Share

BAB 8: Ketukan di Tengah Malam

Malam itu terasa sunyi di apartemen gue. Setelah berbicara dengan Bima, gue memutuskan untuk menutup laptop dan mengambil waktu buat diri sendiri. Gue pesan makanan dari restoran favorit gue dan menonton film untuk melepas penat. Semuanya berjalan biasa aja—sampai terdengar ketukan keras di pintu apartemen gue, membuat gue melompat dari sofa.

Ketukan itu terdengar tergesa-gesa, seperti orang yang panik atau marah. Jantung gue berdetak lebih cepat, otak gue otomatis berpikir kalau ini sesuatu yang buruk. Siapa yang akan datang jam segini?

Gue berjalan ke pintu dengan sedikit ragu. Ketika gue buka pintu, gue langsung tersentak. Di depan gue berdiri seorang wanita dengan wajah tegang, rambutnya acak-acakan, dan bajunya terlihat kotor seperti habis lari seharian. Dia menarik napas berat, seolah berusaha menenangkan dirinya sendiri.

“Lo... lo harus bantuin gue,” kata wanita itu dengan suara terengah-engah, air mata mulai mengalir di pipinya.

Gue menatapnya dengan bingung. “Maaf, lo siapa?”

Wanita itu menatap gue dengan tatapan tak percaya. “Lo gak ingat gue? Gue Alma! Dulu gue kerja di bagian IT perusahaan lo sebelum gue keluar beberapa bulan lalu.”

Nama itu langsung membangkitkan ingatan gue. Alma, salah satu teknisi IT berbakat yang pernah kerja sama kami sebelum dia mengundurkan diri secara tiba-tiba. Gue belum pernah dengar kabar darinya lagi setelah itu.

“Apa yang terjadi? Kenapa lo ada di sini?” tanya gue dengan hati-hati, mencoba menenangkan situasi.

Alma memegang erat lengan gue, suaranya penuh ketakutan. “Ada seseorang yang ngejar gue. Mereka tahu tentang peretasan itu, Dit. Gue gak bisa lari ke siapa pun lagi. Gue butuh tempat buat sembunyi.”

Kalimatnya menusuk gue seperti pisau. Orang yang ngejar dia? Tahu tentang peretasan? Semua ini terlalu mendadak dan aneh buat gue. Gue menarik napas dalam-dalam, mencoba mengurai informasi yang dia sampaikan.

“Masuk dulu, Alma,” kata gue, menggeser tubuh gue dari pintu dan membiarkannya masuk. “Kita bicara di dalam.”

Alma melangkah masuk ke apartemen gue, lalu langsung jatuh terduduk di sofa. Dia menggenggam rambutnya dengan kedua tangan, napasnya masih belum tenang.

“Ceritain dari awal,” kata gue, duduk di seberangnya. “Siapa yang ngejar lo, dan kenapa?”

Alma mengambil napas dalam-dalam sebelum dia mulai berbicara. “Setelah gue keluar dari perusahaan, gue dapet tawaran dari pihak luar yang gue kira adalah proyek freelance biasa. Tapi ternyata, mereka itu bukan orang sembarangan. Mereka adalah orang-orang yang punya kepentingan besar terhadap data yang ada di perusahaan lo.”

“Data perusahaan?” gue menatapnya tajam. “Apa maksud lo?”

Dia menatap gue dengan sorot mata yang penuh penyesalan. “Awalnya, gue cuma disuruh nyari kelemahan di sistem keamanan kalian. Gue gak tau kalau mereka bakal nyalahgunain informasi yang gue kasih. Gue pikir itu cuma proyek biasa buat memperbaiki sistem, tapi ternyata mereka menggunakan informasi itu untuk meretas.”

Gue membeku. Jadi, Alma yang tanpa sadar memberi akses kepada peretas yang menghancurkan sistem perusahaan kami?

“Kenapa lo gak ngasih tahu gue dari awal?” Gue berusaha menahan amarah yang mulai membara di dalam diri gue. “Lo tau seberapa besar kerusakan yang mereka buat, kan? Lo tau kita hampir kehilangan kepercayaan dari klien besar karena ini!”

Air mata Alma mulai mengalir lagi. “Gue gak tau, Dit. Gue gak tahu mereka bakal ngegunain itu buat hal jahat. Gue cuma pikir ini buat memperbaiki sistem keamanan lo. Tapi setelah gue tau niat mereka, gue langsung berhenti, dan itulah kenapa gue hilang begitu aja. Tapi sekarang, mereka nyari gue karena gue gak mau kerja sama mereka lagi.”

Amarah gue mulai mereda seiring dengan kepanikan di wajahnya. Meskipun dia bikin kesalahan besar, gue bisa lihat dia gak sengaja terlibat dalam semua ini. Dia adalah korban juga, sama seperti perusahaan gue.

“Lo udah coba lapor polisi?” tanya gue pelan.

Alma menggeleng. “Gue takut mereka punya koneksi di mana-mana. Gue gak tahu harus percaya siapa lagi. Gue bahkan gak bisa pulang ke rumah. Gue merasa terus diikuti.”

Gue menghela napas panjang, berpikir keras tentang langkah selanjutnya. Ini bukan situasi yang bisa gue anggap enteng. Kalau Alma benar tentang ancaman ini, berarti masalah peretasan belum sepenuhnya selesai. Mereka mungkin masih mencari cara untuk menyusup lagi ke dalam perusahaan kami, atau bahkan lebih buruk.

“Kita gak bisa diem aja, Alma. Kita harus ngelaporin ini ke pihak berwajib,” kata gue akhirnya, berusaha menenangkan diri.

Dia terlihat ketakutan. “Tapi gimana kalau mereka dapet gue duluan? Gue gak bisa ambil risiko itu.”

Gue menatapnya dalam-dalam, lalu meraih ponsel gue. “Kita akan cari perlindungan untuk lo dulu. Gue bakal hubungi orang yang bisa kita percaya.”

Gue menelepon Bima. Dia adalah orang yang selalu gue percayai, dan dalam situasi ini, dia adalah satu-satunya orang yang gue tahu bisa menjaga kepala dingin.

“Bim, gue butuh bantuan lo sekarang,” kata gue cepat setelah dia menjawab telepon. “Lo bisa datang ke apartemen gue sekarang?”

Bima terdengar sedikit bingung di telepon. “Kenapa? Ada apa?”

“Gue gak bisa jelasin panjang lebar di telepon. Pokoknya penting. Gue butuh lo di sini.”

Gue bisa dengar Bima menghela napas. “Baiklah, gue otw.”

Gue menutup telepon dan menatap Alma lagi. “Bima akan datang. Kita bakal cari cara untuk ngelindungin lo.”

Alma mengangguk pelan, tapi matanya masih terlihat takut. Gue merasa sedikit lega karena bisa melakukan sesuatu untuk membantunya, meski gue juga tahu ini bisa menjadi lebih rumit dari yang gue bayangkan.

**

Setengah jam kemudian, Bima tiba di apartemen gue. Dia terlihat khawatir begitu dia melihat Alma duduk di sofa dengan wajah pucat dan penampilan kusut.

“Apa yang terjadi?” tanya Bima sambil menatap gue dengan serius.

Gue memberi isyarat agar dia duduk sebelum gue mulai menjelaskan. Gue cerita tentang kedatangan Alma, keterlibatannya yang gak sengaja dalam peretasan, dan ancaman yang dia hadapi sekarang. Bima mendengarkan dengan seksama, alisnya mengerut semakin dalam seiring dengan setiap detail yang gue jelaskan.

“Jadi, ini semua belum selesai?” tanya Bima dengan nada tajam begitu gue selesai berbicara. “Mereka masih ngejar Alma?”

Gue mengangguk pelan. “Iya. Dan kita harus ngelindungin dia sambil berusaha menyelesaikan masalah ini.”

Bima menarik napas panjang. “Ini lebih rumit dari yang gue kira. Kalau Alma bener, berarti kita masih dalam bahaya.”

“Apa yang harus kita lakuin, Bim?” tanya gue dengan nada putus asa. “Gue gak mau ada korban lagi, tapi gue juga gak tau harus mulai dari mana.”

Bima terdiam sejenak, berpikir keras. Kemudian dia berkata, “Pertama-tama, kita perlu tempat aman buat Alma. Kalau mereka memang nyari dia, kita harus pastikan dia gak gampang ditemukan.”

“Lo kenal seseorang yang bisa bantu?” tanya gue, berharap.

Bima mengangguk. “Gue punya kontak di bidang keamanan pribadi. Mereka bisa jaga Alma untuk sementara waktu sampai kita tahu langkah selanjutnya.”

Gue merasa sedikit lega mendengar itu. “Baiklah, gue setuju. Kita harus lakukan itu secepat mungkin.”

Bima langsung mengambil ponselnya dan menelepon kontak yang dia kenal. Sementara itu, gue menoleh ke Alma dan mencoba menenangkan dia.

“Lo bakal aman, Alma. Bima punya orang-orang yang bisa ngelindungin lo,” kata gue dengan suara lembut.

Alma mengangguk pelan, meskipun rasa takut masih terpancar di wajahnya. “Gue cuma gak mau orang lain terluka karena kesalahan gue.”

“Ini bukan sepenuhnya salah lo,” jawab gue, meski gue tahu kata-kata gue gak akan bisa sepenuhnya menghapus rasa bersalahnya. “Lo gak tau apa yang mereka rencanain. Sekarang yang penting kita selesaikan ini.”

Beberapa saat kemudian, Bima selesai menelepon. “Mereka bakal datang dalam satu jam. Sementara itu, kita harus tetap waspada.”

Kami bertiga duduk di ruang tamu dalam keheningan, menunggu dengan tegang. Gue gak bisa berhenti berpikir tentang semua ini—tentang seberapa dalam konspirasi ini sebenarnya, dan apa yang masih mereka rencanakan. Gue tahu, ini belum berakhir. Ancaman masih ada, dan gue gak akan diam sampai semuanya beres.

Satu jam kemudian, tim keamanan pribadi yang Bima hubungi tiba di apartemen gue. Mereka adalah pria-pria bertubuh besar dengan pakaian hitam, bergerak dengan sikap profesional dan tenang. Salah satu dari mereka, yang tampaknya adalah pemimpin, memperkenalkan dirinya sebagai Reza.

“Kami sudah diberi pengarahan oleh Bima. Kami akan memastikan Alma aman,” kata Reza dengan suara dalam yang penuh keyakinan.

Alma, yang masih terlihat tegang, mencoba tersenyum meski ketakutan di wajahnya belum sepenuhnya hilang. Dia mengangguk pelan, lalu berdiri dengan gugup. “Terima kasih, gue benar-benar gak tahu apa yang harus gue lakukan tanpa bantuan kalian.”

Reza menepuk pundaknya dengan pelan. “Tenang aja, kami sudah terbiasa menghadapi situasi seperti ini. Yang penting sekarang adalah menjaga lo tetap aman sementara kami menyelidiki lebih jauh tentang siapa yang ngejar lo.”

Bima dan gue mengawasi saat tim keamanan mengatur langkah untuk membawa Alma ke tempat yang lebih aman. Gue masih merasa tegang, tapi setidaknya ada sedikit kelegaan karena Alma sekarang dalam perlindungan yang lebih baik. Ketika Alma akhirnya pergi bersama mereka, gue menoleh ke Bima.

“Lo yakin mereka bisa jaga dia dengan baik?” tanya gue.

Bima mengangguk dengan mantap. “Reza dan timnya adalah profesional. Gue udah pernah kerja sama mereka sebelumnya, dan mereka sangat bisa diandalkan. Mereka gak akan biarkan Alma terluka.”

Gue menghela napas panjang, sedikit lega meski masalah ini masih jauh dari selesai. “Baiklah. Jadi apa langkah kita selanjutnya?”

Bima menatap gue serius. “Kita harus mulai dari mempelajari siapa sebenarnya yang di belakang semua ini. Kalau Alma benar, berarti ada organisasi besar yang sedang berusaha memanfaatkan kelemahan di sistem keamanan kita untuk keuntungan mereka sendiri. Kita gak bisa biarkan ini berlanjut.”

Gue mengangguk. “Kita harus pastikan ini gak akan terjadi lagi. Kita gak bisa kehilangan lebih banyak klien atau menempatkan orang lain dalam bahaya.”

“Gue setuju,” kata Bima dengan nada tegas. “Dan kita perlu tahu lebih dalam tentang siapa yang Alma maksud. Siapa orang-orang ini? Apa motivasi mereka? Dan yang terpenting, bagaimana cara kita menghentikan mereka?”

Gue berpikir sejenak, mencoba merangkai potongan-potongan informasi yang kami punya. Ini semua masih terlalu kabur. Satu-satunya yang kami tahu pasti adalah bahwa Alma tanpa sengaja terlibat dengan kelompok berbahaya yang menggunakan informasi yang dia berikan untuk meretas sistem perusahaan kami. Tapi pertanyaannya, siapa mereka? Apa tujuan mereka sebenarnya?

“Gue akan coba hubungi beberapa kenalan di dunia IT dan keamanan siber,” kata gue akhirnya. “Mungkin ada yang pernah dengar tentang kelompok ini atau tahu lebih banyak tentang peretasan yang terjadi.”

Bima mengangguk setuju. “Itu langkah yang bagus. Sementara itu, gue akan coba cari lebih banyak informasi dari pihak keamanan. Kita gak bisa biarkan ini berkembang jadi ancaman yang lebih besar.”

Malam itu, setelah Bima pergi, gue merasa cemas meskipun Alma sudah aman untuk sementara waktu. Gue masih bertanya-tanya tentang apa yang akan terjadi selanjutnya dan bagaimana kami bisa mengatasi semua ini. Gue tahu, ini adalah awal dari sesuatu yang jauh lebih besar daripada yang pernah gue bayangkan.

**

Keesokan harinya, gue bangun dengan perasaan waspada. Gue langsung memeriksa ponsel, berharap ada kabar baik. Tapi yang gue temukan hanyalah pesan dari Bima yang mengatakan bahwa Alma sudah dipindahkan ke tempat aman dan dia akan terus memantau situasinya.

Gue merasa sedikit lega, tapi gue tahu ini belum selesai. Gue harus menemukan jawaban.

Hari itu di kantor, suasana terasa tegang. Semua orang tahu tentang peretasan yang terjadi beberapa waktu lalu, meskipun gue dan Bima berusaha sebisa mungkin untuk menutupi dampaknya dari sebagian besar karyawan. Tapi gue bisa merasakan bahwa rasa cemas dan kekhawatiran masih membayangi banyak dari mereka.

Ketika gue berjalan ke meja gue, suara email baru masuk ke laptop gue. Gue membuka laptop dan menemukan sebuah pesan misterius tanpa pengirim yang jelas. Isinya hanya sebuah kalimat singkat: **"Kami belum selesai. Jangan berpikir kalian sudah aman."**

Pesan itu membuat darah gue berdesir. Siapa yang mengirim ini? Apakah mereka tahu bahwa Alma sekarang dalam perlindungan? Gue merasa seolah diawasi setiap gerakan gue.

Tanpa berpikir panjang, gue langsung menelepon Bima. “Bim, gue baru dapet email aneh. Kayaknya dari orang-orang yang ngejar Alma.”

Bima terdengar tegang di telepon. “Gue akan segera ke kantor lo. Jangan lakukan apa-apa dulu.”

Sambil menunggu Bima datang, gue merasa gelisah. Siapa yang bermain di balik semua ini? Dan apa yang mereka inginkan dari perusahaan gue?

Gue duduk diam di meja gue, memandangi layar laptop dengan pikiran berputar. Gue tahu satu hal pasti—ini belum selesai. Ancaman masih ada, dan kami harus siap menghadapi apa pun yang akan datang.

Ketika Bima akhirnya tiba, dia langsung meminta gue menunjukkan email itu. Setelah membacanya, wajahnya mengeras. “Ini jelas peringatan dari mereka. Mereka ingin kita tahu kalau mereka masih ada dan siap menyerang lagi kapan saja.”

“Jadi apa langkah kita sekarang?” tanya gue.

Bima berpikir sejenak, lalu berkata, “Kita harus meningkatkan keamanan perusahaan lebih dari yang pernah kita lakukan sebelumnya. Dan kita harus mulai menyelidiki siapa yang mengirim email ini. Kalau mereka tahu kita, berarti mereka punya akses lebih dalam dari yang kita duga.”

Gue mengangguk. “Gue setuju. Tapi kita juga harus pastikan bahwa Alma tetap aman. Kalau mereka berhasil menemukannya, semuanya bisa berakhir buruk.”

“Gue akan hubungi Reza lagi. Gue yakin dia bisa meningkatkan penjagaan buat Alma,” kata Bima dengan tegas.

Hari itu di kantor, gue dan Bima langsung bekerja keras untuk memperkuat keamanan sistem. Kami bekerja sama dengan tim IT, memeriksa ulang semua protokol keamanan, mengubah kata sandi, dan memastikan tidak ada celah yang bisa dimanfaatkan oleh peretas lagi. Semuanya harus sempurna kali ini.

Di sisi lain, Bima juga terus mencari informasi tentang siapa yang ada di balik semua ini. Dia menghubungi beberapa kontak di dunia keamanan siber, berharap ada petunjuk yang bisa membantu kami menemukan siapa dalang di balik peretasan ini. Gue tahu, kami sedang berhadapan dengan sesuatu yang lebih besar dari sekadar peretasan biasa.

Ketika malam tiba, gue merasa sedikit lebih tenang setelah semua upaya yang kami lakukan hari itu. Tapi gue juga tahu, ini baru permulaan. Email yang gue terima adalah peringatan—dan gue harus siap menghadapi apa pun yang akan terjadi selanjutnya.

**

Malam itu, saat gue akhirnya kembali ke apartemen gue, rasa lelah menyerang gue seperti gelombang besar. Gue duduk di sofa, menatap kosong ke arah jendela sambil memikirkan semua yang telah terjadi. Alma, peretasan, ancaman, email misterius—semuanya masih berputar di kepala gue, menolak untuk pergi.

Gue tahu, besok akan menjadi hari yang panjang lagi. Tapi gue juga tahu satu hal pasti: gue gak akan biarkan orang-orang ini menghancurkan apa yang gue bangun. Gue dan Bima akan melawan. Kami akan melindungi perusahaan kami, klien kami, dan semua orang yang terlibat di dalamnya. Dan meskipun kami belum tahu siapa musuh kami, kami akan menemukan mereka.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status