebani dengan tanggung jawab besar yang ada di depan gue, gue juga merasa ada harapan baru. Gue dan Bima gak sempurna, dan hubungan kami jelas punya banyak tantangan. Tapi malam itu, gue sadar bahwa kami berdua masih ingin memperjuangkan apa yang kami punya.

**

Keesokan harinya, rutinitas kembali seperti biasa. Kantor sibuk seperti biasanya, tapi suasana mulai terasa lebih ringan. Gue merasa sedikit lebih bersemangat setelah malam kemarin. Rasanya seperti ada beban yang sedikit terangkat, dan gue bisa lebih fokus menghadapi tugas-tugas yang ada di depan gue.

Pagi itu, gue dan Bima kembali ke rutinitas kami yang biasa—rapat, menyelesaikan laporan, dan memastikan semua proyek berjalan lancar. Tapi di balik semua kesibukan itu, ada sesuatu yang berbeda. Kami lebih sering saling tersenyum, lebih sering melemparkan lelucon kecil di tengah tekanan pekerjaan. Mungkin bagi orang lain hal ini terlihat sepele, tapi buat gue, ini adalah tanda bahwa kami sedang membangun sesuatu yang lebih kuat dari sebelumnya.

Siang itu, kami mendapat kabar baik dari klien besar yang kemarin sempat meragukan kami. Jonathan mengirimkan email, menyatakan bahwa setelah meninjau laporan keamanan yang kami kirimkan, mereka memutuskan untuk melanjutkan kerja sama dengan syarat tambahan. Meski ada beberapa penyesuaian yang harus kami buat, tapi ini adalah tanda positif bahwa kepercayaan mulai kembali dibangun.

“Ini kabar bagus, Dit!” ujar Bima dengan semangat setelah membaca email itu. “Kita berhasil meyakinkan mereka!”

Gue tersenyum lega. “Ya, setidaknya ini langkah besar buat kita. Sekarang tinggal menjaga agar gak ada lagi insiden kayak kemarin.”

Kami berdua tahu bahwa perjalanan kami masih panjang. Peretasan yang terjadi beberapa minggu lalu meninggalkan bekas yang dalam, dan meski kami udah berhasil memperbaiki banyak hal, bayang-bayang kerusakan itu masih ada. Tapi gue juga tahu bahwa selama kami terus bekerja sama, kami bisa melewati semuanya.

**

Malam itu, setelah semua pekerjaan selesai, gue duduk di balkon apartemen gue. Gue butuh waktu buat merenung setelah hari yang panjang dan melelahkan ini. Pikiran gue terbang ke banyak hal—dari pekerjaan yang terus menumpuk, klien-klien yang masih menunggu kejelasan, hingga hubungan gue dengan Bima yang perlahan mulai menemukan jalannya.

Gue masih ingat kata-kata Bima tadi malam, tentang pentingnya komunikasi. Gue sadar, dia bener. Selama ini gue terlalu fokus pada pekerjaan, dan gue lupa bahwa ada hal lain yang juga butuh perhatian gue. Bima udah ada buat gue, mendukung gue di saat-saat tersulit, dan gue tahu gue gak boleh menyia-nyiakan itu.

Tiba-tiba, suara telepon gue berdering, memecah keheningan malam. Gue melihat layar dan tersenyum saat melihat nama Bima terpampang di sana.

“Gue ganggu waktu tenang lo, ya?” suara Bima terdengar dari seberang sana, terdengar lembut tapi ada nada jahil di dalamnya.

Gue tertawa pelan. “Gak kok. Justru gue seneng lo telepon. Apa kabar?”

“Baik,” jawabnya dengan nada riang. “Gue cuma pengen tau lo udah makan malam belum?”

Gue menggeleng, meskipun dia gak bisa lihat. “Belum. Tapi jangan khawatir, gue gak bakal kelaparan. Gue bakal pesan makanan sebentar lagi.”

“Good,” katanya sambil tertawa kecil. “Gue cuma gak mau lo sibuk kerja lagi sampai lupa makan.”

Gue tersenyum mendengar perhatian yang dia tunjukkan. “Thanks, Bim. Gue seneng lo masih peduli sama gue di tengah semua kekacauan ini.”

Related chapters

  • Jerat Cinta CEO Muda   BAB 8: Ketukan di Tengah Malam

    Malam itu terasa sunyi di apartemen gue. Setelah berbicara dengan Bima, gue memutuskan untuk menutup laptop dan mengambil waktu buat diri sendiri. Gue pesan makanan dari restoran favorit gue dan menonton film untuk melepas penat. Semuanya berjalan biasa aja—sampai terdengar ketukan keras di pintu apartemen gue, membuat gue melompat dari sofa.Ketukan itu terdengar tergesa-gesa, seperti orang yang panik atau marah. Jantung gue berdetak lebih cepat, otak gue otomatis berpikir kalau ini sesuatu yang buruk. Siapa yang akan datang jam segini?Gue berjalan ke pintu dengan sedikit ragu. Ketika gue buka pintu, gue langsung tersentak. Di depan gue berdiri seorang wanita dengan wajah tegang, rambutnya acak-acakan, dan bajunya terlihat kotor seperti habis lari seharian. Dia menarik napas berat, seolah berusaha menenangkan dirinya sendiri.“Lo... lo harus bantuin gue,” kata wanita itu dengan suara terengah-engah, air mata mulai mengalir di pipinya.Gue menatapnya dengan bingung. “Maaf, lo siapa?”

    Last Updated : 2024-09-07
  • Jerat Cinta CEO Muda   BAB 9: Jejak yang Terhapus

    Pagi itu, suasana kantor terasa lebih tenang di permukaan, tapi gue bisa merasakan ketegangan yang bersembunyi di balik setiap pandangan dan gerakan orang-orang. Semua terlihat bekerja seperti biasa, tapi gue tahu mereka masih resah setelah apa yang terjadi dengan peretasan dan kabar buruk yang menyebar tentang kemungkinan ancaman yang lebih besar.Gue tiba di kantor lebih awal dari biasanya, merasa lebih baik setelah tidur semalam. Meskipun sempat terbangun beberapa kali dengan pikiran tentang Alma dan apa yang mungkin terjadi selanjutnya, setidaknya gue merasa sedikit lebih siap untuk menghadapi hari ini. Gue langsung menuju ruangan gue, berharap Bima udah ada di sana seperti yang dijanjikannya kemarin. Dan benar aja, dia udah duduk di kursi tamu dengan wajah serius.“Gue nemuin sesuatu,” kata Bima begitu gue masuk. Dia menggeser laptopnya ke arah gue, menunjukkan beberapa laporan dari tim IT.Gue berjalan mendekat dan menatap layar. “Apa ini?”“Kita dapet jejak aktivitas tambahan d

    Last Updated : 2024-09-08
  • Jerat Cinta CEO Muda   BAB 1: Kenalan Sama Si Boss

    Gue, Dita, baru dua bulan kerja di perusahaan startup yang lagi naik daun ini. Perusahaan ini bergerak di bidang teknologi, dan gue kebetulan ditempatkan di departemen pemasaran. Pagi ini, gue lagi asik-asiknya bikin laporan mingguan sambil ngopi, tiba-tiba telepon di meja gue berdering."Dita, lo dipanggil ke ruang CEO sekarang," suara sekretaris Bima, Mbak Lala, terdengar di ujung sana.Jantung gue langsung berdegup kencang. "Ada apa ya, Mbak?" tanya gue, berusaha tenang padahal pikiran gue udah kacau."Katanya ada yang mau dibahas soal proyek. Langsung aja ya, jangan lama-lama," katanya dengan nada serius.Gue langsung bergegas. Gue yakin gue gak bikin kesalahan besar, tapi tetep aja rasa takut itu ada. Gue jalan cepat menuju ruang CEO di lantai atas. Pas gue sampai, Mbak Lala langsung ngasih kode buat masuk.Gue mengetuk pintu dan masuk dengan hati-hati. Bima, si CEO, lagi duduk di balik meja kerjanya dengan wajah serius. Dia ngeliat gue sebentar, terus nunjuk ke kursi di depannya

    Last Updated : 2024-07-24
  • Jerat Cinta CEO Muda   BAB 2: Meeting Pertama

    Gue gak pernah nyangka pagi ini bakal jadi salah satu pagi paling mengejutkan dalam hidup gue. Begitu sampai di kantor, gue langsung disambut oleh Mbak Lala yang ngasih tau kalau ada meeting mendadak di ruang rapat utama."Dita, buruan ke ruang rapat. Bima udah nunggu," katanya dengan nada serius."Meeting apa, Mbak?" tanya gue, bingung. Biasanya meeting dijadwalkan jauh-jauh hari."Pokoknya penting. Langsung aja ya!" balas Mbak Lala sambil buru-buru pergi.Gue cepet-cepet bawa laptop dan catatan gue, terus langsung menuju ruang rapat utama. Pas gue buka pintu, gue kaget ngeliat ruangan penuh dengan beberapa orang yang gue kenal sebagai petinggi perusahaan, termasuk Bima yang duduk di ujung meja dengan wajah serius."Dita, duduk sini," panggil Bima sambil nunjuk kursi kosong di sebelahnya. Gue langsung duduk, sambil ngerasa semua mata tertuju ke gue.Bima mulai meeting dengan suara tegas. "Hari ini kita akan bahas proyek baru yang gue yakin bisa bawa perusahaan kita ke level berikutny

    Last Updated : 2024-07-26
  • Jerat Cinta CEO Muda   BAB 3: Kejutan Pagi

    Pagi itu, baru aja turun dari ojek online dan siap-siap masuk ke kantor, tiba-tiba suara sirene ambulans mendekat. Gue nengok ke arah suara dan melihat kerumunan orang di depan gedung kantor. Hati gue langsung berdegup kencang, perasaan cemas mulai merayapi.Gue bergegas mendekat dan bertanya kepada salah satu satpam yang ada di sana, "Ada apa ini, Pak?""Katanya ada yang pingsan di lobby," jawab satpam dengan nada serius.Gue langsung mikir siapa yang mungkin pingsan di lobby. Saat gue masuk ke dalam, gue lihat seorang pria terbaring di lantai dengan paramedis yang sibuk memberikan pertolongan. Dan di sana, gue melihat Bima dengan wajah panik."Bima!" Gue spontan memanggilnya dan mendekat.Bima nengok dan terlihat lega saat melihat gue. "Dita, syukurlah lo di sini. Ini Pak Rudi, dia tiba-tiba jatuh pingsan."Gue kaget mendengar itu. Pak Rudi adalah kepala bagian pemasaran yang sangat penting dalam proyek kita. "Apa yang terjadi?" tanya gue sambil berusaha tetap tenang."Gak tau, tadi

    Last Updated : 2024-07-29
  • Jerat Cinta CEO Muda   BAB 4: Temuan Mengejutkan

    Pagi itu, gue datang ke kantor lebih awal dari biasanya. Gue masih merasa euforia dari kesuksesan makan malam dengan klien semalam. Gue duduk di meja gue, mulai menyalakan laptop, dan langsung sibuk dengan persiapan presentasi mingguan.Namun, baru beberapa menit bekerja, tiba-tiba Nia, sahabat gue di kantor, datang dengan wajah panik. "Dita, lo harus liat ini sekarang!" katanya sambil menyeret gue ke ruangannya."Nia, ada apa sih?" tanya gue bingung, sambil berusaha mengikuti langkah cepatnya."Ini serius, lo harus liat sendiri," jawab Nia sambil menunjukkan layar komputernya.Di layar itu, gue melihat sebuah email yang baru saja masuk dari salah satu tim IT. Judulnya bikin jantung gue langsung berdebar kencang: "URGENT: Data Breach Alert."Gue langsung baca email itu dengan cepat. Isinya memberitahu bahwa ada upaya peretasan ke sistem kita semalam, dan beberapa data penting proyek kita berpotensi bocor."Astaga, ini gawat banget," kata gue sambil menatap Nia dengan cemas. "Kita haru

    Last Updated : 2024-07-29
  • Jerat Cinta CEO Muda   BAB 5: Rahasia yang Terbongkar

    Pagi itu, gue baru aja selesai siap-siap untuk ke kantor. Tiba-tiba, handphone gue bergetar keras. Telepon dari Bima. Gue segera menjawabnya, suara Bima terdengar panik di ujung sana."Dita, lo harus datang ke kantor secepatnya. Ada sesuatu yang gawat banget terjadi," katanya cepat tanpa menjelaskan lebih lanjut.Jantung gue langsung berdebar. "Oke, gue segera ke sana," jawab gue sambil langsung berlari keluar rumah dan memanggil ojek online.Perjalanan ke kantor terasa lama banget, meski kenyataannya hanya beberapa menit. Pikiran gue dipenuhi dengan segala kemungkinan buruk yang bisa terjadi. Begitu sampai, gue langsung berlari masuk ke kantor dan menuju ruangan Bima.Pas gue masuk ke ruangan Bima, gue lihat dia sedang berdiri dengan wajah tegang di depan layar komputer. "Bima, ada apa?" tanya gue sambil berusaha mengatur napas.Bima menunjuk ke layar. "Lo harus lihat ini, Dita. Ini lebih dari sekadar peretasan."Gue mendekat dan melihat layar. Di sana ada rekaman CCTV dari kantor ki

    Last Updated : 2024-08-08
  • Jerat Cinta CEO Muda   BAB 6: Musuh di Dalam Bayangan

    Pagi itu, suasana di kantor terasa tegang. Semua orang tahu ada sesuatu yang besar sedang terjadi, tapi gak ada yang berani bertanya. Gue dan Bima sudah mempersiapkan tim untuk menghadapi segala kemungkinan. Kami mengadakan rapat darurat dengan semua kepala divisi."Tim, kita baru saja mendapat informasi dari pihak berwenang bahwa ada dalang di balik peretasan ini," kata Bima membuka rapat. "Kita harus ekstra waspada dan pastikan setiap langkah yang kita ambil terjaga keamanannya."Gue melanjutkan, "Mulai hari ini, semua komunikasi internal harus melalui jalur aman. Jangan ada informasi penting yang keluar dari sini tanpa izin. Kita harus temukan siapa dalang ini sebelum mereka melakukan kerusakan lebih besar."Setelah rapat selesai, gue kembali ke meja gue dan mulai menganalisis data yang kami miliki. Gue merasa ada sesuatu yang belum terungkap, sesuatu yang menghubungkan semua kejadian ini.Tiba-tiba, Nia datang dengan wajah pucat. "Dita, lo harus lihat ini," katanya sambil menyerah

    Last Updated : 2024-08-08

Latest chapter

  • Jerat Cinta CEO Muda   BAB 9: Jejak yang Terhapus

    Pagi itu, suasana kantor terasa lebih tenang di permukaan, tapi gue bisa merasakan ketegangan yang bersembunyi di balik setiap pandangan dan gerakan orang-orang. Semua terlihat bekerja seperti biasa, tapi gue tahu mereka masih resah setelah apa yang terjadi dengan peretasan dan kabar buruk yang menyebar tentang kemungkinan ancaman yang lebih besar.Gue tiba di kantor lebih awal dari biasanya, merasa lebih baik setelah tidur semalam. Meskipun sempat terbangun beberapa kali dengan pikiran tentang Alma dan apa yang mungkin terjadi selanjutnya, setidaknya gue merasa sedikit lebih siap untuk menghadapi hari ini. Gue langsung menuju ruangan gue, berharap Bima udah ada di sana seperti yang dijanjikannya kemarin. Dan benar aja, dia udah duduk di kursi tamu dengan wajah serius.“Gue nemuin sesuatu,” kata Bima begitu gue masuk. Dia menggeser laptopnya ke arah gue, menunjukkan beberapa laporan dari tim IT.Gue berjalan mendekat dan menatap layar. “Apa ini?”“Kita dapet jejak aktivitas tambahan d

  • Jerat Cinta CEO Muda   BAB 8: Ketukan di Tengah Malam

    Malam itu terasa sunyi di apartemen gue. Setelah berbicara dengan Bima, gue memutuskan untuk menutup laptop dan mengambil waktu buat diri sendiri. Gue pesan makanan dari restoran favorit gue dan menonton film untuk melepas penat. Semuanya berjalan biasa aja—sampai terdengar ketukan keras di pintu apartemen gue, membuat gue melompat dari sofa.Ketukan itu terdengar tergesa-gesa, seperti orang yang panik atau marah. Jantung gue berdetak lebih cepat, otak gue otomatis berpikir kalau ini sesuatu yang buruk. Siapa yang akan datang jam segini?Gue berjalan ke pintu dengan sedikit ragu. Ketika gue buka pintu, gue langsung tersentak. Di depan gue berdiri seorang wanita dengan wajah tegang, rambutnya acak-acakan, dan bajunya terlihat kotor seperti habis lari seharian. Dia menarik napas berat, seolah berusaha menenangkan dirinya sendiri.“Lo... lo harus bantuin gue,” kata wanita itu dengan suara terengah-engah, air mata mulai mengalir di pipinya.Gue menatapnya dengan bingung. “Maaf, lo siapa?”

  • Jerat Cinta CEO Muda   BAB 7: Membangun Kembali

    Pagi itu, kantor mulai terasa sedikit lebih ringan setelah ketegangan yang panjang. Sudah hampir seminggu sejak penangkapan Rian dan pengungkapan dalang sebenarnya di balik semua sabotase. Meski kepercayaan publik terhadap perusahaan sudah mulai pulih, tantangan baru tetap ada, dan beban untuk memperbaiki kerusakan besar masih ada di pundak gue dan Bima.“Gue rasa kita udah bisa bernapas sedikit lebih lega,” ujar Bima sambil berjalan masuk ke ruang rapat pagi itu. Tapi sorot matanya, meski hangat, tetap mengandung sedikit kekhawatiran.“Yah, lega mungkin, tapi ini belum selesai sepenuhnya, Bim,” jawab gue, melihat dokumen-dokumen yang tersebar di depan gue. “Masih ada beberapa klien besar yang ragu untuk melanjutkan kerja sama. Mereka butuh jaminan bahwa kita udah memperbaiki semuanya.”Dia mengangguk, mengerti maksud gue. Peretasan kemarin gak cuma menyebabkan kerugian finansial, tapi juga menimbulkan keraguan yang mendalam terhadap integritas sistem keamanan kami. Dan sekarang, semu

  • Jerat Cinta CEO Muda   BAB 6: Musuh di Dalam Bayangan

    Pagi itu, suasana di kantor terasa tegang. Semua orang tahu ada sesuatu yang besar sedang terjadi, tapi gak ada yang berani bertanya. Gue dan Bima sudah mempersiapkan tim untuk menghadapi segala kemungkinan. Kami mengadakan rapat darurat dengan semua kepala divisi."Tim, kita baru saja mendapat informasi dari pihak berwenang bahwa ada dalang di balik peretasan ini," kata Bima membuka rapat. "Kita harus ekstra waspada dan pastikan setiap langkah yang kita ambil terjaga keamanannya."Gue melanjutkan, "Mulai hari ini, semua komunikasi internal harus melalui jalur aman. Jangan ada informasi penting yang keluar dari sini tanpa izin. Kita harus temukan siapa dalang ini sebelum mereka melakukan kerusakan lebih besar."Setelah rapat selesai, gue kembali ke meja gue dan mulai menganalisis data yang kami miliki. Gue merasa ada sesuatu yang belum terungkap, sesuatu yang menghubungkan semua kejadian ini.Tiba-tiba, Nia datang dengan wajah pucat. "Dita, lo harus lihat ini," katanya sambil menyerah

  • Jerat Cinta CEO Muda   BAB 5: Rahasia yang Terbongkar

    Pagi itu, gue baru aja selesai siap-siap untuk ke kantor. Tiba-tiba, handphone gue bergetar keras. Telepon dari Bima. Gue segera menjawabnya, suara Bima terdengar panik di ujung sana."Dita, lo harus datang ke kantor secepatnya. Ada sesuatu yang gawat banget terjadi," katanya cepat tanpa menjelaskan lebih lanjut.Jantung gue langsung berdebar. "Oke, gue segera ke sana," jawab gue sambil langsung berlari keluar rumah dan memanggil ojek online.Perjalanan ke kantor terasa lama banget, meski kenyataannya hanya beberapa menit. Pikiran gue dipenuhi dengan segala kemungkinan buruk yang bisa terjadi. Begitu sampai, gue langsung berlari masuk ke kantor dan menuju ruangan Bima.Pas gue masuk ke ruangan Bima, gue lihat dia sedang berdiri dengan wajah tegang di depan layar komputer. "Bima, ada apa?" tanya gue sambil berusaha mengatur napas.Bima menunjuk ke layar. "Lo harus lihat ini, Dita. Ini lebih dari sekadar peretasan."Gue mendekat dan melihat layar. Di sana ada rekaman CCTV dari kantor ki

  • Jerat Cinta CEO Muda   BAB 4: Temuan Mengejutkan

    Pagi itu, gue datang ke kantor lebih awal dari biasanya. Gue masih merasa euforia dari kesuksesan makan malam dengan klien semalam. Gue duduk di meja gue, mulai menyalakan laptop, dan langsung sibuk dengan persiapan presentasi mingguan.Namun, baru beberapa menit bekerja, tiba-tiba Nia, sahabat gue di kantor, datang dengan wajah panik. "Dita, lo harus liat ini sekarang!" katanya sambil menyeret gue ke ruangannya."Nia, ada apa sih?" tanya gue bingung, sambil berusaha mengikuti langkah cepatnya."Ini serius, lo harus liat sendiri," jawab Nia sambil menunjukkan layar komputernya.Di layar itu, gue melihat sebuah email yang baru saja masuk dari salah satu tim IT. Judulnya bikin jantung gue langsung berdebar kencang: "URGENT: Data Breach Alert."Gue langsung baca email itu dengan cepat. Isinya memberitahu bahwa ada upaya peretasan ke sistem kita semalam, dan beberapa data penting proyek kita berpotensi bocor."Astaga, ini gawat banget," kata gue sambil menatap Nia dengan cemas. "Kita haru

  • Jerat Cinta CEO Muda   BAB 3: Kejutan Pagi

    Pagi itu, baru aja turun dari ojek online dan siap-siap masuk ke kantor, tiba-tiba suara sirene ambulans mendekat. Gue nengok ke arah suara dan melihat kerumunan orang di depan gedung kantor. Hati gue langsung berdegup kencang, perasaan cemas mulai merayapi.Gue bergegas mendekat dan bertanya kepada salah satu satpam yang ada di sana, "Ada apa ini, Pak?""Katanya ada yang pingsan di lobby," jawab satpam dengan nada serius.Gue langsung mikir siapa yang mungkin pingsan di lobby. Saat gue masuk ke dalam, gue lihat seorang pria terbaring di lantai dengan paramedis yang sibuk memberikan pertolongan. Dan di sana, gue melihat Bima dengan wajah panik."Bima!" Gue spontan memanggilnya dan mendekat.Bima nengok dan terlihat lega saat melihat gue. "Dita, syukurlah lo di sini. Ini Pak Rudi, dia tiba-tiba jatuh pingsan."Gue kaget mendengar itu. Pak Rudi adalah kepala bagian pemasaran yang sangat penting dalam proyek kita. "Apa yang terjadi?" tanya gue sambil berusaha tetap tenang."Gak tau, tadi

  • Jerat Cinta CEO Muda   BAB 2: Meeting Pertama

    Gue gak pernah nyangka pagi ini bakal jadi salah satu pagi paling mengejutkan dalam hidup gue. Begitu sampai di kantor, gue langsung disambut oleh Mbak Lala yang ngasih tau kalau ada meeting mendadak di ruang rapat utama."Dita, buruan ke ruang rapat. Bima udah nunggu," katanya dengan nada serius."Meeting apa, Mbak?" tanya gue, bingung. Biasanya meeting dijadwalkan jauh-jauh hari."Pokoknya penting. Langsung aja ya!" balas Mbak Lala sambil buru-buru pergi.Gue cepet-cepet bawa laptop dan catatan gue, terus langsung menuju ruang rapat utama. Pas gue buka pintu, gue kaget ngeliat ruangan penuh dengan beberapa orang yang gue kenal sebagai petinggi perusahaan, termasuk Bima yang duduk di ujung meja dengan wajah serius."Dita, duduk sini," panggil Bima sambil nunjuk kursi kosong di sebelahnya. Gue langsung duduk, sambil ngerasa semua mata tertuju ke gue.Bima mulai meeting dengan suara tegas. "Hari ini kita akan bahas proyek baru yang gue yakin bisa bawa perusahaan kita ke level berikutny

  • Jerat Cinta CEO Muda   BAB 1: Kenalan Sama Si Boss

    Gue, Dita, baru dua bulan kerja di perusahaan startup yang lagi naik daun ini. Perusahaan ini bergerak di bidang teknologi, dan gue kebetulan ditempatkan di departemen pemasaran. Pagi ini, gue lagi asik-asiknya bikin laporan mingguan sambil ngopi, tiba-tiba telepon di meja gue berdering."Dita, lo dipanggil ke ruang CEO sekarang," suara sekretaris Bima, Mbak Lala, terdengar di ujung sana.Jantung gue langsung berdegup kencang. "Ada apa ya, Mbak?" tanya gue, berusaha tenang padahal pikiran gue udah kacau."Katanya ada yang mau dibahas soal proyek. Langsung aja ya, jangan lama-lama," katanya dengan nada serius.Gue langsung bergegas. Gue yakin gue gak bikin kesalahan besar, tapi tetep aja rasa takut itu ada. Gue jalan cepat menuju ruang CEO di lantai atas. Pas gue sampai, Mbak Lala langsung ngasih kode buat masuk.Gue mengetuk pintu dan masuk dengan hati-hati. Bima, si CEO, lagi duduk di balik meja kerjanya dengan wajah serius. Dia ngeliat gue sebentar, terus nunjuk ke kursi di depannya

DMCA.com Protection Status