Ryan Ramadhani tidak selalu menjadi sosok yang tangguh dan kharismatik seperti sekarang. Di balik senyum yang kerap ia tunjukkan di depan publik, ada luka lama yang masih membekas. Luka yang ia simpan rapat-rapat, terbungkus dalam kesibukan dan ambisi yang ia kejar tanpa henti.
Semua berawal di sebuah diskusi terbuka yang diadakan oleh Fakultas Hukum. Ryan, yang saat itu masih semester tiga, ikut serta sebagai perwakilan Fakultas Teknik. Diskusi itu membahas isu hak-hak buruh, sebuah topik yang menarik perhatian Ryan karena ia tumbuh dalam keluarga pekerja keras. Di sana, ia bertemu dengan Alisa Firdaus, atau yang akrab dipanggil Icha, seorang mahasiswi Fakultas Hukum yang cerdas dan penuh semangat.
Icha memiliki aura yang sulit diabaikan. Pengetahuannya tentang hukum sangat mendalam, dan cara ia berbicara menunjukkan keberanian serta kepedulian yang tulus terhadap isu-isu sosial. Ryan, yang biasanya hanya fokus pada argumen logis dan data, mendapati dirinya terpukau oleh cara Icha menyampaikan gagasannya dengan hati.
Setelah diskusi selesai, Ryan mendekati Icha untuk bertukar pendapat.
"Argumen kamu tadi keren," ujar Ryan membuka percakapan. "Pendekatan soal perlindungan buruh yang kamu jelaskan sangat menyentuh, tapi tetap realistis."
Icha tersenyum, membetulkan jilbabnya yang terhempas oleh angin. "Terima kasih. Tapi aku rasa argumenmu juga kuat. Kamu membawa data yang solid, itu penting untuk mendukung perubahan kebijakan."
Percakapan itu mengalir begitu saja. Dari percakapan pertama itu, mereka segera merasa nyaman satu sama lain. Keduanya sering bertemu setelah itu, baik untuk berdiskusi di kafe kampus, bertukar referensi buku, atau sekadar berjalan-jalan di sekitar taman universitas. Bagi Ryan, Icha adalah kombinasi sempurna antara intelektualitas dan kehangatan. Namun, meski hubungan mereka dekat, Ryan selalu menjaga jarak tertentu. Dia tahu dirinya tidak punya cukup waktu untuk menjalin hubungan yang serius.
Ryan mencintai Icha. Tidak ada keraguan di hatinya tentang itu. Namun, ada rasa takut yang menahannya. Bukan takut pada penolakan, tetapi takut mengecewakan. Ryan adalah tipe orang yang selalu ingin memberikan yang terbaik, dan di tengah jadwalnya yang padat sebagai asisten dosen dan keterlibatannya dalam proyek-proyek penelitian, ia merasa tidak akan mampu memberikan perhatian yang cukup untuk hubungan mereka.
Suatu malam di kafe kampus, Icha menatap Ryan yang sedang serius membaca jurnal penelitian.
"Yan, kamu nggak capek apa?" tanya Icha tiba-tiba.
Ryan mengangkat wajahnya. "Capek? Kadang-kadang, sih. Tapi aku menikmati ini."
"Kamu selalu sibuk dengan banyak hal. Katamu, kamu juga punya sakit lambung sejak SMA. Lebih baik agak dikurangi kegiatannya. Jangan diforsir" ujar Icha kepada lelaki kurus di depannya, suaranya lembut. "Apa kamu nggak merasa kehilangan sesuatu?"
Ryan menatap Icha dengan pandangan bingung. "Kehilangan apa?"
Icha hanya tersenyum tipis, tidak melanjutkan pertanyaannya. Dalam hatinya, ia berharap Ryan menyadari maksudnya tanpa harus ia jelaskan.
Sebaliknya, Icha juga merasakan hal yang sama. Ia menyukai Ryan, lebih dari yang ia akui kepada dirinya sendiri. Namun, sebagai seorang perempuan, ia memilih untuk tidak mengungkapkan perasaannya terlebih dahulu. Ia percaya, jika Ryan merasakan hal yang sama, maka Ryanlah yang seharusnya mengambil langkah pertama.
Hubungan mereka tetap berjalan dalam ketegangan yang manis, di mana kata-kata cinta tidak pernah diucapkan, tetapi terasa dalam setiap tawa dan percakapan yang mereka bagi. Hingga suatu hari, kabar besar datang.
Icha lolos seleksi student exchange ke Jerman. Kabar itu membawa kebahagiaan, tetapi juga kesedihan yang mendalam bagi Ryan. Ia tahu bahwa waktu mereka bersama semakin sedikit. Namun, bahkan dalam momen ini, Ryan tidak berani menyampaikan perasaannya. Ia terjebak dalam pikirannya sendiri, merasa bahwa mengungkapkan cinta hanya akan menambah beban bagi Icha.
Di sisi lain, Icha merasa semakin yakin bahwa Ryan tidak memiliki perasaan yang sama. Jika ia memang penting bagi Ryan, bukankah Ryan seharusnya sudah mengatakan sesuatu? Dengan pemikiran itu, Icha akhirnya menerima Farel, seorang mahasiswa Fakultas Teknik yang juga lolos student exchange ke Jerman, sebagai kekasihnya. Farel adalah sosok yang perhatian dan selalu ada untuk Icha, meskipun hatinya sebenarnya masih tertambat pada Ryan.
Ryan akhirnya memutuskan untuk menyatakan perasaannya pada malam terakhir sebelum keberangkatan Icha ke Jerman. Dengan hati yang penuh keraguan, ia mengajak Icha bertemu di taman kampus. Malam itu, di bawah cahaya lampu taman yang redup, Ryan mengungkapkan semuanya.
"Aku mencintaimu, Cha," katanya, suaranya bergetar. "Aku tahu aku terlambat, tapi aku harus mengatakan ini sebelum kamu pergi."
Icha terdiam sejenak, menatap Ryan dengan mata yang penuh emosi. Dalam hatinya, ia ingin mengatakan bahwa ia juga mencintainya. Namun, semuanya sudah terlambat.
"Ryan," Icha akhirnya menjawab dengan suara lirih. "Aku juga mencintaimu. Tapi aku sudah membuat pilihan. Aku tidak bisa menjalani hubungan jarak jauh, dan aku tidak bisa meninggalkan Farel."
Kata-kata itu seperti pisau yang menusuk hati Ryan. Namun, ia tahu bahwa ia hanya bisa menyalahkan dirinya sendiri. Ia terlalu lama menahan perasaannya, terlalu takut untuk mengambil risiko, dan sekarang, ia harus menghadapi konsekuensi dari pilihannya.
Hari keberangkatan Icha tiba. Bandara dipenuhi oleh keluarga dan teman-teman yang mengantar para mahasiswa yang lolos program student exchange. Ryan datang, meski hatinya berat. Ia membawa sebuah buku catatan kecil yang ia berikan kepada Icha sebagai kenang-kenangan.
"Jangan lupa baca buku ini kalau kamu merasa kangen Indonesia," kata Ryan sambil tersenyum kecil. "Isinya nggak cuma catatan ekonomi kok, ada beberapa tempat wisata juga yang aku rekomendasikan buat kamu."
Icha menerima buku itu dengan mata yang sedikit berkaca-kaca. "Terima kasih, Ryan. Aku akan selalu ingat ini."
Ketika Icha masuk ke ruang keberangkatan, Ryan hanya bisa berdiri diam di tempatnya, menyaksikan sosok perempuan itu menghilang di balik pintu. Dadanya terasa sesak, namun ia tidak menangis. Ia hanya menatap, berusaha merekam momen terakhir mereka bersama.
Usai Icha berangkat ke Jerman, Ryan memforsir dirinya dalam berbagai kegiatan. Ia menerima lebih banyak proyek dosen, memperpanjang jam kerja sebagai asisten, bahkan mengikuti berbagai seminar sebagai pembicara. Semua itu dilakukan dengan tujuan untuk melupakan perasaan yang mengganjal di hatinya.
Namun, tubuhnya tidak mampu bertahan. Suatu malam, ketika ia sedang menyelesaikan presentasi untuk proyek besar, perutnya terasa melilit. Ia mencoba mengabaikannya, berpikir bahwa itu hanya karena kurang tidur. Namun, rasa sakit itu semakin parah hingga ia tidak mampu lagi berdiri.
Di rumah sakit, dokter mendiagnosis Ryan mengalami kambuhnya sakit lambung akibat pola makan yang tidak teratur dan stres berlebihan. Sahabat satu kosnya, Arif, yang menemani Ryan, memarahinya habis-habisan.
"Ryan, kamu ini manusia, bukan robot! Kenapa harus nyiksa diri sampai segitunya?" kata Arif dengan nada kesal.
Ryan hanya tersenyum lemah.
Kejadian itu menjadi titik balik bagi Ryan. Setelah keluar dari rumah sakit, ia mulai belajar untuk menjaga keseimbangan antara ambisi dan kesehatan. Meski bayangan Icha masih sering menghantuinya, Ryan berusaha menerima bahwa beberapa hal memang tidak ditakdirkan untuk dimiliki.
Sejak menjadi Presiden Mahasiswa (Presma), Ryan Ramadhani tak pernah benar-benar memiliki waktu untuk dirinya sendiri. Agenda rapat, audiensi dengan pihak kampus, hingga diskusi bersama mahasiswa hampir memenuhi setiap harinya. Namun, Ryan tidak pernah mengeluh. Ia tahu, tanggung jawab besar menuntut pengorbanan.Hari itu, Ryan baru saja selesai memimpin diskusi tentang transparansi anggaran organisasi mahasiswa ketika seorang mahasiswa berbadan kekar menghampirinya di lobi gedung BEM.“Mas Ryan!” panggil mahasiswa itu dengan suara lantang.Ryan menoleh dan tersenyum. “Vino, ya? Ada apa?”Vino, adik tingkat dari Fakultas Teknik yang tergabung dalam Kombimatik (Komunitas Bela Diri Anak Teknik), menggaruk kepalanya dengan canggung. “Mas, saya mau ngajak Mas Ryan ke bascam Kombimatik. Anak-anak mau kenalan sama Mas, sekalian ada hal penting yang perlu dibicarakan.”Ryan mengernyitkan dahi. “Kayaknya habis ini aku ada jam kuliah, Vin. Satu setengah jam lagi, sih.”“Cuma sebentar, Mas. Ini
Suasana kampus terasa tenang dengan semilir angin yang berhembus lembut di antara pepohonan rindang. Setelah menyelesaikan mata kuliah, Hana dan Lia memutuskan untuk duduk santai di gazebo yang terletak di taman tengah kampus. Gazebo itu dikelilingi bunga-bunga bermekaran yang menambah kesan segar.Hana menyandarkan punggungnya dengan santai sambil menyeruput minuman dingin dari botol, sementara Lia membuka buku catatan, sesekali tertawa kecil saat mereka berbincang ringan tentang materi kuliah yang baru saja selesai.Suara burung berkicau dan gemericik air dari kolam kecil di dekat gazebo menambah kedamaian sore itu, menciptakan momen santai yang penuh kebersamaan di sela rutinitas perkuliahan."Hadeh, sebel banget bisa-bisanya dititipin ke aku. Kemana coba aku harus nyari si presma itu?" Key datang dengan terengah-engah, meletakkan map besar di meja gazebo tempat Hana dan Lia tengah santai menunggu jam kuliah selanjutnya.
Ryan terbangun di keheningan subuh, disambut oleh rasa sakit yang tajam di punggung dan perutnya. Sisa-sisa serangan brutal dari Alvin semalam terasa seperti beban yang menekan tubuhnya.Setiap gerakan kecil membuat otot-ototnya menjerit, tapi ia memaksa diri untuk bangkit dari ranjang. Dengan napas berat, Ryan berwudhu perlahan, berpegangan pada dinding kamar mandi untuk menjaga keseimbangan.Saat berdiri menghadap sajadah, ia merasakan nyeri menjalar di punggung, membuat tubuhnya sedikit membungkuk. Ia menunaikan sholat subuh dengan hati-hati, gerakan rukuk dan sujud terasa seperti tantangan berat. Namun, ia tetap khusyuk, memohon kekuatan dan kesembuhan.Setelah selesai, Ryan kembali ke ranjang. Tubuhnya terasa lemah dan keringat dingin membasahi pelipisnya. Ia berbaring, mencoba mencari posisi yang tidak menyakitkan, lalu perlahan-lahan terlelap lagi, membiarkan kelelahan dan rasa sakit membawanya ke dalam tidur yang gelisah.Dika memarkir motornya di depan kos Ryan. Ketika akan m
Ruangan rapat BEM Universitas Nusantara terasa lebih panas dari biasanya, meskipun kipas angin besar di sudut ruangan terus berputar. Meja oval yang menjadi pusat diskusi penuh dengan laptop, buku catatan, dan secangkir kopi yang hampir kosong.Di ujung meja, Ryan Ramadhani, Presiden Mahasiswa, duduk dengan tatapan serius, mencermati laporan yang baru saja dibacakan oleh sekretarisnya.“Baik, teman-teman,” suara Ryan memecah keheningan, tegas namun tetap hangat.“Hari ini kita bahas hasil dari konferensi aspirasi mahasiswa minggu lalu. Banyak sekali curhatan yang masuk. Sekarang, kita perlu memilah mana yang bisa kita tindak lanjuti segera, dan mana yang memerlukan strategi lebih besar.”Korupsi, kolusi, dan nepotisme di Universitas Nusantara telah menjadi rahasia umum yang menyesakkan dada, namun tidak ada seorang pun yang berani melawannya. Dalam lingkaran kekuasaan kampus, praktik ini seolah menjadi bagian dari budaya yang tak t
"Nanti salam buat Ryan, ya, Han, hihi," celoteh Lia sembari membereskan buku-buku di tasnya, memastikan tidak ada yang tertinggal."Aku nggak kenal gimana mau nyalamin," Hana terpaksa berbohong. Ia tahu betul karakter Lia. Hana tidak mungkin cerita yang sebenarnya tentang kejadian di klinik kampus dua hari yang lalu."Aku berangkat dulu, ya,bye!"Hana melangkahkan kaki keluar dari gerbang kosnya. Hari ini ia akan menghadiri Seminar Nasional UMKM yang diadakan di Gedung Soekarno, gedung yang biasanya dipakai untuk acara-acara seminar. Jarak dari kos menuju gedung Soekarno sekitar satu kilometer. Namun, Hana sudah biasa jalan kaki ke kampus.Di depan gerbang Gedung Soekarno, Alvin menghentikan motornya tepat di samping Hana."Hai, Han!" Alvin tersenyum ke arah Hana. Hana hanya melirik sekilas dan tetap menghentikan langkahnya."Han, jangan cuek-cuek, dong. Nanti cantiknya luntur, lho!" goda Alvin."Vin, kamu keterlaluan b
Sejak pertemuan di gazebo, Ryan semakin penasaran tentang Hana. Ia sering mendapati pikirannya melayang, memikirkan senyuman dan sikap lembut Hana. Dalam beberapa kesempatan, Ryan mencoba mencari tahu lebih banyak tentang Hana.Ia bertanya secara tidak langsung kepada teman-teman BEM yang berasal dari FKIP PGSD, satu prodi dengan Hana. Namun, jawaban yang ia dapatkan terbatas, hanya sebatas informasi bahwa Hana adalah sosok yang suka baca dan sering mengunjungi perpustakaan fakultas.Ryan bahkan mencoba mencari tahu melalui akun media sosialnya, tetapi Hana jarang sekali memposting apa pun. Meskipun begitu, usaha Ryan tak pernah surut. Baginya, semakin sulit mencari tahu, semakin kuat keinginannya untuk mengenal Hana lebih dekat."Apa aku harus menemui Hana di FKIP?" batinnya perlahan.Ryan memutar otak. Setelah ditinggal Icha ke Jerman, baru kali ini Ryan merasakan degupan yang tak beraturan ketika berhadapan dengan perempuan. Di kampus Nusantara, banyak perempuan yang mengidolakanny
Sudah beberapa hari berlalu sejak pertandingan persahabatan bela diri antar fakultas, namun rasa sakit di perut Ryan belum juga hilang. Pertandingan itu berlangsung sengit, terutama ketika Ryan harus berhadapan dengan Alvin, seorang mahasiswa dari Fakultas Hukum yang mengajaknya duel di pertandingan persahabatan. Meski merasakan sakit di perutnya, Ryan masih bisa beraktivitas seperti biasanya. Namun, seperti yang dikatakan dokter Surya, ia tidak boleh terlalu memforsir diri. Jabatan sebuaha ketua BEM memaksanya untuk tetap mengikuti beberapa kegiatan yang sudah dijadwalkan. Seperti halnya kemarin, ia harus menjadi pembicara dalam seminar nasional UMKM yang diadakan pihak kampus.Siang ini, ia tak ada jadwal kuliah. Di kamar kosnya, Ryan terbaring lemas di atas kasur. Perutnya terasa perih setiap kali ia mencoba bangun. Ia sudah mencoba mengompres dengan air hangat dan meminum obat, tetapi tak ada yang meredakan rasa sakitnya. Padahal, ketika ia beraktivitas, sakitnya tidak terlalu te
Ruangan bascamp terasa seperti medan perang, bukan lagi tempat diskusi. Tuduhan demi tuduhan mulai dilemparkan oleh anggota kabinet, masing-masing berusaha membela diri. Ryan, yang duduk di ujung meja sebagai Ketua BEM, hanya bisa bersandar lemah. Perutnya masih terasa nyeri luar biasa setelah terapi di rumah Mbah Joko, sehingga ia sulit bergerak. Ia berbicara pelan, hampir berbisik, agar tidak memicu rasa sakit di tubuhnya."Kita... nggak bisa... saling tuduh tanpa bukti," ucap Ryan dengan suara pelan namun tegas, mencoba meredakan situasi. Meski sulit, ia tahu bahwa tanggung jawab sebagai ketua tak memungkinkannya untuk diam.Arya, ketua divisi humas, menggebrak meja. "Kita tidak mungkin melanjutkan acara tanpa sponsor utama! Dan kalau benar ada orang dalam yang membocorkan informasi ini, dia sudah menghancurkan kerja keras kita semua!""Jangan asal tuduh, Arya!" balas Yuni, ketua divisi logistik. "Bisa saja ini ulah pihak luar yang ingin menjatuhkan kita. Kam
Ryan masih memegangi perutnya dengan napas tersengal. Tubuhnya gemetar, baik karena rasa sakit maupun kekhawatiran. Sambil membantu Ryan berdiri, Dika mengedarkan pandangan ke sekitar bascamp, memastikan tak ada lagi orang yang mencurigakan."Kamu yakin aman?" tanya Dika, suaranya terdengar tegang.Ryan mengangguk lemah. "Aman... cuma perut ini sakit banget."Dika membantu Ryan duduk di kursi terdekat, lalu menatap pintu yang masih terbuka lebar. "Kita harus cari tahu siapa mereka. Ini nggak bisa dianggap enteng."Ryan mencoba berpikir di tengah rasa nyeri yang masih menusuk. Tiga orang tak dikenal masuk ke bascamp dan menyerangnya tanpa alasan jelas. Apakah mereka terkait dengan proposal palsu? Atau ini adalah ancaman langsung untuknya sebagai Ketua BEM?"Aku rasa mereka ada hubungannya dengan masalah sponsor tadi," ujar Ryan dengan pelan. "Mereka tahu sesuatu."Dika menghela napas panjang. "Aku setuju, tapi ini terlalu bahaya, Ryan. Kalau
Ruangan bascamp terasa seperti medan perang, bukan lagi tempat diskusi. Tuduhan demi tuduhan mulai dilemparkan oleh anggota kabinet, masing-masing berusaha membela diri. Ryan, yang duduk di ujung meja sebagai Ketua BEM, hanya bisa bersandar lemah. Perutnya masih terasa nyeri luar biasa setelah terapi di rumah Mbah Joko, sehingga ia sulit bergerak. Ia berbicara pelan, hampir berbisik, agar tidak memicu rasa sakit di tubuhnya."Kita... nggak bisa... saling tuduh tanpa bukti," ucap Ryan dengan suara pelan namun tegas, mencoba meredakan situasi. Meski sulit, ia tahu bahwa tanggung jawab sebagai ketua tak memungkinkannya untuk diam.Arya, ketua divisi humas, menggebrak meja. "Kita tidak mungkin melanjutkan acara tanpa sponsor utama! Dan kalau benar ada orang dalam yang membocorkan informasi ini, dia sudah menghancurkan kerja keras kita semua!""Jangan asal tuduh, Arya!" balas Yuni, ketua divisi logistik. "Bisa saja ini ulah pihak luar yang ingin menjatuhkan kita. Kam
Sudah beberapa hari berlalu sejak pertandingan persahabatan bela diri antar fakultas, namun rasa sakit di perut Ryan belum juga hilang. Pertandingan itu berlangsung sengit, terutama ketika Ryan harus berhadapan dengan Alvin, seorang mahasiswa dari Fakultas Hukum yang mengajaknya duel di pertandingan persahabatan. Meski merasakan sakit di perutnya, Ryan masih bisa beraktivitas seperti biasanya. Namun, seperti yang dikatakan dokter Surya, ia tidak boleh terlalu memforsir diri. Jabatan sebuaha ketua BEM memaksanya untuk tetap mengikuti beberapa kegiatan yang sudah dijadwalkan. Seperti halnya kemarin, ia harus menjadi pembicara dalam seminar nasional UMKM yang diadakan pihak kampus.Siang ini, ia tak ada jadwal kuliah. Di kamar kosnya, Ryan terbaring lemas di atas kasur. Perutnya terasa perih setiap kali ia mencoba bangun. Ia sudah mencoba mengompres dengan air hangat dan meminum obat, tetapi tak ada yang meredakan rasa sakitnya. Padahal, ketika ia beraktivitas, sakitnya tidak terlalu te
Sejak pertemuan di gazebo, Ryan semakin penasaran tentang Hana. Ia sering mendapati pikirannya melayang, memikirkan senyuman dan sikap lembut Hana. Dalam beberapa kesempatan, Ryan mencoba mencari tahu lebih banyak tentang Hana.Ia bertanya secara tidak langsung kepada teman-teman BEM yang berasal dari FKIP PGSD, satu prodi dengan Hana. Namun, jawaban yang ia dapatkan terbatas, hanya sebatas informasi bahwa Hana adalah sosok yang suka baca dan sering mengunjungi perpustakaan fakultas.Ryan bahkan mencoba mencari tahu melalui akun media sosialnya, tetapi Hana jarang sekali memposting apa pun. Meskipun begitu, usaha Ryan tak pernah surut. Baginya, semakin sulit mencari tahu, semakin kuat keinginannya untuk mengenal Hana lebih dekat."Apa aku harus menemui Hana di FKIP?" batinnya perlahan.Ryan memutar otak. Setelah ditinggal Icha ke Jerman, baru kali ini Ryan merasakan degupan yang tak beraturan ketika berhadapan dengan perempuan. Di kampus Nusantara, banyak perempuan yang mengidolakanny
"Nanti salam buat Ryan, ya, Han, hihi," celoteh Lia sembari membereskan buku-buku di tasnya, memastikan tidak ada yang tertinggal."Aku nggak kenal gimana mau nyalamin," Hana terpaksa berbohong. Ia tahu betul karakter Lia. Hana tidak mungkin cerita yang sebenarnya tentang kejadian di klinik kampus dua hari yang lalu."Aku berangkat dulu, ya,bye!"Hana melangkahkan kaki keluar dari gerbang kosnya. Hari ini ia akan menghadiri Seminar Nasional UMKM yang diadakan di Gedung Soekarno, gedung yang biasanya dipakai untuk acara-acara seminar. Jarak dari kos menuju gedung Soekarno sekitar satu kilometer. Namun, Hana sudah biasa jalan kaki ke kampus.Di depan gerbang Gedung Soekarno, Alvin menghentikan motornya tepat di samping Hana."Hai, Han!" Alvin tersenyum ke arah Hana. Hana hanya melirik sekilas dan tetap menghentikan langkahnya."Han, jangan cuek-cuek, dong. Nanti cantiknya luntur, lho!" goda Alvin."Vin, kamu keterlaluan b
Ruangan rapat BEM Universitas Nusantara terasa lebih panas dari biasanya, meskipun kipas angin besar di sudut ruangan terus berputar. Meja oval yang menjadi pusat diskusi penuh dengan laptop, buku catatan, dan secangkir kopi yang hampir kosong.Di ujung meja, Ryan Ramadhani, Presiden Mahasiswa, duduk dengan tatapan serius, mencermati laporan yang baru saja dibacakan oleh sekretarisnya.“Baik, teman-teman,” suara Ryan memecah keheningan, tegas namun tetap hangat.“Hari ini kita bahas hasil dari konferensi aspirasi mahasiswa minggu lalu. Banyak sekali curhatan yang masuk. Sekarang, kita perlu memilah mana yang bisa kita tindak lanjuti segera, dan mana yang memerlukan strategi lebih besar.”Korupsi, kolusi, dan nepotisme di Universitas Nusantara telah menjadi rahasia umum yang menyesakkan dada, namun tidak ada seorang pun yang berani melawannya. Dalam lingkaran kekuasaan kampus, praktik ini seolah menjadi bagian dari budaya yang tak t
Ryan terbangun di keheningan subuh, disambut oleh rasa sakit yang tajam di punggung dan perutnya. Sisa-sisa serangan brutal dari Alvin semalam terasa seperti beban yang menekan tubuhnya.Setiap gerakan kecil membuat otot-ototnya menjerit, tapi ia memaksa diri untuk bangkit dari ranjang. Dengan napas berat, Ryan berwudhu perlahan, berpegangan pada dinding kamar mandi untuk menjaga keseimbangan.Saat berdiri menghadap sajadah, ia merasakan nyeri menjalar di punggung, membuat tubuhnya sedikit membungkuk. Ia menunaikan sholat subuh dengan hati-hati, gerakan rukuk dan sujud terasa seperti tantangan berat. Namun, ia tetap khusyuk, memohon kekuatan dan kesembuhan.Setelah selesai, Ryan kembali ke ranjang. Tubuhnya terasa lemah dan keringat dingin membasahi pelipisnya. Ia berbaring, mencoba mencari posisi yang tidak menyakitkan, lalu perlahan-lahan terlelap lagi, membiarkan kelelahan dan rasa sakit membawanya ke dalam tidur yang gelisah.Dika memarkir motornya di depan kos Ryan. Ketika akan m
Suasana kampus terasa tenang dengan semilir angin yang berhembus lembut di antara pepohonan rindang. Setelah menyelesaikan mata kuliah, Hana dan Lia memutuskan untuk duduk santai di gazebo yang terletak di taman tengah kampus. Gazebo itu dikelilingi bunga-bunga bermekaran yang menambah kesan segar.Hana menyandarkan punggungnya dengan santai sambil menyeruput minuman dingin dari botol, sementara Lia membuka buku catatan, sesekali tertawa kecil saat mereka berbincang ringan tentang materi kuliah yang baru saja selesai.Suara burung berkicau dan gemericik air dari kolam kecil di dekat gazebo menambah kedamaian sore itu, menciptakan momen santai yang penuh kebersamaan di sela rutinitas perkuliahan."Hadeh, sebel banget bisa-bisanya dititipin ke aku. Kemana coba aku harus nyari si presma itu?" Key datang dengan terengah-engah, meletakkan map besar di meja gazebo tempat Hana dan Lia tengah santai menunggu jam kuliah selanjutnya.
Sejak menjadi Presiden Mahasiswa (Presma), Ryan Ramadhani tak pernah benar-benar memiliki waktu untuk dirinya sendiri. Agenda rapat, audiensi dengan pihak kampus, hingga diskusi bersama mahasiswa hampir memenuhi setiap harinya. Namun, Ryan tidak pernah mengeluh. Ia tahu, tanggung jawab besar menuntut pengorbanan.Hari itu, Ryan baru saja selesai memimpin diskusi tentang transparansi anggaran organisasi mahasiswa ketika seorang mahasiswa berbadan kekar menghampirinya di lobi gedung BEM.“Mas Ryan!” panggil mahasiswa itu dengan suara lantang.Ryan menoleh dan tersenyum. “Vino, ya? Ada apa?”Vino, adik tingkat dari Fakultas Teknik yang tergabung dalam Kombimatik (Komunitas Bela Diri Anak Teknik), menggaruk kepalanya dengan canggung. “Mas, saya mau ngajak Mas Ryan ke bascam Kombimatik. Anak-anak mau kenalan sama Mas, sekalian ada hal penting yang perlu dibicarakan.”Ryan mengernyitkan dahi. “Kayaknya habis ini aku ada jam kuliah, Vin. Satu setengah jam lagi, sih.”“Cuma sebentar, Mas. Ini