Share

BAB 5: Rahasia yang Terbongkar

Pagi itu, gue baru aja selesai siap-siap untuk ke kantor. Tiba-tiba, handphone gue bergetar keras. Telepon dari Bima. Gue segera menjawabnya, suara Bima terdengar panik di ujung sana.

"Dita, lo harus datang ke kantor secepatnya. Ada sesuatu yang gawat banget terjadi," katanya cepat tanpa menjelaskan lebih lanjut.

Jantung gue langsung berdebar. "Oke, gue segera ke sana," jawab gue sambil langsung berlari keluar rumah dan memanggil ojek online.

Perjalanan ke kantor terasa lama banget, meski kenyataannya hanya beberapa menit. Pikiran gue dipenuhi dengan segala kemungkinan buruk yang bisa terjadi. Begitu sampai, gue langsung berlari masuk ke kantor dan menuju ruangan Bima.

Pas gue masuk ke ruangan Bima, gue lihat dia sedang berdiri dengan wajah tegang di depan layar komputer. "Bima, ada apa?" tanya gue sambil berusaha mengatur napas.

Bima menunjuk ke layar. "Lo harus lihat ini, Dita. Ini lebih dari sekadar peretasan."

Gue mendekat dan melihat layar. Di sana ada rekaman CCTV dari kantor kita. Tampak seseorang yang dikenali sedang memasukkan USB ke salah satu komputer. Itu adalah Pak Rudi, kepala bagian pemasaran yang sebelumnya pingsan dan dirawat di rumah sakit!

"Ini nggak mungkin," kata gue dengan suara gemetar. "Pak Rudi? Tapi kenapa dia?"

"Gue juga gak percaya awalnya," kata Bima. "Tapi ini bukti jelas. Dia yang ngasih akses ke peretas itu."

Gue merasa dikhianati. Orang yang gue pikir pingsan dan sakit ternyata adalah pelakunya. "Kita harus ngelaporin ini ke manajemen dan pihak berwenang."

Bima mengangguk. "Gue setuju. Tapi sebelum itu, kita harus bicara sama dia. Cari tau motivasinya."

Kami segera menghubungi manajemen dan mengatur pertemuan darurat dengan Pak Rudi. Beberapa menit kemudian, Pak Rudi masuk ke ruang rapat dengan wajah tenang, seolah-olah tidak ada yang terjadi.

"Dita, Bima, ada apa?" tanyanya dengan nada biasa.

Gue dan Bima saling menatap, lalu Bima mulai berbicara. "Pak Rudi, kami punya bukti bahwa Anda terlibat dalam peretasan data perusahaan."

Wajah Pak Rudi langsung berubah. "Apa maksud kalian?"

Bima menunjukkan rekaman CCTV itu. "Ini bukti bahwa Anda memasukkan USB ke komputer kantor. Data dari USB itu yang digunakan untuk peretasan."

Pak Rudi terdiam beberapa saat, lalu menghela napas berat. "Kalian benar. Tapi gue punya alasan."

Gue merasa marah dan bingung. "Kenapa lo ngelakuin ini, Pak Rudi? Apa yang bikin lo berkhianat?"

Pak Rudi menunduk. "Mereka mengancam keluarga gue. Mereka bilang kalau gue gak ngikutin, istri dan anak gue akan disakiti."

Gue merasakan simpati dan kemarahan bercampur jadi satu. "Kenapa lo gak bilang ke kita? Kita bisa bantu."

"Aku takut, Dita. Mereka bilang mereka punya mata-mata di mana-mana. Gue gak tahu siapa yang bisa gue percaya," jawabnya dengan suara gemetar.

Bima mengambil napas dalam-dalam. "Pak Rudi, kami harus lapor ke pihak berwenang. Tapi kami juga akan pastikan keluarga Anda aman."

Pak Rudi mengangguk pelan, matanya berkaca-kaca. "Terima kasih. Gue cuma pengen melindungi keluarga gue."

Bima segera menghubungi pihak berwenang dan memberi tahu manajemen tentang situasi ini. Gue dan Pak Rudi tetap di ruang rapat sementara menunggu polisi datang. Gue melihat Pak Rudi yang terlihat begitu lelah dan hancur, dan gak bisa nggak merasa simpati.

Beberapa menit kemudian, polisi tiba di kantor dan membawa Pak Rudi untuk diinterogasi lebih lanjut. Sebelum pergi, Pak Rudi menoleh ke gue dan Bima. "Maafkan gue. Semoga kalian bisa menyelamatkan perusahaan ini."

Setelah Pak Rudi dibawa pergi, Bima menatap gue dengan ekspresi serius. "Dita, ini baru permulaan. Kita harus tetap waspada. Mungkin masih ada orang lain yang terlibat."

Gue mengangguk. "Gue setuju. Kita harus perketat keamanan dan pastikan gak ada lagi yang terjadi."

Selama beberapa hari berikutnya, gue dan Bima bekerja keras bersama tim IT dan manajemen untuk memperkuat sistem keamanan perusahaan. Setiap hari terasa seperti medan perang, dengan ketegangan dan tekanan yang terus meningkat. Namun, kerja keras kami akhirnya membuahkan hasil. Sistem kami berhasil diamankan dan data penting perusahaan terlindungi.

Di tengah-tengah kesibukan itu, hubungan gue dan Bima semakin dekat. Kami semakin sering berbicara tentang hal-hal di luar pekerjaan, saling memberi dukungan dan semangat. Gue mulai merasa ada sesuatu yang lebih dari sekadar hubungan profesional antara kami.

Suatu malam, setelah seharian bekerja keras, Bima mengajak gue untuk duduk di rooftop kantor. Kami duduk di sana, melihat bintang-bintang di langit malam.

"Dita, gue harus bilang sesuatu," kata Bima pelan.

Gue menoleh padanya, merasa jantung gue berdebar. "Apa itu, Bima?"

Bima menghela napas dalam-dalam sebelum berbicara lagi. "Gue gak bisa menyangkal perasaan gue lagi. Gue merasa semakin dekat sama lo, bukan cuma sebagai rekan kerja, tapi lebih dari itu."

Gue terdiam, merasakan kebahagiaan dan kekhawatiran bercampur jadi satu. "Bima, gue juga merasa hal yang sama. Tapi gue takut ini akan mengganggu pekerjaan kita."

Bima tersenyum tipis. "Gue juga mikir begitu. Tapi gue percaya kita bisa profesional dan tetap menjaga perasaan kita. Gue ingin kita coba."

Gue tersenyum dan merasa lega. "Gue juga ingin kita coba, Bima."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status