Ryan terbangun di keheningan subuh, disambut oleh rasa sakit yang tajam di punggung dan perutnya. Sisa-sisa serangan brutal dari Alvin semalam terasa seperti beban yang menekan tubuhnya.
Setiap gerakan kecil membuat otot-ototnya menjerit, tapi ia memaksa diri untuk bangkit dari ranjang. Dengan napas berat, Ryan berwudhu perlahan, berpegangan pada dinding kamar mandi untuk menjaga keseimbangan.
Saat berdiri menghadap sajadah, ia merasakan nyeri menjalar di punggung, membuat tubuhnya sedikit membungkuk. Ia menunaikan sholat subuh dengan hati-hati, gerakan rukuk dan sujud terasa seperti tantangan berat. Namun, ia tetap khusyuk, memohon kekuatan dan kesembuhan.
Setelah selesai, Ryan kembali ke ranjang. Tubuhnya terasa lemah dan keringat dingin membasahi pelipisnya. Ia berbaring, mencoba mencari posisi yang tidak menyakitkan, lalu perlahan-lahan terlelap lagi, membiarkan kelelahan dan rasa sakit membawanya ke dalam tidur yang gelisah.
Dika memarkir motornya di depan kos Ryan. Ketika akan masuk, ia simpangan dengan Arif yang akan berangkat ke kampus.
Dika langsung masuk dan membuka pintu kamar Ryan perlahan. Ia melangkah masuk dan duduk di kursi dekat ranjang. Napas Ryan terdengar berat, tapi wajahnya tampak tenang dalam tidur. Dika hanya bisa menggeleng pelan, merasa kasihan melihat sahabatnya yang keras kepala itu.
Sejak awal, Dika sudah memperingatkan Ryan untuk tidak menerima tawaran tanding apa pun alasannya. Namun, bukan Ryan namanya jika terlalu baik dengan siapa pun. Beberapa kali Dika mengingatkan, namun Ryan tak pernah jua jera.
Sekitar lima belas menit kemudian, Ryan mulai bergerak pelan. Matanya terbuka, menyesuaikan dengan cahaya yang masuk dari jendela. Ia terkejut melihat Dika duduk di dekatnya.
"Dik? Ngapain di sini?" tanyanya dengan suara serak.
"Mau nganter kamu ke klinik, lah. Mandat dari Pak Hendra," ketus Dika. Ryan mengembuskan napas pelan.
"Nggak usah, Dik. Nanti juga sembuh sendiri," lugas Ryan sembari berusaha untuk bangun. Sontak, Dika langsung membantu sahabatnya untuk duduk.
"Sembuh sendiri gundulmu! Alvin segede kingkong, kowe kurus macam triplek. Keras sekali tadi malem. Kamu sempet muntah darah. Bahaya, Yan," ujar Dika.
"Ya udah, aku mandi dulu," Ryan beranjak dari kamar menuju kamar mandi.
Sesampainya di klinik kampus, suasana sudah mulai ramai. Ryan dan Dika duduk di ruang tunggu, menanti giliran. Di sudut matanya, Ryan menangkap sosok yang familiar. Seorang perempuan berjilbab krem dengan kemeja dan rok warna cokelat muda. Perempuan yang ia temui tadi malam usai pertandingan.
"Dik, kamu tahu cewek itu nggak?" tanya Ryan. Dika mengangkat bahu pertanda tidak tahu.
"Hana Zarifa, FKIP PGSD!"
Seorang perawat memanggil. Perempuan yang sedari tadi diperhatikan Ryan berdiri dan masuk ke poli umum.
"Namanya Hana, Yan," ucap Dika menggoda.
"Iya, aku juga denger," ketus Ryan. Dika tertawa.
Ryan memperhatikannya dari jauh, tidak menyadari senyum kecil yang muncul di wajahnya. Ketika seorang perawat memanggil nama Hana untuk masuk ke poli umum, Ryan akhirnya tahu siapa dia. Nama itu terdengar sederhana, tapi membekas dalam ingatannya: Hana.
"Ryan Ramadhani, Teknik Sipil!"
Tak lama setelah Hana masuk, giliran Ryan dipanggil ke poli penyakit dalam. Dika menemaninya masuk. Saat di depan pintu poli penyakit dalam, seorang perawat menghentikan langkah Ryan dengan berdiri di depannya.
"Mas Ryan mau periksa apa?" ucap perawat itu dengan centil. Sudah tak heran jika banyak mahasiswi, bahkan perawat klinik hingga ibu-ibu kantin suka menggoda Ryan, seorang presiden mahasiswa yang menjadi idaman sepenjuru kampus.
"Periksa mata! Nggak lihat apa ini poli organ dalam?" Dika menjawab dengan ketus. Ryan tertawa kecil sembari menggelengkan kepala.
"Minggir, Mbak. Gimana Ryan mau periksa kalau dihadang begini!" ucap Dika. Seketika, perawat itu langsung pindah tempat dan memandang sinis ke arah Dika.
Dokter spesialis organ dalam, dokter Surya, seorang pria paruh baya dengan tatapan tajam namun ramah, menyambut mereka.
"Pak Hendra sudah menghubungi saya. Kebetulan juga saya menyaksikan pertandingan kamu tadi malam. Dengan pukulan keras seperti itu, sekarang kamu masih bisa jalan. Agak ajaib, sih," ujar dokter Surya.
Ryan hanya tertawa kecil.
"Keluhan yang paling sakit di bagian mana?" tanya dokter Surya.
"Perut dan punggung, Dok," jawab Ryan.
"Kemarin sempat muntah darah?" tanya dokter lagi. Ryan mengangguk.
Dokter Surya meminta Ryan untuk berbaring. Dokter dengan kacamata tebal itu menekan beberapa titik perut Ryan. Beberapa kali, Ryan merintih pelan, merasakan sakit yang teramat sangat.
"Ronsen dan CT Scan dulu, ya!"
Usai cek organ dalam, dokter menjelaskan hasil ronsen dan CT Scan.
"Ryan, organ dalam di perutmu mengalami pergeseran akibat benturan keras. Selain itu, tulang belakangmu sedikit retak, untung saja tidak mengenai lambung karena saya lihat sepertinya kamu punya riwayat sakit lambung. Ini perlu segera ditangani."
Ryan menatap dokter dengan cemas. "Apa yang harus saya lakukan, Dok?"
"Saya sarankan kamu menjalani terapi urut untuk mengembalikan posisi organ dalammu. Retakan di tulang belakang juga harus diistirahatkan. Jangan ada aktivitas berat selama beberapa minggu ke depan. Nanti saya akan bilang ke Pak Hendra untuk mengantarkan kamu terapi perut," jawab dokter tegas.
Ryan menghela napas berat, merasa beban di tubuhnya semakin nyata.
Setelah pemeriksaan selesai, Ryan menuju kasir untuk membayar obat. Dika langsung menuju ke parkiran untuk mempersiapkan motor. Ketika akan menuju kasir, Ryan melihat Hana di depan kasir seperti tengah kebingungan.
"Atas nama Hana Zarifa, ya? 175 ribu," ujar Bu Tini, penjaga apotek di klinik kampus.
Hana merogoh tasnya. Ia tidak menemukan dompetnya. Ia buka resleting di bagian depan, tak menemukan juga. Wajahnya mulai panik.
"Bu, maaf. Dompet saya ketinggalan. Bagaimana kalau ..."
Belum sempat kalimatnya selesai, Bu Tini langsung memotong kalimat Hana, "Halah, Mbak. Kalau nggak punya uang ke puskesmas aja, jangan ke klinik!"
Bu Tini memang terkenal judes, apalagi dengan mahasiswi. Namun, ia bisa sangat berbeda jika menghadapi mahasiswa yang good looking.
"Biar saya aja yang bayar, Bu," Ryan menyahut dari belakang Hana. Sontak, Hana terkejut.
"Eh, Mas Ryan. Sakit apa Mas Ganteng?"
Sedetik, suara Bu Tini berubah menjadi sangat lembut.
Ryan tersenyum kecil. "Berapa total punya saya dan punya Hana, Bu?"
Bu Tini menghitung dengan cepat. "Untuk Mbak Hana 175 ribu, untuk Mas Ryan 250 ribu. Jadi, totalnya 425 ribu, Mas," senyum Bu Tini tidak pernah pudar semenjak Ryan datang.
Ryan memberikan uang pas kepada Bu Tini, kemudian berjalan menuju teras klinik bersama Hana.
"Terima kasih, ya, Mas Ryan," ucap Hana sembari menundukkan kepala setelah menatap Ryan beberapa detik.
Benar kata Lia. Ryan memang berkharisma. Wajahnya tampan, teduh, namun memancarkan ketegasan. Pipi Hana memerah. Ryan menatap Hana dengan senyum kecil. Tatapan yang bertahan cukup lama.
"Mas?" Hana menatap Ryan yang tengah diam sembari tersenyum tipis.
"Eh, Maaf. Iya, sama-sama, Hana," ujar Ryan tersenyum.
"Kok tahu namaku?" tanya Hana.
"Tadi kan dipanggil sama perawat. Hehe," Ryan terkekeh pelan. Hana pun demikian.
"Mas Ryan nggak apa-apa?" tanya Hana sembari menatap Ryan dengan tatapan khawatir.
"Nggak apa-apa apanya?" Ryan bingung.
"Kejadian kemarin?" Hana memperjelas.
Ryan tertawa kecil. "Nggak apa-apa, kok. Oh iya, Hana kosnya di mana?" tanya Ryan.
"Jalan Mawar, Mas."
"Mau pulang sama siapa?"
"Jalan kaki. Dekat situ aja," jawab Hana.
"Jangan! Kamu lagi nggak enak badan. Sebentar, ya!"
Ryan melangkah menuju parkiran, tempat Dika menunggunya. Setelah berbincang dengan Dika, ia kembali disusul Dika dengan motor matic-nya.
"Han, kamu diantar temanku, ya. Nggak apa-apa aku nunggu di sini bentar," ujar Ryan.
"Nggak usah, Mas. Ngerepotin. Aku jalan aja nggak papa, kok," Hana menolak.
"Nggak boleh lho nolak rejeki, Mbak," sahut Dika.
Hana akhirnya luluh. Ia naik ke boncengan Dika.
"Hati-hati, Dik," ucap Ryan.
Dika mengangguk mantap, "Siap, Bos! Akan aku antar tuan putrimu selamat sampai tujuan."
"Ngaco!" Ryan tersenyum malu. Hana tersipu, pipinya semakin memerah.
Lima menit kemudian, Hana sampai di depan kosnya. "Pagar warna biru, Mas," ucap Hana. Setelah motor berhenti, Hana segera turun dan mengucapkan terima kasih kepada Dika.
Hana membuka pintu gerbang. Tanpa sadar, Lia melihat dari jendela ruang tamu. Saat masuk ke kos, Lia mencegat Hana seraya tersenyum menggoda.
"Itu tadi kan Dika? Sahabatnya Ryan? Sumpah? Kamu pacaran sama Dika?" tuduh Lia,
"Apaan, sih, Li. Enggak," Hana menyanggah.
"Nggak apa-apa kali, Hana. Nanti kan kita bisa double date. Aku sama Ryan, kamu sama Dika. Duh, indah sekali tahuuu!"
Hana diam sejenak. Ia tak mungkin bercerita kepada Lia jika Ryan yang menyuruh Dika mengantarkannya.
"Udah lah, aku capek, mau istirahat dulu," Hana langsung beranjak menuju kamarnya.
Dika kembali ke klinik untuk menjemput Ryan usai mengantar Hana.
"Yuk!" ajak Dika. Ryan segera naik ke boncengan.
"Sepertinya ada yang terpesona pada pandangan pertama, nih! Udah nemu penggantinya Icha, ya?" goda Dika.
"Bukan yang pertama, Dik. Tadi malem udah ketemu kok habis pertandingan," ucap Ryan.
"Alamaaakkk!!! Malah udah kedua kali," Dika berteriak.
"Nggak secantik Icha, sih. Tapi, sepertinya dia perempuan baik-baik. Wajahnya kalem. Cocok buat kowe yang menggebu-gebu kalo lagi demo, Yan. Hahaha!" Dika tertawa. Ryan menimpali dengan tertawa juga.
Tak lama kemudian, keduanya sampai di depan kos Ryan. Ryan turun dari motor dengan langkah pelan, sembari memegangi perutnya yang kian terasa sakit. Memang benar apa yang diucapkan oleh dokter Surya. Suatu keajaiban Ryan masih bisa berjalan setelah insiden tadi malam.
Lutut Alvin yang cukup besar menghantam perut Ryan yang kurus dan dalam keadaan kosong. Kata dokter Surya, kalau insiden seperti itu, biasanya sudah tidak bisa jalan. Jangankan jalan, duduk saja kesulitan karena saking sakitnya.
Ryan membuka pintu gerbang kos. Dika memarkir motor di depan kos Ryan. Ketika masuk ruang tamu, Ryan terkejut. Ibunya sudah duduk termenung di sofa ruang tamu.
"Ibu?" Ryan terpaku di depan pintu. Sontak, ia menyalami ibunya, mencium punggung tangan ibunya, dan memeluk ibunya sejenak.
"Ibu kok nggak bilang kalau mau ke sini. Kan bisa Ryan jemput di stasiun," ujar Ryan. Biasanya, ibu ke Surabaya naik kereta api. Perjalanan dari Kediri ke Surabaya membutuhkan waktu tiga jam.
Jadwal kereta api Kediri - Surabaya paling pagi jam sepuluh. Ryan bingung, ibunya sudah sampai di Surabaya jam sembilan pagi.
"Ibu naik bus tadi," ucap ibu dengan suara datar. Sorot matanya memancarkan amarah. Bu Rika berusia 50 tahun, seorang PNS guru SD, dan membesarkan Ryan seorang diri. Ia sangat menyayangi putra tunggalnya tersebut.
"Sudah ibu bilang, nggak usah ikut bela diri lagi, Yan! Kenapa nggak pernah nurut sama ibu?" Bu Rika meneteskan air mata.
"Ibu tahu dari mana? Dari Arif?" Ryan bertanya dengan nada lirih. Seumur hidupnya, ia tidak pernah meninggikan suara di depan ibunya. Tidak pernah sama sekali.
"Tadi malam perasaan ibu tidak enak. Ibu tidak bisa tidur. Ibu nelpon Arif dan Arif sudah cerita semuanya," jawab Bu Rika dengan nada tinggi dan masih menangis.
"Maaf, Bu," Ryan menundukkan kepala. Ia tahu, ia salah. Dika diam, tak berani bersuara. Ia duduk di samping Ryan yang masih menunduk.
"Lalu, perutmu nggak apa-apa, Le?" suara Bu Rika berubah menjadi pelan. Tangan kanannya mengusap bahu kiri Ryan dengan perlahan.
"Organ perutnya geser, Bu. Tulang belakangnya sedikit retak," Dika menjawab dengan pelan, kemudian memberikan hasil ronsen dan CT Scan kepada ibu Ryan.
Dika pamit. Ryan mengajak ibunya masuk ke kamar untuk beristirahat.
"Ibu balik Kediri besok saja, ya?" ujar Ryan. Dibalik ketegasannya dalam memimpin BEM Kampus Nusantara, Ryan sebenarnya adalah sosok yang sangat lembut.
"Ya nggak bisa, Le. Ibu besok ngajar. Ini tadi ibu sudah izin," jawab Bu Rika seraya mengelus rambut Ryan yang tiduran di pangkuan ibunya.
"Bu, Ryan dapat beasiswa S2 dari rektor. Setelah lulus, Ryan langsung lanjut S2 ya, Bu," ucap Ryan.
"Setelah S2 menikah ya!" tutur ibunya.
Ryan kaget. "Kok nikah, Bu?"
"Ibu pengen segera nimang cucu, Le. Temen-temen ibu sudah punya cucu semua."
Ryan tertawa kecil.
"Sudah punya pacar di sini?" tanya ibu setengah menggoda.
"Baru mau pendekatan, Bu. Doakan ya, hehe," Ryan terkekeh pelan.
"Wajib dikenalin ke ibu!" perintah bu Rika kemudian tertawa.
Ruangan rapat BEM Universitas Nusantara terasa lebih panas dari biasanya, meskipun kipas angin besar di sudut ruangan terus berputar. Meja oval yang menjadi pusat diskusi penuh dengan laptop, buku catatan, dan secangkir kopi yang hampir kosong.Di ujung meja, Ryan Ramadhani, Presiden Mahasiswa, duduk dengan tatapan serius, mencermati laporan yang baru saja dibacakan oleh sekretarisnya.“Baik, teman-teman,” suara Ryan memecah keheningan, tegas namun tetap hangat.“Hari ini kita bahas hasil dari konferensi aspirasi mahasiswa minggu lalu. Banyak sekali curhatan yang masuk. Sekarang, kita perlu memilah mana yang bisa kita tindak lanjuti segera, dan mana yang memerlukan strategi lebih besar.”Korupsi, kolusi, dan nepotisme di Universitas Nusantara telah menjadi rahasia umum yang menyesakkan dada, namun tidak ada seorang pun yang berani melawannya. Dalam lingkaran kekuasaan kampus, praktik ini seolah menjadi bagian dari budaya yang tak t
"Nanti salam buat Ryan, ya, Han, hihi," celoteh Lia sembari membereskan buku-buku di tasnya, memastikan tidak ada yang tertinggal."Aku nggak kenal gimana mau nyalamin," Hana terpaksa berbohong. Ia tahu betul karakter Lia. Hana tidak mungkin cerita yang sebenarnya tentang kejadian di klinik kampus dua hari yang lalu."Aku berangkat dulu, ya,bye!"Hana melangkahkan kaki keluar dari gerbang kosnya. Hari ini ia akan menghadiri Seminar Nasional UMKM yang diadakan di Gedung Soekarno, gedung yang biasanya dipakai untuk acara-acara seminar. Jarak dari kos menuju gedung Soekarno sekitar satu kilometer. Namun, Hana sudah biasa jalan kaki ke kampus.Di depan gerbang Gedung Soekarno, Alvin menghentikan motornya tepat di samping Hana."Hai, Han!" Alvin tersenyum ke arah Hana. Hana hanya melirik sekilas dan tetap menghentikan langkahnya."Han, jangan cuek-cuek, dong. Nanti cantiknya luntur, lho!" goda Alvin."Vin, kamu keterlaluan b
Sejak pertemuan di gazebo, Ryan semakin penasaran tentang Hana. Ia sering mendapati pikirannya melayang, memikirkan senyuman dan sikap lembut Hana. Dalam beberapa kesempatan, Ryan mencoba mencari tahu lebih banyak tentang Hana.Ia bertanya secara tidak langsung kepada teman-teman BEM yang berasal dari FKIP PGSD, satu prodi dengan Hana. Namun, jawaban yang ia dapatkan terbatas, hanya sebatas informasi bahwa Hana adalah sosok yang suka baca dan sering mengunjungi perpustakaan fakultas.Ryan bahkan mencoba mencari tahu melalui akun media sosialnya, tetapi Hana jarang sekali memposting apa pun. Meskipun begitu, usaha Ryan tak pernah surut. Baginya, semakin sulit mencari tahu, semakin kuat keinginannya untuk mengenal Hana lebih dekat."Apa aku harus menemui Hana di FKIP?" batinnya perlahan.Ryan memutar otak. Setelah ditinggal Icha ke Jerman, baru kali ini Ryan merasakan degupan yang tak beraturan ketika berhadapan dengan perempuan. Di kampus Nusantara, banyak perempuan yang mengidolakanny
Sudah beberapa hari berlalu sejak pertandingan persahabatan bela diri antar fakultas, namun rasa sakit di perut Ryan belum juga hilang. Pertandingan itu berlangsung sengit, terutama ketika Ryan harus berhadapan dengan Alvin, seorang mahasiswa dari Fakultas Hukum yang mengajaknya duel di pertandingan persahabatan. Meski merasakan sakit di perutnya, Ryan masih bisa beraktivitas seperti biasanya. Namun, seperti yang dikatakan dokter Surya, ia tidak boleh terlalu memforsir diri. Jabatan sebuaha ketua BEM memaksanya untuk tetap mengikuti beberapa kegiatan yang sudah dijadwalkan. Seperti halnya kemarin, ia harus menjadi pembicara dalam seminar nasional UMKM yang diadakan pihak kampus.Siang ini, ia tak ada jadwal kuliah. Di kamar kosnya, Ryan terbaring lemas di atas kasur. Perutnya terasa perih setiap kali ia mencoba bangun. Ia sudah mencoba mengompres dengan air hangat dan meminum obat, tetapi tak ada yang meredakan rasa sakitnya. Padahal, ketika ia beraktivitas, sakitnya tidak terlalu te
Ruangan bascamp terasa seperti medan perang, bukan lagi tempat diskusi. Tuduhan demi tuduhan mulai dilemparkan oleh anggota kabinet, masing-masing berusaha membela diri. Ryan, yang duduk di ujung meja sebagai Ketua BEM, hanya bisa bersandar lemah. Perutnya masih terasa nyeri luar biasa setelah terapi di rumah Mbah Joko, sehingga ia sulit bergerak. Ia berbicara pelan, hampir berbisik, agar tidak memicu rasa sakit di tubuhnya."Kita... nggak bisa... saling tuduh tanpa bukti," ucap Ryan dengan suara pelan namun tegas, mencoba meredakan situasi. Meski sulit, ia tahu bahwa tanggung jawab sebagai ketua tak memungkinkannya untuk diam.Arya, ketua divisi humas, menggebrak meja. "Kita tidak mungkin melanjutkan acara tanpa sponsor utama! Dan kalau benar ada orang dalam yang membocorkan informasi ini, dia sudah menghancurkan kerja keras kita semua!""Jangan asal tuduh, Arya!" balas Yuni, ketua divisi logistik. "Bisa saja ini ulah pihak luar yang ingin menjatuhkan kita. Kam
Ryan masih memegangi perutnya dengan napas tersengal. Tubuhnya gemetar, baik karena rasa sakit maupun kekhawatiran. Sambil membantu Ryan berdiri, Dika mengedarkan pandangan ke sekitar bascamp, memastikan tak ada lagi orang yang mencurigakan."Kamu yakin aman?" tanya Dika, suaranya terdengar tegang.Ryan mengangguk lemah. "Aman... cuma perut ini sakit banget."Dika membantu Ryan duduk di kursi terdekat, lalu menatap pintu yang masih terbuka lebar. "Kita harus cari tahu siapa mereka. Ini nggak bisa dianggap enteng."Ryan mencoba berpikir di tengah rasa nyeri yang masih menusuk. Tiga orang tak dikenal masuk ke bascamp dan menyerangnya tanpa alasan jelas. Apakah mereka terkait dengan proposal palsu? Atau ini adalah ancaman langsung untuknya sebagai Ketua BEM?"Aku rasa mereka ada hubungannya dengan masalah sponsor tadi," ujar Ryan dengan pelan. "Mereka tahu sesuatu."Dika menghela napas panjang. "Aku setuju, tapi ini terlalu bahaya, Ryan. Kalau
Matahari pagi mulai merangkak naik, mengusir sisa-sisa embun yang menempel di dedaunan kampus Universitas Nusantara. Di tengah hiruk pikuk mahasiswa yang berlalu-lalang, Ryan Ramadhani berjalan cepat menuju aula diskusi, wajahnya serius, membawa setumpuk dokumen di tangannya. Bagi sebagian orang, Ryan adalah pahlawan. Presiden Mahasiswa yang karismatik, pintar, dan selalu tahu cara menghadapi setiap persoalan. Namun, bagi dirinya sendiri, hidup adalah perjuangan tanpa akhir.Lahir di keluarga sederhana, Ryan sudah terbiasa dengan kerasnya hidup. Ayahnya sudah meninggal sejak ia masih SD. Ibunya guru PNS sekolah dasar yang gajinya hanya cukup untuk bertahan hidup. Dia tumbuh dengan kesadaran bahwa pendidikan adalah satu-satunya jalan keluar. Ketekunan membawa Ryan ke Universitas Nusantara sebagai penerima beasiswa penuh. Namun, meski telah berada di sini, perjuangannya tidak berhenti.Ia juga bekerja separuh waktu sebagai asisten dosen Teknik Sipil, jurusannya, dan biasanya diikutserta
(Flashback)Aula utama Universitas Nusantara dipadati mahasiswa. Mereka datang bukan hanya untuk menyaksikan orasi ketiga kandidat, tetapi juga untuk melihat siapa yang paling layak memimpin mereka. Di panggung utama, Alvin, Rahmi, dan Ryan berdiri sejajar, mengenakan pakaian rapi, dengan ekspresi yang mencerminkan keyakinan masing-masing.Alvin adalah yang pertama melangkah maju. Dengan postur tinggi dan suara yang lantang, dia membawa energi yang memukau. “Mahasiswa Universitas Nusantara!” serunya, membuat hadirin langsung diam memperhatikan. “Kita adalah generasi penerus bangsa! Dengan inovasi dan keberanian, kita bisa menciptakan kampus yang modern dan progresif. Saya berjanji akan membawa teknologi ke setiap sudut kampus kita!”Pidatonya dipenuhi dengan visi tentang digitalisasi dan modernisasi kampus. Alvin jelas mengincar mahasiswa dari jurusan teknik dan informatika yang menjadi basis pendukung utamanya. Namun, meski energik, orasinya terasa seperti janji kosong bagi sebagian
Ryan masih memegangi perutnya dengan napas tersengal. Tubuhnya gemetar, baik karena rasa sakit maupun kekhawatiran. Sambil membantu Ryan berdiri, Dika mengedarkan pandangan ke sekitar bascamp, memastikan tak ada lagi orang yang mencurigakan."Kamu yakin aman?" tanya Dika, suaranya terdengar tegang.Ryan mengangguk lemah. "Aman... cuma perut ini sakit banget."Dika membantu Ryan duduk di kursi terdekat, lalu menatap pintu yang masih terbuka lebar. "Kita harus cari tahu siapa mereka. Ini nggak bisa dianggap enteng."Ryan mencoba berpikir di tengah rasa nyeri yang masih menusuk. Tiga orang tak dikenal masuk ke bascamp dan menyerangnya tanpa alasan jelas. Apakah mereka terkait dengan proposal palsu? Atau ini adalah ancaman langsung untuknya sebagai Ketua BEM?"Aku rasa mereka ada hubungannya dengan masalah sponsor tadi," ujar Ryan dengan pelan. "Mereka tahu sesuatu."Dika menghela napas panjang. "Aku setuju, tapi ini terlalu bahaya, Ryan. Kalau
Ruangan bascamp terasa seperti medan perang, bukan lagi tempat diskusi. Tuduhan demi tuduhan mulai dilemparkan oleh anggota kabinet, masing-masing berusaha membela diri. Ryan, yang duduk di ujung meja sebagai Ketua BEM, hanya bisa bersandar lemah. Perutnya masih terasa nyeri luar biasa setelah terapi di rumah Mbah Joko, sehingga ia sulit bergerak. Ia berbicara pelan, hampir berbisik, agar tidak memicu rasa sakit di tubuhnya."Kita... nggak bisa... saling tuduh tanpa bukti," ucap Ryan dengan suara pelan namun tegas, mencoba meredakan situasi. Meski sulit, ia tahu bahwa tanggung jawab sebagai ketua tak memungkinkannya untuk diam.Arya, ketua divisi humas, menggebrak meja. "Kita tidak mungkin melanjutkan acara tanpa sponsor utama! Dan kalau benar ada orang dalam yang membocorkan informasi ini, dia sudah menghancurkan kerja keras kita semua!""Jangan asal tuduh, Arya!" balas Yuni, ketua divisi logistik. "Bisa saja ini ulah pihak luar yang ingin menjatuhkan kita. Kam
Sudah beberapa hari berlalu sejak pertandingan persahabatan bela diri antar fakultas, namun rasa sakit di perut Ryan belum juga hilang. Pertandingan itu berlangsung sengit, terutama ketika Ryan harus berhadapan dengan Alvin, seorang mahasiswa dari Fakultas Hukum yang mengajaknya duel di pertandingan persahabatan. Meski merasakan sakit di perutnya, Ryan masih bisa beraktivitas seperti biasanya. Namun, seperti yang dikatakan dokter Surya, ia tidak boleh terlalu memforsir diri. Jabatan sebuaha ketua BEM memaksanya untuk tetap mengikuti beberapa kegiatan yang sudah dijadwalkan. Seperti halnya kemarin, ia harus menjadi pembicara dalam seminar nasional UMKM yang diadakan pihak kampus.Siang ini, ia tak ada jadwal kuliah. Di kamar kosnya, Ryan terbaring lemas di atas kasur. Perutnya terasa perih setiap kali ia mencoba bangun. Ia sudah mencoba mengompres dengan air hangat dan meminum obat, tetapi tak ada yang meredakan rasa sakitnya. Padahal, ketika ia beraktivitas, sakitnya tidak terlalu te
Sejak pertemuan di gazebo, Ryan semakin penasaran tentang Hana. Ia sering mendapati pikirannya melayang, memikirkan senyuman dan sikap lembut Hana. Dalam beberapa kesempatan, Ryan mencoba mencari tahu lebih banyak tentang Hana.Ia bertanya secara tidak langsung kepada teman-teman BEM yang berasal dari FKIP PGSD, satu prodi dengan Hana. Namun, jawaban yang ia dapatkan terbatas, hanya sebatas informasi bahwa Hana adalah sosok yang suka baca dan sering mengunjungi perpustakaan fakultas.Ryan bahkan mencoba mencari tahu melalui akun media sosialnya, tetapi Hana jarang sekali memposting apa pun. Meskipun begitu, usaha Ryan tak pernah surut. Baginya, semakin sulit mencari tahu, semakin kuat keinginannya untuk mengenal Hana lebih dekat."Apa aku harus menemui Hana di FKIP?" batinnya perlahan.Ryan memutar otak. Setelah ditinggal Icha ke Jerman, baru kali ini Ryan merasakan degupan yang tak beraturan ketika berhadapan dengan perempuan. Di kampus Nusantara, banyak perempuan yang mengidolakanny
"Nanti salam buat Ryan, ya, Han, hihi," celoteh Lia sembari membereskan buku-buku di tasnya, memastikan tidak ada yang tertinggal."Aku nggak kenal gimana mau nyalamin," Hana terpaksa berbohong. Ia tahu betul karakter Lia. Hana tidak mungkin cerita yang sebenarnya tentang kejadian di klinik kampus dua hari yang lalu."Aku berangkat dulu, ya,bye!"Hana melangkahkan kaki keluar dari gerbang kosnya. Hari ini ia akan menghadiri Seminar Nasional UMKM yang diadakan di Gedung Soekarno, gedung yang biasanya dipakai untuk acara-acara seminar. Jarak dari kos menuju gedung Soekarno sekitar satu kilometer. Namun, Hana sudah biasa jalan kaki ke kampus.Di depan gerbang Gedung Soekarno, Alvin menghentikan motornya tepat di samping Hana."Hai, Han!" Alvin tersenyum ke arah Hana. Hana hanya melirik sekilas dan tetap menghentikan langkahnya."Han, jangan cuek-cuek, dong. Nanti cantiknya luntur, lho!" goda Alvin."Vin, kamu keterlaluan b
Ruangan rapat BEM Universitas Nusantara terasa lebih panas dari biasanya, meskipun kipas angin besar di sudut ruangan terus berputar. Meja oval yang menjadi pusat diskusi penuh dengan laptop, buku catatan, dan secangkir kopi yang hampir kosong.Di ujung meja, Ryan Ramadhani, Presiden Mahasiswa, duduk dengan tatapan serius, mencermati laporan yang baru saja dibacakan oleh sekretarisnya.“Baik, teman-teman,” suara Ryan memecah keheningan, tegas namun tetap hangat.“Hari ini kita bahas hasil dari konferensi aspirasi mahasiswa minggu lalu. Banyak sekali curhatan yang masuk. Sekarang, kita perlu memilah mana yang bisa kita tindak lanjuti segera, dan mana yang memerlukan strategi lebih besar.”Korupsi, kolusi, dan nepotisme di Universitas Nusantara telah menjadi rahasia umum yang menyesakkan dada, namun tidak ada seorang pun yang berani melawannya. Dalam lingkaran kekuasaan kampus, praktik ini seolah menjadi bagian dari budaya yang tak t
Ryan terbangun di keheningan subuh, disambut oleh rasa sakit yang tajam di punggung dan perutnya. Sisa-sisa serangan brutal dari Alvin semalam terasa seperti beban yang menekan tubuhnya.Setiap gerakan kecil membuat otot-ototnya menjerit, tapi ia memaksa diri untuk bangkit dari ranjang. Dengan napas berat, Ryan berwudhu perlahan, berpegangan pada dinding kamar mandi untuk menjaga keseimbangan.Saat berdiri menghadap sajadah, ia merasakan nyeri menjalar di punggung, membuat tubuhnya sedikit membungkuk. Ia menunaikan sholat subuh dengan hati-hati, gerakan rukuk dan sujud terasa seperti tantangan berat. Namun, ia tetap khusyuk, memohon kekuatan dan kesembuhan.Setelah selesai, Ryan kembali ke ranjang. Tubuhnya terasa lemah dan keringat dingin membasahi pelipisnya. Ia berbaring, mencoba mencari posisi yang tidak menyakitkan, lalu perlahan-lahan terlelap lagi, membiarkan kelelahan dan rasa sakit membawanya ke dalam tidur yang gelisah.Dika memarkir motornya di depan kos Ryan. Ketika akan m
Suasana kampus terasa tenang dengan semilir angin yang berhembus lembut di antara pepohonan rindang. Setelah menyelesaikan mata kuliah, Hana dan Lia memutuskan untuk duduk santai di gazebo yang terletak di taman tengah kampus. Gazebo itu dikelilingi bunga-bunga bermekaran yang menambah kesan segar.Hana menyandarkan punggungnya dengan santai sambil menyeruput minuman dingin dari botol, sementara Lia membuka buku catatan, sesekali tertawa kecil saat mereka berbincang ringan tentang materi kuliah yang baru saja selesai.Suara burung berkicau dan gemericik air dari kolam kecil di dekat gazebo menambah kedamaian sore itu, menciptakan momen santai yang penuh kebersamaan di sela rutinitas perkuliahan."Hadeh, sebel banget bisa-bisanya dititipin ke aku. Kemana coba aku harus nyari si presma itu?" Key datang dengan terengah-engah, meletakkan map besar di meja gazebo tempat Hana dan Lia tengah santai menunggu jam kuliah selanjutnya.
Sejak menjadi Presiden Mahasiswa (Presma), Ryan Ramadhani tak pernah benar-benar memiliki waktu untuk dirinya sendiri. Agenda rapat, audiensi dengan pihak kampus, hingga diskusi bersama mahasiswa hampir memenuhi setiap harinya. Namun, Ryan tidak pernah mengeluh. Ia tahu, tanggung jawab besar menuntut pengorbanan.Hari itu, Ryan baru saja selesai memimpin diskusi tentang transparansi anggaran organisasi mahasiswa ketika seorang mahasiswa berbadan kekar menghampirinya di lobi gedung BEM.“Mas Ryan!” panggil mahasiswa itu dengan suara lantang.Ryan menoleh dan tersenyum. “Vino, ya? Ada apa?”Vino, adik tingkat dari Fakultas Teknik yang tergabung dalam Kombimatik (Komunitas Bela Diri Anak Teknik), menggaruk kepalanya dengan canggung. “Mas, saya mau ngajak Mas Ryan ke bascam Kombimatik. Anak-anak mau kenalan sama Mas, sekalian ada hal penting yang perlu dibicarakan.”Ryan mengernyitkan dahi. “Kayaknya habis ini aku ada jam kuliah, Vin. Satu setengah jam lagi, sih.”“Cuma sebentar, Mas. Ini