Ruangan rapat BEM Universitas Nusantara terasa lebih panas dari biasanya, meskipun kipas angin besar di sudut ruangan terus berputar. Meja oval yang menjadi pusat diskusi penuh dengan laptop, buku catatan, dan secangkir kopi yang hampir kosong.
Di ujung meja, Ryan Ramadhani, Presiden Mahasiswa, duduk dengan tatapan serius, mencermati laporan yang baru saja dibacakan oleh sekretarisnya.
“Baik, teman-teman,” suara Ryan memecah keheningan, tegas namun tetap hangat.
“Hari ini kita bahas hasil dari konferensi aspirasi mahasiswa minggu lalu. Banyak sekali curhatan yang masuk. Sekarang, kita perlu memilah mana yang bisa kita tindak lanjuti segera, dan mana yang memerlukan strategi lebih besar.”
Korupsi, kolusi, dan nepotisme di Universitas Nusantara telah menjadi rahasia umum yang menyesakkan dada, namun tidak ada seorang pun yang berani melawannya. Dalam lingkaran kekuasaan kampus, praktik ini seolah menjadi bagian dari budaya yang tak tersentuh, membuat para mahasiswa dan bahkan dosen hanya bisa berbisik tanpa pernah bertindak.
Petinggi kampus membangun jaringan yang begitu kuat, melibatkan berbagai pihak mulai dari administrasi hingga pejabat pemerintah lokal yang seharusnya mengawasi. Mereka saling melindungi, memastikan setiap celah hukum ditutup rapat-rapat.
Kebijakan yang diambil sering kali tidak transparan, dan laporan keuangan kampus menjadi dokumen rahasia yang tidak pernah diperlihatkan kepada publik.
Bagi mereka yang berani bertanya, ancaman menjadi konsekuensi langsung. Surat peringatan akademik, pencabutan beasiswa, bahkan ancaman dikeluarkan dari kampus adalah alat untuk membungkam suara-suara kritis.
Sekretaris BEM, seorang perempuan muda bernama Nadira, membaca poin-poin penting dari laporan tersebut.
Pungutan tak resmi yang membebani mahasiswa: Beberapa mahasiswa melaporkan adanya "biaya tambahan" yang harus dibayar untuk administrasi skripsi dan wisuda, meskipun kampus telah menetapkan bahwa biaya itu sudah termasuk dalam uang kuliah.
Nepotisme di rekrutmen beasiswa dan magang kampus: Banyak mahasiswa mengeluh bahwa kesempatan beasiswa atau magang di institusi kampus hanya diberikan kepada mereka yang memiliki “koneksi” dengan dosen atau pejabat kampus.
Fasilitas yang buruk meskipun dana sudah ada: Laporan tentang asrama mahasiswa yang tak layak huni dan laboratorium yang kekurangan alat terus bermunculan, meskipun laporan keuangan kampus menunjukkan dana besar dialokasikan untuk fasilitas tersebut.
Ryan mendengarkan setiap poin dengan serius. Tangannya mengetuk meja ringan, tanda bahwa ia tengah berpikir. “Masalah ini bukan baru. Tapi kalau kita diam, ini akan terus berulang,” katanya dengan nada tajam.
Setelah beberapa saat, diskusi dilanjutkan dengan lebih terstruktur. Ryan membagi tim untuk mengumpulkan bukti:
1. Tim Advokasi akan menemui mahasiswa yang melapor untuk mendapatkan kesaksian lebih rinci.
2. Tim Riset akan meneliti laporan keuangan kampus yang tersedia untuk mencari ketidaksesuaian.
3. Tim Media akan menyiapkan kampanye di media sosial untuk menyuarakan isu ini tanpa menyebut nama pihak tertentu, agar tidak langsung mendapat serangan balik.
Rapat diakhiri dengan sebuah peringatan dari Ryan, yang berbicara dengan nada rendah namun penuh makna.
“Kita tahu ini bukan perjalanan mudah. Kita mungkin akan diancam, diintimidasi, bahkan difitnah. Tapi ingat, kebenaran tidak butuh pembelaan yang besar—ia hanya butuh keberanian untuk disuarakan. Dan itu tugas kita.”
Semua yang hadir mengangguk, meskipun mereka tahu, kata-kata Ryan akan segera diuji oleh kenyataan keras di Kampus Nusantara. Rapat itu tidak hanya menghasilkan rencana, tetapi juga menyalakan semangat baru di hati para anggota BEM untuk melawan sistem yang korup, meski ancaman semakin dekat.
Setelah rapat yang penuh diskusi panas itu selesai, ruangan BEM mulai sepi. Beberapa anggota BEM sudah keluar lebih dulu, meninggalkan Ryan dan Dika yang masih membereskan dokumen. Di antara meja yang kini mulai bersih dari kertas dan laptop, Dika menepuk bahu Ryan.
“Masih ada waktu sebelum kelas, kan? Yuk, makan dulu. Perutku sudah konser dari tadi,” katanya sambil tertawa kecil.
Ryan menyetujui.
Di kantin, suasana ramai seperti biasa. Mahasiswa dari berbagai fakultas bercengkerama, mengerjakan tugas, atau sekadar bersantai di sela-sela jadwal kuliah. Dika memesan nasi goreng dan es teh manis, sementara Ryan hanya memesan sup hangat dengan harapan tidak terlalu membebani perutnya yang masih terasa nyeri.
Saat makanan tiba, Ryan mencoba menyendok sup dengan perlahan. Tapi rasa nyeri di perutnya terasa semakin nyata. Ia menahan napas sejenak, menggigit bibirnya agar Dika tidak menyadari betapa sakitnya ia. Luka dalam akibat pertandingan persahabatan dua hari yang lalu masih sangat membekas.
“Masih sakit banget ya? Lagian kenapa sih kamu paksa buat ikut rapat. Kan bisa diwakili,” ucap Dika sambil melahap nasi gorengnya dengan lahap.
Ryan tersenyum tipis. “Nggak papa. Sakit, sih. Tapi, masih bisa diatasi, kok."
Dika memandangnya dengan penuh perhatian. “ Yan, luka dalam itu nggak bisa dianggap sepele. Kapan mulai terapi? Apa aku antar?”
"Lusa. Mau diantar sama Pak Hendra. Lagipula kalau kamu yang antar, emang tahu tempatnya?" ujar Ryan. Dika terkekeh pelan. "Enggak, sih, hehehe."
Setelah beberapa menit makan dalam keheningan, Dika akhirnya membuka pembicaraan yang lebih serius. “Ngomong-ngomong soal rapat tadi, Yan, kamu nggak khawatir sama sekali?”
Ryan menoleh, keningnya sedikit berkerut. “Maksudmu?”
Dika meletakkan sendoknya dan bersandar di kursi. “Bahasan tadi itu, Yan. Tentang pungutan liar, nepotisme, semua ketidakadilan yang udah jadi rahasia umum di kampus ini. Kita tahu petinggi kampus yang terlibat nggak bakal tinggal diam. Kalau mereka tahu kita yang memulai, bukan cuma BEM yang kena—kamu juga bakal jadi target utama.”
Ryan menarik napas panjang, menatap Dika dengan tenang. “Aku tahu, Dik. Aku tahu risikonya. Tapi kita nggak bisa terus diam. Mahasiswa yang curhat ke kita itu sudah cukup berani untuk bicara. Kalau kita, yang punya posisi untuk membela mereka, malah cari aman, kita sama saja mendukung kejahatan.”
Dika menggeleng pelan, raut wajahnya menunjukkan campuran antara kekaguman dan kekhawatiran. “Aku ngerti, Yan. Kamu memang orang yang selalu berjuang untuk keadilan. Tapi, petinggi kampus itu terlalu kuat. Kamu tahu mereka nggak segan pakai cara kotor untuk membungkam orang-orang yang melawan mereka.”
Ryan mengangkat bahu. “Mungkin benar mereka kuat, Dik. Tapi aku percaya, kebenaran selalu punya jalan. Kalau aku harus menerima risiko untuk menegakkan keadilan, aku akan menerimanya. Lagipula, ini bukan hanya soal aku atau BEM. Ini soal perubahan yang dibutuhkan kampus ini.”
Dika menghela napas, matanya menatap Ryan dengan serius. “Aku harap kamu tahu apa yang kamu lakukan, Yan. Aku cuma nggak mau kehilangan teman terbaikku karena kamu terlalu berani.”
Ryan tersenyum, kali ini lebih tulus. “Terima kasih, Dik. Aku juga nggak mau menyusahkan kalian. Tapi aku nggak bisa mundur sekarang.”
Obrolan mereka terhenti sejenak ketika seorang teman dari fakultas lain menyapa Ryan dengan ramah. Setelah orang itu pergi, Dika melanjutkan makannya dengan raut wajah masih sedikit cemas.
Ryan menarik napas panjang, punggung dan perutnya masih sangat nyeri, tapi ia tetap berdiri tegak. Ia sadar bahwa perjalanan ini penuh rintangan, bukan hanya untuk dirinya, tetapi juga untuk seluruh anggota BEM yang memperjuangkan kebenaran.
Namun, Ryan percaya—dengan dukungan orang-orang seperti Dika—ia tidak akan melangkah sendirian, dan perubahan besar yang mereka dambakan untuk Kampus Nusantara pasti bisa terwujud.
Ryan melangkah memasuki ruang kelas A, ruangan yang biasa digunakan untuk mata kuliah Struktur Beton II. Suara riuh rendah mahasiswa yang sedang berbincang mengisi ruangan. Meski punggung perutnya masih terasa nyeri, Ryan berusaha untuk tidak menunjukkan rasa sakitnya. Ia memilih duduk di kursi baris tengah dekat jendela, tempat favoritnya untuk memperhatikan materi dengan lebih fokus.
Beberapa menit setelah Ryan duduk, Gina, teman sejurusannya, mendekat sambil membawa buku dan catatan. Dengan senyum ramah, ia meletakkan tasnya di kursi sebelah Ryan dan langsung duduk.
“Yan?” Gina menoleh penuh perhatian, suaranya terdengar lembut tapi penuh keheranan. “Kamu beneran kuliah hari ini? Aku kira kamu bakal istirahat di kos setelah apa yang aku lihat.”
Ryan menoleh sambil tersenyum tipis. “Aku nggak apa-apa kok, Gin. Lagian, nggak enak juga kalau bolos. Materi minggu ini penting.”
Gina memiringkan kepalanya, menatap Ryan penuh skeptis. “Nggak apa-apa? Aku nonton pertandingan itu, Yan. Live dari story temenku. Kamu dihajar brutal banget sama Alvin. Aku sampe nggak tega ngelihatnya. Dia keterlaluan banget. Itu perut kamu nggak apa-apa?”
Ryan hanya tertawa kecil, meski tawanya terdengar lemah. “Iya, Alvin memang emosinya nggak terkendali waktu itu. Tapi aku baik-baik aja. Cuma perlu sedikit waktu buat pulih. Masih sakit, sih. Tapi, bukan suatu masalah besar.”
Gina menggeleng sambil melipat tangan di depan dada. “Nggak, Yan. Kamu nggak kelihatan ‘baik-baik aja’. Aku tahu kamu cuma pura-pura kuat. Udah, nggak usah sok kuat. Kalau sakit bilang aja. Presma juga manusia yang butuh istirahat.”
Ryan tertawa, kemudian menatap Gina sejenak. “Ya, perut dan punggungku memang masih agak nyeri, Gin. Tapi serius, aku masih bisa jalanin aktivitas seperti biasa. Udah biasa kena tekanan, kan?”
“Biasa kena tekanan gimana? Ini beda, Yan!” Gina mendesah panjang, lalu mencondongkan tubuhnya sedikit. “Aku nggak ngerti, gimana caranya kamu bisa tetap bertahan setelah dihajar sekeras itu? Terus sekarang kamu malah kuliah seperti nggak ada apa-apa. Jangan lupa jaga kesehatan, ya. Aku nggak mau lihat kamu ambruk di kelas.”
"Makasih, Gin. Nanti kalau aku ambruk, kamu komando teman-teman buat angkat aku, ya," Ryan tertawa. Gina memasang wajah sebal.
Saat itu, dosen masuk ke dalam kelas, menghentikan percakapan mereka. Gina hanya tersenyum kecil sebelum membuka catatan. Meskipun khawatir, ia tidak bisa memaksa Ryan untuk bersikap lebih santai.
Sementara itu, di ruang kelas C, Dika sedang memulai mata kuliah Hidrologi Teknik. Ia juga tak bisa menghilangkan kekhawatirannya pada Ryan, meski percaya bahwa temannya itu punya keteguhan luar biasa untuk menghadapi segalanya.
"Nanti salam buat Ryan, ya, Han, hihi," celoteh Lia sembari membereskan buku-buku di tasnya, memastikan tidak ada yang tertinggal."Aku nggak kenal gimana mau nyalamin," Hana terpaksa berbohong. Ia tahu betul karakter Lia. Hana tidak mungkin cerita yang sebenarnya tentang kejadian di klinik kampus dua hari yang lalu."Aku berangkat dulu, ya,bye!"Hana melangkahkan kaki keluar dari gerbang kosnya. Hari ini ia akan menghadiri Seminar Nasional UMKM yang diadakan di Gedung Soekarno, gedung yang biasanya dipakai untuk acara-acara seminar. Jarak dari kos menuju gedung Soekarno sekitar satu kilometer. Namun, Hana sudah biasa jalan kaki ke kampus.Di depan gerbang Gedung Soekarno, Alvin menghentikan motornya tepat di samping Hana."Hai, Han!" Alvin tersenyum ke arah Hana. Hana hanya melirik sekilas dan tetap menghentikan langkahnya."Han, jangan cuek-cuek, dong. Nanti cantiknya luntur, lho!" goda Alvin."Vin, kamu keterlaluan b
Sejak pertemuan di gazebo, Ryan semakin penasaran tentang Hana. Ia sering mendapati pikirannya melayang, memikirkan senyuman dan sikap lembut Hana. Dalam beberapa kesempatan, Ryan mencoba mencari tahu lebih banyak tentang Hana.Ia bertanya secara tidak langsung kepada teman-teman BEM yang berasal dari FKIP PGSD, satu prodi dengan Hana. Namun, jawaban yang ia dapatkan terbatas, hanya sebatas informasi bahwa Hana adalah sosok yang suka baca dan sering mengunjungi perpustakaan fakultas.Ryan bahkan mencoba mencari tahu melalui akun media sosialnya, tetapi Hana jarang sekali memposting apa pun. Meskipun begitu, usaha Ryan tak pernah surut. Baginya, semakin sulit mencari tahu, semakin kuat keinginannya untuk mengenal Hana lebih dekat."Apa aku harus menemui Hana di FKIP?" batinnya perlahan.Ryan memutar otak. Setelah ditinggal Icha ke Jerman, baru kali ini Ryan merasakan degupan yang tak beraturan ketika berhadapan dengan perempuan. Di kampus Nusantara, banyak perempuan yang mengidolakanny
Sudah beberapa hari berlalu sejak pertandingan persahabatan bela diri antar fakultas, namun rasa sakit di perut Ryan belum juga hilang. Pertandingan itu berlangsung sengit, terutama ketika Ryan harus berhadapan dengan Alvin, seorang mahasiswa dari Fakultas Hukum yang mengajaknya duel di pertandingan persahabatan. Meski merasakan sakit di perutnya, Ryan masih bisa beraktivitas seperti biasanya. Namun, seperti yang dikatakan dokter Surya, ia tidak boleh terlalu memforsir diri. Jabatan sebuaha ketua BEM memaksanya untuk tetap mengikuti beberapa kegiatan yang sudah dijadwalkan. Seperti halnya kemarin, ia harus menjadi pembicara dalam seminar nasional UMKM yang diadakan pihak kampus.Siang ini, ia tak ada jadwal kuliah. Di kamar kosnya, Ryan terbaring lemas di atas kasur. Perutnya terasa perih setiap kali ia mencoba bangun. Ia sudah mencoba mengompres dengan air hangat dan meminum obat, tetapi tak ada yang meredakan rasa sakitnya. Padahal, ketika ia beraktivitas, sakitnya tidak terlalu te
Ruangan bascamp terasa seperti medan perang, bukan lagi tempat diskusi. Tuduhan demi tuduhan mulai dilemparkan oleh anggota kabinet, masing-masing berusaha membela diri. Ryan, yang duduk di ujung meja sebagai Ketua BEM, hanya bisa bersandar lemah. Perutnya masih terasa nyeri luar biasa setelah terapi di rumah Mbah Joko, sehingga ia sulit bergerak. Ia berbicara pelan, hampir berbisik, agar tidak memicu rasa sakit di tubuhnya."Kita... nggak bisa... saling tuduh tanpa bukti," ucap Ryan dengan suara pelan namun tegas, mencoba meredakan situasi. Meski sulit, ia tahu bahwa tanggung jawab sebagai ketua tak memungkinkannya untuk diam.Arya, ketua divisi humas, menggebrak meja. "Kita tidak mungkin melanjutkan acara tanpa sponsor utama! Dan kalau benar ada orang dalam yang membocorkan informasi ini, dia sudah menghancurkan kerja keras kita semua!""Jangan asal tuduh, Arya!" balas Yuni, ketua divisi logistik. "Bisa saja ini ulah pihak luar yang ingin menjatuhkan kita. Kam
Ryan masih memegangi perutnya dengan napas tersengal. Tubuhnya gemetar, baik karena rasa sakit maupun kekhawatiran. Sambil membantu Ryan berdiri, Dika mengedarkan pandangan ke sekitar bascamp, memastikan tak ada lagi orang yang mencurigakan."Kamu yakin aman?" tanya Dika, suaranya terdengar tegang.Ryan mengangguk lemah. "Aman... cuma perut ini sakit banget."Dika membantu Ryan duduk di kursi terdekat, lalu menatap pintu yang masih terbuka lebar. "Kita harus cari tahu siapa mereka. Ini nggak bisa dianggap enteng."Ryan mencoba berpikir di tengah rasa nyeri yang masih menusuk. Tiga orang tak dikenal masuk ke bascamp dan menyerangnya tanpa alasan jelas. Apakah mereka terkait dengan proposal palsu? Atau ini adalah ancaman langsung untuknya sebagai Ketua BEM?"Aku rasa mereka ada hubungannya dengan masalah sponsor tadi," ujar Ryan dengan pelan. "Mereka tahu sesuatu."Dika menghela napas panjang. "Aku setuju, tapi ini terlalu bahaya, Ryan. Kalau
Jumat sore setelah selesai jam kuliah, Ryan duduk di kursi ruang rapat kecil di sekretariat BEM dengan ekspresi serius. Dika, yang berada di seberangnya, mengetukkan jemarinya di atas meja dengan ritme pelan, berpikir keras."Kita harus memastikan dulu siapa yang benar-benar ada di balik sabotase ini," kata Dika. "Kalau kita asal nuduh, bisa-bisa malah memperkeruh keadaan."Ryan mengangguk, meski pikirannya masih dipenuhi dengan rasa curiga. "Tapi ini bukan masalah kecil, Dik. Kalau mereka sampai bisa memanipulasi proposal, berarti mereka punya akses ke sistem internal kita."Roni, yang baru saja masuk dengan laptopnya, segera duduk di dekat mereka. "Aku coba cek log akses dokumen proposal yang dikirim ke sponsor," katanya sambil membuka layar laptopnya. "Dan yang terakhir ngedit file sebelum dikirim itu... Arya."Dika menghela napas. "Kita panggil dia, tanya baik-baik. Jangan sampai kita salah paham."Setengah jam kemudian, Arya duduk di depan mereka dengan wajah bingung. "Aku? Ubah
Matahari pagi mulai merangkak naik, mengusir sisa-sisa embun yang menempel di dedaunan kampus Universitas Nusantara. Di tengah hiruk pikuk mahasiswa yang berlalu-lalang, Ryan Ramadhani berjalan cepat menuju aula diskusi, wajahnya serius, membawa setumpuk dokumen di tangannya. Bagi sebagian orang, Ryan adalah pahlawan. Presiden Mahasiswa yang karismatik, pintar, dan selalu tahu cara menghadapi setiap persoalan. Namun, bagi dirinya sendiri, hidup adalah perjuangan tanpa akhir.Lahir di keluarga sederhana, Ryan sudah terbiasa dengan kerasnya hidup. Ayahnya sudah meninggal sejak ia masih SD. Ibunya guru PNS sekolah dasar yang gajinya hanya cukup untuk bertahan hidup. Dia tumbuh dengan kesadaran bahwa pendidikan adalah satu-satunya jalan keluar. Ketekunan membawa Ryan ke Universitas Nusantara sebagai penerima beasiswa penuh. Namun, meski telah berada di sini, perjuangannya tidak berhenti.Ia juga bekerja separuh waktu sebagai asisten dosen Teknik Sipil, jurusannya, dan biasanya diikutserta
(Flashback)Aula utama Universitas Nusantara dipadati mahasiswa. Mereka datang bukan hanya untuk menyaksikan orasi ketiga kandidat, tetapi juga untuk melihat siapa yang paling layak memimpin mereka. Di panggung utama, Alvin, Rahmi, dan Ryan berdiri sejajar, mengenakan pakaian rapi, dengan ekspresi yang mencerminkan keyakinan masing-masing.Alvin adalah yang pertama melangkah maju. Dengan postur tinggi dan suara yang lantang, dia membawa energi yang memukau. “Mahasiswa Universitas Nusantara!” serunya, membuat hadirin langsung diam memperhatikan. “Kita adalah generasi penerus bangsa! Dengan inovasi dan keberanian, kita bisa menciptakan kampus yang modern dan progresif. Saya berjanji akan membawa teknologi ke setiap sudut kampus kita!”Pidatonya dipenuhi dengan visi tentang digitalisasi dan modernisasi kampus. Alvin jelas mengincar mahasiswa dari jurusan teknik dan informatika yang menjadi basis pendukung utamanya. Namun, meski energik, orasinya terasa seperti janji kosong bagi sebagian
Jumat sore setelah selesai jam kuliah, Ryan duduk di kursi ruang rapat kecil di sekretariat BEM dengan ekspresi serius. Dika, yang berada di seberangnya, mengetukkan jemarinya di atas meja dengan ritme pelan, berpikir keras."Kita harus memastikan dulu siapa yang benar-benar ada di balik sabotase ini," kata Dika. "Kalau kita asal nuduh, bisa-bisa malah memperkeruh keadaan."Ryan mengangguk, meski pikirannya masih dipenuhi dengan rasa curiga. "Tapi ini bukan masalah kecil, Dik. Kalau mereka sampai bisa memanipulasi proposal, berarti mereka punya akses ke sistem internal kita."Roni, yang baru saja masuk dengan laptopnya, segera duduk di dekat mereka. "Aku coba cek log akses dokumen proposal yang dikirim ke sponsor," katanya sambil membuka layar laptopnya. "Dan yang terakhir ngedit file sebelum dikirim itu... Arya."Dika menghela napas. "Kita panggil dia, tanya baik-baik. Jangan sampai kita salah paham."Setengah jam kemudian, Arya duduk di depan mereka dengan wajah bingung. "Aku? Ubah
Ryan masih memegangi perutnya dengan napas tersengal. Tubuhnya gemetar, baik karena rasa sakit maupun kekhawatiran. Sambil membantu Ryan berdiri, Dika mengedarkan pandangan ke sekitar bascamp, memastikan tak ada lagi orang yang mencurigakan."Kamu yakin aman?" tanya Dika, suaranya terdengar tegang.Ryan mengangguk lemah. "Aman... cuma perut ini sakit banget."Dika membantu Ryan duduk di kursi terdekat, lalu menatap pintu yang masih terbuka lebar. "Kita harus cari tahu siapa mereka. Ini nggak bisa dianggap enteng."Ryan mencoba berpikir di tengah rasa nyeri yang masih menusuk. Tiga orang tak dikenal masuk ke bascamp dan menyerangnya tanpa alasan jelas. Apakah mereka terkait dengan proposal palsu? Atau ini adalah ancaman langsung untuknya sebagai Ketua BEM?"Aku rasa mereka ada hubungannya dengan masalah sponsor tadi," ujar Ryan dengan pelan. "Mereka tahu sesuatu."Dika menghela napas panjang. "Aku setuju, tapi ini terlalu bahaya, Ryan. Kalau
Ruangan bascamp terasa seperti medan perang, bukan lagi tempat diskusi. Tuduhan demi tuduhan mulai dilemparkan oleh anggota kabinet, masing-masing berusaha membela diri. Ryan, yang duduk di ujung meja sebagai Ketua BEM, hanya bisa bersandar lemah. Perutnya masih terasa nyeri luar biasa setelah terapi di rumah Mbah Joko, sehingga ia sulit bergerak. Ia berbicara pelan, hampir berbisik, agar tidak memicu rasa sakit di tubuhnya."Kita... nggak bisa... saling tuduh tanpa bukti," ucap Ryan dengan suara pelan namun tegas, mencoba meredakan situasi. Meski sulit, ia tahu bahwa tanggung jawab sebagai ketua tak memungkinkannya untuk diam.Arya, ketua divisi humas, menggebrak meja. "Kita tidak mungkin melanjutkan acara tanpa sponsor utama! Dan kalau benar ada orang dalam yang membocorkan informasi ini, dia sudah menghancurkan kerja keras kita semua!""Jangan asal tuduh, Arya!" balas Yuni, ketua divisi logistik. "Bisa saja ini ulah pihak luar yang ingin menjatuhkan kita. Kam
Sudah beberapa hari berlalu sejak pertandingan persahabatan bela diri antar fakultas, namun rasa sakit di perut Ryan belum juga hilang. Pertandingan itu berlangsung sengit, terutama ketika Ryan harus berhadapan dengan Alvin, seorang mahasiswa dari Fakultas Hukum yang mengajaknya duel di pertandingan persahabatan. Meski merasakan sakit di perutnya, Ryan masih bisa beraktivitas seperti biasanya. Namun, seperti yang dikatakan dokter Surya, ia tidak boleh terlalu memforsir diri. Jabatan sebuaha ketua BEM memaksanya untuk tetap mengikuti beberapa kegiatan yang sudah dijadwalkan. Seperti halnya kemarin, ia harus menjadi pembicara dalam seminar nasional UMKM yang diadakan pihak kampus.Siang ini, ia tak ada jadwal kuliah. Di kamar kosnya, Ryan terbaring lemas di atas kasur. Perutnya terasa perih setiap kali ia mencoba bangun. Ia sudah mencoba mengompres dengan air hangat dan meminum obat, tetapi tak ada yang meredakan rasa sakitnya. Padahal, ketika ia beraktivitas, sakitnya tidak terlalu te
Sejak pertemuan di gazebo, Ryan semakin penasaran tentang Hana. Ia sering mendapati pikirannya melayang, memikirkan senyuman dan sikap lembut Hana. Dalam beberapa kesempatan, Ryan mencoba mencari tahu lebih banyak tentang Hana.Ia bertanya secara tidak langsung kepada teman-teman BEM yang berasal dari FKIP PGSD, satu prodi dengan Hana. Namun, jawaban yang ia dapatkan terbatas, hanya sebatas informasi bahwa Hana adalah sosok yang suka baca dan sering mengunjungi perpustakaan fakultas.Ryan bahkan mencoba mencari tahu melalui akun media sosialnya, tetapi Hana jarang sekali memposting apa pun. Meskipun begitu, usaha Ryan tak pernah surut. Baginya, semakin sulit mencari tahu, semakin kuat keinginannya untuk mengenal Hana lebih dekat."Apa aku harus menemui Hana di FKIP?" batinnya perlahan.Ryan memutar otak. Setelah ditinggal Icha ke Jerman, baru kali ini Ryan merasakan degupan yang tak beraturan ketika berhadapan dengan perempuan. Di kampus Nusantara, banyak perempuan yang mengidolakanny
"Nanti salam buat Ryan, ya, Han, hihi," celoteh Lia sembari membereskan buku-buku di tasnya, memastikan tidak ada yang tertinggal."Aku nggak kenal gimana mau nyalamin," Hana terpaksa berbohong. Ia tahu betul karakter Lia. Hana tidak mungkin cerita yang sebenarnya tentang kejadian di klinik kampus dua hari yang lalu."Aku berangkat dulu, ya,bye!"Hana melangkahkan kaki keluar dari gerbang kosnya. Hari ini ia akan menghadiri Seminar Nasional UMKM yang diadakan di Gedung Soekarno, gedung yang biasanya dipakai untuk acara-acara seminar. Jarak dari kos menuju gedung Soekarno sekitar satu kilometer. Namun, Hana sudah biasa jalan kaki ke kampus.Di depan gerbang Gedung Soekarno, Alvin menghentikan motornya tepat di samping Hana."Hai, Han!" Alvin tersenyum ke arah Hana. Hana hanya melirik sekilas dan tetap menghentikan langkahnya."Han, jangan cuek-cuek, dong. Nanti cantiknya luntur, lho!" goda Alvin."Vin, kamu keterlaluan b
Ruangan rapat BEM Universitas Nusantara terasa lebih panas dari biasanya, meskipun kipas angin besar di sudut ruangan terus berputar. Meja oval yang menjadi pusat diskusi penuh dengan laptop, buku catatan, dan secangkir kopi yang hampir kosong.Di ujung meja, Ryan Ramadhani, Presiden Mahasiswa, duduk dengan tatapan serius, mencermati laporan yang baru saja dibacakan oleh sekretarisnya.“Baik, teman-teman,” suara Ryan memecah keheningan, tegas namun tetap hangat.“Hari ini kita bahas hasil dari konferensi aspirasi mahasiswa minggu lalu. Banyak sekali curhatan yang masuk. Sekarang, kita perlu memilah mana yang bisa kita tindak lanjuti segera, dan mana yang memerlukan strategi lebih besar.”Korupsi, kolusi, dan nepotisme di Universitas Nusantara telah menjadi rahasia umum yang menyesakkan dada, namun tidak ada seorang pun yang berani melawannya. Dalam lingkaran kekuasaan kampus, praktik ini seolah menjadi bagian dari budaya yang tak t
Ryan terbangun di keheningan subuh, disambut oleh rasa sakit yang tajam di punggung dan perutnya. Sisa-sisa serangan brutal dari Alvin semalam terasa seperti beban yang menekan tubuhnya.Setiap gerakan kecil membuat otot-ototnya menjerit, tapi ia memaksa diri untuk bangkit dari ranjang. Dengan napas berat, Ryan berwudhu perlahan, berpegangan pada dinding kamar mandi untuk menjaga keseimbangan.Saat berdiri menghadap sajadah, ia merasakan nyeri menjalar di punggung, membuat tubuhnya sedikit membungkuk. Ia menunaikan sholat subuh dengan hati-hati, gerakan rukuk dan sujud terasa seperti tantangan berat. Namun, ia tetap khusyuk, memohon kekuatan dan kesembuhan.Setelah selesai, Ryan kembali ke ranjang. Tubuhnya terasa lemah dan keringat dingin membasahi pelipisnya. Ia berbaring, mencoba mencari posisi yang tidak menyakitkan, lalu perlahan-lahan terlelap lagi, membiarkan kelelahan dan rasa sakit membawanya ke dalam tidur yang gelisah.Dika memarkir motornya di depan kos Ryan. Ketika akan m
Suasana kampus terasa tenang dengan semilir angin yang berhembus lembut di antara pepohonan rindang. Setelah menyelesaikan mata kuliah, Hana dan Lia memutuskan untuk duduk santai di gazebo yang terletak di taman tengah kampus. Gazebo itu dikelilingi bunga-bunga bermekaran yang menambah kesan segar.Hana menyandarkan punggungnya dengan santai sambil menyeruput minuman dingin dari botol, sementara Lia membuka buku catatan, sesekali tertawa kecil saat mereka berbincang ringan tentang materi kuliah yang baru saja selesai.Suara burung berkicau dan gemericik air dari kolam kecil di dekat gazebo menambah kedamaian sore itu, menciptakan momen santai yang penuh kebersamaan di sela rutinitas perkuliahan."Hadeh, sebel banget bisa-bisanya dititipin ke aku. Kemana coba aku harus nyari si presma itu?" Key datang dengan terengah-engah, meletakkan map besar di meja gazebo tempat Hana dan Lia tengah santai menunggu jam kuliah selanjutnya.