Pagi itu, baru aja turun dari ojek online dan siap-siap masuk ke kantor, tiba-tiba suara sirene ambulans mendekat. Gue nengok ke arah suara dan melihat kerumunan orang di depan gedung kantor. Hati gue langsung berdegup kencang, perasaan cemas mulai merayapi.
Gue bergegas mendekat dan bertanya kepada salah satu satpam yang ada di sana, "Ada apa ini, Pak?" "Katanya ada yang pingsan di lobby," jawab satpam dengan nada serius. Gue langsung mikir siapa yang mungkin pingsan di lobby. Saat gue masuk ke dalam, gue lihat seorang pria terbaring di lantai dengan paramedis yang sibuk memberikan pertolongan. Dan di sana, gue melihat Bima dengan wajah panik. "Bima!" Gue spontan memanggilnya dan mendekat. Bima nengok dan terlihat lega saat melihat gue. "Dita, syukurlah lo di sini. Ini Pak Rudi, dia tiba-tiba jatuh pingsan." Gue kaget mendengar itu. Pak Rudi adalah kepala bagian pemasaran yang sangat penting dalam proyek kita. "Apa yang terjadi?" tanya gue sambil berusaha tetap tenang. "Gak tau, tadi dia baru masuk terus tiba-tiba jatuh," jawab Bima dengan nada khawatir. Gue bantu Bima mengawasi situasi sambil memastikan semuanya terkendali. Setelah beberapa menit, paramedis memutuskan untuk membawa Pak Rudi ke rumah sakit. Bima langsung memberi instruksi pada beberapa staf untuk mengurus administrasi dan memastikan Pak Rudi mendapat perawatan terbaik. Setelah ambulans pergi, Bima menghela napas panjang. "Gue harap dia baik-baik saja," katanya dengan nada penuh kekhawatiran. "Semoga aja," jawab gue, berusaha memberi dukungan. "Jadi, gimana dengan meeting kita?" Bima mengangguk pelan. "Kita tetap jalan. Proyek ini gak bisa berhenti hanya karena satu kejadian. Ayo ke ruang rapat, gue akan kasih pengarahan." Kami berjalan ke ruang rapat utama, dan Bima langsung mulai meeting dengan tim inti. Semua orang terlihat cemas dan sedikit terguncang karena kejadian tadi, tapi Bima berusaha untuk tetap tenang dan profesional. "Teman-teman, kita semua tahu kalau Pak Rudi adalah bagian penting dari tim ini. Tapi kita harus tetap jalan. Dita, lo ambil alih tugas-tugas yang biasanya ditangani Pak Rudi sementara waktu ini. Lo juga yang akan koordinasi langsung dengan gue," kata Bima tegas. Gue mengangguk dan menerima tanggung jawab baru ini. "Baik, Bima. Saya siap," jawab gue dengan mantap. Kami mulai meeting dengan membahas strategi yang udah gue presentasiin sebelumnya. Gue merasa tanggung jawab di pundak gue makin besar, tapi gue juga merasa semangat buat nunjukin kemampuan gue. Setelah beberapa jam, meeting selesai. Gue langsung balik ke meja gue dan mulai ngerjain tugas-tugas yang tadi udah dibahas. Gak lama kemudian, Bima nyamperin meja gue. "Dita, gue tau ini berat buat lo. Tapi gue yakin lo bisa," katanya dengan nada serius. "Terima kasih, Bima. Saya akan lakuin yang terbaik," jawab gue. Bima tersenyum tipis. "Gue juga mau kasih tau, kita ada meeting dengan klien besar besok. Gue butuh lo siapin presentasi buat mereka." "Siap, Bima. Saya akan siapin semuanya," jawab gue dengan penuh semangat. Hari itu berlalu dengan cepat. Gue sibuk ngurusin tugas-tugas baru dan nyiapin presentasi buat meeting besok. Gue juga terus update kabar tentang kondisi Pak Rudi dari rumah sakit. Malamnya, gue pulang dengan perasaan campur aduk antara cemas dan semangat. Gue tau tantangan besar menanti, tapi gue juga yakin bisa ngatasinnya dengan dukungan dari Bima dan tim inti. Besoknya, gue datang lebih pagi ke kantor buat memastikan semuanya siap untuk meeting dengan klien. Pas lagi nyiapin presentasi di ruang rapat, Bima masuk dan ngeliat kerjaan gue. "Bagus, Dita. Presentasinya kelihatan solid. Gue yakin klien bakal suka," katanya sambil ngasih senyum semangat. "Terima kasih, Bima. Semoga aja semuanya berjalan lancar," jawab gue. Saat meeting dimulai, gue dan Bima bekerja sama dengan baik. Gue ngejelasin konsep dan strategi pemasaran kita, sementara Bima nambahin detail-detail penting yang meyakinkan klien. Klien terlihat puas dan tertarik dengan ide kita. Setelah meeting selesai dan klien pergi, Bima mengajak gue ngobrol di ruangannya. "Dita, gue bangga dengan kerja lo hari ini. Lo udah nunjukin kalo lo bisa diandalkan." "Terima kasih, Bima. Saya juga belajar banyak dari lo," jawab gue. Bima tersenyum. "Kita tim yang bagus. Gue yakin proyek ini bakal sukses." Gue pulang dengan perasaan bangga dan puas. Hari-hari ke depan pasti penuh dengan tantangan, tapi gue siap menghadapinya. Ini baru awal dari perjalanan panjang yang penuh dengan kejutan dan pelajaran berharga. Keesokan harinya, gue kembali sibuk dengan berbagai persiapan proyek. Bima mengundang gue untuk makan siang bersama di kantin kantor. Ini pertama kalinya gue makan siang bareng Bima dan gue merasa sedikit canggung. Saat kami duduk di meja, Bima mulai berbicara. "Dita, gue pengen tau lebih banyak tentang lo. Apa yang bikin lo tertarik kerja di bidang pemasaran?" Gue tersenyum dan mulai bercerita. "Sebenernya, gue dari dulu suka banget sama dunia komunikasi dan iklan. Gue suka gimana sebuah pesan bisa disampaikan dengan cara yang kreatif dan mempengaruhi banyak orang." Bima mendengarkan dengan seksama. "Menarik. Gue lihat lo punya potensi besar. Tapi lo harus siap dengan tantangan yang ada di depan." "Iya, Bima. Gue siap belajar dan berkembang," jawab gue dengan yakin. Kami melanjutkan makan siang dengan obrolan ringan tentang hobi dan kehidupan di luar kantor. Gue mulai merasa lebih nyaman dan bisa melihat sisi lain dari Bima yang lebih santai dan ramah. Setelah makan siang, kami kembali ke kantor dan melanjutkan pekerjaan. Gue merasa semakin dekat dengan Bima, bukan hanya sebagai bos tapi juga sebagai rekan kerja yang bisa diandalkan. Hari-hari berikutnya penuh dengan kesibukan. Gue terus bekerja keras, belajar banyak hal baru, dan semakin mengenal Bima. Gue merasa proyek ini semakin mendekatkan kami, bukan hanya dalam pekerjaan tapi juga dalam hal personal. Malam itu, saat gue sedang mempersiapkan laporan untuk presentasi berikutnya, gue mendapat pesan dari Bima. "Dita, besok ada acara makan malam dengan klien penting. Gue pengen lo ikut." Gue merasa senang sekaligus gugup. "Siap, Bima. Saya akan hadir." Hari berikutnya, setelah jam kerja selesai, gue pulang sebentar untuk ganti pakaian yang lebih formal. Gue memilih gaun sederhana tapi elegan, dan sedikit dandan untuk terlihat lebih rapi. Saat tiba di restoran tempat acara makan malam berlangsung, gue melihat Bima sudah menunggu di pintu masuk. Dia mengenakan setelan jas hitam yang membuatnya terlihat semakin karismatik. "Bagus, Dita. Lo terlihat cantik malam ini," kata Bima dengan senyum. "Terima kasih, Bima," jawab gue dengan sedikit malu. Kami masuk ke dalam restoran dan disambut oleh klien yang sudah menunggu di meja. Makan malam itu berlangsung dengan lancar. Gue dan Bima bekerja sama dengan baik untuk meyakinkan klien tentang proyek kita. Klien terlihat puas dan setuju untuk melanjutkan kerjasama. Setelah acara selesai, Bima mengantar gue keluar restoran. "Lo melakukan pekerjaan yang bagus, Dita. Gue bangga dengan lo." "Terima kasih, Bima. Ini semua berkat dukungan lo juga," jawab gue dengan tulus. Kami berdiri di depan restoran, malam itu terasa hangat dan tenang. Gue merasa ada sesuatu yang berbeda dalam cara Bima melihat gue. Ada kehangatan dan perhatian yang gue belum pernah lihat sebelumnya. "Lo mau gue antar pulang?" tanya Bima. Gue sedikit ragu tapi kemudian mengangguk. "Boleh, terima kasih." Dalam perjalanan pulang, kami berbicara tentang banyak hal, dari pekerjaan hingga kehidupan pribadi. Gue merasa semakin dekat dengan Bima, dan ada perasaan yang mulai tumbuh dalam hati gue. Saat tiba di depan rumah, Bima menghentikan mobilnya dan menoleh ke gue. "Dita, gue senang bisa kerja bareng lo. Gue merasa kita bisa jadi tim yang hebat." Gue tersenyum dan merasa bahagia. "Gue juga merasa begitu, Bima. Terima kasih untuk semuanya." Bima tersenyum dan mengangguk. "Selamat malam, Dita. Sampai ketemu besok." "Selamat malam, Bima," jawab gue sebelum turun dari mobil. Gue masuk ke rumah dengan perasaan campur aduk antara bahagia dan gugup. Malam itu, gue gak bisa tidur nyenyak. Bayangan tentang proyek dan hubungan gue dengan Bima terus mengisi pikiran gue. Gue tau perjalanan ini masih panjang, tapi gue siap menghadapi setiap tantangan dengan semPagi itu, gue datang ke kantor lebih awal dari biasanya. Gue masih merasa euforia dari kesuksesan makan malam dengan klien semalam. Gue duduk di meja gue, mulai menyalakan laptop, dan langsung sibuk dengan persiapan presentasi mingguan.Namun, baru beberapa menit bekerja, tiba-tiba Nia, sahabat gue di kantor, datang dengan wajah panik. "Dita, lo harus liat ini sekarang!" katanya sambil menyeret gue ke ruangannya."Nia, ada apa sih?" tanya gue bingung, sambil berusaha mengikuti langkah cepatnya."Ini serius, lo harus liat sendiri," jawab Nia sambil menunjukkan layar komputernya.Di layar itu, gue melihat sebuah email yang baru saja masuk dari salah satu tim IT. Judulnya bikin jantung gue langsung berdebar kencang: "URGENT: Data Breach Alert."Gue langsung baca email itu dengan cepat. Isinya memberitahu bahwa ada upaya peretasan ke sistem kita semalam, dan beberapa data penting proyek kita berpotensi bocor."Astaga, ini gawat banget," kata gue sambil menatap Nia dengan cemas. "Kita haru
Pagi itu, gue baru aja selesai siap-siap untuk ke kantor. Tiba-tiba, handphone gue bergetar keras. Telepon dari Bima. Gue segera menjawabnya, suara Bima terdengar panik di ujung sana."Dita, lo harus datang ke kantor secepatnya. Ada sesuatu yang gawat banget terjadi," katanya cepat tanpa menjelaskan lebih lanjut.Jantung gue langsung berdebar. "Oke, gue segera ke sana," jawab gue sambil langsung berlari keluar rumah dan memanggil ojek online.Perjalanan ke kantor terasa lama banget, meski kenyataannya hanya beberapa menit. Pikiran gue dipenuhi dengan segala kemungkinan buruk yang bisa terjadi. Begitu sampai, gue langsung berlari masuk ke kantor dan menuju ruangan Bima.Pas gue masuk ke ruangan Bima, gue lihat dia sedang berdiri dengan wajah tegang di depan layar komputer. "Bima, ada apa?" tanya gue sambil berusaha mengatur napas.Bima menunjuk ke layar. "Lo harus lihat ini, Dita. Ini lebih dari sekadar peretasan."Gue mendekat dan melihat layar. Di sana ada rekaman CCTV dari kantor ki
Pagi itu, suasana di kantor terasa tegang. Semua orang tahu ada sesuatu yang besar sedang terjadi, tapi gak ada yang berani bertanya. Gue dan Bima sudah mempersiapkan tim untuk menghadapi segala kemungkinan. Kami mengadakan rapat darurat dengan semua kepala divisi."Tim, kita baru saja mendapat informasi dari pihak berwenang bahwa ada dalang di balik peretasan ini," kata Bima membuka rapat. "Kita harus ekstra waspada dan pastikan setiap langkah yang kita ambil terjaga keamanannya."Gue melanjutkan, "Mulai hari ini, semua komunikasi internal harus melalui jalur aman. Jangan ada informasi penting yang keluar dari sini tanpa izin. Kita harus temukan siapa dalang ini sebelum mereka melakukan kerusakan lebih besar."Setelah rapat selesai, gue kembali ke meja gue dan mulai menganalisis data yang kami miliki. Gue merasa ada sesuatu yang belum terungkap, sesuatu yang menghubungkan semua kejadian ini.Tiba-tiba, Nia datang dengan wajah pucat. "Dita, lo harus lihat ini," katanya sambil menyerah
Pagi itu, kantor mulai terasa sedikit lebih ringan setelah ketegangan yang panjang. Sudah hampir seminggu sejak penangkapan Rian dan pengungkapan dalang sebenarnya di balik semua sabotase. Meski kepercayaan publik terhadap perusahaan sudah mulai pulih, tantangan baru tetap ada, dan beban untuk memperbaiki kerusakan besar masih ada di pundak gue dan Bima.“Gue rasa kita udah bisa bernapas sedikit lebih lega,” ujar Bima sambil berjalan masuk ke ruang rapat pagi itu. Tapi sorot matanya, meski hangat, tetap mengandung sedikit kekhawatiran.“Yah, lega mungkin, tapi ini belum selesai sepenuhnya, Bim,” jawab gue, melihat dokumen-dokumen yang tersebar di depan gue. “Masih ada beberapa klien besar yang ragu untuk melanjutkan kerja sama. Mereka butuh jaminan bahwa kita udah memperbaiki semuanya.”Dia mengangguk, mengerti maksud gue. Peretasan kemarin gak cuma menyebabkan kerugian finansial, tapi juga menimbulkan keraguan yang mendalam terhadap integritas sistem keamanan kami. Dan sekarang, semu
Malam itu terasa sunyi di apartemen gue. Setelah berbicara dengan Bima, gue memutuskan untuk menutup laptop dan mengambil waktu buat diri sendiri. Gue pesan makanan dari restoran favorit gue dan menonton film untuk melepas penat. Semuanya berjalan biasa aja—sampai terdengar ketukan keras di pintu apartemen gue, membuat gue melompat dari sofa.Ketukan itu terdengar tergesa-gesa, seperti orang yang panik atau marah. Jantung gue berdetak lebih cepat, otak gue otomatis berpikir kalau ini sesuatu yang buruk. Siapa yang akan datang jam segini?Gue berjalan ke pintu dengan sedikit ragu. Ketika gue buka pintu, gue langsung tersentak. Di depan gue berdiri seorang wanita dengan wajah tegang, rambutnya acak-acakan, dan bajunya terlihat kotor seperti habis lari seharian. Dia menarik napas berat, seolah berusaha menenangkan dirinya sendiri.“Lo... lo harus bantuin gue,” kata wanita itu dengan suara terengah-engah, air mata mulai mengalir di pipinya.Gue menatapnya dengan bingung. “Maaf, lo siapa?”
Pagi itu, suasana kantor terasa lebih tenang di permukaan, tapi gue bisa merasakan ketegangan yang bersembunyi di balik setiap pandangan dan gerakan orang-orang. Semua terlihat bekerja seperti biasa, tapi gue tahu mereka masih resah setelah apa yang terjadi dengan peretasan dan kabar buruk yang menyebar tentang kemungkinan ancaman yang lebih besar.Gue tiba di kantor lebih awal dari biasanya, merasa lebih baik setelah tidur semalam. Meskipun sempat terbangun beberapa kali dengan pikiran tentang Alma dan apa yang mungkin terjadi selanjutnya, setidaknya gue merasa sedikit lebih siap untuk menghadapi hari ini. Gue langsung menuju ruangan gue, berharap Bima udah ada di sana seperti yang dijanjikannya kemarin. Dan benar aja, dia udah duduk di kursi tamu dengan wajah serius.“Gue nemuin sesuatu,” kata Bima begitu gue masuk. Dia menggeser laptopnya ke arah gue, menunjukkan beberapa laporan dari tim IT.Gue berjalan mendekat dan menatap layar. “Apa ini?”“Kita dapet jejak aktivitas tambahan d
Gue, Dita, baru dua bulan kerja di perusahaan startup yang lagi naik daun ini. Perusahaan ini bergerak di bidang teknologi, dan gue kebetulan ditempatkan di departemen pemasaran. Pagi ini, gue lagi asik-asiknya bikin laporan mingguan sambil ngopi, tiba-tiba telepon di meja gue berdering."Dita, lo dipanggil ke ruang CEO sekarang," suara sekretaris Bima, Mbak Lala, terdengar di ujung sana.Jantung gue langsung berdegup kencang. "Ada apa ya, Mbak?" tanya gue, berusaha tenang padahal pikiran gue udah kacau."Katanya ada yang mau dibahas soal proyek. Langsung aja ya, jangan lama-lama," katanya dengan nada serius.Gue langsung bergegas. Gue yakin gue gak bikin kesalahan besar, tapi tetep aja rasa takut itu ada. Gue jalan cepat menuju ruang CEO di lantai atas. Pas gue sampai, Mbak Lala langsung ngasih kode buat masuk.Gue mengetuk pintu dan masuk dengan hati-hati. Bima, si CEO, lagi duduk di balik meja kerjanya dengan wajah serius. Dia ngeliat gue sebentar, terus nunjuk ke kursi di depannya
Gue gak pernah nyangka pagi ini bakal jadi salah satu pagi paling mengejutkan dalam hidup gue. Begitu sampai di kantor, gue langsung disambut oleh Mbak Lala yang ngasih tau kalau ada meeting mendadak di ruang rapat utama."Dita, buruan ke ruang rapat. Bima udah nunggu," katanya dengan nada serius."Meeting apa, Mbak?" tanya gue, bingung. Biasanya meeting dijadwalkan jauh-jauh hari."Pokoknya penting. Langsung aja ya!" balas Mbak Lala sambil buru-buru pergi.Gue cepet-cepet bawa laptop dan catatan gue, terus langsung menuju ruang rapat utama. Pas gue buka pintu, gue kaget ngeliat ruangan penuh dengan beberapa orang yang gue kenal sebagai petinggi perusahaan, termasuk Bima yang duduk di ujung meja dengan wajah serius."Dita, duduk sini," panggil Bima sambil nunjuk kursi kosong di sebelahnya. Gue langsung duduk, sambil ngerasa semua mata tertuju ke gue.Bima mulai meeting dengan suara tegas. "Hari ini kita akan bahas proyek baru yang gue yakin bisa bawa perusahaan kita ke level berikutny
Pagi itu, suasana kantor terasa lebih tenang di permukaan, tapi gue bisa merasakan ketegangan yang bersembunyi di balik setiap pandangan dan gerakan orang-orang. Semua terlihat bekerja seperti biasa, tapi gue tahu mereka masih resah setelah apa yang terjadi dengan peretasan dan kabar buruk yang menyebar tentang kemungkinan ancaman yang lebih besar.Gue tiba di kantor lebih awal dari biasanya, merasa lebih baik setelah tidur semalam. Meskipun sempat terbangun beberapa kali dengan pikiran tentang Alma dan apa yang mungkin terjadi selanjutnya, setidaknya gue merasa sedikit lebih siap untuk menghadapi hari ini. Gue langsung menuju ruangan gue, berharap Bima udah ada di sana seperti yang dijanjikannya kemarin. Dan benar aja, dia udah duduk di kursi tamu dengan wajah serius.“Gue nemuin sesuatu,” kata Bima begitu gue masuk. Dia menggeser laptopnya ke arah gue, menunjukkan beberapa laporan dari tim IT.Gue berjalan mendekat dan menatap layar. “Apa ini?”“Kita dapet jejak aktivitas tambahan d
Malam itu terasa sunyi di apartemen gue. Setelah berbicara dengan Bima, gue memutuskan untuk menutup laptop dan mengambil waktu buat diri sendiri. Gue pesan makanan dari restoran favorit gue dan menonton film untuk melepas penat. Semuanya berjalan biasa aja—sampai terdengar ketukan keras di pintu apartemen gue, membuat gue melompat dari sofa.Ketukan itu terdengar tergesa-gesa, seperti orang yang panik atau marah. Jantung gue berdetak lebih cepat, otak gue otomatis berpikir kalau ini sesuatu yang buruk. Siapa yang akan datang jam segini?Gue berjalan ke pintu dengan sedikit ragu. Ketika gue buka pintu, gue langsung tersentak. Di depan gue berdiri seorang wanita dengan wajah tegang, rambutnya acak-acakan, dan bajunya terlihat kotor seperti habis lari seharian. Dia menarik napas berat, seolah berusaha menenangkan dirinya sendiri.“Lo... lo harus bantuin gue,” kata wanita itu dengan suara terengah-engah, air mata mulai mengalir di pipinya.Gue menatapnya dengan bingung. “Maaf, lo siapa?”
Pagi itu, kantor mulai terasa sedikit lebih ringan setelah ketegangan yang panjang. Sudah hampir seminggu sejak penangkapan Rian dan pengungkapan dalang sebenarnya di balik semua sabotase. Meski kepercayaan publik terhadap perusahaan sudah mulai pulih, tantangan baru tetap ada, dan beban untuk memperbaiki kerusakan besar masih ada di pundak gue dan Bima.“Gue rasa kita udah bisa bernapas sedikit lebih lega,” ujar Bima sambil berjalan masuk ke ruang rapat pagi itu. Tapi sorot matanya, meski hangat, tetap mengandung sedikit kekhawatiran.“Yah, lega mungkin, tapi ini belum selesai sepenuhnya, Bim,” jawab gue, melihat dokumen-dokumen yang tersebar di depan gue. “Masih ada beberapa klien besar yang ragu untuk melanjutkan kerja sama. Mereka butuh jaminan bahwa kita udah memperbaiki semuanya.”Dia mengangguk, mengerti maksud gue. Peretasan kemarin gak cuma menyebabkan kerugian finansial, tapi juga menimbulkan keraguan yang mendalam terhadap integritas sistem keamanan kami. Dan sekarang, semu
Pagi itu, suasana di kantor terasa tegang. Semua orang tahu ada sesuatu yang besar sedang terjadi, tapi gak ada yang berani bertanya. Gue dan Bima sudah mempersiapkan tim untuk menghadapi segala kemungkinan. Kami mengadakan rapat darurat dengan semua kepala divisi."Tim, kita baru saja mendapat informasi dari pihak berwenang bahwa ada dalang di balik peretasan ini," kata Bima membuka rapat. "Kita harus ekstra waspada dan pastikan setiap langkah yang kita ambil terjaga keamanannya."Gue melanjutkan, "Mulai hari ini, semua komunikasi internal harus melalui jalur aman. Jangan ada informasi penting yang keluar dari sini tanpa izin. Kita harus temukan siapa dalang ini sebelum mereka melakukan kerusakan lebih besar."Setelah rapat selesai, gue kembali ke meja gue dan mulai menganalisis data yang kami miliki. Gue merasa ada sesuatu yang belum terungkap, sesuatu yang menghubungkan semua kejadian ini.Tiba-tiba, Nia datang dengan wajah pucat. "Dita, lo harus lihat ini," katanya sambil menyerah
Pagi itu, gue baru aja selesai siap-siap untuk ke kantor. Tiba-tiba, handphone gue bergetar keras. Telepon dari Bima. Gue segera menjawabnya, suara Bima terdengar panik di ujung sana."Dita, lo harus datang ke kantor secepatnya. Ada sesuatu yang gawat banget terjadi," katanya cepat tanpa menjelaskan lebih lanjut.Jantung gue langsung berdebar. "Oke, gue segera ke sana," jawab gue sambil langsung berlari keluar rumah dan memanggil ojek online.Perjalanan ke kantor terasa lama banget, meski kenyataannya hanya beberapa menit. Pikiran gue dipenuhi dengan segala kemungkinan buruk yang bisa terjadi. Begitu sampai, gue langsung berlari masuk ke kantor dan menuju ruangan Bima.Pas gue masuk ke ruangan Bima, gue lihat dia sedang berdiri dengan wajah tegang di depan layar komputer. "Bima, ada apa?" tanya gue sambil berusaha mengatur napas.Bima menunjuk ke layar. "Lo harus lihat ini, Dita. Ini lebih dari sekadar peretasan."Gue mendekat dan melihat layar. Di sana ada rekaman CCTV dari kantor ki
Pagi itu, gue datang ke kantor lebih awal dari biasanya. Gue masih merasa euforia dari kesuksesan makan malam dengan klien semalam. Gue duduk di meja gue, mulai menyalakan laptop, dan langsung sibuk dengan persiapan presentasi mingguan.Namun, baru beberapa menit bekerja, tiba-tiba Nia, sahabat gue di kantor, datang dengan wajah panik. "Dita, lo harus liat ini sekarang!" katanya sambil menyeret gue ke ruangannya."Nia, ada apa sih?" tanya gue bingung, sambil berusaha mengikuti langkah cepatnya."Ini serius, lo harus liat sendiri," jawab Nia sambil menunjukkan layar komputernya.Di layar itu, gue melihat sebuah email yang baru saja masuk dari salah satu tim IT. Judulnya bikin jantung gue langsung berdebar kencang: "URGENT: Data Breach Alert."Gue langsung baca email itu dengan cepat. Isinya memberitahu bahwa ada upaya peretasan ke sistem kita semalam, dan beberapa data penting proyek kita berpotensi bocor."Astaga, ini gawat banget," kata gue sambil menatap Nia dengan cemas. "Kita haru
Pagi itu, baru aja turun dari ojek online dan siap-siap masuk ke kantor, tiba-tiba suara sirene ambulans mendekat. Gue nengok ke arah suara dan melihat kerumunan orang di depan gedung kantor. Hati gue langsung berdegup kencang, perasaan cemas mulai merayapi.Gue bergegas mendekat dan bertanya kepada salah satu satpam yang ada di sana, "Ada apa ini, Pak?""Katanya ada yang pingsan di lobby," jawab satpam dengan nada serius.Gue langsung mikir siapa yang mungkin pingsan di lobby. Saat gue masuk ke dalam, gue lihat seorang pria terbaring di lantai dengan paramedis yang sibuk memberikan pertolongan. Dan di sana, gue melihat Bima dengan wajah panik."Bima!" Gue spontan memanggilnya dan mendekat.Bima nengok dan terlihat lega saat melihat gue. "Dita, syukurlah lo di sini. Ini Pak Rudi, dia tiba-tiba jatuh pingsan."Gue kaget mendengar itu. Pak Rudi adalah kepala bagian pemasaran yang sangat penting dalam proyek kita. "Apa yang terjadi?" tanya gue sambil berusaha tetap tenang."Gak tau, tadi
Gue gak pernah nyangka pagi ini bakal jadi salah satu pagi paling mengejutkan dalam hidup gue. Begitu sampai di kantor, gue langsung disambut oleh Mbak Lala yang ngasih tau kalau ada meeting mendadak di ruang rapat utama."Dita, buruan ke ruang rapat. Bima udah nunggu," katanya dengan nada serius."Meeting apa, Mbak?" tanya gue, bingung. Biasanya meeting dijadwalkan jauh-jauh hari."Pokoknya penting. Langsung aja ya!" balas Mbak Lala sambil buru-buru pergi.Gue cepet-cepet bawa laptop dan catatan gue, terus langsung menuju ruang rapat utama. Pas gue buka pintu, gue kaget ngeliat ruangan penuh dengan beberapa orang yang gue kenal sebagai petinggi perusahaan, termasuk Bima yang duduk di ujung meja dengan wajah serius."Dita, duduk sini," panggil Bima sambil nunjuk kursi kosong di sebelahnya. Gue langsung duduk, sambil ngerasa semua mata tertuju ke gue.Bima mulai meeting dengan suara tegas. "Hari ini kita akan bahas proyek baru yang gue yakin bisa bawa perusahaan kita ke level berikutny
Gue, Dita, baru dua bulan kerja di perusahaan startup yang lagi naik daun ini. Perusahaan ini bergerak di bidang teknologi, dan gue kebetulan ditempatkan di departemen pemasaran. Pagi ini, gue lagi asik-asiknya bikin laporan mingguan sambil ngopi, tiba-tiba telepon di meja gue berdering."Dita, lo dipanggil ke ruang CEO sekarang," suara sekretaris Bima, Mbak Lala, terdengar di ujung sana.Jantung gue langsung berdegup kencang. "Ada apa ya, Mbak?" tanya gue, berusaha tenang padahal pikiran gue udah kacau."Katanya ada yang mau dibahas soal proyek. Langsung aja ya, jangan lama-lama," katanya dengan nada serius.Gue langsung bergegas. Gue yakin gue gak bikin kesalahan besar, tapi tetep aja rasa takut itu ada. Gue jalan cepat menuju ruang CEO di lantai atas. Pas gue sampai, Mbak Lala langsung ngasih kode buat masuk.Gue mengetuk pintu dan masuk dengan hati-hati. Bima, si CEO, lagi duduk di balik meja kerjanya dengan wajah serius. Dia ngeliat gue sebentar, terus nunjuk ke kursi di depannya