BAB 7: Seminar Nasional

"Nanti salam buat Ryan, ya, Han, hihi," celoteh Lia sembari membereskan buku-buku di tasnya, memastikan tidak ada yang tertinggal.

"Aku nggak kenal gimana mau nyalamin," Hana terpaksa berbohong. Ia tahu betul karakter Lia. Hana tidak mungkin cerita yang sebenarnya tentang kejadian di klinik kampus dua hari yang lalu.

"Aku berangkat dulu, ya, bye!"

Hana melangkahkan kaki keluar dari gerbang kosnya. Hari ini ia akan menghadiri Seminar Nasional UMKM yang diadakan di Gedung Soekarno, gedung yang biasanya dipakai untuk acara-acara seminar. Jarak dari kos menuju gedung Soekarno sekitar satu kilometer. Namun, Hana sudah biasa jalan kaki ke kampus.

Di depan gerbang Gedung Soekarno, Alvin menghentikan motornya tepat di samping Hana.

"Hai, Han!" Alvin tersenyum ke arah Hana. Hana hanya melirik sekilas dan tetap menghentikan langkahnya.

"Han, jangan cuek-cuek, dong. Nanti cantiknya luntur, lho!" goda Alvin.

"Vin, kamu keterlaluan banget sih," ketus Hana.

"Maksudnya?" Alvin tak mengerti.

"Pertandingan persahabatan. Kamu bener-bener keterlaluan. Itu bahaya banget. Gimana kalo organ dalamnya Ryan kenapa-kenapa?" Hana mencercah Alvin dengan nada tinggi.

"Kamu kenapa jadi perhatian sama si presma itu?" Alvin curiga.

Hana menghela napas panjang. "Mau Ryan, mau siapa aja, kalau kamu keterlaluan kayak gitu ya bisa membahayakan!" 

"Oke-oke, aku minta maaf. Aku bener-bener nggak terkendali malam itu," Alvin membela diri.

Hana tak menjawab, masih memasang wajah marah.

"Ryan nggak kenapa-kenapa, kok. Buktinya masih bisa jadi narasumber di seminar itu," Alvin menunjuk gedung Soekarno yang mulai dipadati peserta.

"Terserah, deh."

Hana meninggalkan Alvin di depan gerbang gedung. Ia melangkah cepat menuju tempat presensi. Alvin meludah. Wajahnya memancarkan emosi. Memandang sejenak ke arah gedung dengan tatapan tajam, lalu pergi menjauh dari halaman gedung.

Hana duduk di barisan paling depan aula besar yang penuh dengan mahasiswa dari berbagai jurusan. Semangatnya tampak begitu jelas di wajahnya. Ia datang sendiri karena Lia, sahabatnya, tidak bisa ikut seminar ini.

Lia harus menghadiri kuliah penting yang tidak bisa ditinggalkan. Hana, yang sebenarnya tidak terlalu tertarik pada seminar tentang UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah), akhirnya memutuskan untuk hadir karena suatu alasan yang ia pendam sendiri dan tak mungkin diceritakan kepada Lia.

Aula tersebut dipenuhi oleh mahasiswa yang antusias, sebagian besar dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis, mengingat topik seminar yang berkaitan erat dengan dunia usaha. Panggung seminar didekorasi dengan banner bertuliskan “Seminar Nasional UMKM: Meningkatkan Potensi Sektor UMKM melalui Inovasi dan Teknologi.” Di sisi kiri, ada beberapa meja yang dipenuhi dengan brosur, presentasi, dan materi seminar. Beberapa dosen dan praktisi bisnis duduk di depan, menyiapkan materi yang akan dipresentasikan.

Hana menyandarkan punggungnya ke kursi, menyesuaikan diri dengan suasana seminar yang cukup formal. Namun, ia tak bisa menahan rasa penasaran ketika seorang moderator di depan mengumumkan bahwa salah satu narasumber utama seminar adalah Ryan Ramadhani, Presiden Mahasiswa Kampus Nusantara.

Hana tidak bisa mengabaikan kilatan rasa kagum yang kembali muncul di dalam dirinya. Meski ia sudah sering mendengar nama Ryan, tapi sejak ia tahu sendiri yang namanya Ryan, ada sesuatu yang berbeda.

Ryan berjalan ke atas panggung dengan langkah tegas, meski wajahnya sedikit terbayang kelelahan. Ia masih memegangi perutnya yang terasa sakit akibat pukulan brutal dalam pertandingan beberapa hari lalu.

“Selamat pagi semuanya, saya Ryan Ramadhani, Presiden Mahasiswa Kampus Nusantara,” ujar Ryan, memulai pembicaraannya dengan suara yang lantang dan penuh percaya diri.

“Hari ini saya akan membahas bagaimana sektor UMKM bisa lebih berkembang melalui pendekatan teknologi dan inovasi, serta bagaimana kita—dari sudut pandang teknik sipil—dapat memberikan kontribusi signifikan dalam hal ini.”

Hana menatap Ryan dengan penuh perhatian. Meskipun dirinya merasa sedikit ragu karena biasanya seminar tentang UMKM lebih berkutat pada aspek ekonomi, kali ini ia merasa ada sesuatu yang unik dalam penjelasan Ryan. Ryan mulai menjelaskan dengan lugas dan terstruktur, memperkenalkan pendekatan yang bisa dipahami oleh mahasiswa dari berbagai disiplin ilmu.

"UMKM sering kali terhambat oleh keterbatasan infrastruktur. Di banyak daerah, kita masih menemui kesulitan dalam distribusi barang karena buruknya jalan, atau bahkan fasilitas produksi yang tidak memadai,” Ryan menjelaskan sambil menunjuk sebuah grafik yang memperlihatkan data dan tren pengembangan UMKM yang terkendala infrastruktur.

“Di sinilah peran teknik sipil sangat penting. Kita sebagai mahasiswa teknik memiliki keahlian untuk merancang dan mengembangkan infrastruktur yang efisien, dari jalan raya hingga fasilitas penyimpanan, yang pada akhirnya dapat menurunkan biaya operasional para pelaku UMKM.”

Hana terkejut mendengar penjelasan Ryan. Ia tidak pernah membayangkan bahwa teknik sipil, yang identik dengan bangunan, struktur, dan infrastruktur, dapat berperan begitu besar dalam dunia bisnis dan UMKM.

Ryan melanjutkan penjelasannya dengan mengaitkan data dan fakta yang relevan, memperlihatkan bahwa banyak daerah yang sektor UMKM-nya berkembang pesat berkat dukungan dari pembangunan infrastruktur yang baik.

“Bukan hanya itu,” lanjut Ryan, “kita juga bisa berperan dalam merancang sistem distribusi barang yang lebih efisien, seperti jembatan yang lebih kuat, sistem transportasi yang lebih lancar, dan bahkan bangunan produksi yang lebih ramah lingkungan dan hemat energi. Semua itu akan meningkatkan daya saing produk-produk UMKM.”

Hana mendengarkan dengan penuh perhatian. Ryan berbicara dengan cara yang mudah dipahami, meskipun topik yang dibahas cukup teknis. Ia tidak hanya menjelaskan konsep dasar teknik sipil, tetapi juga menghubungkannya dengan dunia nyata yang sangat relevan dengan kehidupan banyak orang, terutama pelaku usaha kecil dan menengah.

Hana mulai melihat gambaran yang lebih luas tentang bagaimana ilmu yang dipelajari Ryan di jurusan Teknik Sipil ternyata memiliki potensi besar dalam membantu memperbaiki ekonomi mikro.

“Jadi, apa yang kita pelajari di jurusan Teknik Sipil, baik itu tentang desain bangunan, perencanaan infrastruktur, atau pemeliharaan jalan, semuanya memiliki dampak langsung pada perkembangan UMKM. Dengan pendekatan yang tepat, kita bisa membantu memecahkan banyak tantangan yang dihadapi oleh pelaku usaha kecil di Indonesia,” ujar Ryan, menutup penjelasannya.

Saat sesi tanya jawab dimulai, seorang mahasiswa S2 dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) yang duduk di barisan depan, mengangkat tangannya. Setelah moderator mempersilakan, mahasiswa tersebut berdiri dan bertanya.

"Ryan, UMKM di Indonesia memang terhambat oleh keterbatasan infrastruktur. Namun, menurut Anda, bagaimana cara kita bisa mengoptimalkan peran sektor swasta dalam mendukung pembangunan infrastruktur untuk UMKM tanpa bergantung terlalu banyak pada anggaran pemerintah yang terbatas?"

Ryan tersenyum sejenak sebelum memberikan jawabannya.

“Terima kasih atas pertanyaannya. Menurut saya, salah satu kunci utamanya adalah kolaborasi antara sektor publik dan swasta. Sektor swasta memiliki kemampuan investasi yang besar dan inovasi yang tinggi, namun seringkali kekurangan akses ke pasar yang luas. Oleh karena itu, kita perlu menciptakan kebijakan yang memungkinkan kerjasama antara keduanya, seperti memberikan insentif bagi perusahaan swasta yang terlibat dalam pembangunan infrastruktur untuk UMKM, misalnya melalui kemitraan publik-swasta (public-private partnership). Selain itu, sektor swasta juga bisa berperan dalam menyediakan teknologi dan sistem yang lebih efisien dalam distribusi, yang bisa mengurangi biaya operasional UMKM secara signifikan.”

Jawaban Ryan tersebut mengundang anggukan dari banyak peserta seminar. Mahasiswa FEB yang bertanya terlihat puas dan kembali duduk, sementara Ryan melanjutkan pembicaraannya dengan percaya diri.

Setelah sesi tanya jawab selesai, Hana duduk tertegun sejenak. Ia merasa kagum dengan cara Ryan menyampaikan pengetahuan tentang dunia teknik sipil dan bagaimana hal itu dapat mengubah cara pandang orang terhadap UMKM.

Hana merasa ada semacam kekaguman yang lebih mendalam terhadap Ryan, bukan hanya karena penampilannya atau posisinya sebagai Presiden Mahasiswa, tetapi juga karena cara dia berpikir dan melihat dunia dengan pendekatan yang luar biasa.

Saat seminar berakhir, Hana masih duduk di tempatnya, sedikit terdiam. Pikirannya kembali teringat. ia mengagumi Ryan dari jauh, tanpa benar-benar memahami sejauh mana kedalaman intelektualnya. Kini, setelah mendengarnya berbicara, Hana merasa ada sesuatu yang membuat dirinya semakin tertarik.

Namun, Hana segera mengingatkan dirinya sendiri bahwa Lia—sahabatnya yang sangat mengidolakan Ryan—adalah orang yang lebih dulu memiliki perasaan tersebut.

Setelah seminar selesai, aula yang tadinya dipenuhi oleh ribuan mahasiswa mulai tampak sepi. Para peserta berangsur-angsur meninggalkan tempat, menyebar ke berbagai sudut kampus.

Hana, yang merasa cukup lelah setelah duduk lama dan menyimak presentasi, memutuskan untuk sejenak melepas penat.

Ia berjalan menuju gazebo kecil yang terletak di samping gedung seminar. Gazebo itu, meski sederhana, memberi suasana yang tenang dengan pohon-pohon rindang di sekelilingnya.

Hana duduk di salah satu bangku gazebo, menyandarkan tubuhnya yang mulai terasa pegal. Pikirannya kembali teringat pada presentasi Ryan yang begitu memukau. Tak hanya penampilannya yang karismatik, tetapi cara Ryan menjelaskan konsep-konsep teknis dengan mudah dipahami, mengubah pandangannya tentang dunia teknik sipil.

Tiba-tiba, terdengar langkah kaki yang mendekat. Hana menoleh, dan matanya langsung bertemu dengan Ryan yang berjalan menghampirinya. Meski tubuh Ryan tampak kurus, langkahnya begitu tegas dan penuh keyakinan. Ia memegangi perutnya yang masih sedikit terasa sakit akibat pertandingan dua hari yang lalu, namun tak ada tanda-tanda kelemahan pada dirinya. Senyumnya tetap merekah saat melihat Hana.

“Capek?” tanya Ryan dengan suara lembut, namun tetap penuh wibawa.

Hana mengangguk, sedikit tertawa. “Penjelasan Mas tadi bagus banget. Mudah dipahami dan sangat detail."

Ryan duduk di bangku yang bersebelahan dengan Hana. “Terima kasih, Hana,” ujar Ryan sambil meletakkan tangannya di atas paha, mencoba meredakan rasa sakit yang masih mengganggu perutnya.

Hana menatap Ryan dengan penuh perhatian, matanya menyiratkan kekaguman. “Penjelasan Mas Ryan tadi tentang hubungan antara teknik sipil dan UMKM, itu benar-benar membuka pikiran aku. Aku nggak pernah nyangka kalau sektor teknik sipil punya pengaruh sebesar itu dalam dunia bisnis,” kata Hana, berbicara dengan tulus.

Ryan tersenyum tipis, meski dalam hatinya ia merasa ada sesuatu yang lebih di antara mereka. Sesuatu yang tak bisa ia ungkapkan begitu saja.

“Terima kasih, Hana. Sebenarnya aku juga nggak tahu kalau aku bisa menjelaskan hal teknis itu dengan cara yang mudah dimengerti oleh banyak orang. Mungkin karena aku sering berpikir tentang bagaimana kita bisa bawa perubahan lewat ilmu yang kita pelajari.”

Hana terdiam sejenak, kemudian tatapannya berubah menjadi tatapan kekhawatiran. "Mas sudah sehat?"

"Memangnya aku kenapa? Hehe," Ryan menjawab dengan tertawa kecil. 

Hana tiba-tiba teringat, ia masih punya hutang kepada Ryan dua hari yang lalu di klinik. Ia membuka tasnya kemudian mengambil dompet dan mengeluarkan dua lembar seratur ribuan.

"Ini, Mas. Biaya obat di klinik dua hari yang lalu. Maaf, ya, merepotkan," ucap Hana sembari menyodorkan uang kepada Ryan.

Ryan menatap wajah Hana yang teduh dan keibuan. Pancaran wajahnya berbeda dengan perempuan-perempuan lain. Ryan mampu melihat sosok yang lembut dari diri Hana. Kulitnya yang putih bersih dan bibirnya yang merah membuat pesona Hana semakin memikat di mata Ryan.

"Nggak usah, Han," tutur Ryan.

"Hutang itu harus dibayar, Mas," Hana menarik tangan kanan Ryan kemudian meletakkan uang itu di telapak tangan Ryan. Ryan tersenyum kecil. Menerima uang itu dengan pasrah.

"Han, aku boleh minta nomor kamu?" 

Jantung Hana berdetak kencang. Sebenarnya, kalimat dari Ryan sungguh membuatkan ingin melonjak. Dengan begitu, ia bisa lebih intens berkomunikasi dengan Ryan. Namun, terbesit di pikirannya tentang perasaan Lia.

Dan juga yang lebih penting, tentang Alvin. Ia tahu betul, Alvin tak akan segan-segan menghabisi laki-laki yang berani mendekatinya. Hana bimbang. Ingin sekali memberikan nomornya kepada Ryan, namun ia lebih takut poin yang kedua. Ia takut jika Alvin membuat ulah lagi setelah tiga hari yang lalu menghajar Ryan dengan brutal.

"Nggak usah, ya, Mas," Hana tersenyum kecil.

"Kamu sudah punya pacar?" Ryan menebak. Dengan sigap, Hana menggeleng mantap. Ia ingin memberi tahu Ryan bahwa ia benar-benar masih sendiri.

"Terus kenapa?" Ryan penasaran. Hana diam, tak mampu menjawab. Ia menatap mata Ryan, kemudian menunduk dengan segera.

"Gini, aja," Ryan meraih tangan Hana kemudian mengembalikan uang yang ia pegang kepada Hana. "Kamu bawa aja uang ini. Jadi, kamu kan masih punya hutang sama aku. Biar kamu ada alasan buat ketemu aku lagi."

Hana terbelalak, matanya sedikit membesar melihat tindakan Ryan yang begitu tiba-tiba. Ia memandang uang yang sudah diletakkan kembali di tangannya, kebingungannya semakin bertambah.

Ryan bangkit dari duduknya, namun sebelum pergi, ia menatap Hana sekali lagi. "Semoga kita bisa bicara lagi lain waktu," katanya dengan suara rendah, seolah menyimpan banyak makna dalam kata-katanya.

Mata Hana mengikuti langkah Ryan yang perlahan menjauh. Sesuatu dalam hatinya bergejolak, namun ia tak tahu apa yang harus ia rasakan. Saat Ryan akhirnya menghilang di balik sudut gedung, Hana hanya bisa duduk kembali, membiarkan angin sepoi-sepoi membawa pikirannya melayang.