Sudah beberapa hari berlalu sejak pertandingan persahabatan bela diri antar fakultas, namun rasa sakit di perut Ryan belum juga hilang. Pertandingan itu berlangsung sengit, terutama ketika Ryan harus berhadapan dengan Alvin, seorang mahasiswa dari Fakultas Hukum yang mengajaknya duel di pertandingan persahabatan.
Meski merasakan sakit di perutnya, Ryan masih bisa beraktivitas seperti biasanya. Namun, seperti yang dikatakan dokter Surya, ia tidak boleh terlalu memforsir diri. Jabatan sebuaha ketua BEM memaksanya untuk tetap mengikuti beberapa kegiatan yang sudah dijadwalkan. Seperti halnya kemarin, ia harus menjadi pembicara dalam seminar nasional UMKM yang diadakan pihak kampus.
Siang ini, ia tak ada jadwal kuliah. Di kamar kosnya, Ryan terbaring lemas di atas kasur. Perutnya terasa perih setiap kali ia mencoba bangun. Ia sudah mencoba mengompres dengan air hangat dan meminum obat, tetapi tak ada yang meredakan rasa sakitnya. Padahal, ketika ia beraktivitas, sakitnya tidak terlalu terasa. Memang ketika ia tidak melakukan apa pun, rasa sakit itu mulai terasa menyiksa.
Kriiiiiing
Ponselnya berdering. Ia menggaet HP yang terletak di meja di samping ranjangnya. Nama Pak Hendra tertera di layar ponsel.
"Assalamualaikum. Iya, Pak," Ryan mengucap salam, seperti biasa.
"Yan, ada kuliah hari ini? Ada kegiatan nggak sekarang?" tanya Pak Hendra melalui telepon.
"Nggak ada, Pak. Sekarang saya di kos aja," jawab Ryan sembari memegangi perutnya yang kian terasa sakit.
"Bersiap, ya. Saya jemput. Saya sudah membuat janji sama Pak Joko terapis," ujar Pak Hendra.
"Baik, Pak," jawab Ryan pelan, kemudian menekan tombol merah di ponselnya.
Tak banyak bicara, Ryan menurut apa kata dosen FKIP tersebut. Pak Hendra diberikan tanggung jawab untuk mendampingi Ryan dalam terapi organ dalam perutnya karena saat itu Pak Hendra yang menjadi wasit pertandingan persahabatan dan tahu kronologinya.
Ryan bangkit, bersiap membersihkan diri. Lima belas menit kemudian, sebuah mobil sedan putih berhenti di depan kosnya. Pak Hendra turun dari mobil dan melangkah masuk pagar kos Ryan. Belum sampai mengetuk pintu, Ryan sudah membuka pintu dan keluar dari kosnya.
"Gimana, Yan? Masih sakit?" tanya Pak Hendra.
"Hehe, masih, Pak," jawab Ryan sembari tertawa lirih.
"Ya jelas sakit, lah, Yan. Orang Alvin kasar kayak gitu. Alvin punya dendam apa, sih, sama kamu?" Pak Hendra melangkah menuju mobil, diikuti Ryan kemudian masuk ke mobil.
"Saya nggak tahu, Pak. Saya rasa, saya juga baru kenal Alvin pas pemilihan ketua BEM sama pertandingan persahabatan itu," jawab Ryan.
Sepanjang perjalanan menuju desa Tegalsari, Pak Hendra mencoba mencairkan suasana dengan berbagi cerita tentang pengalaman orang-orang yang pernah diurut oleh Pak Joko.
"Pak Joko orangnya besar, gendut, agak tinggi. Sudah agak tua, mungkin sekitar 60 tahunan. Banyak atlet yang sembuh dari cederanya berkat dia. Tapi, orangnya agak kasar kalau bicara. Kamu jangan kaget, ya," ucap Pak Hendra sambil terkekeh kecil.
Setelah sekitar 30 menit perjalanan, mereka tiba di rumah Mbah Joko, sebuah bangunan sederhana yang dikelilingi pohon bambu. Di depan rumah, seorang pria tua berdiri dengan tubuh tinggi besar. Wajahnya keras, dengan kumis lebat dan rambut beruban yang disisir ke belakang.
"Kamu yang namanya Ryan? Kalau benar, ayo masuk! Lihat dari jalannya saja sudah kelihatan lemas," kata Pak Joko dengan nada ceplas-ceplos, membuat Ryan sedikit gugup.
Di ruangan belakang rumah Pak Joko, Ryan berbaring di sebuah dipan kayu sederhana. Aroma minyak urut menyengat memenuhi udara. Pak Joko mulai memijat perut Ryan dengan jari-jarinya yang besar dan kuat.
"Ini organ perutmu geser parah gara-gara kena pukulan keras. Kalau nggak diurut, nanti organ dalammu makin kacau," jelasnya sambil terus memijat.
"Aduuuh, sakit, Pak!" Ryan meringis, mencoba menahan rasa sakit yang luar biasa.
"Ya sakitlah! Kalau enak, namanya bukan urut!" balas Pak Joko tanpa ampun.
Karena Ryan sedang berpuasa sunnah Kamis, rasa sakit itu terasa berkali lipat. Tubuhnya lemas, perut kosong, dan setiap tekanan dari tangan Mbah Joko terasa seperti siksaan. Beberapa kali Ryan harus menarik napas panjang untuk menahan teriakan.
Pak Hendra yang menunggu di luar sesekali melongok untuk memastikan Ryan baik-baik saja. "Tahan sedikit lagi, Ryan. Ini buat kebaikanmu," katanya dengan nada lembut.
Proses urut itu berlangsung selama setengah jam. Setiap menitnya terasa seperti selamanya bagi Ryan. Ketika akhirnya selesai, ia merasa tubuhnya remuk ketika berusaha untuk bangun.
"Sudah selesai. Jangan banyak gerak dulu hari ini. Nanti kalau main bela diri lagi, hati-hati, jangan cuma pakai otot, pakai otak juga," ujar Pak Joko sambil terkekeh.
Ryan tersenyum kecil, terlalu lelah untuk membalas candaan itu. Padahal selama ini ia selalu pakai otak jika bertanding bela diri. Kalau pakai otot saja, kemungkinan besar tidak mencapai kemenangan.
Ryan dan Pak Hendra pamit. Pak Joko menjadwalkan untuk terapi lagi empat hari lagi karena memang organ perutnya tidak akan bisa kembali normal hanya dengan sekali terapi.
Di perjalanan pulang, Pak Hendra bercerita banyak hal, termasuk ketika ia masih muda dan menjadi mahasiswa kampus Nusantara dulu.'
"Waktu saya jadi mahasiswa, kampus ini ya udah begini, Yan," ucapnya santai sembari menyetir mobil. Ryan yang duduk di sampingnya mendengar dengan seksama.
"Pak Hendra alumni kampus Nusantara juga?" Ryan menoleh ke arah Pak Hendra.
"Iya. KKN sudah merajalela dari dulu, sampai sekarang. Belum ada ketua BEM yang seberani kamu. Presma dari setiap periode pada cari aman, padahal keluhan dari mahasiswa banyak sekali, tapi nggak pernah ada aksi dari jajaran kabinet BEM kita," Pak Surya menjelaskan panjang lebar.
Ryan tak menanggapi. Ia diam, menunggu kalimat Pak Hendra selanjutnya.
"Aku salut sama kamu. Yaaa, bisa dibilang terlalu berani, sih, soalnya petinggi-petinggi kampus Nusantara yang terlibat dalam KKN agak serem. Mereka nggak segan-segan menyingkirkan siapa pun yang mengusik ketenangannya. Mereka libas semua, nggak pandang bulu."
Ekspresi Ryan berubah, ia mengernyitkan dahi. Tidak menyangka jika KKN di kampus Nusantara sudah mengakar sejak bertahun-tahun lalu.
"Tapi, kamu nggak usah khawatir, Yan. Masih ada beberapa dosen dan civitas akademika kampus yang mendukung gerakan lurus dari kamu, termasuk saya. Saya pastikan saya akan terus berada di belakang kamu dan teman-teman."
"Tapi, satu hal yang saya takutkan, Pak," sahut Ryan.
"Apa?" Pak Hendra menoleh ke arah Ryan yang masih memegangi perutnya.
Ryan tertawa kecil, "Saya takut beasiswa penuh saya dicabut. Kalau dicabut, saya nggak bisa melanjutkan kuliah."
Di balik keberaniannya memberantas ketidakadilan, Ryan juga punya ketakutan jika beasiswanya dicabut oleh pihak kampus.
"Kamu nggak usah khawatir tentang itu. Saya bisa bantu. Saya kenal baik dengan pihak keuangan kampus yang mengurusi tentang beasiswa. Namanya Pak Heru. Dia orangnya baik. Dan salah satu civitas akademika yang mendukung gerakan lurus kamu," jawab Pak Hendra. Ryan merasa lega.
"Kamu juga sudah dijamin biaya S-2 sama Prof. Bambang. Sepertinya ada beberapa dosen juga yang mendukung. Prof. Bambang orangnya konsisten, nggak mudah belok jalan."
"Alhamdulillah, Pak. Saya sangat bersyukur ketika mendapatkan info tentang itu," tutur Ryan sembari membenarkan posisi duduknya.
Ponsel Ryan berdering membuyarkan percakapan antara dirinya dengan Pak Hendra. Ryan segera mengangkat telepon.
"Yan, bisa ke bascamp sekarang? Kita harus rapat mendadak. Penting."
"Pak Hendra, bisa antar saya ke bascamp BEM? Ada urusan mendadak," pintanya. Tanpa banyak tanya, Pak Hendra mengangguk dan langsung mengarahkan mobilnya ke kampus.
Setibanya di bascamp BEM, suasana ruangan terasa tegang. Semua anggota kabinet sudah berkumpul di sana, wajah mereka terlihat serius. Ketua BEM langsung memulai rapat tanpa banyak basa-basi.
"Kita ada masalah besar. Sponsor utama kita untuk acara Pekan Kreativitas Mahasiswa tiba-tiba menarik diri. Padahal, mereka adalah pendukung terbesar kita," ujar Renata, anggota BEM kampus, dengan nada gusar.
"Iya, padahal PKM tinggal sebulan lagi. Semua peserta lomba sudah mendaftar," sahut Farra, anggota BEM lain.
Ruangan hening. Semua orang tampak terkejut dan bingung. Ryan mencoba mencerna informasi itu meski pikirannya masih berat akibat kelelahan.
"Lebih parahnya lagi, ada indikasi bahwa ini sabotase. Informasi penting tentang acara kita bocor ke pihak luar. Saya yakin ada yang bermain di dalam," lanjut sekretaris BEM, membuat suasana semakin memanas.
Ryan terkejut. Tuduhan itu menciptakan ketegangan besar di ruangan. Beberapa anggota mulai saling tuduh, sementara yang lain berusaha mencari solusi. Ryan tahu, jika masalah ini tidak segera diselesaikan, bukan hanya acara yang akan hancur, tetapi juga reputasi BEM dan kampus.
"Oke, kita rapat sekarang, ya. Sambil nyari solusi bareng-bareng. Maksimal tiga hari, kita sudah harus mendapatkan kembali sponsor utama itu. Nggak ada waktu lagi," pinta Ryan pelan kemudian ia duduk di ruang rapat sembari membuka laptopnya.
Ruangan bascamp terasa seperti medan perang, bukan lagi tempat diskusi. Tuduhan demi tuduhan mulai dilemparkan oleh anggota kabinet, masing-masing berusaha membela diri. Ryan, yang duduk di ujung meja sebagai Ketua BEM, hanya bisa bersandar lemah. Perutnya masih terasa nyeri luar biasa setelah terapi di rumah Mbah Joko, sehingga ia sulit bergerak. Ia berbicara pelan, hampir berbisik, agar tidak memicu rasa sakit di tubuhnya."Kita... nggak bisa... saling tuduh tanpa bukti," ucap Ryan dengan suara pelan namun tegas, mencoba meredakan situasi. Meski sulit, ia tahu bahwa tanggung jawab sebagai ketua tak memungkinkannya untuk diam.Arya, ketua divisi humas, menggebrak meja. "Kita tidak mungkin melanjutkan acara tanpa sponsor utama! Dan kalau benar ada orang dalam yang membocorkan informasi ini, dia sudah menghancurkan kerja keras kita semua!""Jangan asal tuduh, Arya!" balas Yuni, ketua divisi logistik. "Bisa saja ini ulah pihak luar yang ingin menjatuhkan kita. Kam
Ryan masih memegangi perutnya dengan napas tersengal. Tubuhnya gemetar, baik karena rasa sakit maupun kekhawatiran. Sambil membantu Ryan berdiri, Dika mengedarkan pandangan ke sekitar bascamp, memastikan tak ada lagi orang yang mencurigakan."Kamu yakin aman?" tanya Dika, suaranya terdengar tegang.Ryan mengangguk lemah. "Aman... cuma perut ini sakit banget."Dika membantu Ryan duduk di kursi terdekat, lalu menatap pintu yang masih terbuka lebar. "Kita harus cari tahu siapa mereka. Ini nggak bisa dianggap enteng."Ryan mencoba berpikir di tengah rasa nyeri yang masih menusuk. Tiga orang tak dikenal masuk ke bascamp dan menyerangnya tanpa alasan jelas. Apakah mereka terkait dengan proposal palsu? Atau ini adalah ancaman langsung untuknya sebagai Ketua BEM?"Aku rasa mereka ada hubungannya dengan masalah sponsor tadi," ujar Ryan dengan pelan. "Mereka tahu sesuatu."Dika menghela napas panjang. "Aku setuju, tapi ini terlalu bahaya, Ryan. Kalau
Matahari pagi mulai merangkak naik, mengusir sisa-sisa embun yang menempel di dedaunan kampus Universitas Nusantara. Di tengah hiruk pikuk mahasiswa yang berlalu-lalang, Ryan Ramadhani berjalan cepat menuju aula diskusi, wajahnya serius, membawa setumpuk dokumen di tangannya. Bagi sebagian orang, Ryan adalah pahlawan. Presiden Mahasiswa yang karismatik, pintar, dan selalu tahu cara menghadapi setiap persoalan. Namun, bagi dirinya sendiri, hidup adalah perjuangan tanpa akhir.Lahir di keluarga sederhana, Ryan sudah terbiasa dengan kerasnya hidup. Ayahnya sudah meninggal sejak ia masih SD. Ibunya guru PNS sekolah dasar yang gajinya hanya cukup untuk bertahan hidup. Dia tumbuh dengan kesadaran bahwa pendidikan adalah satu-satunya jalan keluar. Ketekunan membawa Ryan ke Universitas Nusantara sebagai penerima beasiswa penuh. Namun, meski telah berada di sini, perjuangannya tidak berhenti.Ia juga bekerja separuh waktu sebagai asisten dosen Teknik Sipil, jurusannya, dan biasanya diikutserta
(Flashback)Aula utama Universitas Nusantara dipadati mahasiswa. Mereka datang bukan hanya untuk menyaksikan orasi ketiga kandidat, tetapi juga untuk melihat siapa yang paling layak memimpin mereka. Di panggung utama, Alvin, Rahmi, dan Ryan berdiri sejajar, mengenakan pakaian rapi, dengan ekspresi yang mencerminkan keyakinan masing-masing.Alvin adalah yang pertama melangkah maju. Dengan postur tinggi dan suara yang lantang, dia membawa energi yang memukau. “Mahasiswa Universitas Nusantara!” serunya, membuat hadirin langsung diam memperhatikan. “Kita adalah generasi penerus bangsa! Dengan inovasi dan keberanian, kita bisa menciptakan kampus yang modern dan progresif. Saya berjanji akan membawa teknologi ke setiap sudut kampus kita!”Pidatonya dipenuhi dengan visi tentang digitalisasi dan modernisasi kampus. Alvin jelas mengincar mahasiswa dari jurusan teknik dan informatika yang menjadi basis pendukung utamanya. Namun, meski energik, orasinya terasa seperti janji kosong bagi sebagian
Ryan Ramadhani tidak selalu menjadi sosok yang tangguh dan kharismatik seperti sekarang. Di balik senyum yang kerap ia tunjukkan di depan publik, ada luka lama yang masih membekas. Luka yang ia simpan rapat-rapat, terbungkus dalam kesibukan dan ambisi yang ia kejar tanpa henti.Semua berawal di sebuah diskusi terbuka yang diadakan oleh Fakultas Hukum. Ryan, yang saat itu masih semester tiga, ikut serta sebagai perwakilan Fakultas Teknik. Diskusi itu membahas isu hak-hak buruh, sebuah topik yang menarik perhatian Ryan karena ia tumbuh dalam keluarga pekerja keras. Di sana, ia bertemu dengan Alisa Firdaus, atau yang akrab dipanggil Icha, seorang mahasiswi Fakultas Hukum yang cerdas dan penuh semangat.Icha memiliki aura yang sulit diabaikan. Pengetahuannya tentang hukum sangat mendalam, dan cara ia berbicara menunjukkan keberanian serta kepedulian yang tulus terhadap isu-isu sosial. Ryan, yang biasanya hanya fokus pada argumen logis dan data, mendapati dirinya terpukau oleh cara Icha me
Sejak menjadi Presiden Mahasiswa (Presma), Ryan Ramadhani tak pernah benar-benar memiliki waktu untuk dirinya sendiri. Agenda rapat, audiensi dengan pihak kampus, hingga diskusi bersama mahasiswa hampir memenuhi setiap harinya. Namun, Ryan tidak pernah mengeluh. Ia tahu, tanggung jawab besar menuntut pengorbanan.Hari itu, Ryan baru saja selesai memimpin diskusi tentang transparansi anggaran organisasi mahasiswa ketika seorang mahasiswa berbadan kekar menghampirinya di lobi gedung BEM.“Mas Ryan!” panggil mahasiswa itu dengan suara lantang.Ryan menoleh dan tersenyum. “Vino, ya? Ada apa?”Vino, adik tingkat dari Fakultas Teknik yang tergabung dalam Kombimatik (Komunitas Bela Diri Anak Teknik), menggaruk kepalanya dengan canggung. “Mas, saya mau ngajak Mas Ryan ke bascam Kombimatik. Anak-anak mau kenalan sama Mas, sekalian ada hal penting yang perlu dibicarakan.”Ryan mengernyitkan dahi. “Kayaknya habis ini aku ada jam kuliah, Vin. Satu setengah jam lagi, sih.”“Cuma sebentar, Mas. Ini
Suasana kampus terasa tenang dengan semilir angin yang berhembus lembut di antara pepohonan rindang. Setelah menyelesaikan mata kuliah, Hana dan Lia memutuskan untuk duduk santai di gazebo yang terletak di taman tengah kampus. Gazebo itu dikelilingi bunga-bunga bermekaran yang menambah kesan segar.Hana menyandarkan punggungnya dengan santai sambil menyeruput minuman dingin dari botol, sementara Lia membuka buku catatan, sesekali tertawa kecil saat mereka berbincang ringan tentang materi kuliah yang baru saja selesai.Suara burung berkicau dan gemericik air dari kolam kecil di dekat gazebo menambah kedamaian sore itu, menciptakan momen santai yang penuh kebersamaan di sela rutinitas perkuliahan."Hadeh, sebel banget bisa-bisanya dititipin ke aku. Kemana coba aku harus nyari si presma itu?" Key datang dengan terengah-engah, meletakkan map besar di meja gazebo tempat Hana dan Lia tengah santai menunggu jam kuliah selanjutnya.
Ryan terbangun di keheningan subuh, disambut oleh rasa sakit yang tajam di punggung dan perutnya. Sisa-sisa serangan brutal dari Alvin semalam terasa seperti beban yang menekan tubuhnya.Setiap gerakan kecil membuat otot-ototnya menjerit, tapi ia memaksa diri untuk bangkit dari ranjang. Dengan napas berat, Ryan berwudhu perlahan, berpegangan pada dinding kamar mandi untuk menjaga keseimbangan.Saat berdiri menghadap sajadah, ia merasakan nyeri menjalar di punggung, membuat tubuhnya sedikit membungkuk. Ia menunaikan sholat subuh dengan hati-hati, gerakan rukuk dan sujud terasa seperti tantangan berat. Namun, ia tetap khusyuk, memohon kekuatan dan kesembuhan.Setelah selesai, Ryan kembali ke ranjang. Tubuhnya terasa lemah dan keringat dingin membasahi pelipisnya. Ia berbaring, mencoba mencari posisi yang tidak menyakitkan, lalu perlahan-lahan terlelap lagi, membiarkan kelelahan dan rasa sakit membawanya ke dalam tidur yang gelisah.Dika memarkir motornya di depan kos Ryan. Ketika akan m
Ryan masih memegangi perutnya dengan napas tersengal. Tubuhnya gemetar, baik karena rasa sakit maupun kekhawatiran. Sambil membantu Ryan berdiri, Dika mengedarkan pandangan ke sekitar bascamp, memastikan tak ada lagi orang yang mencurigakan."Kamu yakin aman?" tanya Dika, suaranya terdengar tegang.Ryan mengangguk lemah. "Aman... cuma perut ini sakit banget."Dika membantu Ryan duduk di kursi terdekat, lalu menatap pintu yang masih terbuka lebar. "Kita harus cari tahu siapa mereka. Ini nggak bisa dianggap enteng."Ryan mencoba berpikir di tengah rasa nyeri yang masih menusuk. Tiga orang tak dikenal masuk ke bascamp dan menyerangnya tanpa alasan jelas. Apakah mereka terkait dengan proposal palsu? Atau ini adalah ancaman langsung untuknya sebagai Ketua BEM?"Aku rasa mereka ada hubungannya dengan masalah sponsor tadi," ujar Ryan dengan pelan. "Mereka tahu sesuatu."Dika menghela napas panjang. "Aku setuju, tapi ini terlalu bahaya, Ryan. Kalau
Ruangan bascamp terasa seperti medan perang, bukan lagi tempat diskusi. Tuduhan demi tuduhan mulai dilemparkan oleh anggota kabinet, masing-masing berusaha membela diri. Ryan, yang duduk di ujung meja sebagai Ketua BEM, hanya bisa bersandar lemah. Perutnya masih terasa nyeri luar biasa setelah terapi di rumah Mbah Joko, sehingga ia sulit bergerak. Ia berbicara pelan, hampir berbisik, agar tidak memicu rasa sakit di tubuhnya."Kita... nggak bisa... saling tuduh tanpa bukti," ucap Ryan dengan suara pelan namun tegas, mencoba meredakan situasi. Meski sulit, ia tahu bahwa tanggung jawab sebagai ketua tak memungkinkannya untuk diam.Arya, ketua divisi humas, menggebrak meja. "Kita tidak mungkin melanjutkan acara tanpa sponsor utama! Dan kalau benar ada orang dalam yang membocorkan informasi ini, dia sudah menghancurkan kerja keras kita semua!""Jangan asal tuduh, Arya!" balas Yuni, ketua divisi logistik. "Bisa saja ini ulah pihak luar yang ingin menjatuhkan kita. Kam
Sudah beberapa hari berlalu sejak pertandingan persahabatan bela diri antar fakultas, namun rasa sakit di perut Ryan belum juga hilang. Pertandingan itu berlangsung sengit, terutama ketika Ryan harus berhadapan dengan Alvin, seorang mahasiswa dari Fakultas Hukum yang mengajaknya duel di pertandingan persahabatan. Meski merasakan sakit di perutnya, Ryan masih bisa beraktivitas seperti biasanya. Namun, seperti yang dikatakan dokter Surya, ia tidak boleh terlalu memforsir diri. Jabatan sebuaha ketua BEM memaksanya untuk tetap mengikuti beberapa kegiatan yang sudah dijadwalkan. Seperti halnya kemarin, ia harus menjadi pembicara dalam seminar nasional UMKM yang diadakan pihak kampus.Siang ini, ia tak ada jadwal kuliah. Di kamar kosnya, Ryan terbaring lemas di atas kasur. Perutnya terasa perih setiap kali ia mencoba bangun. Ia sudah mencoba mengompres dengan air hangat dan meminum obat, tetapi tak ada yang meredakan rasa sakitnya. Padahal, ketika ia beraktivitas, sakitnya tidak terlalu te
Sejak pertemuan di gazebo, Ryan semakin penasaran tentang Hana. Ia sering mendapati pikirannya melayang, memikirkan senyuman dan sikap lembut Hana. Dalam beberapa kesempatan, Ryan mencoba mencari tahu lebih banyak tentang Hana.Ia bertanya secara tidak langsung kepada teman-teman BEM yang berasal dari FKIP PGSD, satu prodi dengan Hana. Namun, jawaban yang ia dapatkan terbatas, hanya sebatas informasi bahwa Hana adalah sosok yang suka baca dan sering mengunjungi perpustakaan fakultas.Ryan bahkan mencoba mencari tahu melalui akun media sosialnya, tetapi Hana jarang sekali memposting apa pun. Meskipun begitu, usaha Ryan tak pernah surut. Baginya, semakin sulit mencari tahu, semakin kuat keinginannya untuk mengenal Hana lebih dekat."Apa aku harus menemui Hana di FKIP?" batinnya perlahan.Ryan memutar otak. Setelah ditinggal Icha ke Jerman, baru kali ini Ryan merasakan degupan yang tak beraturan ketika berhadapan dengan perempuan. Di kampus Nusantara, banyak perempuan yang mengidolakanny
"Nanti salam buat Ryan, ya, Han, hihi," celoteh Lia sembari membereskan buku-buku di tasnya, memastikan tidak ada yang tertinggal."Aku nggak kenal gimana mau nyalamin," Hana terpaksa berbohong. Ia tahu betul karakter Lia. Hana tidak mungkin cerita yang sebenarnya tentang kejadian di klinik kampus dua hari yang lalu."Aku berangkat dulu, ya,bye!"Hana melangkahkan kaki keluar dari gerbang kosnya. Hari ini ia akan menghadiri Seminar Nasional UMKM yang diadakan di Gedung Soekarno, gedung yang biasanya dipakai untuk acara-acara seminar. Jarak dari kos menuju gedung Soekarno sekitar satu kilometer. Namun, Hana sudah biasa jalan kaki ke kampus.Di depan gerbang Gedung Soekarno, Alvin menghentikan motornya tepat di samping Hana."Hai, Han!" Alvin tersenyum ke arah Hana. Hana hanya melirik sekilas dan tetap menghentikan langkahnya."Han, jangan cuek-cuek, dong. Nanti cantiknya luntur, lho!" goda Alvin."Vin, kamu keterlaluan b
Ruangan rapat BEM Universitas Nusantara terasa lebih panas dari biasanya, meskipun kipas angin besar di sudut ruangan terus berputar. Meja oval yang menjadi pusat diskusi penuh dengan laptop, buku catatan, dan secangkir kopi yang hampir kosong.Di ujung meja, Ryan Ramadhani, Presiden Mahasiswa, duduk dengan tatapan serius, mencermati laporan yang baru saja dibacakan oleh sekretarisnya.“Baik, teman-teman,” suara Ryan memecah keheningan, tegas namun tetap hangat.“Hari ini kita bahas hasil dari konferensi aspirasi mahasiswa minggu lalu. Banyak sekali curhatan yang masuk. Sekarang, kita perlu memilah mana yang bisa kita tindak lanjuti segera, dan mana yang memerlukan strategi lebih besar.”Korupsi, kolusi, dan nepotisme di Universitas Nusantara telah menjadi rahasia umum yang menyesakkan dada, namun tidak ada seorang pun yang berani melawannya. Dalam lingkaran kekuasaan kampus, praktik ini seolah menjadi bagian dari budaya yang tak t
Ryan terbangun di keheningan subuh, disambut oleh rasa sakit yang tajam di punggung dan perutnya. Sisa-sisa serangan brutal dari Alvin semalam terasa seperti beban yang menekan tubuhnya.Setiap gerakan kecil membuat otot-ototnya menjerit, tapi ia memaksa diri untuk bangkit dari ranjang. Dengan napas berat, Ryan berwudhu perlahan, berpegangan pada dinding kamar mandi untuk menjaga keseimbangan.Saat berdiri menghadap sajadah, ia merasakan nyeri menjalar di punggung, membuat tubuhnya sedikit membungkuk. Ia menunaikan sholat subuh dengan hati-hati, gerakan rukuk dan sujud terasa seperti tantangan berat. Namun, ia tetap khusyuk, memohon kekuatan dan kesembuhan.Setelah selesai, Ryan kembali ke ranjang. Tubuhnya terasa lemah dan keringat dingin membasahi pelipisnya. Ia berbaring, mencoba mencari posisi yang tidak menyakitkan, lalu perlahan-lahan terlelap lagi, membiarkan kelelahan dan rasa sakit membawanya ke dalam tidur yang gelisah.Dika memarkir motornya di depan kos Ryan. Ketika akan m
Suasana kampus terasa tenang dengan semilir angin yang berhembus lembut di antara pepohonan rindang. Setelah menyelesaikan mata kuliah, Hana dan Lia memutuskan untuk duduk santai di gazebo yang terletak di taman tengah kampus. Gazebo itu dikelilingi bunga-bunga bermekaran yang menambah kesan segar.Hana menyandarkan punggungnya dengan santai sambil menyeruput minuman dingin dari botol, sementara Lia membuka buku catatan, sesekali tertawa kecil saat mereka berbincang ringan tentang materi kuliah yang baru saja selesai.Suara burung berkicau dan gemericik air dari kolam kecil di dekat gazebo menambah kedamaian sore itu, menciptakan momen santai yang penuh kebersamaan di sela rutinitas perkuliahan."Hadeh, sebel banget bisa-bisanya dititipin ke aku. Kemana coba aku harus nyari si presma itu?" Key datang dengan terengah-engah, meletakkan map besar di meja gazebo tempat Hana dan Lia tengah santai menunggu jam kuliah selanjutnya.
Sejak menjadi Presiden Mahasiswa (Presma), Ryan Ramadhani tak pernah benar-benar memiliki waktu untuk dirinya sendiri. Agenda rapat, audiensi dengan pihak kampus, hingga diskusi bersama mahasiswa hampir memenuhi setiap harinya. Namun, Ryan tidak pernah mengeluh. Ia tahu, tanggung jawab besar menuntut pengorbanan.Hari itu, Ryan baru saja selesai memimpin diskusi tentang transparansi anggaran organisasi mahasiswa ketika seorang mahasiswa berbadan kekar menghampirinya di lobi gedung BEM.“Mas Ryan!” panggil mahasiswa itu dengan suara lantang.Ryan menoleh dan tersenyum. “Vino, ya? Ada apa?”Vino, adik tingkat dari Fakultas Teknik yang tergabung dalam Kombimatik (Komunitas Bela Diri Anak Teknik), menggaruk kepalanya dengan canggung. “Mas, saya mau ngajak Mas Ryan ke bascam Kombimatik. Anak-anak mau kenalan sama Mas, sekalian ada hal penting yang perlu dibicarakan.”Ryan mengernyitkan dahi. “Kayaknya habis ini aku ada jam kuliah, Vin. Satu setengah jam lagi, sih.”“Cuma sebentar, Mas. Ini