Gue gak pernah nyangka pagi ini bakal jadi salah satu pagi paling mengejutkan dalam hidup gue. Begitu sampai di kantor, gue langsung disambut oleh Mbak Lala yang ngasih tau kalau ada meeting mendadak di ruang rapat utama.
"Dita, buruan ke ruang rapat. Bima udah nunggu," katanya dengan nada serius. "Meeting apa, Mbak?" tanya gue, bingung. Biasanya meeting dijadwalkan jauh-jauh hari. "Pokoknya penting. Langsung aja ya!" balas Mbak Lala sambil buru-buru pergi. Gue cepet-cepet bawa laptop dan catatan gue, terus langsung menuju ruang rapat utama. Pas gue buka pintu, gue kaget ngeliat ruangan penuh dengan beberapa orang yang gue kenal sebagai petinggi perusahaan, termasuk Bima yang duduk di ujung meja dengan wajah serius. "Dita, duduk sini," panggil Bima sambil nunjuk kursi kosong di sebelahnya. Gue langsung duduk, sambil ngerasa semua mata tertuju ke gue. Bima mulai meeting dengan suara tegas. "Hari ini kita akan bahas proyek baru yang gue yakin bisa bawa perusahaan kita ke level berikutnya. Gue udah diskusi sama Dita tentang ide ini, dan gue mau kita semua dengar presentasi dia sekarang." Gue kaget setengah mati. Gue belum sempet nyiapin presentasi formal, tapi gue berusaha tenang. "Baik, saya akan mulai," kata gue sambil berdiri dan nyalain laptop. Gue mulai ngejelasin ide pemasaran gue. Awalnya, gue ngerasa grogi banget karena tatapan semua orang ke arah gue, terutama Bima yang terus ngeliatin dengan intens. Tapi, lama-lama gue mulai percaya diri dan lancar ngomong. "Strategi ini fokus ke media sosial, dimana kita bisa manfaatin influencer buat ningkatin brand awareness. Target pasar kita mayoritas adalah milenial yang aktif di platform seperti I*******m dan TikTok. Dengan kolaborasi yang tepat, kita bisa ningkatin engagement dan penjualan," jelas gue dengan semangat. Gue nambahin slide demi slide, ngejelasin detail tentang target pasar, cara memilih influencer yang tepat, dan strategi konten yang menarik. Gue juga nyebutin beberapa studi kasus dari perusahaan lain yang sukses pake strategi serupa. Gue bisa ngeliat beberapa orang mulai nyatat, dan ini ngasih gue keyakinan lebih. Setelah selesai presentasi, Bima langsung angkat bicara. "Gue suka dengan ide ini. Tapi, gue pengen denger pendapat kalian," katanya sambil ngeliat ke arah petinggi lainnya. Pak Rudi, kepala bagian pemasaran, angkat tangan duluan. "Saya setuju dengan konsep ini. Tapi, kita perlu strategi yang lebih detail untuk eksekusi. Budget dan timeline harus jelas." Bu Anita, kepala bagian keuangan, nambahin. "Kita juga harus pertimbangkan ROI dari investasi di media sosial. Gimana caranya kita bisa ukur efektivitasnya?" Bima nyengir dan ngeliat ke arah gue. "Dita, lo ada jawaban buat pertanyaan-pertanyaan mereka?" Gue menarik napas dalam dan mulai ngejawab satu per satu. "Untuk budget, kita bisa alokasikan dari anggaran pemasaran yang ada. Gue juga udah bikin perkiraan timeline untuk tiap tahapannya. Soal ROI, kita bisa pake tools analytics buat ngukur engagement dan conversion rate dari kampanye kita." Pak Rudi dan Bu Anita sama-sama ngangguk-ngangguk tanda setuju. Pak Joko, kepala bagian operasional, ikut nimbrung. "Gue rasa kita juga perlu rencana cadangan kalau strategi ini gak jalan sesuai harapan. Lo udah pikirin soal itu, Dita?" Gue mengangguk lagi. "Betul, Pak. Kita bisa pake pendekatan yang lebih tradisional sebagai backup plan, seperti iklan di media cetak atau event offline. Tapi gue yakin, dengan perencanaan yang matang, strategi media sosial ini bakal berhasil." Semua orang kelihatan puas dengan jawaban gue. Bima berdiri dan mengakhiri meeting. "Oke, gue rasa kita punya plan yang solid. Dita, lo bakal kerja bareng gue dan tim inti buat ngejalanin proyek ini. Mulai besok, kita langsung jalan." Gue ngerasa lega sekaligus bangga. Pas semua orang mulai keluar dari ruang rapat, Bima nyamperin gue. "Bagus, Dit. Gue suka cara lo presentasi. Tapi, lo harus siap dengan kerja keras. Proyek ini gak akan mudah." Gue senyum dan ngangguk. "Siap, Bima. Saya akan lakuin yang terbaik." Setelah meeting selesai, gue balik ke meja gue dengan perasaan campur aduk. Temen-temen kantor yang lain langsung ngucapin selamat begitu mereka tau gue dipilih buat jadi tim inti proyek ini. Nia, sahabat gue di kantor, nyamperin dengan senyum lebar. "Wah, Dit, keren banget lo! Bima sampe ngasih kepercayaan gede gitu," katanya dengan antusias. "Gue juga gak nyangka. Tapi ini kesempatan besar, gue gak boleh sia-siain," jawab gue dengan semangat. Hari itu gue gak bisa fokus kerja. Pikiran gue terus melayang ke rencana-rencana yang bakal gue kerjain bareng Bima. Gak kerasa waktu cepat berlalu, dan akhirnya jam pulang kantor tiba. Pas gue lagi siap-siap buat pulang, hape gue bergetar. Ada pesan masuk dari nomor gak dikenal. "Ini Bima. Besok kita mulai kerja bareng. Prepare yourself. See you, Dita." Gue bengong beberapa detik, terus langsung senyum. Gue balas pesan itu dengan singkat. "Siap, Bima. See you." Gue pulang dengan perasaan campur aduk antara excited dan deg-degan. Gue tau tantangan besar menanti, tapi gue juga ngerasa excited buat ngejalanin proyek ini bareng Bima. Ini baru awal dari perjalanan panjang yang pasti penuh dengan kejutan dan pelajaran berharga. Malam itu gue gak bisa tidur nyenyak. Bayangan tentang proyek dan kerja bareng Bima terus ada di kepala gue. Gue mikirin semua kemungkinan, strategi, dan gimana gue bisa nunjukin kemampuan gue di depan dia dan tim inti lainnya. Pagi-pagi banget gue udah sampai di kantor. Gue pengen siapin semua yang perlu buat meeting pertama dengan tim inti. Pas gue lagi nunggu di ruang rapat, satu per satu anggota tim inti mulai dateng. Ada Pak Rudi, Bu Anita, Pak Joko, dan beberapa orang lain dari berbagai divisi. Terakhir, Bima masuk dengan langkah mantap. "Oke, semua udah siap? Kita mulai sekarang," kata Bima sambil duduk di ujung meja. Gue ngeliat sekeliling dan ngerasa sedikit tegang, tapi gue tau ini kesempatan buat nunjukin kemampuan gue. Bima ngasih tanda ke gue buat mulai presentasi ulang tentang proyek kita. Gue jelasin lagi dengan detail, sambil nambahin beberapa update dari hasil diskusi gue dengan Bima kemarin. Setelah gue selesai, Bima mulai ngejelasin peran dan tugas masing-masing anggota tim. "Dita akan jadi koordinator utama. Semua ide dan perkembangan proyek harus lewat dia dulu sebelum sampai ke gue," katanya dengan tegas. Gue kaget sekaligus seneng. Ini berarti Bima bener-bener ngasih kepercayaan penuh ke gue. Setelah meeting, gue dan Bima ngobrol sebentar di ruangannya. "Dita, lo udah nunjukin kemampuan lo di depan tim. Gue yakin lo bisa bawa proyek ini sukses. Tapi ingat, kerja keras dan fokus adalah kuncinya," kata Bima. "Terima kasih, Bima. Saya akan lakuin yang terbaik," jawab gue dengan penuh semangat. Hari itu gue pulang dengan perasaan yang lebih tenang. Gue tau tantangan besar menanti, tapi gue juga yakin kalo gue bisa ngatasinnya. Dengan dukungan Bima dan tim inti, gue siap buat ngasih yang terbaik.Pagi itu, baru aja turun dari ojek online dan siap-siap masuk ke kantor, tiba-tiba suara sirene ambulans mendekat. Gue nengok ke arah suara dan melihat kerumunan orang di depan gedung kantor. Hati gue langsung berdegup kencang, perasaan cemas mulai merayapi.Gue bergegas mendekat dan bertanya kepada salah satu satpam yang ada di sana, "Ada apa ini, Pak?""Katanya ada yang pingsan di lobby," jawab satpam dengan nada serius.Gue langsung mikir siapa yang mungkin pingsan di lobby. Saat gue masuk ke dalam, gue lihat seorang pria terbaring di lantai dengan paramedis yang sibuk memberikan pertolongan. Dan di sana, gue melihat Bima dengan wajah panik."Bima!" Gue spontan memanggilnya dan mendekat.Bima nengok dan terlihat lega saat melihat gue. "Dita, syukurlah lo di sini. Ini Pak Rudi, dia tiba-tiba jatuh pingsan."Gue kaget mendengar itu. Pak Rudi adalah kepala bagian pemasaran yang sangat penting dalam proyek kita. "Apa yang terjadi?" tanya gue sambil berusaha tetap tenang."Gak tau, tadi
Pagi itu, gue datang ke kantor lebih awal dari biasanya. Gue masih merasa euforia dari kesuksesan makan malam dengan klien semalam. Gue duduk di meja gue, mulai menyalakan laptop, dan langsung sibuk dengan persiapan presentasi mingguan.Namun, baru beberapa menit bekerja, tiba-tiba Nia, sahabat gue di kantor, datang dengan wajah panik. "Dita, lo harus liat ini sekarang!" katanya sambil menyeret gue ke ruangannya."Nia, ada apa sih?" tanya gue bingung, sambil berusaha mengikuti langkah cepatnya."Ini serius, lo harus liat sendiri," jawab Nia sambil menunjukkan layar komputernya.Di layar itu, gue melihat sebuah email yang baru saja masuk dari salah satu tim IT. Judulnya bikin jantung gue langsung berdebar kencang: "URGENT: Data Breach Alert."Gue langsung baca email itu dengan cepat. Isinya memberitahu bahwa ada upaya peretasan ke sistem kita semalam, dan beberapa data penting proyek kita berpotensi bocor."Astaga, ini gawat banget," kata gue sambil menatap Nia dengan cemas. "Kita haru
Pagi itu, gue baru aja selesai siap-siap untuk ke kantor. Tiba-tiba, handphone gue bergetar keras. Telepon dari Bima. Gue segera menjawabnya, suara Bima terdengar panik di ujung sana."Dita, lo harus datang ke kantor secepatnya. Ada sesuatu yang gawat banget terjadi," katanya cepat tanpa menjelaskan lebih lanjut.Jantung gue langsung berdebar. "Oke, gue segera ke sana," jawab gue sambil langsung berlari keluar rumah dan memanggil ojek online.Perjalanan ke kantor terasa lama banget, meski kenyataannya hanya beberapa menit. Pikiran gue dipenuhi dengan segala kemungkinan buruk yang bisa terjadi. Begitu sampai, gue langsung berlari masuk ke kantor dan menuju ruangan Bima.Pas gue masuk ke ruangan Bima, gue lihat dia sedang berdiri dengan wajah tegang di depan layar komputer. "Bima, ada apa?" tanya gue sambil berusaha mengatur napas.Bima menunjuk ke layar. "Lo harus lihat ini, Dita. Ini lebih dari sekadar peretasan."Gue mendekat dan melihat layar. Di sana ada rekaman CCTV dari kantor ki
Pagi itu, suasana di kantor terasa tegang. Semua orang tahu ada sesuatu yang besar sedang terjadi, tapi gak ada yang berani bertanya. Gue dan Bima sudah mempersiapkan tim untuk menghadapi segala kemungkinan. Kami mengadakan rapat darurat dengan semua kepala divisi."Tim, kita baru saja mendapat informasi dari pihak berwenang bahwa ada dalang di balik peretasan ini," kata Bima membuka rapat. "Kita harus ekstra waspada dan pastikan setiap langkah yang kita ambil terjaga keamanannya."Gue melanjutkan, "Mulai hari ini, semua komunikasi internal harus melalui jalur aman. Jangan ada informasi penting yang keluar dari sini tanpa izin. Kita harus temukan siapa dalang ini sebelum mereka melakukan kerusakan lebih besar."Setelah rapat selesai, gue kembali ke meja gue dan mulai menganalisis data yang kami miliki. Gue merasa ada sesuatu yang belum terungkap, sesuatu yang menghubungkan semua kejadian ini.Tiba-tiba, Nia datang dengan wajah pucat. "Dita, lo harus lihat ini," katanya sambil menyerah
Pagi itu, kantor mulai terasa sedikit lebih ringan setelah ketegangan yang panjang. Sudah hampir seminggu sejak penangkapan Rian dan pengungkapan dalang sebenarnya di balik semua sabotase. Meski kepercayaan publik terhadap perusahaan sudah mulai pulih, tantangan baru tetap ada, dan beban untuk memperbaiki kerusakan besar masih ada di pundak gue dan Bima.“Gue rasa kita udah bisa bernapas sedikit lebih lega,” ujar Bima sambil berjalan masuk ke ruang rapat pagi itu. Tapi sorot matanya, meski hangat, tetap mengandung sedikit kekhawatiran.“Yah, lega mungkin, tapi ini belum selesai sepenuhnya, Bim,” jawab gue, melihat dokumen-dokumen yang tersebar di depan gue. “Masih ada beberapa klien besar yang ragu untuk melanjutkan kerja sama. Mereka butuh jaminan bahwa kita udah memperbaiki semuanya.”Dia mengangguk, mengerti maksud gue. Peretasan kemarin gak cuma menyebabkan kerugian finansial, tapi juga menimbulkan keraguan yang mendalam terhadap integritas sistem keamanan kami. Dan sekarang, semu
Malam itu terasa sunyi di apartemen gue. Setelah berbicara dengan Bima, gue memutuskan untuk menutup laptop dan mengambil waktu buat diri sendiri. Gue pesan makanan dari restoran favorit gue dan menonton film untuk melepas penat. Semuanya berjalan biasa aja—sampai terdengar ketukan keras di pintu apartemen gue, membuat gue melompat dari sofa.Ketukan itu terdengar tergesa-gesa, seperti orang yang panik atau marah. Jantung gue berdetak lebih cepat, otak gue otomatis berpikir kalau ini sesuatu yang buruk. Siapa yang akan datang jam segini?Gue berjalan ke pintu dengan sedikit ragu. Ketika gue buka pintu, gue langsung tersentak. Di depan gue berdiri seorang wanita dengan wajah tegang, rambutnya acak-acakan, dan bajunya terlihat kotor seperti habis lari seharian. Dia menarik napas berat, seolah berusaha menenangkan dirinya sendiri.“Lo... lo harus bantuin gue,” kata wanita itu dengan suara terengah-engah, air mata mulai mengalir di pipinya.Gue menatapnya dengan bingung. “Maaf, lo siapa?”
Pagi itu, suasana kantor terasa lebih tenang di permukaan, tapi gue bisa merasakan ketegangan yang bersembunyi di balik setiap pandangan dan gerakan orang-orang. Semua terlihat bekerja seperti biasa, tapi gue tahu mereka masih resah setelah apa yang terjadi dengan peretasan dan kabar buruk yang menyebar tentang kemungkinan ancaman yang lebih besar.Gue tiba di kantor lebih awal dari biasanya, merasa lebih baik setelah tidur semalam. Meskipun sempat terbangun beberapa kali dengan pikiran tentang Alma dan apa yang mungkin terjadi selanjutnya, setidaknya gue merasa sedikit lebih siap untuk menghadapi hari ini. Gue langsung menuju ruangan gue, berharap Bima udah ada di sana seperti yang dijanjikannya kemarin. Dan benar aja, dia udah duduk di kursi tamu dengan wajah serius.“Gue nemuin sesuatu,” kata Bima begitu gue masuk. Dia menggeser laptopnya ke arah gue, menunjukkan beberapa laporan dari tim IT.Gue berjalan mendekat dan menatap layar. “Apa ini?”“Kita dapet jejak aktivitas tambahan d
Gue, Dita, baru dua bulan kerja di perusahaan startup yang lagi naik daun ini. Perusahaan ini bergerak di bidang teknologi, dan gue kebetulan ditempatkan di departemen pemasaran. Pagi ini, gue lagi asik-asiknya bikin laporan mingguan sambil ngopi, tiba-tiba telepon di meja gue berdering."Dita, lo dipanggil ke ruang CEO sekarang," suara sekretaris Bima, Mbak Lala, terdengar di ujung sana.Jantung gue langsung berdegup kencang. "Ada apa ya, Mbak?" tanya gue, berusaha tenang padahal pikiran gue udah kacau."Katanya ada yang mau dibahas soal proyek. Langsung aja ya, jangan lama-lama," katanya dengan nada serius.Gue langsung bergegas. Gue yakin gue gak bikin kesalahan besar, tapi tetep aja rasa takut itu ada. Gue jalan cepat menuju ruang CEO di lantai atas. Pas gue sampai, Mbak Lala langsung ngasih kode buat masuk.Gue mengetuk pintu dan masuk dengan hati-hati. Bima, si CEO, lagi duduk di balik meja kerjanya dengan wajah serius. Dia ngeliat gue sebentar, terus nunjuk ke kursi di depannya
Pagi itu, suasana kantor terasa lebih tenang di permukaan, tapi gue bisa merasakan ketegangan yang bersembunyi di balik setiap pandangan dan gerakan orang-orang. Semua terlihat bekerja seperti biasa, tapi gue tahu mereka masih resah setelah apa yang terjadi dengan peretasan dan kabar buruk yang menyebar tentang kemungkinan ancaman yang lebih besar.Gue tiba di kantor lebih awal dari biasanya, merasa lebih baik setelah tidur semalam. Meskipun sempat terbangun beberapa kali dengan pikiran tentang Alma dan apa yang mungkin terjadi selanjutnya, setidaknya gue merasa sedikit lebih siap untuk menghadapi hari ini. Gue langsung menuju ruangan gue, berharap Bima udah ada di sana seperti yang dijanjikannya kemarin. Dan benar aja, dia udah duduk di kursi tamu dengan wajah serius.“Gue nemuin sesuatu,” kata Bima begitu gue masuk. Dia menggeser laptopnya ke arah gue, menunjukkan beberapa laporan dari tim IT.Gue berjalan mendekat dan menatap layar. “Apa ini?”“Kita dapet jejak aktivitas tambahan d
Malam itu terasa sunyi di apartemen gue. Setelah berbicara dengan Bima, gue memutuskan untuk menutup laptop dan mengambil waktu buat diri sendiri. Gue pesan makanan dari restoran favorit gue dan menonton film untuk melepas penat. Semuanya berjalan biasa aja—sampai terdengar ketukan keras di pintu apartemen gue, membuat gue melompat dari sofa.Ketukan itu terdengar tergesa-gesa, seperti orang yang panik atau marah. Jantung gue berdetak lebih cepat, otak gue otomatis berpikir kalau ini sesuatu yang buruk. Siapa yang akan datang jam segini?Gue berjalan ke pintu dengan sedikit ragu. Ketika gue buka pintu, gue langsung tersentak. Di depan gue berdiri seorang wanita dengan wajah tegang, rambutnya acak-acakan, dan bajunya terlihat kotor seperti habis lari seharian. Dia menarik napas berat, seolah berusaha menenangkan dirinya sendiri.“Lo... lo harus bantuin gue,” kata wanita itu dengan suara terengah-engah, air mata mulai mengalir di pipinya.Gue menatapnya dengan bingung. “Maaf, lo siapa?”
Pagi itu, kantor mulai terasa sedikit lebih ringan setelah ketegangan yang panjang. Sudah hampir seminggu sejak penangkapan Rian dan pengungkapan dalang sebenarnya di balik semua sabotase. Meski kepercayaan publik terhadap perusahaan sudah mulai pulih, tantangan baru tetap ada, dan beban untuk memperbaiki kerusakan besar masih ada di pundak gue dan Bima.“Gue rasa kita udah bisa bernapas sedikit lebih lega,” ujar Bima sambil berjalan masuk ke ruang rapat pagi itu. Tapi sorot matanya, meski hangat, tetap mengandung sedikit kekhawatiran.“Yah, lega mungkin, tapi ini belum selesai sepenuhnya, Bim,” jawab gue, melihat dokumen-dokumen yang tersebar di depan gue. “Masih ada beberapa klien besar yang ragu untuk melanjutkan kerja sama. Mereka butuh jaminan bahwa kita udah memperbaiki semuanya.”Dia mengangguk, mengerti maksud gue. Peretasan kemarin gak cuma menyebabkan kerugian finansial, tapi juga menimbulkan keraguan yang mendalam terhadap integritas sistem keamanan kami. Dan sekarang, semu
Pagi itu, suasana di kantor terasa tegang. Semua orang tahu ada sesuatu yang besar sedang terjadi, tapi gak ada yang berani bertanya. Gue dan Bima sudah mempersiapkan tim untuk menghadapi segala kemungkinan. Kami mengadakan rapat darurat dengan semua kepala divisi."Tim, kita baru saja mendapat informasi dari pihak berwenang bahwa ada dalang di balik peretasan ini," kata Bima membuka rapat. "Kita harus ekstra waspada dan pastikan setiap langkah yang kita ambil terjaga keamanannya."Gue melanjutkan, "Mulai hari ini, semua komunikasi internal harus melalui jalur aman. Jangan ada informasi penting yang keluar dari sini tanpa izin. Kita harus temukan siapa dalang ini sebelum mereka melakukan kerusakan lebih besar."Setelah rapat selesai, gue kembali ke meja gue dan mulai menganalisis data yang kami miliki. Gue merasa ada sesuatu yang belum terungkap, sesuatu yang menghubungkan semua kejadian ini.Tiba-tiba, Nia datang dengan wajah pucat. "Dita, lo harus lihat ini," katanya sambil menyerah
Pagi itu, gue baru aja selesai siap-siap untuk ke kantor. Tiba-tiba, handphone gue bergetar keras. Telepon dari Bima. Gue segera menjawabnya, suara Bima terdengar panik di ujung sana."Dita, lo harus datang ke kantor secepatnya. Ada sesuatu yang gawat banget terjadi," katanya cepat tanpa menjelaskan lebih lanjut.Jantung gue langsung berdebar. "Oke, gue segera ke sana," jawab gue sambil langsung berlari keluar rumah dan memanggil ojek online.Perjalanan ke kantor terasa lama banget, meski kenyataannya hanya beberapa menit. Pikiran gue dipenuhi dengan segala kemungkinan buruk yang bisa terjadi. Begitu sampai, gue langsung berlari masuk ke kantor dan menuju ruangan Bima.Pas gue masuk ke ruangan Bima, gue lihat dia sedang berdiri dengan wajah tegang di depan layar komputer. "Bima, ada apa?" tanya gue sambil berusaha mengatur napas.Bima menunjuk ke layar. "Lo harus lihat ini, Dita. Ini lebih dari sekadar peretasan."Gue mendekat dan melihat layar. Di sana ada rekaman CCTV dari kantor ki
Pagi itu, gue datang ke kantor lebih awal dari biasanya. Gue masih merasa euforia dari kesuksesan makan malam dengan klien semalam. Gue duduk di meja gue, mulai menyalakan laptop, dan langsung sibuk dengan persiapan presentasi mingguan.Namun, baru beberapa menit bekerja, tiba-tiba Nia, sahabat gue di kantor, datang dengan wajah panik. "Dita, lo harus liat ini sekarang!" katanya sambil menyeret gue ke ruangannya."Nia, ada apa sih?" tanya gue bingung, sambil berusaha mengikuti langkah cepatnya."Ini serius, lo harus liat sendiri," jawab Nia sambil menunjukkan layar komputernya.Di layar itu, gue melihat sebuah email yang baru saja masuk dari salah satu tim IT. Judulnya bikin jantung gue langsung berdebar kencang: "URGENT: Data Breach Alert."Gue langsung baca email itu dengan cepat. Isinya memberitahu bahwa ada upaya peretasan ke sistem kita semalam, dan beberapa data penting proyek kita berpotensi bocor."Astaga, ini gawat banget," kata gue sambil menatap Nia dengan cemas. "Kita haru
Pagi itu, baru aja turun dari ojek online dan siap-siap masuk ke kantor, tiba-tiba suara sirene ambulans mendekat. Gue nengok ke arah suara dan melihat kerumunan orang di depan gedung kantor. Hati gue langsung berdegup kencang, perasaan cemas mulai merayapi.Gue bergegas mendekat dan bertanya kepada salah satu satpam yang ada di sana, "Ada apa ini, Pak?""Katanya ada yang pingsan di lobby," jawab satpam dengan nada serius.Gue langsung mikir siapa yang mungkin pingsan di lobby. Saat gue masuk ke dalam, gue lihat seorang pria terbaring di lantai dengan paramedis yang sibuk memberikan pertolongan. Dan di sana, gue melihat Bima dengan wajah panik."Bima!" Gue spontan memanggilnya dan mendekat.Bima nengok dan terlihat lega saat melihat gue. "Dita, syukurlah lo di sini. Ini Pak Rudi, dia tiba-tiba jatuh pingsan."Gue kaget mendengar itu. Pak Rudi adalah kepala bagian pemasaran yang sangat penting dalam proyek kita. "Apa yang terjadi?" tanya gue sambil berusaha tetap tenang."Gak tau, tadi
Gue gak pernah nyangka pagi ini bakal jadi salah satu pagi paling mengejutkan dalam hidup gue. Begitu sampai di kantor, gue langsung disambut oleh Mbak Lala yang ngasih tau kalau ada meeting mendadak di ruang rapat utama."Dita, buruan ke ruang rapat. Bima udah nunggu," katanya dengan nada serius."Meeting apa, Mbak?" tanya gue, bingung. Biasanya meeting dijadwalkan jauh-jauh hari."Pokoknya penting. Langsung aja ya!" balas Mbak Lala sambil buru-buru pergi.Gue cepet-cepet bawa laptop dan catatan gue, terus langsung menuju ruang rapat utama. Pas gue buka pintu, gue kaget ngeliat ruangan penuh dengan beberapa orang yang gue kenal sebagai petinggi perusahaan, termasuk Bima yang duduk di ujung meja dengan wajah serius."Dita, duduk sini," panggil Bima sambil nunjuk kursi kosong di sebelahnya. Gue langsung duduk, sambil ngerasa semua mata tertuju ke gue.Bima mulai meeting dengan suara tegas. "Hari ini kita akan bahas proyek baru yang gue yakin bisa bawa perusahaan kita ke level berikutny
Gue, Dita, baru dua bulan kerja di perusahaan startup yang lagi naik daun ini. Perusahaan ini bergerak di bidang teknologi, dan gue kebetulan ditempatkan di departemen pemasaran. Pagi ini, gue lagi asik-asiknya bikin laporan mingguan sambil ngopi, tiba-tiba telepon di meja gue berdering."Dita, lo dipanggil ke ruang CEO sekarang," suara sekretaris Bima, Mbak Lala, terdengar di ujung sana.Jantung gue langsung berdegup kencang. "Ada apa ya, Mbak?" tanya gue, berusaha tenang padahal pikiran gue udah kacau."Katanya ada yang mau dibahas soal proyek. Langsung aja ya, jangan lama-lama," katanya dengan nada serius.Gue langsung bergegas. Gue yakin gue gak bikin kesalahan besar, tapi tetep aja rasa takut itu ada. Gue jalan cepat menuju ruang CEO di lantai atas. Pas gue sampai, Mbak Lala langsung ngasih kode buat masuk.Gue mengetuk pintu dan masuk dengan hati-hati. Bima, si CEO, lagi duduk di balik meja kerjanya dengan wajah serius. Dia ngeliat gue sebentar, terus nunjuk ke kursi di depannya