Share

BAB 7: Membangun Kembali

Pagi itu, kantor mulai terasa sedikit lebih ringan setelah ketegangan yang panjang. Sudah hampir seminggu sejak penangkapan Rian dan pengungkapan dalang sebenarnya di balik semua sabotase. Meski kepercayaan publik terhadap perusahaan sudah mulai pulih, tantangan baru tetap ada, dan beban untuk memperbaiki kerusakan besar masih ada di pundak gue dan Bima.

“Gue rasa kita udah bisa bernapas sedikit lebih lega,” ujar Bima sambil berjalan masuk ke ruang rapat pagi itu. Tapi sorot matanya, meski hangat, tetap mengandung sedikit kekhawatiran.

“Yah, lega mungkin, tapi ini belum selesai sepenuhnya, Bim,” jawab gue, melihat dokumen-dokumen yang tersebar di depan gue. “Masih ada beberapa klien besar yang ragu untuk melanjutkan kerja sama. Mereka butuh jaminan bahwa kita udah memperbaiki semuanya.”

Dia mengangguk, mengerti maksud gue. Peretasan kemarin gak cuma menyebabkan kerugian finansial, tapi juga menimbulkan keraguan yang mendalam terhadap integritas sistem keamanan kami. Dan sekarang, semua itu kembali ke tangan kami untuk membangun kembali dari dasar.

“Lo bener,” kata Bima sambil duduk di sebelah gue. “Tapi kita udah melalui yang terburuk, Dit. Tinggal langkah-langkah kecil untuk memperbaiki semuanya.” Dia tersenyum tipis. “Satu hal yang gue pelajari selama ini, kadang lo gak bisa memperbaiki semuanya sekaligus. Lo cuma bisa fokus pada langkah berikutnya, satu demi satu.”

Gue tersenyum mendengar nasihatnya. Bima selalu tahu cara menenangkan gue, bahkan di saat gue merasa semua ini seperti gunung yang gak mungkin didaki. Dan hari ini, gue membutuhkan dorongan itu.

“Kita ada rapat sama klien besar siang ini, kan?” tanya gue, memandang agenda yang gue catat di buku gue.

Bima mengangguk. “Iya, klien dari Amerika itu, perusahaan teknologi. Mereka salah satu yang paling khawatir soal keamanan kita.”

“Baiklah,” jawab gue sambil merapikan dokumen-dokumen di meja. “Kita harus meyakinkan mereka bahwa kejadian kemarin gak akan terulang lagi.”

**

Siang itu, gue dan Bima duduk berseberangan dengan perwakilan dari klien besar di ruang konferensi. Mereka terlihat serius, wajah-wajah tanpa senyum yang menunjukkan betapa kritis situasi ini bagi mereka. Di hadapan kami ada Jonathan, direktur operasional mereka, yang langsung membuka pembicaraan dengan nada tegas.

“Kami masih khawatir soal peretasan yang terjadi minggu lalu,” ujar Jonathan dengan nada tegas. “Ini bukan hanya tentang uang yang hilang, tapi juga tentang reputasi. Dan kami gak bisa bekerja dengan perusahaan yang keamanannya gak bisa dijamin.”

Gue bisa merasakan sedikit ketegangan di udara, tapi gue tetap berusaha tenang. “Kami paham kekhawatiran Anda, Pak Jonathan,” jawab gue sambil menatapnya langsung. “Sejak kejadian itu, kami telah melakukan audit keamanan menyeluruh, meningkatkan enkripsi data kami, dan memperkuat sistem dengan teknologi baru. Kami juga telah bekerja sama dengan ahli keamanan dunia maya terbaik untuk memastikan tidak ada lagi celah di sistem kami.”

Jonathan mengangkat alisnya. “Audit itu hasilnya apa?”

Gue melanjutkan dengan yakin, “Kami menemukan beberapa celah yang berhasil diperbaiki. Tim kami telah bekerja tanpa henti untuk memastikan tidak ada lagi ancaman dari luar atau dalam. Semua kerentanan sudah ditangani. Kami bisa memberikan Anda laporan lengkapnya kalau mau.”

Bima ikut menambahkan, “Kami juga sudah menambah lapisan keamanan yang akan melindungi data klien kami secara lebih efektif. Kami paham bahwa keamanan adalah prioritas utama, dan itulah yang kami fokuskan sejak hari pertama setelah insiden.”

Jonathan terdiam sejenak, mempertimbangkan apa yang baru saja kami katakan. Setelah beberapa detik yang terasa seperti satu abad, dia akhirnya angkat bicara lagi. “Baiklah, kami akan meninjau laporan Anda. Jika hasilnya memuaskan, kita bisa melanjutkan kerja sama. Tapi ingat, ini kesempatan terakhir bagi perusahaan Anda. Kami gak akan mentolerir kegagalan lagi.”

“Terima kasih atas kesempatan ini, Pak Jonathan,” jawab Bima sambil tersenyum. “Kami gak akan mengecewakan Anda.”

Rapat berakhir dengan ketegangan yang sedikit mereda, tapi gue tahu ini hanya awal dari perjalanan panjang untuk membangun kembali kepercayaan. Setelah Jonathan dan timnya pergi, gue dan Bima kembali ke kantor dengan perasaan campur aduk.

“Gue benci situasi kayak gini,” ujar gue, menatap ke arah jendela. “Selalu ada perasaan bahwa satu kesalahan lagi, dan semuanya akan runtuh.”

Bima mendekat dan meletakkan tangan di pundak gue. “Kita udah jauh lebih kuat dari sebelumnya, Dit. Lo harus percaya pada apa yang udah kita bangun.”

Gue mengangguk, meski rasa khawatir masih ada. Perjalanan ini jelas gak akan mudah, tapi setidaknya gue tahu gue gak sendirian. Ada Bima yang selalu ada di samping gue, memberi dukungan saat gue butuh, dan itu udah cukup buat gue terus maju.

**

Hari-hari berlalu dengan cepat. Setelah pertemuan dengan Jonathan dan timnya, gue semakin sibuk dengan pekerjaan yang rasanya gak ada habisnya. Setiap hari penuh dengan rapat, laporan yang harus diperiksa, dan keputusan-keputusan besar yang harus diambil. Meski begitu, gue mulai merasakan sedikit kemajuan. Tim IT kami bekerja keras memperkuat sistem, dan klien mulai merespon positif dengan pembaruan yang kami lakukan.

Namun, di balik kesibukan itu, ada satu hal yang mulai mengusik pikiran gue. Hubungan gue dengan Bima. Sejak kami berbicara tentang perasaan kami satu sama lain beberapa waktu lalu, rasanya ada dinding tak terlihat yang menghalangi kami untuk melangkah lebih jauh. Kami berdua sibuk, dan entah kenapa, percakapan kami jadi lebih formal dan jarang menyentuh hal-hal personal lagi.

Suatu malam, setelah seharian bekerja tanpa henti, gue memutuskan untuk tinggal lebih lama di kantor. Gue tahu ada beberapa hal yang perlu gue selesaikan, tapi ada juga yang bikin gue pengen kabur dari kerumitan ini. Saat gue lagi tenggelam dalam pekerjaan, suara ketukan di pintu ruang kerja gue mengalihkan perhatian gue.

“Masih di sini?” suara Bima terdengar dari balik pintu, diikuti dengan senyuman yang udah familiar di wajahnya.

“Ya, gue gak bisa ninggalin ini semua begitu aja,” jawab gue sambil tersenyum tipis.

Bima masuk ke ruangan dan duduk di sofa di sudut ruangan gue. “Gue paham. Kadang pekerjaan ini kayak monster yang terus menggerogoti waktu kita.”

Gue tertawa kecil. “Iya, dan semakin gue kerja, semakin banyak yang harus diselesaikan.”

“Kita perlu istirahat, Dit. Lo tau itu, kan?” ujar Bima sambil menatap gue dengan serius.

Gue menghela napas. “Iya, gue tau. Tapi sekarang bukan waktu yang tepat buat istirahat.”

“Lo ngomong kayak gitu selama seminggu terakhir,” balas Bima, nadanya sedikit khawatir. “Lo gak bisa terus-terusan mengorbankan kesehatan lo cuma buat kerja. Gue gak mau lo jatuh sakit.”

Ada kehangatan dalam kata-katanya yang bikin hati gue bergetar. Selama ini, dia selalu ada buat gue, dan gue tahu dia peduli, bukan hanya soal pekerjaan, tapi juga soal gue sebagai pribadi.

“Apa kita gak bisa ngobrol lebih dari ini, Dit?” tanyanya tiba-tiba. Suaranya terdengar ragu, seperti dia juga gak yakin apa dia seharusnya melontarkan pertanyaan itu.

Gue menatapnya, bingung dengan maksud pertanyaannya. “Maksud lo?”

Bima menghela napas panjang sebelum berbicara lagi. “Gue cuma merasa... kita gak pernah melanjutkan apa yang udah kita bicarakan dulu. Soal perasaan kita. Lo tau maksud gue, kan?”

Gue terdiam sejenak, merenungkan kata-katanya. Dia bener. Sejak pembicaraan kami di rooftop waktu itu, kami gak pernah benar-benar menyelesaikan masalah perasaan kami. Semua terlalu sibuk, terlalu rumit.

“Gue tau, Bima,” jawab gue pelan. “Gue juga merasain hal yang sama. Tapi gue gak tau apa yang harus gue lakuin sekarang. Semua ini... pekerjaan, masalah keamanan, tanggung jawab gue merasa itu lebih besar dari kita.”

Bima tersenyum kecil, meski sorot matanya terlihat sedikit terluka. “Gue ngerti. Gue gak maksud buat bikin lo merasa terbebani lebih dari ini. Tapi gue cuma pengen kita jujur satu sama lain.”

Gue menunduk, merasa sedikit bersalah karena udah mengabaikan perasaan dia. “Lo bener,” gue akhirnya mengaku, meskipun suara gue terasa berat. “Gue terlalu fokus sama kerjaan ini sampai gue lupa kalau ada hal lain yang juga penting. Gue gak bermaksud buat ngejauhin lo, Bim. Gue cuma... bingung.”

Bima mengangguk pelan. Matanya menatap gue dengan lembut, tapi di balik itu, gue bisa melihat ada sedikit rasa sakit yang dia sembunyikan. “Gue gak pernah minta lo untuk milih antara pekerjaan sama hubungan kita, Dit,” katanya dengan tenang. “Gue cuma pengen kita jujur tentang apa yang kita rasain, tanpa harus nyembunyiin apapun.”

Gue terdiam, memikirkan apa yang baru dia bilang. Ini bukan pertama kalinya gue menghadapi situasi kayak gini, di mana pekerjaan dan kehidupan pribadi bertabrakan. Tapi kali ini, berbeda. Kali ini, orang yang terlibat adalah Bima—seseorang yang berarti lebih dari sekadar rekan kerja atau atasan.

“Gue juga pengen hal yang sama,” jawab gue akhirnya, meski suara gue terdengar lebih pelan dari biasanya. “Gue gak mau kita berakhir kayak ini, saling menjauh karena kerjaan.”

Bima tersenyum kecil, tapi kali ini ada sedikit keteguhan di balik senyumnya. “Kalau gitu, kita harus coba buat jaga keseimbangan. Kita tahu tanggung jawab kita berat, tapi kita juga tahu kalau kita gak bisa ngebiarin perasaan kita terkubur begitu aja.”

Gue mengangguk, meskipun di dalam hati, gue masih bertanya-tanya gimana caranya. Tapi gue tahu satu hal: gue gak mau kehilangan Bima karena gue terlalu sibuk dengan pekerjaan gue. Gue gak mau hubungan kita hanya berakhir menjadi korban dari ambisi yang kami kejar.

“Mungkin kita bisa mulai dengan lebih sering ngobrol,” lanjut gue, mencoba memberikan solusi kecil. “Bukan cuma tentang kerjaan, tapi tentang kita. Gimana perasaan kita. Mungkin dengan itu, kita bisa menemukan jalan yang lebih baik.”

Bima mengangguk setuju. “Gue setuju. Kita perlu komunikasi yang lebih baik, apalagi di tengah situasi kayak gini. Gue gak mau kita hilang di tengah semua ini.”

Kami terdiam sebentar, membiarkan keheningan menyelimuti ruangan. Tapi keheningan kali ini terasa berbeda. Lebih nyaman, seolah kami udah menemukan pijakan baru dalam hubungan kami—meskipun kecil, tapi cukup kuat untuk jadi dasar yang lebih baik ke depannya.

“Lo lapar?” tanya Bima tiba-tiba, memecah keheningan dengan senyum nakalnya.

Gue tertawa kecil, merasa sedikit lega setelah pembicaraan yang berat barusan. “Lapar banget. Tapi gue gak yakin gue bisa ninggalin kerjaan ini sekarang.”

“Gue udah bilang kan, lo perlu istirahat.” Bima berdiri dan menarik tangan gue. “Ayo, kita keluar sebentar. Makan malam dulu. Kerjaan bisa nunggu, tapi kesehatan lo gak bisa.”

Gue berpikir sejenak, tapi akhirnya gue mengalah. “Baiklah, lo menang kali ini,” jawab gue sambil tersenyum.

Kami keluar dari kantor dan berjalan menuju restoran favorit kami yang letaknya gak jauh dari gedung kantor. Malam itu, meski gue masih merasa terbebani dengan tanggung jawab besar yang ada di depan gue, gue juga merasa ada harapan baru. Gue dan Bima gak sempurna, dan hubungan kami jelas punya banyak tantangan. Tapi malam itu, gue sadar bahwa kami berdua masih ingin memperjuangkan apa yang kami punya.

**

Keesokan harinya, rutinitas kembali seperti biasa. Kantor sibuk seperti biasanya, tapi suasana mulai terasa lebih ringan. Gue merasa sedikit lebih bersemangat setelah malam kemarin. Rasanya seperti ada beban yang sedikit terangkat, dan gue bisa lebih fokus menghadapi tugas-tugas yang ada di depan gue.

Pagi itu, gue dan Bima kembali ke rutinitas kami yang biasa—rapat, menyelesaikan laporan, dan memastikan semua proyek berjalan lancar. Tapi di balik semua kesibukan itu, ada sesuatu yang berbeda. Kami lebih sering saling tersenyum, lebih sering melemparkan lelucon kecil di tengah tekanan pekerjaan. Mungkin bagi orang lain hal ini terlihat sepele, tapi buat gue, ini adalah tanda bahwa kami sedang membangun sesuatu yang lebih kuat dari sebelumnya.

Siang itu, kami mendapat kabar baik dari klien besar yang kemarin sempat meragukan kami. Jonathan mengirimkan email, menyatakan bahwa setelah meninjau laporan keamanan yang kami kirimkan, mereka memutuskan untuk melanjutkan kerja sama dengan syarat tambahan. Meski ada beberapa penyesuaian yang harus kami buat, tapi ini adalah tanda positif bahwa kepercayaan mulai kembali dibangun.

“Ini kabar bagus, Dit!” ujar Bima dengan semangat setelah membaca email itu. “Kita berhasil meyakinkan mereka!”

Gue tersenyum lega. “Ya, setidaknya ini langkah besar buat kita. Sekarang tinggal menjaga agar gak ada lagi insiden kayak kemarin.”

Kami berdua tahu bahwa perjalanan kami masih panjang. Peretasan yang terjadi beberapa minggu lalu meninggalkan bekas yang dalam, dan meski kami udah berhasil memperbaiki banyak hal, bayang-bayang kerusakan itu masih ada. Tapi gue juga tahu bahwa selama kami terus bekerja sama, kami bisa melewati semuanya.

**

Malam itu, setelah semua pekerjaan selesai, gue duduk di balkon apartemen gue. Gue butuh waktu buat merenung setelah hari yang panjang dan melelahkan ini. Pikiran gue terbang ke banyak hal—dari pekerjaan yang terus menumpuk, klien-klien yang masih menunggu kejelasan, hingga hubungan gue dengan Bima yang perlahan mulai menemukan jalannya.

Gue masih ingat kata-kata Bima tadi malam, tentang pentingnya komunikasi. Gue sadar, dia bener. Selama ini gue terlalu fokus pada pekerjaan, dan gue lupa bahwa ada hal lain yang juga butuh perhatian gue. Bima udah ada buat gue, mendukung gue di saat-saat tersulit, dan gue tahu gue gak boleh menyia-nyiakan itu.

Tiba-tiba, suara telepon gue berdering, memecah keheningan malam. Gue melihat layar dan tersenyum saat melihat nama Bima terpampang di sana.

“Gue ganggu waktu tenang lo, ya?” suara Bima terdengar dari seberang sana, terdengar lembut tapi ada nada jahil di dalamnya.

Gue tertawa pelan. “Gak kok. Justru gue seneng lo telepon. Apa kabar?”

“Baik,” jawabnya dengan nada riang. “Gue cuma pengen tau lo udah makan malam belum?”

Gue menggeleng, meskipun dia gak bisa lihat. “Belum. Tapi jangan khawatir, gue gak bakal kelaparan. Gue bakal pesan makanan sebentar lagi.”

“Good,” katanya sambil tertawa kecil. “Gue cuma gak mau lo sibuk kerja lagi sampai lupa makan.”

Gue tersenyum mendengar perhatian yang dia tunjukkan. “Thanks, Bim. Gue seneng lo masih peduli sama gue di tengah semua kekacauan ini.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status