Sejak pertemuan di gazebo, Ryan semakin penasaran tentang Hana. Ia sering mendapati pikirannya melayang, memikirkan senyuman dan sikap lembut Hana. Dalam beberapa kesempatan, Ryan mencoba mencari tahu lebih banyak tentang Hana.
Ia bertanya secara tidak langsung kepada teman-teman BEM yang berasal dari FKIP PGSD, satu prodi dengan Hana. Namun, jawaban yang ia dapatkan terbatas, hanya sebatas informasi bahwa Hana adalah sosok yang suka baca dan sering mengunjungi perpustakaan fakultas. Ryan bahkan mencoba mencari tahu melalui akun media sosialnya, tetapi Hana jarang sekali memposting apa pun. Meskipun begitu, usaha Ryan tak pernah surut. Baginya, semakin sulit mencari tahu, semakin kuat keinginannya untuk mengenal Hana lebih dekat. "Apa aku harus menemui Hana di FKIP?" batinnya perlahan. Ryan memutar otak. Setelah ditinggal Icha ke Jerman, baru kali ini Ryan merasakan degupan yang tak beraturan ketika berhadapan dengan perempuan. Di kampus Nusantara, banyak perempuan yang mengidolakannya. Namun, degupan di hatinya muncul ketika ia bersama sosok mahasiswi berkacamata itu. Dering ponsel Ryan berbunyi. Ia merogoh ponsel di saku celana. "Halo. Iya. Siap, Pak," ujar Ryan kemudian mematikan telepon. Pucuk dicita ulam tiba. Tadinya, Ryan enggan menemui Hana di FKIP tanpa alasan tertentu. Ia adalah ketua BEM yang secara tidak langsung harus menjaga nama baiknya. Ryan tersenyum. Ia melangkahkan kaki menuju FKIP. Profesor Bambang, salah satu dosen yang mengajaknya untuk mengurus sebuah proyek, meminta untuk menemuinya di FKIP. Beberapa saat kemudian, ia sampai di fakultas paling pojok di kampus, fakultas yang paling luas karena terdapat lebih dari sepuluh program studi. Ryan memarkir motornya. Ia melangkah menuju ruang dekan, ruang Prof Bambang Sunarto yang menjabat sebagai dekat FKIP. "Yan, tumben sambang FKIP," sapa Willy, ketua HMJ FKIP. "Mau ke Prof. Bambang, Wil," jawab Ryan tersenyum, menyalami Willy. Keduanya sering bertemu ketika rapat BEM. "Udah sembuh? Perutmu nggak papa?" tanya Willy. "Masih agak sakit, sih. Tapi, nggak terlalu jadi masalah." "Hati-hati kalo sama Alvin. Bapaknya petinggi di kampus. Alvin punya dendam apa sih sama kamu? Kok sampe segitunya?" Willy menatap Ryan penasaran. Ryan hanya mengangkat bahu, pertanda tidak mengerti. "Ya udah, aku ke atas dulu, ya," ujar Ryan. "Oke. Hati-hati, Yan. Banyak anggota FBR di sini," lugas Willy. "FBR?" Ryan mengerutkan dahi. "Fans Berat Ryan. Hahaha," Willy tertawa, kemudian pergi. Ryan tersenyum kecil, sembari menggelengkan kepala. Di depan ruang kelas A, Lia menatap sosok lelaki yang menjadi idamannya. Mata Lia berbinar. Ia menatap presiden mahasiswa yang berpostur tinggi kurus dan berkharismatik, menurut Lia. "Han, lihat siapa itu!!!" Refleks, Hana menoleh. Ia terkejut ketika tahu yang ia lihat adalah Ryan. Hana mencari cara agar Ryan tidak melihatnya. "Li, aku lupa. Bukuku ketinggalan di perpus. Aku ambil dulu, ya!" Hana langsung melangkah pergi. Dari jauh, Ryan melihat Hana berlari ke gedung belakang FKIP. "Lho, Han!" Lia teriak.Lia merapikan jilbabnya. Senyumnya merekah, pipinya memerah. Ia merupakan salah satu dari FBR, Fans Betat Ryan, di kampus Nusantara.
"Ryan, ada apa ke sini?" Lia mencoba menyapa. Siapa pun tidak akan kecewa jika sekadar menyapa Sang Presma karena memang Ryan memiliki watak yanh humble kepada siapa pun.
"Mau ketemu Prof. Bambang," jawab Ryan.
"Kamu masih ingat aku nggak?" tanya Lia, tetap dengan senyumnya.
Ryan mengingat-ingat. Matanya menyipit, masih berusaha mengingat perempuan yang ada di depannya itu. Banyak mahasiswi yang berinteraksi dengannya sehingga ia tidak bisa mengingat satu per satu.
"Hehe. Maaf, aku lupa," Ryan terkekeh pelan.
"Aku Lia. Yang waktu itu ngasih surat undangan dari rektorat, usai pertandingan persahabatan di hukum," Lia memperkenalkan diri.
"Oh. Iya." Ryan menerima jabat tangan dari Lia.
"Kamu yang ... "
"Ryan!"
Belum usai kalimat yang akan dilontarkan kepada Lia, Prof. Bambang memanggilnya dari depan ruang dekan. Refleks, Ryan menoleh.
"Aku kenapa, Yan?" Lia ingin memperjelas ucapan Ryan yang terpotong.
"Udah dipanggil Prof. Aku ke sana dulu, ya," ucap Ryan dan langsung melangkah menuju ruang dekan, meninggalkan Lia yang kembali tersenyum ketika melihat punggung Ryan.
Di ruang depan ruang dekan, Prof. Bambang menyambut Ryan dengan senyum hangat. "Ryan, akhirnya datang juga. Gimana kabar kamu? Udah sehat?" tanya Prof. Bambang sembari menjabat tangan Ryan.
"Alhamdulillah, Pak. Masih agak nyeri, tapi nggak terlalu mengganggu," jawab Ryan sopan.
Keduanya masuk ke ruang dekan, kemudian membahas proyek di Sidoarjo yang melibatkan mahasiswa dari berbagai fakultas. Ryan diminta menjadi koordinator tim untuk merancang pusat pelatihan di sana.
"Saya percaya kamu bisa handle proyek ini dengan baik, Ryan. Tapi jangan lupa, jaga kesehatan. Jangan terlalu diforsir," pesan Prof. Bambang.
Ryan mengangguk dengan penuh semangat. "Siap, Pak. Terima kasih atas kepercayaannya."
Setelah berdiskusi cukup lama, Ryan berpamitan. Meskipun proyek ini menambah daftar kesibukannya, Ryan merasa bersemangat. Namun, pikirannya kembali pada Hana.
Ia ingin sekali bertemu gadis itu lagi sebelum meninggalkan FKIP. Namun, dari tadi ia belum melihatnya. Ketika ingin bertanya kepada Lia, Prof. Bambang memanggilnya.
Sementara itu, Hana mendekam di sudut perpustakaan. Buku di tangannya hanya menjadi pengalih perhatian dari kegelisahan yang melanda. Ia sadar, Ryan mungkin masih berada di FKIP, dan ia tak ingin bertemu dengannya. Pikiran tentang Alvin dan Lia membuatnya semakin ragu untuk mendekatkan diri pada Ryan.
Setelah merasa cukup lama menghabiskan waktu di perpustakaan, Hana memutuskan untuk pulang. Ia melangkah keluar dengan hati-hati, memastikan bahwa Ryan tidak berada di sekitar.
Di parkiran, Ryan sedang memeriksa ponselnya sambil bersandar di motornya. Ia menoleh saat mendengar langkah kaki mendekat. Sosok Hana yang dikenalnya muncul di depannya.
"Hana!" panggil Ryan dengan nada ceria.
Hana terhenti. Ia berusaha tetap tenang meskipun hatinya berdegup kencang.
"Mas Ryan? Kok masih di sini?" tanyanya pelan.
"Baru selesai diskusi sama Prof. Bambang," jawab Ryan santai. "Kamu mau pulang?"
Hana mengangguk. "Iya, Mas. Kos aku dekat, cuma jalan kaki sebentar."
Ryan menatap buku-buku yang dibawa Hana. "Biar aku antar aja. Berat itu bawa buku sambil jalan kaki."
Hana buru-buru menggeleng. "Nggak usah, Mas. Aku biasa bawa buku begini kok. Lagian kosnya benar-benar deket."
Ryan tersenyum, tak menyerah. "Kalau nggak mau diantar, aku temenin jalan. Kan nggak ada salahnya ngobrol sambil olahraga."
Hana ragu sejenak, tapi akhirnya menyerah pada bujukan Ryan. "Ya sudah, Mas, kalau mau jalan bareng."
Ryan tersenyum puas. Ia berjalan di samping Hana, berusaha menjaga suasana tetap nyaman.
Di sepanjang perjalanan, mereka bercakap-cakap ringan. Ryan mencoba menggali lebih banyak tentang Hana tanpa terlihat terlalu ingin tahu.
"Kamu sering ke perpustakaan, ya?" tanya Ryan.
Hana mengangguk. "Iya, aku suka baca."
Ryan tersenyum. "Kamu biasanya baca buku apa?"
Hana terlihat sedikit bingung dengan pertanyaan itu, tapi ia menjawab dengan jujur. "Aku suka buku tentang pendidikan sama novel. Kadang juga baca buku motivasi."
"Bagus itu. Kapan-kapan aku boleh minta rekomendasi buku dari kamu, ya?" Ryan berkata dengan nada santai, tapi matanya memancarkan ketulusan.
Hana tersenyum kecil. "Boleh, Mas. Mas Ryan suka baca juga?"
"Lumayan. Cuma, buku di perpus teknik nggak terlalu lengkap. Kebanyakan buku praktikum," Ryan menatap Hana dan masih tersenyum.
Hana membalas senyum Ryan. "Mas coba ke perpus pusat, deh. Di sana lengkap banget bukunya. Semua bidang ada."
"Oh ya?" Ryan menjawab tenang. "Kapan-kapan, bisa temani aku ke perpus pusat?" Ryan tak menyerah berusaha untuk bertemu Hana kembali suatu saat.
Hana tersenyum sembari menunduk. "Boleh."
Percakapan mereka mengalir begitu saja. Ryan merasa semakin tertarik pada kepribadian Hana yang sederhana dan cerdas. Sementara itu, Hana mulai merasa lebih nyaman dengan kehadiran Ryan.
Setelah beberapa menit berjalan, mereka sampai di depan kos Hana. Ryan berhenti, tersenyum ramah.
"Udah sampai. Makasih udah mau ditemenin jalan," ucap Ryan.
"Harusnya aku yang bilang makasih. Mas Ryan udah repot-repot nemenin," jawab Hana sambil tersenyum, mengambil alih tiga buku yang dibawakan Ryan.
Ryan mengangguk. "Hana, beneran nih aku nggak boleh minta nomor kamu?"
Hana diam sejenak. Sebenarnya ingin sekali memberikan nomornya kepada Ryan. Beberapa menit jalan berdua, Hana sudah merasakan kenyamanan ketika berada di dekat Ryan. Namun, bayangan Lia dan Alvin masih jadi penghalang. Hana tidak mau persahabatannya dengan Lia hancur dan Hana tidak ingin jika Alvin menyerang Ryan jika nanti ia dekat dengan Ryan.
"Kalo takdir, pasti kita dipertemukan lagi. Oh iya. Ini hutangku, Mas. Harus diterima karena hutang itu harus dibayar," Hana memberikan uang dua ratus ribu kepada Ryan.
"Aku nggak punya kembalian. Gimana kalau besok kembaliannya aku antar ke kosmu?" Ryan tetap belum menyerah.
"Nggak usah, Mas. Kembaliannya buat mas aja. Atau kalau mas nggak mau, mas bisa kasihkan pada ke membutuhkan. Sekali lagi, makasih ya, Mas. Assalamualaikum."
Hana tersenyum sejenak ke arah Ryan, kemudian membuka pintu gerbang dan masuk ke kosnya. Ryan masih berdiri, diam terpaku. Memandang ke arah Hana hingga perempuan itu masuk ke kosnya.
"Itu tadi siapa, Han? Dika, ya?" todong Lia. Sontak, Hana terkejut karena lia mengagetkannya dari balik pintu.
"Astaghfirullah. Ngagetin aja!" ketus Hana dengan nada tinggi, benar-benar terkejut.
"Hehehe, maaf," lia terkekeh.
Jantung Hana berdebar. Selain karena kaget, Hana bernapas lega. Hampir saja Lia melihatnya dengan Ryan di depan kosnya. Sepertinya Lia tak sempat melihat, karena Lia menganggap lelaki yang bersamanya adalah Dika.
"Sama Dika?" Lia tak menyerah.
"Bukan," jawab Hana singkat.
"Alvin?" Lia menatap tajam ke arah Hana.
"Ngawur!" Hana melotot ke arah Lia yang tengah tertawa.
Tak memperdulikan sahabatnya, Hana langsung naik ke lantai dua dan masuk kamarnya. Ia kunci pintu kamarnya, kemudian duduk di tepi ranjang. Hana mengelus dada. Untung saja Lia tak menyadari bahwa lelaki yang mengantarnya pulang tadi adalah Ryan.
Sudah beberapa hari berlalu sejak pertandingan persahabatan bela diri antar fakultas, namun rasa sakit di perut Ryan belum juga hilang. Pertandingan itu berlangsung sengit, terutama ketika Ryan harus berhadapan dengan Alvin, seorang mahasiswa dari Fakultas Hukum yang mengajaknya duel di pertandingan persahabatan. Meski merasakan sakit di perutnya, Ryan masih bisa beraktivitas seperti biasanya. Namun, seperti yang dikatakan dokter Surya, ia tidak boleh terlalu memforsir diri. Jabatan sebuaha ketua BEM memaksanya untuk tetap mengikuti beberapa kegiatan yang sudah dijadwalkan. Seperti halnya kemarin, ia harus menjadi pembicara dalam seminar nasional UMKM yang diadakan pihak kampus.Siang ini, ia tak ada jadwal kuliah. Di kamar kosnya, Ryan terbaring lemas di atas kasur. Perutnya terasa perih setiap kali ia mencoba bangun. Ia sudah mencoba mengompres dengan air hangat dan meminum obat, tetapi tak ada yang meredakan rasa sakitnya. Padahal, ketika ia beraktivitas, sakitnya tidak terlalu te
Ruangan bascamp terasa seperti medan perang, bukan lagi tempat diskusi. Tuduhan demi tuduhan mulai dilemparkan oleh anggota kabinet, masing-masing berusaha membela diri. Ryan, yang duduk di ujung meja sebagai Ketua BEM, hanya bisa bersandar lemah. Perutnya masih terasa nyeri luar biasa setelah terapi di rumah Mbah Joko, sehingga ia sulit bergerak. Ia berbicara pelan, hampir berbisik, agar tidak memicu rasa sakit di tubuhnya."Kita... nggak bisa... saling tuduh tanpa bukti," ucap Ryan dengan suara pelan namun tegas, mencoba meredakan situasi. Meski sulit, ia tahu bahwa tanggung jawab sebagai ketua tak memungkinkannya untuk diam.Arya, ketua divisi humas, menggebrak meja. "Kita tidak mungkin melanjutkan acara tanpa sponsor utama! Dan kalau benar ada orang dalam yang membocorkan informasi ini, dia sudah menghancurkan kerja keras kita semua!""Jangan asal tuduh, Arya!" balas Yuni, ketua divisi logistik. "Bisa saja ini ulah pihak luar yang ingin menjatuhkan kita. Kam
Ryan masih memegangi perutnya dengan napas tersengal. Tubuhnya gemetar, baik karena rasa sakit maupun kekhawatiran. Sambil membantu Ryan berdiri, Dika mengedarkan pandangan ke sekitar bascamp, memastikan tak ada lagi orang yang mencurigakan."Kamu yakin aman?" tanya Dika, suaranya terdengar tegang.Ryan mengangguk lemah. "Aman... cuma perut ini sakit banget."Dika membantu Ryan duduk di kursi terdekat, lalu menatap pintu yang masih terbuka lebar. "Kita harus cari tahu siapa mereka. Ini nggak bisa dianggap enteng."Ryan mencoba berpikir di tengah rasa nyeri yang masih menusuk. Tiga orang tak dikenal masuk ke bascamp dan menyerangnya tanpa alasan jelas. Apakah mereka terkait dengan proposal palsu? Atau ini adalah ancaman langsung untuknya sebagai Ketua BEM?"Aku rasa mereka ada hubungannya dengan masalah sponsor tadi," ujar Ryan dengan pelan. "Mereka tahu sesuatu."Dika menghela napas panjang. "Aku setuju, tapi ini terlalu bahaya, Ryan. Kalau
Matahari pagi mulai merangkak naik, mengusir sisa-sisa embun yang menempel di dedaunan kampus Universitas Nusantara. Di tengah hiruk pikuk mahasiswa yang berlalu-lalang, Ryan Ramadhani berjalan cepat menuju aula diskusi, wajahnya serius, membawa setumpuk dokumen di tangannya. Bagi sebagian orang, Ryan adalah pahlawan. Presiden Mahasiswa yang karismatik, pintar, dan selalu tahu cara menghadapi setiap persoalan. Namun, bagi dirinya sendiri, hidup adalah perjuangan tanpa akhir.Lahir di keluarga sederhana, Ryan sudah terbiasa dengan kerasnya hidup. Ayahnya sudah meninggal sejak ia masih SD. Ibunya guru PNS sekolah dasar yang gajinya hanya cukup untuk bertahan hidup. Dia tumbuh dengan kesadaran bahwa pendidikan adalah satu-satunya jalan keluar. Ketekunan membawa Ryan ke Universitas Nusantara sebagai penerima beasiswa penuh. Namun, meski telah berada di sini, perjuangannya tidak berhenti.Ia juga bekerja separuh waktu sebagai asisten dosen Teknik Sipil, jurusannya, dan biasanya diikutserta
(Flashback)Aula utama Universitas Nusantara dipadati mahasiswa. Mereka datang bukan hanya untuk menyaksikan orasi ketiga kandidat, tetapi juga untuk melihat siapa yang paling layak memimpin mereka. Di panggung utama, Alvin, Rahmi, dan Ryan berdiri sejajar, mengenakan pakaian rapi, dengan ekspresi yang mencerminkan keyakinan masing-masing.Alvin adalah yang pertama melangkah maju. Dengan postur tinggi dan suara yang lantang, dia membawa energi yang memukau. “Mahasiswa Universitas Nusantara!” serunya, membuat hadirin langsung diam memperhatikan. “Kita adalah generasi penerus bangsa! Dengan inovasi dan keberanian, kita bisa menciptakan kampus yang modern dan progresif. Saya berjanji akan membawa teknologi ke setiap sudut kampus kita!”Pidatonya dipenuhi dengan visi tentang digitalisasi dan modernisasi kampus. Alvin jelas mengincar mahasiswa dari jurusan teknik dan informatika yang menjadi basis pendukung utamanya. Namun, meski energik, orasinya terasa seperti janji kosong bagi sebagian
Ryan Ramadhani tidak selalu menjadi sosok yang tangguh dan kharismatik seperti sekarang. Di balik senyum yang kerap ia tunjukkan di depan publik, ada luka lama yang masih membekas. Luka yang ia simpan rapat-rapat, terbungkus dalam kesibukan dan ambisi yang ia kejar tanpa henti.Semua berawal di sebuah diskusi terbuka yang diadakan oleh Fakultas Hukum. Ryan, yang saat itu masih semester tiga, ikut serta sebagai perwakilan Fakultas Teknik. Diskusi itu membahas isu hak-hak buruh, sebuah topik yang menarik perhatian Ryan karena ia tumbuh dalam keluarga pekerja keras. Di sana, ia bertemu dengan Alisa Firdaus, atau yang akrab dipanggil Icha, seorang mahasiswi Fakultas Hukum yang cerdas dan penuh semangat.Icha memiliki aura yang sulit diabaikan. Pengetahuannya tentang hukum sangat mendalam, dan cara ia berbicara menunjukkan keberanian serta kepedulian yang tulus terhadap isu-isu sosial. Ryan, yang biasanya hanya fokus pada argumen logis dan data, mendapati dirinya terpukau oleh cara Icha me
Sejak menjadi Presiden Mahasiswa (Presma), Ryan Ramadhani tak pernah benar-benar memiliki waktu untuk dirinya sendiri. Agenda rapat, audiensi dengan pihak kampus, hingga diskusi bersama mahasiswa hampir memenuhi setiap harinya. Namun, Ryan tidak pernah mengeluh. Ia tahu, tanggung jawab besar menuntut pengorbanan.Hari itu, Ryan baru saja selesai memimpin diskusi tentang transparansi anggaran organisasi mahasiswa ketika seorang mahasiswa berbadan kekar menghampirinya di lobi gedung BEM.“Mas Ryan!” panggil mahasiswa itu dengan suara lantang.Ryan menoleh dan tersenyum. “Vino, ya? Ada apa?”Vino, adik tingkat dari Fakultas Teknik yang tergabung dalam Kombimatik (Komunitas Bela Diri Anak Teknik), menggaruk kepalanya dengan canggung. “Mas, saya mau ngajak Mas Ryan ke bascam Kombimatik. Anak-anak mau kenalan sama Mas, sekalian ada hal penting yang perlu dibicarakan.”Ryan mengernyitkan dahi. “Kayaknya habis ini aku ada jam kuliah, Vin. Satu setengah jam lagi, sih.”“Cuma sebentar, Mas. Ini
Suasana kampus terasa tenang dengan semilir angin yang berhembus lembut di antara pepohonan rindang. Setelah menyelesaikan mata kuliah, Hana dan Lia memutuskan untuk duduk santai di gazebo yang terletak di taman tengah kampus. Gazebo itu dikelilingi bunga-bunga bermekaran yang menambah kesan segar.Hana menyandarkan punggungnya dengan santai sambil menyeruput minuman dingin dari botol, sementara Lia membuka buku catatan, sesekali tertawa kecil saat mereka berbincang ringan tentang materi kuliah yang baru saja selesai.Suara burung berkicau dan gemericik air dari kolam kecil di dekat gazebo menambah kedamaian sore itu, menciptakan momen santai yang penuh kebersamaan di sela rutinitas perkuliahan."Hadeh, sebel banget bisa-bisanya dititipin ke aku. Kemana coba aku harus nyari si presma itu?" Key datang dengan terengah-engah, meletakkan map besar di meja gazebo tempat Hana dan Lia tengah santai menunggu jam kuliah selanjutnya.
Ryan masih memegangi perutnya dengan napas tersengal. Tubuhnya gemetar, baik karena rasa sakit maupun kekhawatiran. Sambil membantu Ryan berdiri, Dika mengedarkan pandangan ke sekitar bascamp, memastikan tak ada lagi orang yang mencurigakan."Kamu yakin aman?" tanya Dika, suaranya terdengar tegang.Ryan mengangguk lemah. "Aman... cuma perut ini sakit banget."Dika membantu Ryan duduk di kursi terdekat, lalu menatap pintu yang masih terbuka lebar. "Kita harus cari tahu siapa mereka. Ini nggak bisa dianggap enteng."Ryan mencoba berpikir di tengah rasa nyeri yang masih menusuk. Tiga orang tak dikenal masuk ke bascamp dan menyerangnya tanpa alasan jelas. Apakah mereka terkait dengan proposal palsu? Atau ini adalah ancaman langsung untuknya sebagai Ketua BEM?"Aku rasa mereka ada hubungannya dengan masalah sponsor tadi," ujar Ryan dengan pelan. "Mereka tahu sesuatu."Dika menghela napas panjang. "Aku setuju, tapi ini terlalu bahaya, Ryan. Kalau
Ruangan bascamp terasa seperti medan perang, bukan lagi tempat diskusi. Tuduhan demi tuduhan mulai dilemparkan oleh anggota kabinet, masing-masing berusaha membela diri. Ryan, yang duduk di ujung meja sebagai Ketua BEM, hanya bisa bersandar lemah. Perutnya masih terasa nyeri luar biasa setelah terapi di rumah Mbah Joko, sehingga ia sulit bergerak. Ia berbicara pelan, hampir berbisik, agar tidak memicu rasa sakit di tubuhnya."Kita... nggak bisa... saling tuduh tanpa bukti," ucap Ryan dengan suara pelan namun tegas, mencoba meredakan situasi. Meski sulit, ia tahu bahwa tanggung jawab sebagai ketua tak memungkinkannya untuk diam.Arya, ketua divisi humas, menggebrak meja. "Kita tidak mungkin melanjutkan acara tanpa sponsor utama! Dan kalau benar ada orang dalam yang membocorkan informasi ini, dia sudah menghancurkan kerja keras kita semua!""Jangan asal tuduh, Arya!" balas Yuni, ketua divisi logistik. "Bisa saja ini ulah pihak luar yang ingin menjatuhkan kita. Kam
Sudah beberapa hari berlalu sejak pertandingan persahabatan bela diri antar fakultas, namun rasa sakit di perut Ryan belum juga hilang. Pertandingan itu berlangsung sengit, terutama ketika Ryan harus berhadapan dengan Alvin, seorang mahasiswa dari Fakultas Hukum yang mengajaknya duel di pertandingan persahabatan. Meski merasakan sakit di perutnya, Ryan masih bisa beraktivitas seperti biasanya. Namun, seperti yang dikatakan dokter Surya, ia tidak boleh terlalu memforsir diri. Jabatan sebuaha ketua BEM memaksanya untuk tetap mengikuti beberapa kegiatan yang sudah dijadwalkan. Seperti halnya kemarin, ia harus menjadi pembicara dalam seminar nasional UMKM yang diadakan pihak kampus.Siang ini, ia tak ada jadwal kuliah. Di kamar kosnya, Ryan terbaring lemas di atas kasur. Perutnya terasa perih setiap kali ia mencoba bangun. Ia sudah mencoba mengompres dengan air hangat dan meminum obat, tetapi tak ada yang meredakan rasa sakitnya. Padahal, ketika ia beraktivitas, sakitnya tidak terlalu te
Sejak pertemuan di gazebo, Ryan semakin penasaran tentang Hana. Ia sering mendapati pikirannya melayang, memikirkan senyuman dan sikap lembut Hana. Dalam beberapa kesempatan, Ryan mencoba mencari tahu lebih banyak tentang Hana.Ia bertanya secara tidak langsung kepada teman-teman BEM yang berasal dari FKIP PGSD, satu prodi dengan Hana. Namun, jawaban yang ia dapatkan terbatas, hanya sebatas informasi bahwa Hana adalah sosok yang suka baca dan sering mengunjungi perpustakaan fakultas.Ryan bahkan mencoba mencari tahu melalui akun media sosialnya, tetapi Hana jarang sekali memposting apa pun. Meskipun begitu, usaha Ryan tak pernah surut. Baginya, semakin sulit mencari tahu, semakin kuat keinginannya untuk mengenal Hana lebih dekat."Apa aku harus menemui Hana di FKIP?" batinnya perlahan.Ryan memutar otak. Setelah ditinggal Icha ke Jerman, baru kali ini Ryan merasakan degupan yang tak beraturan ketika berhadapan dengan perempuan. Di kampus Nusantara, banyak perempuan yang mengidolakanny
"Nanti salam buat Ryan, ya, Han, hihi," celoteh Lia sembari membereskan buku-buku di tasnya, memastikan tidak ada yang tertinggal."Aku nggak kenal gimana mau nyalamin," Hana terpaksa berbohong. Ia tahu betul karakter Lia. Hana tidak mungkin cerita yang sebenarnya tentang kejadian di klinik kampus dua hari yang lalu."Aku berangkat dulu, ya,bye!"Hana melangkahkan kaki keluar dari gerbang kosnya. Hari ini ia akan menghadiri Seminar Nasional UMKM yang diadakan di Gedung Soekarno, gedung yang biasanya dipakai untuk acara-acara seminar. Jarak dari kos menuju gedung Soekarno sekitar satu kilometer. Namun, Hana sudah biasa jalan kaki ke kampus.Di depan gerbang Gedung Soekarno, Alvin menghentikan motornya tepat di samping Hana."Hai, Han!" Alvin tersenyum ke arah Hana. Hana hanya melirik sekilas dan tetap menghentikan langkahnya."Han, jangan cuek-cuek, dong. Nanti cantiknya luntur, lho!" goda Alvin."Vin, kamu keterlaluan b
Ruangan rapat BEM Universitas Nusantara terasa lebih panas dari biasanya, meskipun kipas angin besar di sudut ruangan terus berputar. Meja oval yang menjadi pusat diskusi penuh dengan laptop, buku catatan, dan secangkir kopi yang hampir kosong.Di ujung meja, Ryan Ramadhani, Presiden Mahasiswa, duduk dengan tatapan serius, mencermati laporan yang baru saja dibacakan oleh sekretarisnya.“Baik, teman-teman,” suara Ryan memecah keheningan, tegas namun tetap hangat.“Hari ini kita bahas hasil dari konferensi aspirasi mahasiswa minggu lalu. Banyak sekali curhatan yang masuk. Sekarang, kita perlu memilah mana yang bisa kita tindak lanjuti segera, dan mana yang memerlukan strategi lebih besar.”Korupsi, kolusi, dan nepotisme di Universitas Nusantara telah menjadi rahasia umum yang menyesakkan dada, namun tidak ada seorang pun yang berani melawannya. Dalam lingkaran kekuasaan kampus, praktik ini seolah menjadi bagian dari budaya yang tak t
Ryan terbangun di keheningan subuh, disambut oleh rasa sakit yang tajam di punggung dan perutnya. Sisa-sisa serangan brutal dari Alvin semalam terasa seperti beban yang menekan tubuhnya.Setiap gerakan kecil membuat otot-ototnya menjerit, tapi ia memaksa diri untuk bangkit dari ranjang. Dengan napas berat, Ryan berwudhu perlahan, berpegangan pada dinding kamar mandi untuk menjaga keseimbangan.Saat berdiri menghadap sajadah, ia merasakan nyeri menjalar di punggung, membuat tubuhnya sedikit membungkuk. Ia menunaikan sholat subuh dengan hati-hati, gerakan rukuk dan sujud terasa seperti tantangan berat. Namun, ia tetap khusyuk, memohon kekuatan dan kesembuhan.Setelah selesai, Ryan kembali ke ranjang. Tubuhnya terasa lemah dan keringat dingin membasahi pelipisnya. Ia berbaring, mencoba mencari posisi yang tidak menyakitkan, lalu perlahan-lahan terlelap lagi, membiarkan kelelahan dan rasa sakit membawanya ke dalam tidur yang gelisah.Dika memarkir motornya di depan kos Ryan. Ketika akan m
Suasana kampus terasa tenang dengan semilir angin yang berhembus lembut di antara pepohonan rindang. Setelah menyelesaikan mata kuliah, Hana dan Lia memutuskan untuk duduk santai di gazebo yang terletak di taman tengah kampus. Gazebo itu dikelilingi bunga-bunga bermekaran yang menambah kesan segar.Hana menyandarkan punggungnya dengan santai sambil menyeruput minuman dingin dari botol, sementara Lia membuka buku catatan, sesekali tertawa kecil saat mereka berbincang ringan tentang materi kuliah yang baru saja selesai.Suara burung berkicau dan gemericik air dari kolam kecil di dekat gazebo menambah kedamaian sore itu, menciptakan momen santai yang penuh kebersamaan di sela rutinitas perkuliahan."Hadeh, sebel banget bisa-bisanya dititipin ke aku. Kemana coba aku harus nyari si presma itu?" Key datang dengan terengah-engah, meletakkan map besar di meja gazebo tempat Hana dan Lia tengah santai menunggu jam kuliah selanjutnya.
Sejak menjadi Presiden Mahasiswa (Presma), Ryan Ramadhani tak pernah benar-benar memiliki waktu untuk dirinya sendiri. Agenda rapat, audiensi dengan pihak kampus, hingga diskusi bersama mahasiswa hampir memenuhi setiap harinya. Namun, Ryan tidak pernah mengeluh. Ia tahu, tanggung jawab besar menuntut pengorbanan.Hari itu, Ryan baru saja selesai memimpin diskusi tentang transparansi anggaran organisasi mahasiswa ketika seorang mahasiswa berbadan kekar menghampirinya di lobi gedung BEM.“Mas Ryan!” panggil mahasiswa itu dengan suara lantang.Ryan menoleh dan tersenyum. “Vino, ya? Ada apa?”Vino, adik tingkat dari Fakultas Teknik yang tergabung dalam Kombimatik (Komunitas Bela Diri Anak Teknik), menggaruk kepalanya dengan canggung. “Mas, saya mau ngajak Mas Ryan ke bascam Kombimatik. Anak-anak mau kenalan sama Mas, sekalian ada hal penting yang perlu dibicarakan.”Ryan mengernyitkan dahi. “Kayaknya habis ini aku ada jam kuliah, Vin. Satu setengah jam lagi, sih.”“Cuma sebentar, Mas. Ini