แชร์

Jejak Cinta Sang Presiden Mahasiswa
Jejak Cinta Sang Presiden Mahasiswa
ผู้แต่ง: Perempuan Senja

Bara dan Teduh (Prolog)

ผู้เขียน: Perempuan Senja
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2025-01-14 15:11:28

Matahari pagi mulai merangkak naik, mengusir sisa-sisa embun yang menempel di dedaunan kampus Universitas Nusantara. Di tengah hiruk pikuk mahasiswa yang berlalu-lalang, Ryan Ramadhani berjalan cepat menuju aula diskusi, wajahnya serius, membawa setumpuk dokumen di tangannya. Bagi sebagian orang, Ryan adalah pahlawan. Presiden Mahasiswa yang karismatik, pintar, dan selalu tahu cara menghadapi setiap persoalan. Namun, bagi dirinya sendiri, hidup adalah perjuangan tanpa akhir.

Lahir di keluarga sederhana, Ryan sudah terbiasa dengan kerasnya hidup. Ayahnya sudah meninggal sejak ia masih SD. Ibunya guru PNS sekolah dasar yang gajinya hanya cukup untuk bertahan hidup. Dia tumbuh dengan kesadaran bahwa pendidikan adalah satu-satunya jalan keluar. Ketekunan membawa Ryan ke Universitas Nusantara sebagai penerima beasiswa penuh. Namun, meski telah berada di sini, perjuangannya tidak berhenti.

Ia juga bekerja separuh waktu sebagai asisten dosen Teknik Sipil, jurusannya, dan biasanya diikutsertakan dalam proyek pembangunan yang dinaungi oleh dosen karena semua dosen Teknik Sipil paham kemampuan Ryan di atas rata-rata. Tak lupa, setiap malam dia meluangkan waktu untuk belajar atau menyusun strategi demi memperjuangkan hak-hak mahasiswa.

Di aula diskusi, Ryan memulai hari dengan rapat bersama tim BEM. Matanya fokus pada layar laptop, jemarinya lincah mengetik poin-poin penting. Sesekali dia mengangkat pandangan, memperhatikan setiap anggota tim yang sedang berbicara.

“Kita harus memastikan aksi pekan depan mendapat izin dari rektorat,” ujar Luthfi, wakil presiden mahasiswa.

Ryan mengangguk. “Aku akan urus itu. Tapi kita juga harus bersiap jika mereka mencoba memblokir akses. Jangan lupa hubungi tim hukum untuk berjaga-jaga.”

Rapat berlangsung tanpa hambatan, namun pikiran Ryan terus terbelah. Di satu sisi, dia tahu bahwa perjuangan ini penting. Tapi di sisi lain, ada rasa lelah yang tidak bisa diabaikan. Hanya saja, bagi Ryan, menyerah bukan pilihan. Hidup sudah cukup sulit, dan dia tidak akan membiarkan ketidakadilan menguasai kampus.

Setelah rapat, Ryan mengambil beberapa dokumen penting untuk disimpan di ruangannya. Sebuah pesan masuk ke ponselnya dari seorang teman lama, mengingatkannya tentang janji untuk berbicara di seminar mahasiswa baru minggu depan. Ryan menghela napas panjang. Agenda harian yang sudah penuh kini harus menyesuaikan lagi. Tapi, seperti biasa, dia mengesampingkan rasa lelahnya dan menambahkan seminar itu ke dalam daftar kegiatannya.

Sambil berjalan menuju ruang sekretariat, Ryan melirik sejenak ke arah taman kampus. Beberapa mahasiswa terlihat sedang duduk bersantai, tertawa dan bercanda tanpa beban. Ada keinginan kecil di hatinya untuk bisa menikmati momen seperti itu, tapi dia tahu hidupnya tidak seperti mereka. Tugas dan tanggung jawab selalu datang lebih dulu.

---

Di sudut lain kampus, Hana Zarifa berjalan santai di antara koridor gedung FKIP. Tas kanvas berwarna krem tersampir di bahunya, penuh dengan buku dan alat tulis. Berbeda dengan Ryan yang hidup dalam pusaran aksi dan politik kampus, Hana adalah sosok yang tenang. Dia lebih suka menghabiskan waktu di perpustakaan atau taman kecil di belakang gedung fakultasnya, tempat dia bisa menulis atau membaca dengan damai.

Sebagai mahasiswa FKIP yang bercita-cita menjadi guru, Hana punya pandangan yang sederhana tapi mendalam tentang hidup. Baginya, pendidikan adalah alat untuk membangun masa depan yang lebih baik, tapi bukan hanya melalui angka-angka di atas kertas. “Manusia lebih dari sekadar nilai ujian,” adalah prinsip yang selalu dia pegang.

Pagi itu, Hana menuju ruang seminar untuk mengikuti kelas Pendidikan Inklusif. Di tangannya, ada buku catatan yang penuh dengan tulisan rapi dan coretan inspirasi. Dia menyukai topik-topik yang berhubungan dengan kesetaraan dan pemberdayaan, hal yang membawanya menjadi sukarelawan di beberapa komunitas anak-anak kurang mampu.

Ketika kelas dimulai, Hana duduk di barisan depan, memperhatikan dosen dengan penuh antusias. Dia tidak pernah ragu untuk mengajukan pertanyaan atau memberikan pendapat. Ketenangan Hana mungkin terlihat sederhana, tapi di balik itu ada keberanian yang sering tidak disadari orang lain. Dalam diamnya, dia selalu memikirkan bagaimana membuat perubahan kecil yang bermakna.

Saat jam kuliah selesai, Hana memutuskan untuk mampir ke taman belakang gedung FKIP. Itu adalah tempat favoritnya, di mana dia bisa merenung atau sekadar menikmati suara burung yang bernyanyi. Di bawah pohon besar yang rindang, Hana membuka buku catatannya dan mulai menulis. Dia sedang mencoba menuangkan pikirannya tentang bagaimana pendidikan yang inklusif dapat memberikan kesempatan yang lebih adil bagi semua orang.

Tiba-tiba, sebuah bola kecil melayang dan jatuh tepat di dekat kakinya. Seorang anak kecil yang sepertinya sedang bermain di taman mendekat dengan malu-malu.

“Maaf, Kak. Bolanya nyasar,” ujar anak itu.

Hana tersenyum lembut, mengambil bola itu dan menyerahkannya kembali. “Tidak apa-apa. Kamu bermain dengan siapa?”

“Sama kakakku di sana,” anak itu menunjuk ke arah seorang remaja yang duduk tidak jauh.

Hana memperhatikan sejenak, lalu melanjutkan menulis. Pertemuan kecil seperti ini selalu mengingatkannya pada alasan dia memilih jalan hidupnya. Dia ingin menjadi seseorang yang membawa perubahan, sekecil apa pun itu.

Sore harinya, Ryan dan Hana melanjutkan rutinitas masing-masing. Ryan terlihat di ruang sekretariat BEM, membolak-balik dokumen proposal aksi, sementara Hana masih berada di taman, menyelesaikan tulisannya.

Di ruang sekretariat, Luthfi kembali mendekati Ryan dengan beberapa kabar baru. “Aku dengar rektorat sedang mencoba membatasi jumlah peserta aksi kita minggu depan. Mereka bilang ini soal keamanan.”

Ryan mendengus. “Keamanan? Itu hanya alasan untuk membungkam kita. Kita harus mencari cara agar suara mahasiswa tetap didengar, apa pun yang terjadi.”

Luthfi mengangguk, memahami kekhawatiran Ryan. “Aku akan pastikan semua persiapan teknis berjalan lancar. Kamu fokus saja ke pertemuan dengan tim hukum besok.”

“Makasih, ya. Kita tidak boleh kalah sebelum bertarung,” ujar Ryan tegas.

Di taman belakang, Hana menyimpan buku catatannya dan memutuskan untuk berjalan-jalan sebentar sebelum pulang. Langit mulai berubah warna menjadi jingga keemasan, memberikan suasana yang hangat. Dia berhenti sejenak di depan gedung utama kampus, tempat sebuah spanduk besar tentang seminar mahasiswa baru tergantung dengan nama Ryan Ramadhani terpampang di sana.

Hana membaca sekilas, mengingat nama itu sebagai seseorang yang sering disebut-sebut oleh teman-temannya. “Presiden Mahasiswa yang selalu sibuk memperjuangkan perubahan,” begitu mereka menggambarkannya. Tapi Hana sendiri belum pernah melihat sosok Ryan secara langsung. Dia penasaran, seperti apa orang yang mampu memimpin ribuan mahasiswa dengan begitu tegas.

Di sisi lain kampus, Ryan berjalan menuju gerbang utama. Hari itu panjang, tapi dia merasa puas dengan hasil kerja timnya. Namun, rasa lelah tetap mengintai. Saat dia melewati taman belakang, pandangannya secara tidak sengaja tertuju pada sosok perempuan yang duduk di bangku. Dia tidak mengenalnya, tapi ada sesuatu dalam ketenangan perempuan itu yang menarik perhatiannya.

Ryan tidak berhenti, tapi langkahnya melambat. Dia tidak tahu bahwa perempuan itu adalah Hana Zarifa, mahasiswi FKIP yang pandangannya tentang dunia akan memberikan warna baru dalam hidupnya. Dan Hana juga tidak menyadari bahwa laki-laki yang melintasinya adalah Ryan Ramadhani, Presiden Mahasiswa yang nantinya akan mengubah jalan hidupnya.

Malam itu, mereka kembali ke kehidupan masing-masing, tidak menyadari bahwa takdir perlahan-lahan sedang menyusun jalannya. Di tengah hiruk pikuk perjuangan Ryan yang penuh gejolak, dan ketenangan Hana yang selalu mencari harmoni, dua jalan yang berbeda ini perlahan akan saling bersinggungan.

Mungkin bukan hari ini, atau esok. Tapi saat itu akan datang — ketika bara dan teduh akhirnya bertemu, membawa cerita yang belum pernah mereka bayangkan sebelumnya.

บทที่เกี่ยวข้อง

  • Jejak Cinta Sang Presiden Mahasiswa   BAB 1: Jejak Orasi

    (Flashback)Aula utama Universitas Nusantara dipadati mahasiswa. Mereka datang bukan hanya untuk menyaksikan orasi ketiga kandidat, tetapi juga untuk melihat siapa yang paling layak memimpin mereka. Di panggung utama, Alvin, Rahmi, dan Ryan berdiri sejajar, mengenakan pakaian rapi, dengan ekspresi yang mencerminkan keyakinan masing-masing.Alvin adalah yang pertama melangkah maju. Dengan postur tinggi dan suara yang lantang, dia membawa energi yang memukau. “Mahasiswa Universitas Nusantara!” serunya, membuat hadirin langsung diam memperhatikan. “Kita adalah generasi penerus bangsa! Dengan inovasi dan keberanian, kita bisa menciptakan kampus yang modern dan progresif. Saya berjanji akan membawa teknologi ke setiap sudut kampus kita!”Pidatonya dipenuhi dengan visi tentang digitalisasi dan modernisasi kampus. Alvin jelas mengincar mahasiswa dari jurusan teknik dan informatika yang menjadi basis pendukung utamanya. Namun, meski energik, orasinya terasa seperti janji kosong bagi sebagian

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-01-14
  • Jejak Cinta Sang Presiden Mahasiswa   BAB 2: Luka di Masa Lalu

    Ryan Ramadhani tidak selalu menjadi sosok yang tangguh dan kharismatik seperti sekarang. Di balik senyum yang kerap ia tunjukkan di depan publik, ada luka lama yang masih membekas. Luka yang ia simpan rapat-rapat, terbungkus dalam kesibukan dan ambisi yang ia kejar tanpa henti.Semua berawal di sebuah diskusi terbuka yang diadakan oleh Fakultas Hukum. Ryan, yang saat itu masih semester tiga, ikut serta sebagai perwakilan Fakultas Teknik. Diskusi itu membahas isu hak-hak buruh, sebuah topik yang menarik perhatian Ryan karena ia tumbuh dalam keluarga pekerja keras. Di sana, ia bertemu dengan Alisa Firdaus, atau yang akrab dipanggil Icha, seorang mahasiswi Fakultas Hukum yang cerdas dan penuh semangat.Icha memiliki aura yang sulit diabaikan. Pengetahuannya tentang hukum sangat mendalam, dan cara ia berbicara menunjukkan keberanian serta kepedulian yang tulus terhadap isu-isu sosial. Ryan, yang biasanya hanya fokus pada argumen logis dan data, mendapati dirinya terpukau oleh cara Icha me

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-01-14
  • Jejak Cinta Sang Presiden Mahasiswa   BAB 3: Tantangan

    Sejak menjadi Presiden Mahasiswa (Presma), Ryan Ramadhani tak pernah benar-benar memiliki waktu untuk dirinya sendiri. Agenda rapat, audiensi dengan pihak kampus, hingga diskusi bersama mahasiswa hampir memenuhi setiap harinya. Namun, Ryan tidak pernah mengeluh. Ia tahu, tanggung jawab besar menuntut pengorbanan.Hari itu, Ryan baru saja selesai memimpin diskusi tentang transparansi anggaran organisasi mahasiswa ketika seorang mahasiswa berbadan kekar menghampirinya di lobi gedung BEM.“Mas Ryan!” panggil mahasiswa itu dengan suara lantang.Ryan menoleh dan tersenyum. “Vino, ya? Ada apa?”Vino, adik tingkat dari Fakultas Teknik yang tergabung dalam Kombimatik (Komunitas Bela Diri Anak Teknik), menggaruk kepalanya dengan canggung. “Mas, saya mau ngajak Mas Ryan ke bascam Kombimatik. Anak-anak mau kenalan sama Mas, sekalian ada hal penting yang perlu dibicarakan.”Ryan mengernyitkan dahi. “Kayaknya habis ini aku ada jam kuliah, Vin. Satu setengah jam lagi, sih.”“Cuma sebentar, Mas. Ini

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-01-14
  • Jejak Cinta Sang Presiden Mahasiswa   BAB 4: Pertandingan Persahabatan

    Suasana kampus terasa tenang dengan semilir angin yang berhembus lembut di antara pepohonan rindang. Setelah menyelesaikan mata kuliah, Hana dan Lia memutuskan untuk duduk santai di gazebo yang terletak di taman tengah kampus. Gazebo itu dikelilingi bunga-bunga bermekaran yang menambah kesan segar.Hana menyandarkan punggungnya dengan santai sambil menyeruput minuman dingin dari botol, sementara Lia membuka buku catatan, sesekali tertawa kecil saat mereka berbincang ringan tentang materi kuliah yang baru saja selesai.Suara burung berkicau dan gemericik air dari kolam kecil di dekat gazebo menambah kedamaian sore itu, menciptakan momen santai yang penuh kebersamaan di sela rutinitas perkuliahan."Hadeh, sebel banget bisa-bisanya dititipin ke aku. Kemana coba aku harus nyari si presma itu?" Key datang dengan terengah-engah, meletakkan map besar di meja gazebo tempat Hana dan Lia tengah santai menunggu jam kuliah selanjutnya.

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-01-15
  • Jejak Cinta Sang Presiden Mahasiswa   BAB 5: Bertemu di Klinik

    Ryan terbangun di keheningan subuh, disambut oleh rasa sakit yang tajam di punggung dan perutnya. Sisa-sisa serangan brutal dari Alvin semalam terasa seperti beban yang menekan tubuhnya.Setiap gerakan kecil membuat otot-ototnya menjerit, tapi ia memaksa diri untuk bangkit dari ranjang. Dengan napas berat, Ryan berwudhu perlahan, berpegangan pada dinding kamar mandi untuk menjaga keseimbangan.Saat berdiri menghadap sajadah, ia merasakan nyeri menjalar di punggung, membuat tubuhnya sedikit membungkuk. Ia menunaikan sholat subuh dengan hati-hati, gerakan rukuk dan sujud terasa seperti tantangan berat. Namun, ia tetap khusyuk, memohon kekuatan dan kesembuhan.Setelah selesai, Ryan kembali ke ranjang. Tubuhnya terasa lemah dan keringat dingin membasahi pelipisnya. Ia berbaring, mencoba mencari posisi yang tidak menyakitkan, lalu perlahan-lahan terlelap lagi, membiarkan kelelahan dan rasa sakit membawanya ke dalam tidur yang gelisah.Dika memarkir motornya di depan kos Ryan. Ketika akan m

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-01-16
  • Jejak Cinta Sang Presiden Mahasiswa   BAB 6: Rencana Bahaya

    Ruangan rapat BEM Universitas Nusantara terasa lebih panas dari biasanya, meskipun kipas angin besar di sudut ruangan terus berputar. Meja oval yang menjadi pusat diskusi penuh dengan laptop, buku catatan, dan secangkir kopi yang hampir kosong.Di ujung meja, Ryan Ramadhani, Presiden Mahasiswa, duduk dengan tatapan serius, mencermati laporan yang baru saja dibacakan oleh sekretarisnya.“Baik, teman-teman,” suara Ryan memecah keheningan, tegas namun tetap hangat.“Hari ini kita bahas hasil dari konferensi aspirasi mahasiswa minggu lalu. Banyak sekali curhatan yang masuk. Sekarang, kita perlu memilah mana yang bisa kita tindak lanjuti segera, dan mana yang memerlukan strategi lebih besar.”Korupsi, kolusi, dan nepotisme di Universitas Nusantara telah menjadi rahasia umum yang menyesakkan dada, namun tidak ada seorang pun yang berani melawannya. Dalam lingkaran kekuasaan kampus, praktik ini seolah menjadi bagian dari budaya yang tak t

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-01-17
  • Jejak Cinta Sang Presiden Mahasiswa   BAB 7: Seminar Nasional

    "Nanti salam buat Ryan, ya, Han, hihi," celoteh Lia sembari membereskan buku-buku di tasnya, memastikan tidak ada yang tertinggal."Aku nggak kenal gimana mau nyalamin," Hana terpaksa berbohong. Ia tahu betul karakter Lia. Hana tidak mungkin cerita yang sebenarnya tentang kejadian di klinik kampus dua hari yang lalu."Aku berangkat dulu, ya,bye!"Hana melangkahkan kaki keluar dari gerbang kosnya. Hari ini ia akan menghadiri Seminar Nasional UMKM yang diadakan di Gedung Soekarno, gedung yang biasanya dipakai untuk acara-acara seminar. Jarak dari kos menuju gedung Soekarno sekitar satu kilometer. Namun, Hana sudah biasa jalan kaki ke kampus.Di depan gerbang Gedung Soekarno, Alvin menghentikan motornya tepat di samping Hana."Hai, Han!" Alvin tersenyum ke arah Hana. Hana hanya melirik sekilas dan tetap menghentikan langkahnya."Han, jangan cuek-cuek, dong. Nanti cantiknya luntur, lho!" goda Alvin."Vin, kamu keterlaluan b

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-01-18
  • Jejak Cinta Sang Presiden Mahasiswa   BAB 8: Bertemu Lagi

    Sejak pertemuan di gazebo, Ryan semakin penasaran tentang Hana. Ia sering mendapati pikirannya melayang, memikirkan senyuman dan sikap lembut Hana. Dalam beberapa kesempatan, Ryan mencoba mencari tahu lebih banyak tentang Hana.Ia bertanya secara tidak langsung kepada teman-teman BEM yang berasal dari FKIP PGSD, satu prodi dengan Hana. Namun, jawaban yang ia dapatkan terbatas, hanya sebatas informasi bahwa Hana adalah sosok yang suka baca dan sering mengunjungi perpustakaan fakultas.Ryan bahkan mencoba mencari tahu melalui akun media sosialnya, tetapi Hana jarang sekali memposting apa pun. Meskipun begitu, usaha Ryan tak pernah surut. Baginya, semakin sulit mencari tahu, semakin kuat keinginannya untuk mengenal Hana lebih dekat."Apa aku harus menemui Hana di FKIP?" batinnya perlahan.Ryan memutar otak. Setelah ditinggal Icha ke Jerman, baru kali ini Ryan merasakan degupan yang tak beraturan ketika berhadapan dengan perempuan. Di kampus Nusantara, banyak perempuan yang mengidolakanny

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-01-21

บทล่าสุด

  • Jejak Cinta Sang Presiden Mahasiswa   BAB 11: Hana Berbohong

    Ryan masih memegangi perutnya dengan napas tersengal. Tubuhnya gemetar, baik karena rasa sakit maupun kekhawatiran. Sambil membantu Ryan berdiri, Dika mengedarkan pandangan ke sekitar bascamp, memastikan tak ada lagi orang yang mencurigakan."Kamu yakin aman?" tanya Dika, suaranya terdengar tegang.Ryan mengangguk lemah. "Aman... cuma perut ini sakit banget."Dika membantu Ryan duduk di kursi terdekat, lalu menatap pintu yang masih terbuka lebar. "Kita harus cari tahu siapa mereka. Ini nggak bisa dianggap enteng."Ryan mencoba berpikir di tengah rasa nyeri yang masih menusuk. Tiga orang tak dikenal masuk ke bascamp dan menyerangnya tanpa alasan jelas. Apakah mereka terkait dengan proposal palsu? Atau ini adalah ancaman langsung untuknya sebagai Ketua BEM?"Aku rasa mereka ada hubungannya dengan masalah sponsor tadi," ujar Ryan dengan pelan. "Mereka tahu sesuatu."Dika menghela napas panjang. "Aku setuju, tapi ini terlalu bahaya, Ryan. Kalau

  • Jejak Cinta Sang Presiden Mahasiswa   BAB 10: Tiga Orang Tak Dikenal

    Ruangan bascamp terasa seperti medan perang, bukan lagi tempat diskusi. Tuduhan demi tuduhan mulai dilemparkan oleh anggota kabinet, masing-masing berusaha membela diri. Ryan, yang duduk di ujung meja sebagai Ketua BEM, hanya bisa bersandar lemah. Perutnya masih terasa nyeri luar biasa setelah terapi di rumah Mbah Joko, sehingga ia sulit bergerak. Ia berbicara pelan, hampir berbisik, agar tidak memicu rasa sakit di tubuhnya."Kita... nggak bisa... saling tuduh tanpa bukti," ucap Ryan dengan suara pelan namun tegas, mencoba meredakan situasi. Meski sulit, ia tahu bahwa tanggung jawab sebagai ketua tak memungkinkannya untuk diam.Arya, ketua divisi humas, menggebrak meja. "Kita tidak mungkin melanjutkan acara tanpa sponsor utama! Dan kalau benar ada orang dalam yang membocorkan informasi ini, dia sudah menghancurkan kerja keras kita semua!""Jangan asal tuduh, Arya!" balas Yuni, ketua divisi logistik. "Bisa saja ini ulah pihak luar yang ingin menjatuhkan kita. Kam

  • Jejak Cinta Sang Presiden Mahasiswa   Bab 9: Masalah Baru

    Sudah beberapa hari berlalu sejak pertandingan persahabatan bela diri antar fakultas, namun rasa sakit di perut Ryan belum juga hilang. Pertandingan itu berlangsung sengit, terutama ketika Ryan harus berhadapan dengan Alvin, seorang mahasiswa dari Fakultas Hukum yang mengajaknya duel di pertandingan persahabatan. Meski merasakan sakit di perutnya, Ryan masih bisa beraktivitas seperti biasanya. Namun, seperti yang dikatakan dokter Surya, ia tidak boleh terlalu memforsir diri. Jabatan sebuaha ketua BEM memaksanya untuk tetap mengikuti beberapa kegiatan yang sudah dijadwalkan. Seperti halnya kemarin, ia harus menjadi pembicara dalam seminar nasional UMKM yang diadakan pihak kampus.Siang ini, ia tak ada jadwal kuliah. Di kamar kosnya, Ryan terbaring lemas di atas kasur. Perutnya terasa perih setiap kali ia mencoba bangun. Ia sudah mencoba mengompres dengan air hangat dan meminum obat, tetapi tak ada yang meredakan rasa sakitnya. Padahal, ketika ia beraktivitas, sakitnya tidak terlalu te

  • Jejak Cinta Sang Presiden Mahasiswa   BAB 8: Bertemu Lagi

    Sejak pertemuan di gazebo, Ryan semakin penasaran tentang Hana. Ia sering mendapati pikirannya melayang, memikirkan senyuman dan sikap lembut Hana. Dalam beberapa kesempatan, Ryan mencoba mencari tahu lebih banyak tentang Hana.Ia bertanya secara tidak langsung kepada teman-teman BEM yang berasal dari FKIP PGSD, satu prodi dengan Hana. Namun, jawaban yang ia dapatkan terbatas, hanya sebatas informasi bahwa Hana adalah sosok yang suka baca dan sering mengunjungi perpustakaan fakultas.Ryan bahkan mencoba mencari tahu melalui akun media sosialnya, tetapi Hana jarang sekali memposting apa pun. Meskipun begitu, usaha Ryan tak pernah surut. Baginya, semakin sulit mencari tahu, semakin kuat keinginannya untuk mengenal Hana lebih dekat."Apa aku harus menemui Hana di FKIP?" batinnya perlahan.Ryan memutar otak. Setelah ditinggal Icha ke Jerman, baru kali ini Ryan merasakan degupan yang tak beraturan ketika berhadapan dengan perempuan. Di kampus Nusantara, banyak perempuan yang mengidolakanny

  • Jejak Cinta Sang Presiden Mahasiswa   BAB 7: Seminar Nasional

    "Nanti salam buat Ryan, ya, Han, hihi," celoteh Lia sembari membereskan buku-buku di tasnya, memastikan tidak ada yang tertinggal."Aku nggak kenal gimana mau nyalamin," Hana terpaksa berbohong. Ia tahu betul karakter Lia. Hana tidak mungkin cerita yang sebenarnya tentang kejadian di klinik kampus dua hari yang lalu."Aku berangkat dulu, ya,bye!"Hana melangkahkan kaki keluar dari gerbang kosnya. Hari ini ia akan menghadiri Seminar Nasional UMKM yang diadakan di Gedung Soekarno, gedung yang biasanya dipakai untuk acara-acara seminar. Jarak dari kos menuju gedung Soekarno sekitar satu kilometer. Namun, Hana sudah biasa jalan kaki ke kampus.Di depan gerbang Gedung Soekarno, Alvin menghentikan motornya tepat di samping Hana."Hai, Han!" Alvin tersenyum ke arah Hana. Hana hanya melirik sekilas dan tetap menghentikan langkahnya."Han, jangan cuek-cuek, dong. Nanti cantiknya luntur, lho!" goda Alvin."Vin, kamu keterlaluan b

  • Jejak Cinta Sang Presiden Mahasiswa   BAB 6: Rencana Bahaya

    Ruangan rapat BEM Universitas Nusantara terasa lebih panas dari biasanya, meskipun kipas angin besar di sudut ruangan terus berputar. Meja oval yang menjadi pusat diskusi penuh dengan laptop, buku catatan, dan secangkir kopi yang hampir kosong.Di ujung meja, Ryan Ramadhani, Presiden Mahasiswa, duduk dengan tatapan serius, mencermati laporan yang baru saja dibacakan oleh sekretarisnya.“Baik, teman-teman,” suara Ryan memecah keheningan, tegas namun tetap hangat.“Hari ini kita bahas hasil dari konferensi aspirasi mahasiswa minggu lalu. Banyak sekali curhatan yang masuk. Sekarang, kita perlu memilah mana yang bisa kita tindak lanjuti segera, dan mana yang memerlukan strategi lebih besar.”Korupsi, kolusi, dan nepotisme di Universitas Nusantara telah menjadi rahasia umum yang menyesakkan dada, namun tidak ada seorang pun yang berani melawannya. Dalam lingkaran kekuasaan kampus, praktik ini seolah menjadi bagian dari budaya yang tak t

  • Jejak Cinta Sang Presiden Mahasiswa   BAB 5: Bertemu di Klinik

    Ryan terbangun di keheningan subuh, disambut oleh rasa sakit yang tajam di punggung dan perutnya. Sisa-sisa serangan brutal dari Alvin semalam terasa seperti beban yang menekan tubuhnya.Setiap gerakan kecil membuat otot-ototnya menjerit, tapi ia memaksa diri untuk bangkit dari ranjang. Dengan napas berat, Ryan berwudhu perlahan, berpegangan pada dinding kamar mandi untuk menjaga keseimbangan.Saat berdiri menghadap sajadah, ia merasakan nyeri menjalar di punggung, membuat tubuhnya sedikit membungkuk. Ia menunaikan sholat subuh dengan hati-hati, gerakan rukuk dan sujud terasa seperti tantangan berat. Namun, ia tetap khusyuk, memohon kekuatan dan kesembuhan.Setelah selesai, Ryan kembali ke ranjang. Tubuhnya terasa lemah dan keringat dingin membasahi pelipisnya. Ia berbaring, mencoba mencari posisi yang tidak menyakitkan, lalu perlahan-lahan terlelap lagi, membiarkan kelelahan dan rasa sakit membawanya ke dalam tidur yang gelisah.Dika memarkir motornya di depan kos Ryan. Ketika akan m

  • Jejak Cinta Sang Presiden Mahasiswa   BAB 4: Pertandingan Persahabatan

    Suasana kampus terasa tenang dengan semilir angin yang berhembus lembut di antara pepohonan rindang. Setelah menyelesaikan mata kuliah, Hana dan Lia memutuskan untuk duduk santai di gazebo yang terletak di taman tengah kampus. Gazebo itu dikelilingi bunga-bunga bermekaran yang menambah kesan segar.Hana menyandarkan punggungnya dengan santai sambil menyeruput minuman dingin dari botol, sementara Lia membuka buku catatan, sesekali tertawa kecil saat mereka berbincang ringan tentang materi kuliah yang baru saja selesai.Suara burung berkicau dan gemericik air dari kolam kecil di dekat gazebo menambah kedamaian sore itu, menciptakan momen santai yang penuh kebersamaan di sela rutinitas perkuliahan."Hadeh, sebel banget bisa-bisanya dititipin ke aku. Kemana coba aku harus nyari si presma itu?" Key datang dengan terengah-engah, meletakkan map besar di meja gazebo tempat Hana dan Lia tengah santai menunggu jam kuliah selanjutnya.

  • Jejak Cinta Sang Presiden Mahasiswa   BAB 3: Tantangan

    Sejak menjadi Presiden Mahasiswa (Presma), Ryan Ramadhani tak pernah benar-benar memiliki waktu untuk dirinya sendiri. Agenda rapat, audiensi dengan pihak kampus, hingga diskusi bersama mahasiswa hampir memenuhi setiap harinya. Namun, Ryan tidak pernah mengeluh. Ia tahu, tanggung jawab besar menuntut pengorbanan.Hari itu, Ryan baru saja selesai memimpin diskusi tentang transparansi anggaran organisasi mahasiswa ketika seorang mahasiswa berbadan kekar menghampirinya di lobi gedung BEM.“Mas Ryan!” panggil mahasiswa itu dengan suara lantang.Ryan menoleh dan tersenyum. “Vino, ya? Ada apa?”Vino, adik tingkat dari Fakultas Teknik yang tergabung dalam Kombimatik (Komunitas Bela Diri Anak Teknik), menggaruk kepalanya dengan canggung. “Mas, saya mau ngajak Mas Ryan ke bascam Kombimatik. Anak-anak mau kenalan sama Mas, sekalian ada hal penting yang perlu dibicarakan.”Ryan mengernyitkan dahi. “Kayaknya habis ini aku ada jam kuliah, Vin. Satu setengah jam lagi, sih.”“Cuma sebentar, Mas. Ini

สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status