Sejak menjadi Presiden Mahasiswa (Presma), Ryan Ramadhani tak pernah benar-benar memiliki waktu untuk dirinya sendiri. Agenda rapat, audiensi dengan pihak kampus, hingga diskusi bersama mahasiswa hampir memenuhi setiap harinya. Namun, Ryan tidak pernah mengeluh. Ia tahu, tanggung jawab besar menuntut pengorbanan.
Hari itu, Ryan baru saja selesai memimpin diskusi tentang transparansi anggaran organisasi mahasiswa ketika seorang mahasiswa berbadan kekar menghampirinya di lobi gedung BEM.
“Mas Ryan!” panggil mahasiswa itu dengan suara lantang.
Ryan menoleh dan tersenyum. “Vino, ya? Ada apa?”
Vino, adik tingkat dari Fakultas Teknik yang tergabung dalam Kombimatik (Komunitas Bela Diri Anak Teknik), menggaruk kepalanya dengan canggung. “Mas, saya mau ngajak Mas Ryan ke bascam Kombimatik. Anak-anak mau kenalan sama Mas, sekalian ada hal penting yang perlu dibicarakan.”
Ryan mengernyitkan dahi. “Kayaknya habis ini aku ada jam kuliah, Vin. Satu setengah jam lagi, sih.”
“Cuma sebentar, Mas. Ini soal pertandingan persahabatan sama Fakultas Hukum. Penting banget,” bujuk Vino dengan nada serius.
Ryan berpikir sejenak. Setelah mempertimbangkan, ia akhirnya mengangguk. “Oke, tapi sejam aja, ya.”
Vino mengangguk dengan perasaan lega.
Bascam Kombimatik adalah sebuah aula kecil di dekat gedung olahraga kampus. Di sana, Ryan disambut oleh Gio, ketua komunitas itu, bersama beberapa anggota lainnya. Gio langsung menyambut Ryan dengan senyuman lebar.
“Hai, Yan, senang banget akhirnya bisa datang ke sini. Sibuk banget semenjak terpilih jadi presma, hahaha.” ucap Gio, menjabat tangan Ryan dengan erat.
Ryan tersenyum sopan. “Iya, nih, kegiatan padat merayap. Hahaha. Ada apa, Gi?"
Gio menarik napas dalam, lalu menjelaskan. “Begini. Alvin dari bela diri Fakultas Hukum ngajak kita bertanding. Katanya pertandingan persahabatan. Cuma ya, mereka pasti nggak mau kalah.”
Ryan mengangguk, mendengarkan dengan seksama. "Alvin yang kemarin ikut seleksi presma?"
Gio mengangguk mantap.
“Lalu, apa yang bisa kubantu?” timpa Ryan lagi.
“Kami ingin kamu yang mewakili Kombimatik. Kamu kan juara satu bela diri tingkat provinsi tahun lalu. Ya pasti bisa bikin mereka kagum,” jelas Gio penuh semangat.
Ryan tertawa kecil. “Gio, aku udah lama nggak latihan. Lagipula, jadwalku terlalu sibuk untuk persiapan pertandingan.”
Gio terlihat kecewa, namun ia tidak menyerah. “Yan, pertandingan ini penting buat menjaga nama baik Kombimatik. Kamu masih punya waktu empat hari buat latihan bareng. Aku yakin, dengan pengalamanmu, Kamu pasti bisa. Ayolah, Yan, bantu kami.”
Ryan menghela napas panjang. Ia ingin menolak, tetapi melihat wajah penuh harap Gio dan Vino, ia merasa tidak tega. “Okelah. Aku akan coba. Tapi jangan terlalu berharap tinggi, ya.”
Gio langsung tersenyum lebar. “Terima kasih, Yan! Anak-anak pasti senang dengar kabar ini.”
Malam itu, Ryan baru saja selesai membaca materi untuk rapat keesokan harinya ketika Arif, teman satu kosnya, mengetuk pintu kamar.
“Yan, aku dengar kamu mau ikut pertandingan bela diri lagi?” tanya Arif dengan nada penuh kekhawatiran.
Ryan menoleh dan tersenyum kecil. “Iya, Rif. Cuma pertandingan persahabatan kok. Santai aja.”
Arif memutar matanya, jelas tidak puas dengan jawaban itu. “Santai? kamu baru aja sembuh dari sakit lambung. Aku tahu kamu jago, tapi kamu juga manusia, Yan. Tubuhmu butuh istirahat.”
Ryan meletakkan buku di tangannya, lalu berdiri menghampiri Arif. “Aku tahu kamu khawatir, Rif, dan aku appreciate itu. Tapi ini cuma latihan ringan selama empat hari. Aku nggak bakal memforsir diri.”
“Tapi, Ryan, ini bukan cuma soal fisik. Lo udah lama nggak latihan. Dan gimana kalau—”
“Aku janji bakal hati-hati," potong Ryan.
Arif menatap Ryan dengan raut serius. “Sak karepmu, Yan. Tapi aku nggak bakal nutup-nutupin ini kalau ibu kamu tahu.”
Mendengar itu, Ryan memasang ekspresi memohon. “Rif, please, jangan bilang ke ibu. Dia pernah bilang kalau dia nggak ridho aku ikut pertandingan yang berisiko. Aku nggak mau bikin dia khawatir.”
Arif menghela napas panjang. “Aku ngerti maksud kamu, Yan. Tapi kamu harus janji sama aku kalau kamu bakal jaga diri. Aku nggak mau lihat kamu masuk rumah sakit lagi.”
Ryan tersenyum. “Iya, aku janji.”
Empat hari latihan sebelum pertandingan adalah waktu yang singkat. Namun, Ryan tidak pernah setengah-setengah dalam melakukan sesuatu. Setiap sore, ia meluangkan waktu di bascam Kombimatik untuk berlatih bersama Gio, Vino, dan anggota lainnya. Meski tubuhnya sempat kaku karena lama tidak berlatih, Ryan perlahan menemukan ritmenya kembali.
Latihan itu juga menjadi pengingat bagi Ryan tentang kebiasaan lamanya, yaitu mendorong dirinya hingga batas. Meski lambungnya sempat terasa tidak nyaman di hari kedua, ia menutupinya dengan senyuman dan menahan diri untuk tidak mengeluh. Baginya, menjaga nama baik komunitas dan membalas kepercayaan teman-temannya adalah prioritas.
Namun, di tengah semua itu, Ryan tidak bisa menghilangkan bayangan ibunya. Ia tahu bahwa, di lubuk hati terdalam, ia merindukan keberanian yang ia miliki dulu—keberanian untuk mengikuti nalurinya tanpa harus terus-menerus membebani dirinya sendiri.
---
"Hana!"
Alvin memanggil perempuan cantik berkacamata yang baru saja keluar dari ruang kuliah. Hana menghela napas panjang. Sampai kapan ia merasa diteror oleh mahasiswa Fakultas Hukum itu.
Hana melangkahkan kaki menuju gazebo depan ruang dosen. Alvin membuntuti dengan senyum seperti biasanya. Rasa cinta yang terjerat di hatinya seolah memaksa bahwa ia harus mendapatkan Hana bagaimana pun caranya.
"Nggak ada kuliah, Vin?" tanya Hana basa-basi.
"Udah selesai. Kamu mau pulang, Han?" tanya Alvin. Hana mengangguk pelan.
"Aku antar, ya!"
"Nggak usah, Vin. Oh iya. Aku mau ngerjain tugas sama Lia," Hana berbohong. Namun, Alvin paham bahwa Hana sedang berdusta.
"Sampai kapan kamu bohong terus sama aku, Han? Hm, Han, langit Surabaya juga udah tahu kalo aku tu cinta banget sama kamu. Kenapa sih kamu nggak pernah bisa membuka hati buatku?" Alvin mulai protes ajakan untuk keluar bersama tidak pernah dihiraukan oleh Hana.
"Vin, aku kan udah pernah bilang kalau - "
"Kalau kamu hanya menganggap aku sebagai temen? Kalau kamu nggak bisa nerima aku sebab kamu nggak cinta sama aku? Ayolah, Han, cinta bisa datang karena terbiasa. Kamu nggak pernah tahu sedalam apa rasa cinta aku sama kamu. Kamu emang nggak pernah lihat pengorbanan aku selama ini. Sejak SMA, Han. Sejak SMA aku suka sama kamu," jelas Alvin panjang lebar.
Hana diam. Ia tahu, membalas argumentasi Alvin adalah hal yang sia-sia.
"Hana!" Lia datang membuyarkan ketegangan keadaan.
"Li, ayo! katanya mau ngerjain tugasnya Pak Rudy?" Hana menatap Lia sembari mengedipkan mata perlahan, memberi kode kepada Lia bahwa ia ingin segera pergi dari hadapan Alvin.
"Eh, iya. Aku lupa. Ayo!" Lia paham maksud yang disampaikan Hana.
"Han, lusa lihat aku ya! Aku ada tanding sama Ryan di aula FH," ujar Alvin.
"Heh, Vin. Awas aja kalau Ryan kenapa-kenapa?" ketus Lia.
"Oh, jadi kamu itu jajaran fansnya Ryan Ramadhani, ya? Emangnya apa sih bagusnya Ryan daripada aku?" Alvin menatap jengkel ke arah Lia, sementara Hana hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah Alvin yang selalu kelewat percaya diri.
"Gantengan juga dia. Jauh!" Lia berteriak di dekat telingat Alvin.
"Atau jangan-jangan kamu juga suka sama Ryan, Han?" Alvin menuduh.
"Apa, sih, Vin? Aku aja nggak tahu Ryan itu yang mana. Nggak usah ngaco," Hana emosi.
Lia tertawa mengejek Alvin, kemudian menggeret tangan Hana melangkah menuju perpustakaan FKIP. Alvin pergi dengan wajah sebal.
"Han," sapa Lia pelan.
"Hm?" jawab Hana sambil mencari novel kesukaannya.
"Kenapa sih kamu nggak coba menerima Alvin aja?"
"Kamu yakin?" Hana menatap tajam ke arah Lia.
Sontak, Lia teringat jika Alvin pernah memukuli Bima, mahasiswa ekonomi yang pernah mendekati Hana hingga Bima kritis. Karena cintanya yang terlalu dalam, Alvin tidak akan segan-segan untuk menghabisi lelaki yang mendekati pujaan hatinya tersebut.
Lia tertawa lirih.
"Udah berapa cowok yang dia hajar gara-gara deketin aku? Psikopat banget nggak sih? Lalu, aku harus sama dia gitu? Horor!" celetuk Hana.
"Iya, sih," Lia menanggapi dengan singkat.
"Ingat juga tragedi empat bulan yang lalu, Alvin dan gengnya bikin rusuh di jalan Sudirman dan dia masih bisa bebas karena bapaknya petinggi kampus?" tanya Hana.
"Ingat. Kayaknya emang error semua sekeluarga. Tapi, aku heran, dia kok bisa lolos seleksi presma, ya? Mana sampai grand final. Untung aja nggak jadi," jawab Lia.
Hana tersenyum tipis sambil merapikan novel yang baru ia temukan di rak perpustakaan. "Ya, untung banget dia nggak jadi presma. Kalau sampai jadi, wah, gawat kampus ini."
Lia terkekeh, lalu menatap Hana dengan tatapan penuh arti. "Makanya, berterima kasihlah sama Ryan Ramadhani. Coba bayangin Alvin jadi presma, mungkin program kerjanya cuma seputar, 'Cara Membuat Hana Bahagia' atau 'Deklarasi Hari Cinta Alvin dan Hana.' Beda banget sama Ryan yang bener-bener idealis dan kerja nyata buat mahasiswa."
"Jangan bercanda, Li. Ngeri aku bayanginnya," ujar Hana sambil memutar bola matanya.
Tapi Lia tak berhenti. Dengan mata berbinar, ia berkata, "Tapi serius, Han. Ryan itu beda. Karismatik, cerdas, terus peduli sama orang banyak. Dia tuh nggak kayak Alvin yang cuma modal tampang dan gaya sok jagoan. Kalau aku jadi kamu, wah, udah pasti aku ngejar Ryan habis-habisan."
Hana memandang Lia dengan tatapan malas. "Kamu ini, ngefans banget sama dia. Jangan-jangan kalau Ryan jadi jualan gorengan, kamu bakal beli semua dagangannya, ya?"
"Kalau itu gorengan Ryan, aku borong sekalian gerobaknya!" Lia menjawab sambil tertawa, tapi wajahnya tetap menunjukkan kekaguman yang tulus.
Hana hanya menggelengkan kepala, lalu mengajak Lia menuju meja baca di sudut ruangan.
Namun, belum sempat mereka duduk, sebuah notifikasi di ponsel Hana berbunyi. Ia membuka layar dan melihat sebuah pesan dari nomor tak dikenal.
"Han, aku harap kamu datang lusa. Aku mau buktiin ke kamu kalau aku layak jadi orang yang bisa kamu andalkan. Alvin."
Hana mendengus, lalu memperlihatkan pesan itu pada Lia.
"Ini lagi. Kayak nggak ada kerjaan lain, ya?" Hana mengeluh
Lia membaca pesan itu dengan wajah meringis. "Astaga, Vin. Move on lah, kasihan banget." Lalu, tiba-tiba Lia tampak serius.
"Han, katanya Kombimatik minta Ryan buat jadi wakil. Aduh, aku harus datang lusa. Ini kesempatan buat lihat Ryan beraksi. Han, kamu juga ikut, ya? Biar Alvin nggak nyamperin kamu terus."
"Li, aku nggak ngerti kenapa kamu bisa sampai segitunya sama Ryan," ujar Hana sambil memijat pelipisnya.
"Karena dia itu paket lengkap, Han!" Lia menjawab dengan nada penuh semangat. "Pinter, ganteng, rendah hati, terus punya visi buat kampus kita. Duh, gimana sih kamu bisa nggak tahu Ryan itu siapa? Kamu ke mana aja selama ini?"
Hana tertawa kecil, tapi dalam hatinya sedikit tergelitik. "Iya, iya. Kita lihat nanti. Tapi nggak janji aku bakal datang."
Namun, diam-diam, Hana mulai penasaran. Pertandingan lusa tampaknya akan membawa banyak cerita baru, termasuk jawaban atas rasa penasaran Lia yang kelewat mengidolakan Ryan Ramadhani.
Suasana kampus terasa tenang dengan semilir angin yang berhembus lembut di antara pepohonan rindang. Setelah menyelesaikan mata kuliah, Hana dan Lia memutuskan untuk duduk santai di gazebo yang terletak di taman tengah kampus. Gazebo itu dikelilingi bunga-bunga bermekaran yang menambah kesan segar.Hana menyandarkan punggungnya dengan santai sambil menyeruput minuman dingin dari botol, sementara Lia membuka buku catatan, sesekali tertawa kecil saat mereka berbincang ringan tentang materi kuliah yang baru saja selesai.Suara burung berkicau dan gemericik air dari kolam kecil di dekat gazebo menambah kedamaian sore itu, menciptakan momen santai yang penuh kebersamaan di sela rutinitas perkuliahan."Hadeh, sebel banget bisa-bisanya dititipin ke aku. Kemana coba aku harus nyari si presma itu?" Key datang dengan terengah-engah, meletakkan map besar di meja gazebo tempat Hana dan Lia tengah santai menunggu jam kuliah selanjutnya.
Ryan terbangun di keheningan subuh, disambut oleh rasa sakit yang tajam di punggung dan perutnya. Sisa-sisa serangan brutal dari Alvin semalam terasa seperti beban yang menekan tubuhnya.Setiap gerakan kecil membuat otot-ototnya menjerit, tapi ia memaksa diri untuk bangkit dari ranjang. Dengan napas berat, Ryan berwudhu perlahan, berpegangan pada dinding kamar mandi untuk menjaga keseimbangan.Saat berdiri menghadap sajadah, ia merasakan nyeri menjalar di punggung, membuat tubuhnya sedikit membungkuk. Ia menunaikan sholat subuh dengan hati-hati, gerakan rukuk dan sujud terasa seperti tantangan berat. Namun, ia tetap khusyuk, memohon kekuatan dan kesembuhan.Setelah selesai, Ryan kembali ke ranjang. Tubuhnya terasa lemah dan keringat dingin membasahi pelipisnya. Ia berbaring, mencoba mencari posisi yang tidak menyakitkan, lalu perlahan-lahan terlelap lagi, membiarkan kelelahan dan rasa sakit membawanya ke dalam tidur yang gelisah.Dika memarkir motornya di depan kos Ryan. Ketika akan m
Ruangan rapat BEM Universitas Nusantara terasa lebih panas dari biasanya, meskipun kipas angin besar di sudut ruangan terus berputar. Meja oval yang menjadi pusat diskusi penuh dengan laptop, buku catatan, dan secangkir kopi yang hampir kosong.Di ujung meja, Ryan Ramadhani, Presiden Mahasiswa, duduk dengan tatapan serius, mencermati laporan yang baru saja dibacakan oleh sekretarisnya.“Baik, teman-teman,” suara Ryan memecah keheningan, tegas namun tetap hangat.“Hari ini kita bahas hasil dari konferensi aspirasi mahasiswa minggu lalu. Banyak sekali curhatan yang masuk. Sekarang, kita perlu memilah mana yang bisa kita tindak lanjuti segera, dan mana yang memerlukan strategi lebih besar.”Korupsi, kolusi, dan nepotisme di Universitas Nusantara telah menjadi rahasia umum yang menyesakkan dada, namun tidak ada seorang pun yang berani melawannya. Dalam lingkaran kekuasaan kampus, praktik ini seolah menjadi bagian dari budaya yang tak t
"Nanti salam buat Ryan, ya, Han, hihi," celoteh Lia sembari membereskan buku-buku di tasnya, memastikan tidak ada yang tertinggal."Aku nggak kenal gimana mau nyalamin," Hana terpaksa berbohong. Ia tahu betul karakter Lia. Hana tidak mungkin cerita yang sebenarnya tentang kejadian di klinik kampus dua hari yang lalu."Aku berangkat dulu, ya,bye!"Hana melangkahkan kaki keluar dari gerbang kosnya. Hari ini ia akan menghadiri Seminar Nasional UMKM yang diadakan di Gedung Soekarno, gedung yang biasanya dipakai untuk acara-acara seminar. Jarak dari kos menuju gedung Soekarno sekitar satu kilometer. Namun, Hana sudah biasa jalan kaki ke kampus.Di depan gerbang Gedung Soekarno, Alvin menghentikan motornya tepat di samping Hana."Hai, Han!" Alvin tersenyum ke arah Hana. Hana hanya melirik sekilas dan tetap menghentikan langkahnya."Han, jangan cuek-cuek, dong. Nanti cantiknya luntur, lho!" goda Alvin."Vin, kamu keterlaluan b
Sejak pertemuan di gazebo, Ryan semakin penasaran tentang Hana. Ia sering mendapati pikirannya melayang, memikirkan senyuman dan sikap lembut Hana. Dalam beberapa kesempatan, Ryan mencoba mencari tahu lebih banyak tentang Hana.Ia bertanya secara tidak langsung kepada teman-teman BEM yang berasal dari FKIP PGSD, satu prodi dengan Hana. Namun, jawaban yang ia dapatkan terbatas, hanya sebatas informasi bahwa Hana adalah sosok yang suka baca dan sering mengunjungi perpustakaan fakultas.Ryan bahkan mencoba mencari tahu melalui akun media sosialnya, tetapi Hana jarang sekali memposting apa pun. Meskipun begitu, usaha Ryan tak pernah surut. Baginya, semakin sulit mencari tahu, semakin kuat keinginannya untuk mengenal Hana lebih dekat."Apa aku harus menemui Hana di FKIP?" batinnya perlahan.Ryan memutar otak. Setelah ditinggal Icha ke Jerman, baru kali ini Ryan merasakan degupan yang tak beraturan ketika berhadapan dengan perempuan. Di kampus Nusantara, banyak perempuan yang mengidolakanny
Sudah beberapa hari berlalu sejak pertandingan persahabatan bela diri antar fakultas, namun rasa sakit di perut Ryan belum juga hilang. Pertandingan itu berlangsung sengit, terutama ketika Ryan harus berhadapan dengan Alvin, seorang mahasiswa dari Fakultas Hukum yang mengajaknya duel di pertandingan persahabatan. Meski merasakan sakit di perutnya, Ryan masih bisa beraktivitas seperti biasanya. Namun, seperti yang dikatakan dokter Surya, ia tidak boleh terlalu memforsir diri. Jabatan sebuaha ketua BEM memaksanya untuk tetap mengikuti beberapa kegiatan yang sudah dijadwalkan. Seperti halnya kemarin, ia harus menjadi pembicara dalam seminar nasional UMKM yang diadakan pihak kampus.Siang ini, ia tak ada jadwal kuliah. Di kamar kosnya, Ryan terbaring lemas di atas kasur. Perutnya terasa perih setiap kali ia mencoba bangun. Ia sudah mencoba mengompres dengan air hangat dan meminum obat, tetapi tak ada yang meredakan rasa sakitnya. Padahal, ketika ia beraktivitas, sakitnya tidak terlalu te
Ruangan bascamp terasa seperti medan perang, bukan lagi tempat diskusi. Tuduhan demi tuduhan mulai dilemparkan oleh anggota kabinet, masing-masing berusaha membela diri. Ryan, yang duduk di ujung meja sebagai Ketua BEM, hanya bisa bersandar lemah. Perutnya masih terasa nyeri luar biasa setelah terapi di rumah Mbah Joko, sehingga ia sulit bergerak. Ia berbicara pelan, hampir berbisik, agar tidak memicu rasa sakit di tubuhnya."Kita... nggak bisa... saling tuduh tanpa bukti," ucap Ryan dengan suara pelan namun tegas, mencoba meredakan situasi. Meski sulit, ia tahu bahwa tanggung jawab sebagai ketua tak memungkinkannya untuk diam.Arya, ketua divisi humas, menggebrak meja. "Kita tidak mungkin melanjutkan acara tanpa sponsor utama! Dan kalau benar ada orang dalam yang membocorkan informasi ini, dia sudah menghancurkan kerja keras kita semua!""Jangan asal tuduh, Arya!" balas Yuni, ketua divisi logistik. "Bisa saja ini ulah pihak luar yang ingin menjatuhkan kita. Kam
Ryan masih memegangi perutnya dengan napas tersengal. Tubuhnya gemetar, baik karena rasa sakit maupun kekhawatiran. Sambil membantu Ryan berdiri, Dika mengedarkan pandangan ke sekitar bascamp, memastikan tak ada lagi orang yang mencurigakan."Kamu yakin aman?" tanya Dika, suaranya terdengar tegang.Ryan mengangguk lemah. "Aman... cuma perut ini sakit banget."Dika membantu Ryan duduk di kursi terdekat, lalu menatap pintu yang masih terbuka lebar. "Kita harus cari tahu siapa mereka. Ini nggak bisa dianggap enteng."Ryan mencoba berpikir di tengah rasa nyeri yang masih menusuk. Tiga orang tak dikenal masuk ke bascamp dan menyerangnya tanpa alasan jelas. Apakah mereka terkait dengan proposal palsu? Atau ini adalah ancaman langsung untuknya sebagai Ketua BEM?"Aku rasa mereka ada hubungannya dengan masalah sponsor tadi," ujar Ryan dengan pelan. "Mereka tahu sesuatu."Dika menghela napas panjang. "Aku setuju, tapi ini terlalu bahaya, Ryan. Kalau
Jumat sore setelah selesai jam kuliah, Ryan duduk di kursi ruang rapat kecil di sekretariat BEM dengan ekspresi serius. Dika, yang berada di seberangnya, mengetukkan jemarinya di atas meja dengan ritme pelan, berpikir keras."Kita harus memastikan dulu siapa yang benar-benar ada di balik sabotase ini," kata Dika. "Kalau kita asal nuduh, bisa-bisa malah memperkeruh keadaan."Ryan mengangguk, meski pikirannya masih dipenuhi dengan rasa curiga. "Tapi ini bukan masalah kecil, Dik. Kalau mereka sampai bisa memanipulasi proposal, berarti mereka punya akses ke sistem internal kita."Roni, yang baru saja masuk dengan laptopnya, segera duduk di dekat mereka. "Aku coba cek log akses dokumen proposal yang dikirim ke sponsor," katanya sambil membuka layar laptopnya. "Dan yang terakhir ngedit file sebelum dikirim itu... Arya."Dika menghela napas. "Kita panggil dia, tanya baik-baik. Jangan sampai kita salah paham."Setengah jam kemudian, Arya duduk di depan mereka dengan wajah bingung. "Aku? Ubah
Ryan masih memegangi perutnya dengan napas tersengal. Tubuhnya gemetar, baik karena rasa sakit maupun kekhawatiran. Sambil membantu Ryan berdiri, Dika mengedarkan pandangan ke sekitar bascamp, memastikan tak ada lagi orang yang mencurigakan."Kamu yakin aman?" tanya Dika, suaranya terdengar tegang.Ryan mengangguk lemah. "Aman... cuma perut ini sakit banget."Dika membantu Ryan duduk di kursi terdekat, lalu menatap pintu yang masih terbuka lebar. "Kita harus cari tahu siapa mereka. Ini nggak bisa dianggap enteng."Ryan mencoba berpikir di tengah rasa nyeri yang masih menusuk. Tiga orang tak dikenal masuk ke bascamp dan menyerangnya tanpa alasan jelas. Apakah mereka terkait dengan proposal palsu? Atau ini adalah ancaman langsung untuknya sebagai Ketua BEM?"Aku rasa mereka ada hubungannya dengan masalah sponsor tadi," ujar Ryan dengan pelan. "Mereka tahu sesuatu."Dika menghela napas panjang. "Aku setuju, tapi ini terlalu bahaya, Ryan. Kalau
Ruangan bascamp terasa seperti medan perang, bukan lagi tempat diskusi. Tuduhan demi tuduhan mulai dilemparkan oleh anggota kabinet, masing-masing berusaha membela diri. Ryan, yang duduk di ujung meja sebagai Ketua BEM, hanya bisa bersandar lemah. Perutnya masih terasa nyeri luar biasa setelah terapi di rumah Mbah Joko, sehingga ia sulit bergerak. Ia berbicara pelan, hampir berbisik, agar tidak memicu rasa sakit di tubuhnya."Kita... nggak bisa... saling tuduh tanpa bukti," ucap Ryan dengan suara pelan namun tegas, mencoba meredakan situasi. Meski sulit, ia tahu bahwa tanggung jawab sebagai ketua tak memungkinkannya untuk diam.Arya, ketua divisi humas, menggebrak meja. "Kita tidak mungkin melanjutkan acara tanpa sponsor utama! Dan kalau benar ada orang dalam yang membocorkan informasi ini, dia sudah menghancurkan kerja keras kita semua!""Jangan asal tuduh, Arya!" balas Yuni, ketua divisi logistik. "Bisa saja ini ulah pihak luar yang ingin menjatuhkan kita. Kam
Sudah beberapa hari berlalu sejak pertandingan persahabatan bela diri antar fakultas, namun rasa sakit di perut Ryan belum juga hilang. Pertandingan itu berlangsung sengit, terutama ketika Ryan harus berhadapan dengan Alvin, seorang mahasiswa dari Fakultas Hukum yang mengajaknya duel di pertandingan persahabatan. Meski merasakan sakit di perutnya, Ryan masih bisa beraktivitas seperti biasanya. Namun, seperti yang dikatakan dokter Surya, ia tidak boleh terlalu memforsir diri. Jabatan sebuaha ketua BEM memaksanya untuk tetap mengikuti beberapa kegiatan yang sudah dijadwalkan. Seperti halnya kemarin, ia harus menjadi pembicara dalam seminar nasional UMKM yang diadakan pihak kampus.Siang ini, ia tak ada jadwal kuliah. Di kamar kosnya, Ryan terbaring lemas di atas kasur. Perutnya terasa perih setiap kali ia mencoba bangun. Ia sudah mencoba mengompres dengan air hangat dan meminum obat, tetapi tak ada yang meredakan rasa sakitnya. Padahal, ketika ia beraktivitas, sakitnya tidak terlalu te
Sejak pertemuan di gazebo, Ryan semakin penasaran tentang Hana. Ia sering mendapati pikirannya melayang, memikirkan senyuman dan sikap lembut Hana. Dalam beberapa kesempatan, Ryan mencoba mencari tahu lebih banyak tentang Hana.Ia bertanya secara tidak langsung kepada teman-teman BEM yang berasal dari FKIP PGSD, satu prodi dengan Hana. Namun, jawaban yang ia dapatkan terbatas, hanya sebatas informasi bahwa Hana adalah sosok yang suka baca dan sering mengunjungi perpustakaan fakultas.Ryan bahkan mencoba mencari tahu melalui akun media sosialnya, tetapi Hana jarang sekali memposting apa pun. Meskipun begitu, usaha Ryan tak pernah surut. Baginya, semakin sulit mencari tahu, semakin kuat keinginannya untuk mengenal Hana lebih dekat."Apa aku harus menemui Hana di FKIP?" batinnya perlahan.Ryan memutar otak. Setelah ditinggal Icha ke Jerman, baru kali ini Ryan merasakan degupan yang tak beraturan ketika berhadapan dengan perempuan. Di kampus Nusantara, banyak perempuan yang mengidolakanny
"Nanti salam buat Ryan, ya, Han, hihi," celoteh Lia sembari membereskan buku-buku di tasnya, memastikan tidak ada yang tertinggal."Aku nggak kenal gimana mau nyalamin," Hana terpaksa berbohong. Ia tahu betul karakter Lia. Hana tidak mungkin cerita yang sebenarnya tentang kejadian di klinik kampus dua hari yang lalu."Aku berangkat dulu, ya,bye!"Hana melangkahkan kaki keluar dari gerbang kosnya. Hari ini ia akan menghadiri Seminar Nasional UMKM yang diadakan di Gedung Soekarno, gedung yang biasanya dipakai untuk acara-acara seminar. Jarak dari kos menuju gedung Soekarno sekitar satu kilometer. Namun, Hana sudah biasa jalan kaki ke kampus.Di depan gerbang Gedung Soekarno, Alvin menghentikan motornya tepat di samping Hana."Hai, Han!" Alvin tersenyum ke arah Hana. Hana hanya melirik sekilas dan tetap menghentikan langkahnya."Han, jangan cuek-cuek, dong. Nanti cantiknya luntur, lho!" goda Alvin."Vin, kamu keterlaluan b
Ruangan rapat BEM Universitas Nusantara terasa lebih panas dari biasanya, meskipun kipas angin besar di sudut ruangan terus berputar. Meja oval yang menjadi pusat diskusi penuh dengan laptop, buku catatan, dan secangkir kopi yang hampir kosong.Di ujung meja, Ryan Ramadhani, Presiden Mahasiswa, duduk dengan tatapan serius, mencermati laporan yang baru saja dibacakan oleh sekretarisnya.“Baik, teman-teman,” suara Ryan memecah keheningan, tegas namun tetap hangat.“Hari ini kita bahas hasil dari konferensi aspirasi mahasiswa minggu lalu. Banyak sekali curhatan yang masuk. Sekarang, kita perlu memilah mana yang bisa kita tindak lanjuti segera, dan mana yang memerlukan strategi lebih besar.”Korupsi, kolusi, dan nepotisme di Universitas Nusantara telah menjadi rahasia umum yang menyesakkan dada, namun tidak ada seorang pun yang berani melawannya. Dalam lingkaran kekuasaan kampus, praktik ini seolah menjadi bagian dari budaya yang tak t
Ryan terbangun di keheningan subuh, disambut oleh rasa sakit yang tajam di punggung dan perutnya. Sisa-sisa serangan brutal dari Alvin semalam terasa seperti beban yang menekan tubuhnya.Setiap gerakan kecil membuat otot-ototnya menjerit, tapi ia memaksa diri untuk bangkit dari ranjang. Dengan napas berat, Ryan berwudhu perlahan, berpegangan pada dinding kamar mandi untuk menjaga keseimbangan.Saat berdiri menghadap sajadah, ia merasakan nyeri menjalar di punggung, membuat tubuhnya sedikit membungkuk. Ia menunaikan sholat subuh dengan hati-hati, gerakan rukuk dan sujud terasa seperti tantangan berat. Namun, ia tetap khusyuk, memohon kekuatan dan kesembuhan.Setelah selesai, Ryan kembali ke ranjang. Tubuhnya terasa lemah dan keringat dingin membasahi pelipisnya. Ia berbaring, mencoba mencari posisi yang tidak menyakitkan, lalu perlahan-lahan terlelap lagi, membiarkan kelelahan dan rasa sakit membawanya ke dalam tidur yang gelisah.Dika memarkir motornya di depan kos Ryan. Ketika akan m
Suasana kampus terasa tenang dengan semilir angin yang berhembus lembut di antara pepohonan rindang. Setelah menyelesaikan mata kuliah, Hana dan Lia memutuskan untuk duduk santai di gazebo yang terletak di taman tengah kampus. Gazebo itu dikelilingi bunga-bunga bermekaran yang menambah kesan segar.Hana menyandarkan punggungnya dengan santai sambil menyeruput minuman dingin dari botol, sementara Lia membuka buku catatan, sesekali tertawa kecil saat mereka berbincang ringan tentang materi kuliah yang baru saja selesai.Suara burung berkicau dan gemericik air dari kolam kecil di dekat gazebo menambah kedamaian sore itu, menciptakan momen santai yang penuh kebersamaan di sela rutinitas perkuliahan."Hadeh, sebel banget bisa-bisanya dititipin ke aku. Kemana coba aku harus nyari si presma itu?" Key datang dengan terengah-engah, meletakkan map besar di meja gazebo tempat Hana dan Lia tengah santai menunggu jam kuliah selanjutnya.