Beranda / Young Adult / Jejak Cinta Sang Presiden Mahasiswa / BAB 4: Pertandingan Persahabatan

Share

BAB 4: Pertandingan Persahabatan

Penulis: Perempuan Senja
last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-15 11:33:22

Suasana kampus terasa tenang dengan semilir angin yang berhembus lembut di antara pepohonan rindang. Setelah menyelesaikan mata kuliah, Hana dan Lia memutuskan untuk duduk santai di gazebo yang terletak di taman tengah kampus. Gazebo itu dikelilingi bunga-bunga bermekaran yang menambah kesan segar.

Hana menyandarkan punggungnya dengan santai sambil menyeruput minuman dingin dari botol, sementara Lia membuka buku catatan, sesekali tertawa kecil saat mereka berbincang ringan tentang materi kuliah yang baru saja selesai.

Suara burung berkicau dan gemericik air dari kolam kecil di dekat gazebo menambah kedamaian sore itu, menciptakan momen santai yang penuh kebersamaan di sela rutinitas perkuliahan.

"Hadeh, sebel banget bisa-bisanya dititipin ke aku. Kemana coba aku harus nyari si presma itu?" Key datang dengan terengah-engah, meletakkan map besar di meja gazebo tempat Hana dan Lia tengah santai menunggu jam kuliah selanjutnya.

"Kamu kenapa, Key?" Hana bingung melihat ekspresi Key yang sepertinya tengah sebal.

"Aku dititipin sama pihak rektorat, suruh ngasih ini ke presma," Key menunjukkan sebuah map cokelat.

"Presma? Ryan maksudnya?" Lia menyambar. Key mengangguk.

"Emangnya itu apa?" Lia bertanya sembari merebut amplop cokelat yang dipegang Key.

"Kata orang rektorat, itu undangan buat presma jadi narasumber seminar nasional UMKM yang diadakan tiga hari lagi di Auditorium pusat."

"Ryan kan anak sipil. Kok, ngisi seminar UMKM?" Lia penasaran. Key mengangkat kedua bahu pertanda tidak tahu, dan memang tidak mau tahu.

"Aku aja yang ngasih ke Ryan," mata Lia berbinar sembari memeluk amplop cokelat yang ia pegang. Sontak, Hana menoleh ke arah Lia dengan tatapan terkejut.

"Beneran?" Key tersenyum gembira. Lia mengangguk mantap sembari menyipitkan kedua matanya dengan senyum sumringah.

"Semangat banget kalo soal Ryan. Key, emang kamu nggak ngefans juga sama si presma itu?" Hana nyeletuk. Lia langsung mencubit lengan Hana dengan gemas.

"Sebenernya ganteng juga sih presma kita itu. Tapi, aku tetap setia sama mas Juki. Ahahaha. Ya udah makasih, ya, Lia. Jangan lupa dikasihkan!" Key berteriak, kemudian pergi menuju ruang kelas C.

"Kamu mau ke fakultas teknik?" tanya Hana.

"Enggak lah, Hana. Kan, nanti malam Ryan ada tanding sama Alvin di fakultas hukum. Jadi, kamu harus nemenin aku buat ngasih ini ke Ryan," Lia menjelaskan.

"Ih, ogah!" ketus Hana sambil memalingkan muka.

"Eh, kemarin kan udah janji. Janji adalah hutang. Dan hutang itu wajib dibayar," Lia membuju.

"Ya udah, iya," akhirnya Hana pasrah.

---

Ryan memulai hari dengan penuh kesibukan. Praktikum ilmu ukur tanah yang berlangsung sejak pagi membuatnya tenggelam dalam data dan laporan. Di sela-sela kesibukannya, ia melupakan satu hal penting: makan. Perutnya mulai terasa perih saat siang menjelang, namun Ryan mengabaikannya.

Sebagai seorang mahasiswa teknik sipil, Ryan sudah terbiasa dengan jadwal yang padat, apalagi ia juga mendapat amanah sebagai ketua BEM atau Presiden Mahasiswa. Namun, tubuhnya mulai memberi tanda-tanda kelelahan.

Sore harinya, saat praktikum selesai, Gio, ketua Kombimatik, menghampirinya di lorong kampus.

"Bro, jangan lupa nanti malam ya. Jam setengah 7 di aula FH," ujar Gio dengan antusias.

"Astaghfirullah. Iya. Aku lupa, Gi," ujar Ryan lesu.

"Kamu kenapa?" Gia mendengus. "Lambung kambuh, ya? Pasti lupa makan," tambah Gio.

Ryan tersenyum tipis. "Hehe. Iya."

"Tapi, nanti pertandingan penting, lho, meskipun cuma tanding persahabatan aja," ujar Gio khawatir.

"Tenang aja, aku bisa handle kok," ucap Ryan.

Setelah Maghrib, aula Fakultas Hukum mulai dipenuhi mahasiswa. Panggung pertandingan sudah siap dengan matras hijau di tengah aula. Lampu-lampu terang menerangi suasana, menciptakan aura penuh energi. Penonton duduk berdesakan di tribun kecil yang tersedia, sementara beberapa memilih berdiri di tepi aula.

Di sudut aula, Alvin terlihat melakukan pemanasan dengan gaya penuh percaya diri, dikelilingi oleh beberapa teman dari Fakultas Hukum. Tubuh Alvin besar dan kekar, jelas menunjukkan latihan fisik yang intens. Ia memiliki otot yang terbentuk dengan sempurna, dan tatapannya yang tajam seolah ingin mengintimidasi siapa pun yang berdiri di hadapannya.

Ryan, yang tinggi dan kurus, mengenakan seragam Kombimatik, mencoba tidak terlalu memperhatikan fisik Alvin. Meskipun tubuhnya jauh lebih ramping, Ryan tidak gentar. Sebagai presiden mahasiswa yang sering berdebat dalam berbagai forum, ia lebih mengandalkan strategi dan kecerdikannya daripada kekuatan fisik.

Pak Hendra, dosen FKIP yang dikenal tegas namun ramah, berjalan menuju panggung dengan membawa papan skor. Ia mengenakan seragam wasit dengan peluit menggantung di lehernya.

"Anak-anak, saya harap pertandingan ini berjalan sportif. Tidak ada dendam, tidak ada pelanggaran," ucap Pak Hendra kepada Alvin yang hanya tersenyum tipis.

Sementara itu, Lia dan Hana masih berada di luar aula. Lia menarik-narik tangan Hana dengan wajah penuh antusias.

"Han, ayo masuk! Kita duduk di depan biar bisa lihat Ryan lebih jelas," bujuk Lia.

"Li, serius deh, aku males. Aku nggak ngerti apa serunya nonton orang berantem," keluh Hana.

"Han! Ini bukan sekadar nonton orang berantem. Ini Ryan Ramadhani! Kamu harus lihat sendiri betapa dia itu beda. Kamu bakal ngerti kenapa aku ngefans berat sama dia," Lia terus memaksa.

Akhirnya, Hana menyerah. "Oke, oke. Tapi kalau aku nggak betah, aku langsung pulang."

Mereka masuk aula dan menemukan tempat di barisan depan. Ketika Ryan akhirnya memasuki aula dengan seragam Kombimatik, mata Hana tertuju padanya.

Untuk pertama kalinya, Hana melihat Ryan dengan jelas. Sosoknya tegap, wajahnya serius namun tetap memancarkan ketenangan. Hana mengerti kenapa Lia dan banyak mahasiswi lain terpesona. Ryan terlihat berbeda—memesona, dan Hana mengakui bahwa Ryan memang tampan serta memiliki kharisma tersendiri.

"Bener aja cewek-cewek pada ngefans sama dia," ujar Hana dalam hati. Bibirnya melengkung sedikit, menorehkan senyum ketika menatap mahasiswa Teknik Sipil itu.

Pertandingan dimulai setelah Pak Hendra memberikan aba-aba. Ryan dan Alvin berdiri berhadapan di tengah matras. Keduanya saling membungkukkan badan sebagai tanda hormat, lalu segera mengambil posisi bertarung.

Sejak awal, Alvin menunjukkan agresivitas yang luar biasa. Tubuhnya yang besar dan kekar tampak siap untuk menghabisi lawannya. Pukulan dan tendangannya mengarah ke Ryan dengan kecepatan dan kekuatan yang menakutkan. Ryan, dengan tubuhnya yang lebih tinggi namun kurus, fokus pada bertahan dan menghindar, mengandalkan kelincahan dan kecepatan.

Alvin melayangkan tendangan keras ke arah perut Ryan, namun dengan cekatan Ryan berhasil menundukkan tubuhnya, menghindari pukulan tersebut. Meskipun begitu, Alvin tidak berhenti menyerang. Setiap pukulan dari Alvin terasa seperti dentuman besar, dan Ryan mulai kesulitan menghindar.

Setelah beberapa ronde yang ketat, Ryan mulai menunjukkan tanda-tanda kelelahan. Ia yang belum makan sejak pagi mulai kehilangan tenaga. Sementara itu, Alvin, yang terlihat lebih bertenaga berkat tubuhnya yang lebih besar, semakin mendominasi pertandingan.

Saat Ryan masih bersiap dan aba-aba untuk mulai lagi belum diucapkan oleh Pak Hendra, Alvin tiba-tiba melakukan serangan brutal. Ia menendang Ryan dengan keras ke dada, membuat Ryan terhuyung mundur.

Namun, Alvin tidak berhenti di situ. Dengan kekuatan tubuh yang luar biasa, Alvin menubruk Ryan dan mendorongnya jatuh telentang di atas matras. Tubuh Ryan terbanting dengan keras, ia merasakan benturan keras di punggungnya.

Ryan yang terjatuh tak sempat bangkit. Alvin, dengan tubuh besar dan otot yang kekar, melompat ke atas dan menjatuhkan lututnya tepat di perut tengah Ryan. BUUGHHH!!!

"Ugh!" Ryan mengerang kesakitan, wajahnya meringis menahan nyeri.

Pak Hendra berteriak, "Stop! Alvin, hentikan!"

Namun, Alvin tampak kehilangan kendali. Tanpa rasa kasihan, ia melayangkan lututnya lagi, kini tepat ke perut bawah Ryan dengan kekuatan penuh. BUUGGHHH.

"Arh!" Ryan mengerang, merasakan rasa sakit yang begitu dahsyat di perutnya.

Kemudian, Alvin melayangkan beberapa pukulan keras bertubi-tubi ke arah perut Ryan yang sudah terkapar. Pukulan itu menghantam tubuh Ryan dengan telak, membuatnya terjatuh semakin lemah.

Penonton mulai berteriak, beberapa mahasiswa melompat ke matras untuk melerai. Gio dan anggota Kombimatik lainnya berlari ke depan, menarik Alvin menjauh dari Ryan yang sudah tidak berdaya. Pak Hendra meniup peluit panjang, tanda pertandingan dihentikan.

"Bubar.. bubar..!! Pertandingan ini gagal. Alvin! Kamu kenapa jadi tidak profesional seperti ini?" Pak Hendra teriak ke arah Alvin yang tengah terengah-engah, wajahnya seperti penuh dendam.

Hana menatap adegan itu dengan wajah pucat. Ia terkejut, sontak menutup mulutnya dengan kedua telapak tangan. Ia tidak menyangka Alvin bisa bertindak sebrutal itu.

"Astaghfirullah!!" jerit Hana.

Alvin keluar dari aula bersama teman-teman komunitasnya. Dika menuntun Ryan duduk di lantai aula, bersandar pada dinding dingin yang sedikit lembap. Keringat bercucuran di dahinya, menetes membasahi seragam Kombimatik yang sudah lecek dan penuh noda debu dari matras. Napasnya berat, tersengal-sengal, seolah udara di aula tak cukup untuk mengisi paru-parunya.

Tangannya secara refleks memegangi perutnya yang terasa sakit luar biasa, seperti dihantam gelombang rasa nyeri yang terus datang tanpa henti. Rasa panas menjalar dari tengah perut hingga ke punggungnya. Ryan memejamkan mata erat-erat, berusaha menahan mual yang mengancam naik ke tenggorokannya.

Beberapa mahasiswa yang menyaksikan pertandingan tersebut sudah keluar dari aula, hanya menyisakan beberapa anggota kombimatik dan juga Pak Hendra. Ryan ingin berdiri, tapi tubuhnya terasa terlalu berat untuk digerakkan.

Ia mencoba mengatur napas, menggenggam kain seragamnya dengan erat, namun rasa sakit yang tajam membuatnya meringis. Dadanya naik-turun tidak beraturan, dan setiap kali ia menghirup napas dalam, rasa perih di perutnya semakin menusuk. Seolah-olah ada yang bergerak tidak pada tempatnya di dalam tubuhnya.

"Yan, kamu nggak apa-apa?" Gio berjongkok di depannya, ekspresi wajahnya penuh kekhawatiran. Namun, Ryan hanya mampu mengangguk pelan, tidak ingin memperlihatkan seberapa parah rasa sakitnya.

"Nggak papa, kok," jawab Ryan singkat. Suaranya bergetar, nyaris hilang di tengah bising aula. Wajahnya pucat, seperti kertas yang kehilangan warna.

Setelah keadaan perlahan tenang, Lia menggeret Hana menuju tempat Ryan duduk terkulai. Lia menyodorkan undangan dari rektorat kepada Ryan. "Ryan, ini undangan dari pihak rektorat. Aku diminta nyerahin ini ke kamu."

Ryan mendongak dengan susah payah, menerima sodoran amplop cokelat dari Lia.

"Buat aku?" tanya Ryan pelan. Lia mengangguk.

"Eh, itu nggak papa?" Lia menunjuk bibir Ryan yang mengeluarkan darah. Sontak, Ryan mengusap darah yang keluar dari mulutnya. Sedari tadi Ryan tidak menyadari jika pukulan Alvin sampai membuat ia muntah darah.

"Nggak papa, kok," ujar Ryan. Tanpa sengaja, tatapannya bertemu dengan Hana yang berdiri di samping Lia.

"Ya udah, semoga cepat membaik, ya!" Lia pamit. Ryan mengangguk pelan seraya tersenyum. Lia menggeret tangan Hana menjauh dari Ryan. Namun, sesekali Hana menoleh ke belakang, menatap Ryan yang juga tengah memandangnya.

Sejenak, waktu seakan berhenti. Ryan menatap Hana dengan pandangan yang berbeda—seolah melihat sesuatu yang tak pernah ia temui sebelumnya. Di balik rasa sakitnya, ia terpesona.

Hana yang awalnya hanya berniat menemani Lia, merasa jantungnya berdegup lebih cepat. Ia tidak tahu kenapa, tapi tatapan Ryan seolah menembus ke dalam dirinya.

"Dika, besok kamu antar Ryan ke klinik kampus. Cek organ dalam. Keras sekali tadi. Saya takut organ perutnya kenapa-kenapa," perintah Pak Hendra.

"Siap, Pak," jawab Dika cekatan.

Ryan diantar Dika pulang ke kosan. Langkahnya tampak goyah dan wajahnya masih pucat. Rasa sakit di perutnya tak kunjung hilang, dan tubuhnya terasa lelah setelah pertandingan yang berlangsung lebih keras dari yang ia bayangkan. Usai mengantar Ryan, Dika langsung pulang.

Sesampainya di depan pintu kos, Ryan disambut oleh Arif, teman satu kos yang langsung mendekat dengan wajah cemas.

"Aku udah bilang jangan ikut tanding malam ini. Kamu udah sibuk jadi presma, nggak usah dipaksa nerima tawaran tanding kayak gini. Kamu tuh bisa cedera parah!"

"Kamu kok tahu, Rif?" tanya Ryan. Ryan penasaran dari mana Arif tahu kejadian di pertandingan, padahal sejak sore Arif hanya di kos saja.

"Tadi ada yang live pas kamu tanding."

Ryan memegang perutnya, mencoba mengatur napas, namun rasa sakit semakin tajam. Refleks, Arif menuntun Ryan menuju kamar dan membantu Ryan duduk di ranjang kamarnya.

"Kamu lihat diri kamu sekarang! Kamu jatuh kayak orang yang habis digilas truk! Jangan bodoh, Yan. Kamu butuh istirahat, bukan malah ikut pertandingan fisik gila-gilaan kayak tadi. Sifat kamu yang terlalu baik harus dihilangkan!" Arif menatap Ryan dengan khawatir.

Ryan hanya bisa diam, wajahnya menunjukkan kelelahan yang mendalam. "Aku nggak apa-apa, kok, Rif!"

Arif menghela napas panjang. "Kamu memang keras kepala. Tapi inget, presma itu bukan berarti harus jadi pahlawan terus, Yan. Kamu juga manusia, dan kadang kamu butuh waktu buat istirahat. Kalau kamu terus-terusan seperti ini, kamu bakal hancur sendiri."

Ryan hanya mengangguk lemah, tak bisa membantah. Sakitnya semakin terasa, dan dia hanya ingin tidur. "Besok aku ke klinik. Malam ini, aku cuma butuh tidur. Oh iya, tolong jangan kasih tahu ke ibu, ya," ujar Ryan pelan. Arif adalah sahabatnya sejak SMA yang kenal baik dengan ibu Ryan.

Arif hanya bisa menggelengkan kepala, merasa khawatir namun juga bingung bagaimana cara membuat Ryan sadar.

Bab terkait

  • Jejak Cinta Sang Presiden Mahasiswa   BAB 5: Bertemu di Klinik

    Ryan terbangun di keheningan subuh, disambut oleh rasa sakit yang tajam di punggung dan perutnya. Sisa-sisa serangan brutal dari Alvin semalam terasa seperti beban yang menekan tubuhnya.Setiap gerakan kecil membuat otot-ototnya menjerit, tapi ia memaksa diri untuk bangkit dari ranjang. Dengan napas berat, Ryan berwudhu perlahan, berpegangan pada dinding kamar mandi untuk menjaga keseimbangan.Saat berdiri menghadap sajadah, ia merasakan nyeri menjalar di punggung, membuat tubuhnya sedikit membungkuk. Ia menunaikan sholat subuh dengan hati-hati, gerakan rukuk dan sujud terasa seperti tantangan berat. Namun, ia tetap khusyuk, memohon kekuatan dan kesembuhan.Setelah selesai, Ryan kembali ke ranjang. Tubuhnya terasa lemah dan keringat dingin membasahi pelipisnya. Ia berbaring, mencoba mencari posisi yang tidak menyakitkan, lalu perlahan-lahan terlelap lagi, membiarkan kelelahan dan rasa sakit membawanya ke dalam tidur yang gelisah.Dika memarkir motornya di depan kos Ryan. Ketika akan m

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-16
  • Jejak Cinta Sang Presiden Mahasiswa   BAB 6: Rencana Bahaya

    Ruangan rapat BEM Universitas Nusantara terasa lebih panas dari biasanya, meskipun kipas angin besar di sudut ruangan terus berputar. Meja oval yang menjadi pusat diskusi penuh dengan laptop, buku catatan, dan secangkir kopi yang hampir kosong.Di ujung meja, Ryan Ramadhani, Presiden Mahasiswa, duduk dengan tatapan serius, mencermati laporan yang baru saja dibacakan oleh sekretarisnya.“Baik, teman-teman,” suara Ryan memecah keheningan, tegas namun tetap hangat.“Hari ini kita bahas hasil dari konferensi aspirasi mahasiswa minggu lalu. Banyak sekali curhatan yang masuk. Sekarang, kita perlu memilah mana yang bisa kita tindak lanjuti segera, dan mana yang memerlukan strategi lebih besar.”Korupsi, kolusi, dan nepotisme di Universitas Nusantara telah menjadi rahasia umum yang menyesakkan dada, namun tidak ada seorang pun yang berani melawannya. Dalam lingkaran kekuasaan kampus, praktik ini seolah menjadi bagian dari budaya yang tak t

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-17
  • Jejak Cinta Sang Presiden Mahasiswa   BAB 7: Seminar Nasional

    "Nanti salam buat Ryan, ya, Han, hihi," celoteh Lia sembari membereskan buku-buku di tasnya, memastikan tidak ada yang tertinggal."Aku nggak kenal gimana mau nyalamin," Hana terpaksa berbohong. Ia tahu betul karakter Lia. Hana tidak mungkin cerita yang sebenarnya tentang kejadian di klinik kampus dua hari yang lalu."Aku berangkat dulu, ya,bye!"Hana melangkahkan kaki keluar dari gerbang kosnya. Hari ini ia akan menghadiri Seminar Nasional UMKM yang diadakan di Gedung Soekarno, gedung yang biasanya dipakai untuk acara-acara seminar. Jarak dari kos menuju gedung Soekarno sekitar satu kilometer. Namun, Hana sudah biasa jalan kaki ke kampus.Di depan gerbang Gedung Soekarno, Alvin menghentikan motornya tepat di samping Hana."Hai, Han!" Alvin tersenyum ke arah Hana. Hana hanya melirik sekilas dan tetap menghentikan langkahnya."Han, jangan cuek-cuek, dong. Nanti cantiknya luntur, lho!" goda Alvin."Vin, kamu keterlaluan b

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-18
  • Jejak Cinta Sang Presiden Mahasiswa   BAB 8: Bertemu Lagi

    Sejak pertemuan di gazebo, Ryan semakin penasaran tentang Hana. Ia sering mendapati pikirannya melayang, memikirkan senyuman dan sikap lembut Hana. Dalam beberapa kesempatan, Ryan mencoba mencari tahu lebih banyak tentang Hana.Ia bertanya secara tidak langsung kepada teman-teman BEM yang berasal dari FKIP PGSD, satu prodi dengan Hana. Namun, jawaban yang ia dapatkan terbatas, hanya sebatas informasi bahwa Hana adalah sosok yang suka baca dan sering mengunjungi perpustakaan fakultas.Ryan bahkan mencoba mencari tahu melalui akun media sosialnya, tetapi Hana jarang sekali memposting apa pun. Meskipun begitu, usaha Ryan tak pernah surut. Baginya, semakin sulit mencari tahu, semakin kuat keinginannya untuk mengenal Hana lebih dekat."Apa aku harus menemui Hana di FKIP?" batinnya perlahan.Ryan memutar otak. Setelah ditinggal Icha ke Jerman, baru kali ini Ryan merasakan degupan yang tak beraturan ketika berhadapan dengan perempuan. Di kampus Nusantara, banyak perempuan yang mengidolakanny

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-21
  • Jejak Cinta Sang Presiden Mahasiswa   Bab 9: Masalah Baru

    Sudah beberapa hari berlalu sejak pertandingan persahabatan bela diri antar fakultas, namun rasa sakit di perut Ryan belum juga hilang. Pertandingan itu berlangsung sengit, terutama ketika Ryan harus berhadapan dengan Alvin, seorang mahasiswa dari Fakultas Hukum yang mengajaknya duel di pertandingan persahabatan. Meski merasakan sakit di perutnya, Ryan masih bisa beraktivitas seperti biasanya. Namun, seperti yang dikatakan dokter Surya, ia tidak boleh terlalu memforsir diri. Jabatan sebuaha ketua BEM memaksanya untuk tetap mengikuti beberapa kegiatan yang sudah dijadwalkan. Seperti halnya kemarin, ia harus menjadi pembicara dalam seminar nasional UMKM yang diadakan pihak kampus.Siang ini, ia tak ada jadwal kuliah. Di kamar kosnya, Ryan terbaring lemas di atas kasur. Perutnya terasa perih setiap kali ia mencoba bangun. Ia sudah mencoba mengompres dengan air hangat dan meminum obat, tetapi tak ada yang meredakan rasa sakitnya. Padahal, ketika ia beraktivitas, sakitnya tidak terlalu te

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-28
  • Jejak Cinta Sang Presiden Mahasiswa   BAB 10: Tiga Orang Tak Dikenal

    Ruangan bascamp terasa seperti medan perang, bukan lagi tempat diskusi. Tuduhan demi tuduhan mulai dilemparkan oleh anggota kabinet, masing-masing berusaha membela diri. Ryan, yang duduk di ujung meja sebagai Ketua BEM, hanya bisa bersandar lemah. Perutnya masih terasa nyeri luar biasa setelah terapi di rumah Mbah Joko, sehingga ia sulit bergerak. Ia berbicara pelan, hampir berbisik, agar tidak memicu rasa sakit di tubuhnya."Kita... nggak bisa... saling tuduh tanpa bukti," ucap Ryan dengan suara pelan namun tegas, mencoba meredakan situasi. Meski sulit, ia tahu bahwa tanggung jawab sebagai ketua tak memungkinkannya untuk diam.Arya, ketua divisi humas, menggebrak meja. "Kita tidak mungkin melanjutkan acara tanpa sponsor utama! Dan kalau benar ada orang dalam yang membocorkan informasi ini, dia sudah menghancurkan kerja keras kita semua!""Jangan asal tuduh, Arya!" balas Yuni, ketua divisi logistik. "Bisa saja ini ulah pihak luar yang ingin menjatuhkan kita. Kam

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-29
  • Jejak Cinta Sang Presiden Mahasiswa   BAB 11: Hana Berbohong

    Ryan masih memegangi perutnya dengan napas tersengal. Tubuhnya gemetar, baik karena rasa sakit maupun kekhawatiran. Sambil membantu Ryan berdiri, Dika mengedarkan pandangan ke sekitar bascamp, memastikan tak ada lagi orang yang mencurigakan."Kamu yakin aman?" tanya Dika, suaranya terdengar tegang.Ryan mengangguk lemah. "Aman... cuma perut ini sakit banget."Dika membantu Ryan duduk di kursi terdekat, lalu menatap pintu yang masih terbuka lebar. "Kita harus cari tahu siapa mereka. Ini nggak bisa dianggap enteng."Ryan mencoba berpikir di tengah rasa nyeri yang masih menusuk. Tiga orang tak dikenal masuk ke bascamp dan menyerangnya tanpa alasan jelas. Apakah mereka terkait dengan proposal palsu? Atau ini adalah ancaman langsung untuknya sebagai Ketua BEM?"Aku rasa mereka ada hubungannya dengan masalah sponsor tadi," ujar Ryan dengan pelan. "Mereka tahu sesuatu."Dika menghela napas panjang. "Aku setuju, tapi ini terlalu bahaya, Ryan. Kalau

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-30
  • Jejak Cinta Sang Presiden Mahasiswa   BAB 12: Ke Toko Buku

    Jumat sore setelah selesai jam kuliah, Ryan duduk di kursi ruang rapat kecil di sekretariat BEM dengan ekspresi serius. Dika, yang berada di seberangnya, mengetukkan jemarinya di atas meja dengan ritme pelan, berpikir keras."Kita harus memastikan dulu siapa yang benar-benar ada di balik sabotase ini," kata Dika. "Kalau kita asal nuduh, bisa-bisa malah memperkeruh keadaan."Ryan mengangguk, meski pikirannya masih dipenuhi dengan rasa curiga. "Tapi ini bukan masalah kecil, Dik. Kalau mereka sampai bisa memanipulasi proposal, berarti mereka punya akses ke sistem internal kita."Roni, yang baru saja masuk dengan laptopnya, segera duduk di dekat mereka. "Aku coba cek log akses dokumen proposal yang dikirim ke sponsor," katanya sambil membuka layar laptopnya. "Dan yang terakhir ngedit file sebelum dikirim itu... Arya."Dika menghela napas. "Kita panggil dia, tanya baik-baik. Jangan sampai kita salah paham."Setengah jam kemudian, Arya duduk di depan mereka dengan wajah bingung. "Aku? Ubah

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-01

Bab terbaru

  • Jejak Cinta Sang Presiden Mahasiswa   BAB 12: Ke Toko Buku

    Jumat sore setelah selesai jam kuliah, Ryan duduk di kursi ruang rapat kecil di sekretariat BEM dengan ekspresi serius. Dika, yang berada di seberangnya, mengetukkan jemarinya di atas meja dengan ritme pelan, berpikir keras."Kita harus memastikan dulu siapa yang benar-benar ada di balik sabotase ini," kata Dika. "Kalau kita asal nuduh, bisa-bisa malah memperkeruh keadaan."Ryan mengangguk, meski pikirannya masih dipenuhi dengan rasa curiga. "Tapi ini bukan masalah kecil, Dik. Kalau mereka sampai bisa memanipulasi proposal, berarti mereka punya akses ke sistem internal kita."Roni, yang baru saja masuk dengan laptopnya, segera duduk di dekat mereka. "Aku coba cek log akses dokumen proposal yang dikirim ke sponsor," katanya sambil membuka layar laptopnya. "Dan yang terakhir ngedit file sebelum dikirim itu... Arya."Dika menghela napas. "Kita panggil dia, tanya baik-baik. Jangan sampai kita salah paham."Setengah jam kemudian, Arya duduk di depan mereka dengan wajah bingung. "Aku? Ubah

  • Jejak Cinta Sang Presiden Mahasiswa   BAB 11: Hana Berbohong

    Ryan masih memegangi perutnya dengan napas tersengal. Tubuhnya gemetar, baik karena rasa sakit maupun kekhawatiran. Sambil membantu Ryan berdiri, Dika mengedarkan pandangan ke sekitar bascamp, memastikan tak ada lagi orang yang mencurigakan."Kamu yakin aman?" tanya Dika, suaranya terdengar tegang.Ryan mengangguk lemah. "Aman... cuma perut ini sakit banget."Dika membantu Ryan duduk di kursi terdekat, lalu menatap pintu yang masih terbuka lebar. "Kita harus cari tahu siapa mereka. Ini nggak bisa dianggap enteng."Ryan mencoba berpikir di tengah rasa nyeri yang masih menusuk. Tiga orang tak dikenal masuk ke bascamp dan menyerangnya tanpa alasan jelas. Apakah mereka terkait dengan proposal palsu? Atau ini adalah ancaman langsung untuknya sebagai Ketua BEM?"Aku rasa mereka ada hubungannya dengan masalah sponsor tadi," ujar Ryan dengan pelan. "Mereka tahu sesuatu."Dika menghela napas panjang. "Aku setuju, tapi ini terlalu bahaya, Ryan. Kalau

  • Jejak Cinta Sang Presiden Mahasiswa   BAB 10: Tiga Orang Tak Dikenal

    Ruangan bascamp terasa seperti medan perang, bukan lagi tempat diskusi. Tuduhan demi tuduhan mulai dilemparkan oleh anggota kabinet, masing-masing berusaha membela diri. Ryan, yang duduk di ujung meja sebagai Ketua BEM, hanya bisa bersandar lemah. Perutnya masih terasa nyeri luar biasa setelah terapi di rumah Mbah Joko, sehingga ia sulit bergerak. Ia berbicara pelan, hampir berbisik, agar tidak memicu rasa sakit di tubuhnya."Kita... nggak bisa... saling tuduh tanpa bukti," ucap Ryan dengan suara pelan namun tegas, mencoba meredakan situasi. Meski sulit, ia tahu bahwa tanggung jawab sebagai ketua tak memungkinkannya untuk diam.Arya, ketua divisi humas, menggebrak meja. "Kita tidak mungkin melanjutkan acara tanpa sponsor utama! Dan kalau benar ada orang dalam yang membocorkan informasi ini, dia sudah menghancurkan kerja keras kita semua!""Jangan asal tuduh, Arya!" balas Yuni, ketua divisi logistik. "Bisa saja ini ulah pihak luar yang ingin menjatuhkan kita. Kam

  • Jejak Cinta Sang Presiden Mahasiswa   Bab 9: Masalah Baru

    Sudah beberapa hari berlalu sejak pertandingan persahabatan bela diri antar fakultas, namun rasa sakit di perut Ryan belum juga hilang. Pertandingan itu berlangsung sengit, terutama ketika Ryan harus berhadapan dengan Alvin, seorang mahasiswa dari Fakultas Hukum yang mengajaknya duel di pertandingan persahabatan. Meski merasakan sakit di perutnya, Ryan masih bisa beraktivitas seperti biasanya. Namun, seperti yang dikatakan dokter Surya, ia tidak boleh terlalu memforsir diri. Jabatan sebuaha ketua BEM memaksanya untuk tetap mengikuti beberapa kegiatan yang sudah dijadwalkan. Seperti halnya kemarin, ia harus menjadi pembicara dalam seminar nasional UMKM yang diadakan pihak kampus.Siang ini, ia tak ada jadwal kuliah. Di kamar kosnya, Ryan terbaring lemas di atas kasur. Perutnya terasa perih setiap kali ia mencoba bangun. Ia sudah mencoba mengompres dengan air hangat dan meminum obat, tetapi tak ada yang meredakan rasa sakitnya. Padahal, ketika ia beraktivitas, sakitnya tidak terlalu te

  • Jejak Cinta Sang Presiden Mahasiswa   BAB 8: Bertemu Lagi

    Sejak pertemuan di gazebo, Ryan semakin penasaran tentang Hana. Ia sering mendapati pikirannya melayang, memikirkan senyuman dan sikap lembut Hana. Dalam beberapa kesempatan, Ryan mencoba mencari tahu lebih banyak tentang Hana.Ia bertanya secara tidak langsung kepada teman-teman BEM yang berasal dari FKIP PGSD, satu prodi dengan Hana. Namun, jawaban yang ia dapatkan terbatas, hanya sebatas informasi bahwa Hana adalah sosok yang suka baca dan sering mengunjungi perpustakaan fakultas.Ryan bahkan mencoba mencari tahu melalui akun media sosialnya, tetapi Hana jarang sekali memposting apa pun. Meskipun begitu, usaha Ryan tak pernah surut. Baginya, semakin sulit mencari tahu, semakin kuat keinginannya untuk mengenal Hana lebih dekat."Apa aku harus menemui Hana di FKIP?" batinnya perlahan.Ryan memutar otak. Setelah ditinggal Icha ke Jerman, baru kali ini Ryan merasakan degupan yang tak beraturan ketika berhadapan dengan perempuan. Di kampus Nusantara, banyak perempuan yang mengidolakanny

  • Jejak Cinta Sang Presiden Mahasiswa   BAB 7: Seminar Nasional

    "Nanti salam buat Ryan, ya, Han, hihi," celoteh Lia sembari membereskan buku-buku di tasnya, memastikan tidak ada yang tertinggal."Aku nggak kenal gimana mau nyalamin," Hana terpaksa berbohong. Ia tahu betul karakter Lia. Hana tidak mungkin cerita yang sebenarnya tentang kejadian di klinik kampus dua hari yang lalu."Aku berangkat dulu, ya,bye!"Hana melangkahkan kaki keluar dari gerbang kosnya. Hari ini ia akan menghadiri Seminar Nasional UMKM yang diadakan di Gedung Soekarno, gedung yang biasanya dipakai untuk acara-acara seminar. Jarak dari kos menuju gedung Soekarno sekitar satu kilometer. Namun, Hana sudah biasa jalan kaki ke kampus.Di depan gerbang Gedung Soekarno, Alvin menghentikan motornya tepat di samping Hana."Hai, Han!" Alvin tersenyum ke arah Hana. Hana hanya melirik sekilas dan tetap menghentikan langkahnya."Han, jangan cuek-cuek, dong. Nanti cantiknya luntur, lho!" goda Alvin."Vin, kamu keterlaluan b

  • Jejak Cinta Sang Presiden Mahasiswa   BAB 6: Rencana Bahaya

    Ruangan rapat BEM Universitas Nusantara terasa lebih panas dari biasanya, meskipun kipas angin besar di sudut ruangan terus berputar. Meja oval yang menjadi pusat diskusi penuh dengan laptop, buku catatan, dan secangkir kopi yang hampir kosong.Di ujung meja, Ryan Ramadhani, Presiden Mahasiswa, duduk dengan tatapan serius, mencermati laporan yang baru saja dibacakan oleh sekretarisnya.“Baik, teman-teman,” suara Ryan memecah keheningan, tegas namun tetap hangat.“Hari ini kita bahas hasil dari konferensi aspirasi mahasiswa minggu lalu. Banyak sekali curhatan yang masuk. Sekarang, kita perlu memilah mana yang bisa kita tindak lanjuti segera, dan mana yang memerlukan strategi lebih besar.”Korupsi, kolusi, dan nepotisme di Universitas Nusantara telah menjadi rahasia umum yang menyesakkan dada, namun tidak ada seorang pun yang berani melawannya. Dalam lingkaran kekuasaan kampus, praktik ini seolah menjadi bagian dari budaya yang tak t

  • Jejak Cinta Sang Presiden Mahasiswa   BAB 5: Bertemu di Klinik

    Ryan terbangun di keheningan subuh, disambut oleh rasa sakit yang tajam di punggung dan perutnya. Sisa-sisa serangan brutal dari Alvin semalam terasa seperti beban yang menekan tubuhnya.Setiap gerakan kecil membuat otot-ototnya menjerit, tapi ia memaksa diri untuk bangkit dari ranjang. Dengan napas berat, Ryan berwudhu perlahan, berpegangan pada dinding kamar mandi untuk menjaga keseimbangan.Saat berdiri menghadap sajadah, ia merasakan nyeri menjalar di punggung, membuat tubuhnya sedikit membungkuk. Ia menunaikan sholat subuh dengan hati-hati, gerakan rukuk dan sujud terasa seperti tantangan berat. Namun, ia tetap khusyuk, memohon kekuatan dan kesembuhan.Setelah selesai, Ryan kembali ke ranjang. Tubuhnya terasa lemah dan keringat dingin membasahi pelipisnya. Ia berbaring, mencoba mencari posisi yang tidak menyakitkan, lalu perlahan-lahan terlelap lagi, membiarkan kelelahan dan rasa sakit membawanya ke dalam tidur yang gelisah.Dika memarkir motornya di depan kos Ryan. Ketika akan m

  • Jejak Cinta Sang Presiden Mahasiswa   BAB 4: Pertandingan Persahabatan

    Suasana kampus terasa tenang dengan semilir angin yang berhembus lembut di antara pepohonan rindang. Setelah menyelesaikan mata kuliah, Hana dan Lia memutuskan untuk duduk santai di gazebo yang terletak di taman tengah kampus. Gazebo itu dikelilingi bunga-bunga bermekaran yang menambah kesan segar.Hana menyandarkan punggungnya dengan santai sambil menyeruput minuman dingin dari botol, sementara Lia membuka buku catatan, sesekali tertawa kecil saat mereka berbincang ringan tentang materi kuliah yang baru saja selesai.Suara burung berkicau dan gemericik air dari kolam kecil di dekat gazebo menambah kedamaian sore itu, menciptakan momen santai yang penuh kebersamaan di sela rutinitas perkuliahan."Hadeh, sebel banget bisa-bisanya dititipin ke aku. Kemana coba aku harus nyari si presma itu?" Key datang dengan terengah-engah, meletakkan map besar di meja gazebo tempat Hana dan Lia tengah santai menunggu jam kuliah selanjutnya.

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status