(Flashback)
Aula utama Universitas Nusantara dipadati mahasiswa. Mereka datang bukan hanya untuk menyaksikan orasi ketiga kandidat, tetapi juga untuk melihat siapa yang paling layak memimpin mereka. Di panggung utama, Alvin, Rahmi, dan Ryan berdiri sejajar, mengenakan pakaian rapi, dengan ekspresi yang mencerminkan keyakinan masing-masing.
Alvin adalah yang pertama melangkah maju. Dengan postur tinggi dan suara yang lantang, dia membawa energi yang memukau. “Mahasiswa Universitas Nusantara!” serunya, membuat hadirin langsung diam memperhatikan. “Kita adalah generasi penerus bangsa! Dengan inovasi dan keberanian, kita bisa menciptakan kampus yang modern dan progresif. Saya berjanji akan membawa teknologi ke setiap sudut kampus kita!”
Pidatonya dipenuhi dengan visi tentang digitalisasi dan modernisasi kampus. Alvin jelas mengincar mahasiswa dari jurusan teknik dan informatika yang menjadi basis pendukung utamanya. Namun, meski energik, orasinya terasa seperti janji kosong bagi sebagian mahasiswa yang lebih peduli pada isu sosial.
Berikutnya, Rahmi Syafira mengambil alih panggung. Dia adalah satu-satunya kandidat perempuan, dan kehadirannya membawa angin segar di tengah dominasi laki-laki dalam politik kampus. Dengan suara lembut tapi tegas, dia membuka orasi, “Kampus ini bukan hanya tentang pencapaian akademik, tetapi juga tentang keberagaman, keadilan, dan inklusi. Saya akan memastikan bahwa semua mahasiswa, tanpa terkecuali, memiliki hak yang sama untuk berkembang.”
Pidato Rahmi mendapatkan tepuk tangan meriah, terutama dari mahasiswa yang aktif di kegiatan sosial. Dia berhasil menyentuh hati mereka dengan program-program yang berfokus pada kesetaraan gender, beasiswa untuk mahasiswa kurang mampu, dan perhatian terhadap kesehatan mental. Namun, ada yang merasa bahwa pendekatannya terlalu idealis dan sulit untuk diwujudkan dalam waktu singkat.
Ketika giliran Ryan tiba, aula seolah menjadi lebih tenang. Dengan langkah mantap, dia maju ke tengah panggung. Tidak ada ekspresi tegang di wajahnya, hanya senyum tipis yang menandakan kepercayaan diri. Wajah tampannya berhasil menarik perhatian para mahasiswi.
“Teman-teman mahasiswa Universitas Nusantara,” katanya, suaranya terdengar jernih di seluruh ruangan. “Hari ini, kita tidak hanya memilih seorang presiden. Kita memilih arah. Kita memilih harapan.”
Ryan berbicara tanpa teks, hanya mengandalkan keyakinan dan pengalaman. Dia mengangkat isu-isu nyata yang dirasakan mahasiswa: kenaikan biaya kuliah, fasilitas kampus yang terbatas, dan transparansi dalam pengelolaan dana mahasiswa. Namun, bukan hanya isi pidatonya yang memukau, melainkan cara dia menyampaikannya. Ryan berbicara dengan nada yang penuh empati, tapi juga tegas. Dia tidak hanya menawarkan solusi, tetapi juga mengajak semua orang untuk menjadi bagian dari perubahan.
“Kita bisa mengeluh sepanjang hari tentang apa yang salah di kampus ini,” lanjutnya, “tapi perubahan tidak akan datang jika kita hanya menunggu. Saya berdiri di sini hari ini bukan untuk menjadi pemimpin kalian, tetapi untuk menjadi suara kalian. Mari kita bersama-sama menciptakan kampus yang lebih baik.”
Tepuk tangan bergemuruh di seluruh aula. Mahasiswa dari berbagai fakultas, yang sebelumnya ragu-ragu, mulai berdiri dan memberikan sorakan dukungan. Ada sesuatu dalam cara Ryan berbicara yang membuatnya terasa dekat, seolah dia benar-benar memahami apa yang dirasakan oleh setiap orang di ruangan itu.
Ketegangan terasa di udara pada hari pemilu. Mahasiswa dari seluruh penjuru kampus berdatangan ke bilik-bilik suara yang tersebar di beberapa lokasi. Panitia pemilu bekerja keras memastikan proses berjalan lancar, sementara pendukung masing-masing kandidat sibuk mengajak teman-temannya untuk memberikan suara.
Alvin dan timnya optimis dengan dukungan besar dari mahasiswa teknik. Rahmi juga yakin bahwa program-program sosialnya telah menarik perhatian banyak mahasiswa, terutama dari jurusan humaniora. Namun, Ryan dan timnya memiliki pendekatan yang berbeda. Mereka tidak hanya mengandalkan dukungan dari satu kelompok, tetapi mencoba merangkul semua kalangan. Pendekatan ini terbukti efektif.
Malam penghitungan suara adalah momen yang mendebarkan. Aula utama kembali dipenuhi mahasiswa, kali ini dengan suasana yang lebih tegang. Ketika hasil akhirnya diumumkan, suasana meledak dengan sorakan dan tepuk tangan. Ryan Ramadhani memperoleh suara terbanyak, meninggalkan Alvin dan Rahmi di posisi kedua dan ketiga.
Ryan naik ke atas panggung untuk memberikan pidato kemenangannya. Dia tidak berbicara lama, hanya beberapa kalimat yang sederhana namun kuat: “Kemenangan ini bukan milik saya. Ini adalah kemenangan kita semua. Ini adalah awal dari perjalanan panjang untuk membawa perubahan. Saya tidak bisa melakukannya sendiri. Saya membutuhkan kalian semua untuk tetap berjuang bersama.”
Sorakan menggema di seluruh aula. Hari itu, Ryan Ramadhani resmi menjadi Presiden Mahasiswa, membawa harapan baru bagi kampus Universitas Nusantara.
Meskipun kemenangan ini adalah puncak dari kerja kerasnya, Ryan tahu bahwa tantangan sesungguhnya baru saja dimulai. Dia menyadari bahwa kepercayaan yang diberikan kepadanya bukanlah sesuatu yang bisa dianggap enteng. Dalam hati, dia berjanji akan menjalankan tugasnya dengan sebaik mungkin, demi semua orang yang telah mempercayainya.
---
Malam telah larut, dan suasana di kamar Hana Zarifa dipenuhi keheningan yang hanya diiringi suara lembut dari kipas angin kecil di sudut ruangan. Kamar itu sederhana namun nyaman, dengan dinding yang dihiasi beberapa foto bersama keluarga dan teman-temannya. Di atas meja belajar yang rapi, laptop terbuka dengan layar menampilkan dokumen tugas kuliah yang harus dikumpulkan esok pagi. Hana duduk dengan tenang di kursinya, mengenakan kaos longgar dan celana piyama, rambutnya diikat asal, memperlihatkan fokus yang penuh pada pekerjaannya.
Jari-jarinya mengetik dengan cekatan, sesekali berhenti untuk memikirkan kalimat berikutnya. Buku-buku teori pendidikan berserakan di meja, menambah kesan betapa seriusnya dia dalam menyelesaikan tugas. Namun, meskipun sibuk, ada keteduhan yang terpancar dari raut wajahnya — kesabaran dan ketekunan yang membuatnya istimewa.
Tiba-tiba, pintu kamarnya terbuka tanpa diketuk. Seorang perempuan masuk dengan langkah santai sambil membawa bantal kecil di tangannya. Lia, sahabat dekat Hana, adalah tipe orang yang tidak perlu izin untuk masuk ke kamar ini. Dengan senyum lebar, dia langsung menjatuhkan dirinya di atas kasur Hana tanpa mempedulikan pemilik kamar yang masih sibuk.
“Hanaaaa, aku harus cerita!” seru Lia, memeluk bantalnya dengan penuh antusias.
Hana menoleh, mengangkat alis sambil tersenyum kecil. “Cerita apa lagi? Aku masih ngerjain tugas, nih.”
“Ini penting banget, janji nggak bakal nyesel dengar,” balas Lia sambil duduk bersila di kasur, matanya berbinar seperti anak kecil yang baru saja menemukan mainan baru. “Kamu tahu kan siapa Ryan Ramadhani?”
Nama itu membuat Hana menghela napas kecil, lalu kembali fokus ke laptopnya. “Ya, siapa sih yang nggak tahu? Presiden Mahasiswa yang baru, kan? Kenapa memangnya?”
“Hana, kamu nggak paham betapa kerennya dia!” Lia mendekatkan tubuhnya ke arah meja belajar, seperti berbisik meskipun tidak ada orang lain di ruangan itu. “Dia tuh nggak cuma ganteng, tapi juga pintar, karismatik, dan... oh, suaranya waktu orasi kemarin! Aku langsung jatuh hati.”
Hana tertawa kecil, menutup laptopnya untuk sejenak memberikan perhatian pada sahabatnya. “Li, kamu bilang itu hampir ke semua orang yang kamu suka. Apa bedanya sekarang?”
Lia menggembungkan pipinya, pura-pura kesal. “Bedanya, Ryan itu nyata! Maksudku, dia nggak cuma jadi presiden mahasiswa karena popularitas, tapi dia benar-benar peduli sama mahasiswa. Program-programnya itu loh, bikin kampus kita lebih baik. Dan aku dengar, dia lagi berusaha melawan ketidakadilan di kampus ini.”
Hana mendengarkan dengan penuh perhatian, meski ada sedikit skeptis di hatinya. Bagi Hana, pujian-pujian seperti itu sering terdengar berlebihan, terutama dari Lia. Tapi dia tahu, mahasiswi mana yang tidak mengagung-agungkan nama Ryan Ramadhani.
“Oke, kalau gitu, kenapa kamu cerita ini ke aku? Apa aku harus bantu kamu bikin strategi buat ngobrol sama dia?” Hana menggoda, membuat Lia memukul lengannya dengan bantal kecil.
“Gini. Pekan depan ada pertandingan persahabatan bela diri antara Ryan sama Alvin di fakultas hukum. Kamu mau nemenin aku lihat, kan?" Lia membujuk dengan suara manja.
"Alvin?" mata Hana terbelalak.
"Iya. Alvin yang suka ngejar-ngejar kamu dari SMA. Kamu harus dukung dia, Han!" Lia menggoda.
"Li. Apaan, sih. Males banget. Ogah!" Hana menjawab dengan ketus.
Alvin dan Hana satu SMA dan sekarang dipertemukan lagi di satu kampus, namun beda fakultas. Meskipun jarak FH dan FKIP cukup jauh, hal tersebut tidak mengurangi semangat Alvin untuk tetap mengejar pujaan hatinya. Hampir setiap hari, Alvin bertandang ke FKIP. Padahal, Hana sudah terang-terangan menolaknya dan hanya ingin berteman. Tapi, bukan Alvin namanya jika menyerah begitu saja.
"Ayolah, Han. Hem, lupakan Alvin! Kamu harus nemenin aku lihat ayank Ryan," Lia semakin manja. Hana menatap Lia dengan sorot mata geli.
"Emangnya Ryan tu kayak gimana, sih, orangnya?" tanya Hana dengan tatapan fokus di depan laptopnya.
"Han? Kamu nggak tahu Ryan? Jangan bilang kamu belum pernah tahu wajahnya Ryan?"
"Emang belum," jawab Hana enteng.
"Astaga, Hanaaa!!! Ryan Ramadhani, mahasiswa Teknik Sipil, ketua BEM, ganteng, ramah, baik, berkharisma. Kamu nggak tahu?" Lia memukul lengan Hana dengan gemas.
"Emang aku nggak mau tahu, sih. Buat apa juga," celetuk Hana.
"Pokoknya kamu harus nemenin aku pekan depan. Wajib. Kalau nggak mau, aku marah. Ya udah. Bye!"
Ryan Ramadhani tidak selalu menjadi sosok yang tangguh dan kharismatik seperti sekarang. Di balik senyum yang kerap ia tunjukkan di depan publik, ada luka lama yang masih membekas. Luka yang ia simpan rapat-rapat, terbungkus dalam kesibukan dan ambisi yang ia kejar tanpa henti.Semua berawal di sebuah diskusi terbuka yang diadakan oleh Fakultas Hukum. Ryan, yang saat itu masih semester tiga, ikut serta sebagai perwakilan Fakultas Teknik. Diskusi itu membahas isu hak-hak buruh, sebuah topik yang menarik perhatian Ryan karena ia tumbuh dalam keluarga pekerja keras. Di sana, ia bertemu dengan Alisa Firdaus, atau yang akrab dipanggil Icha, seorang mahasiswi Fakultas Hukum yang cerdas dan penuh semangat.Icha memiliki aura yang sulit diabaikan. Pengetahuannya tentang hukum sangat mendalam, dan cara ia berbicara menunjukkan keberanian serta kepedulian yang tulus terhadap isu-isu sosial. Ryan, yang biasanya hanya fokus pada argumen logis dan data, mendapati dirinya terpukau oleh cara Icha me
Sejak menjadi Presiden Mahasiswa (Presma), Ryan Ramadhani tak pernah benar-benar memiliki waktu untuk dirinya sendiri. Agenda rapat, audiensi dengan pihak kampus, hingga diskusi bersama mahasiswa hampir memenuhi setiap harinya. Namun, Ryan tidak pernah mengeluh. Ia tahu, tanggung jawab besar menuntut pengorbanan.Hari itu, Ryan baru saja selesai memimpin diskusi tentang transparansi anggaran organisasi mahasiswa ketika seorang mahasiswa berbadan kekar menghampirinya di lobi gedung BEM.“Mas Ryan!” panggil mahasiswa itu dengan suara lantang.Ryan menoleh dan tersenyum. “Vino, ya? Ada apa?”Vino, adik tingkat dari Fakultas Teknik yang tergabung dalam Kombimatik (Komunitas Bela Diri Anak Teknik), menggaruk kepalanya dengan canggung. “Mas, saya mau ngajak Mas Ryan ke bascam Kombimatik. Anak-anak mau kenalan sama Mas, sekalian ada hal penting yang perlu dibicarakan.”Ryan mengernyitkan dahi. “Kayaknya habis ini aku ada jam kuliah, Vin. Satu setengah jam lagi, sih.”“Cuma sebentar, Mas. Ini
Suasana kampus terasa tenang dengan semilir angin yang berhembus lembut di antara pepohonan rindang. Setelah menyelesaikan mata kuliah, Hana dan Lia memutuskan untuk duduk santai di gazebo yang terletak di taman tengah kampus. Gazebo itu dikelilingi bunga-bunga bermekaran yang menambah kesan segar.Hana menyandarkan punggungnya dengan santai sambil menyeruput minuman dingin dari botol, sementara Lia membuka buku catatan, sesekali tertawa kecil saat mereka berbincang ringan tentang materi kuliah yang baru saja selesai.Suara burung berkicau dan gemericik air dari kolam kecil di dekat gazebo menambah kedamaian sore itu, menciptakan momen santai yang penuh kebersamaan di sela rutinitas perkuliahan."Hadeh, sebel banget bisa-bisanya dititipin ke aku. Kemana coba aku harus nyari si presma itu?" Key datang dengan terengah-engah, meletakkan map besar di meja gazebo tempat Hana dan Lia tengah santai menunggu jam kuliah selanjutnya.
Ryan terbangun di keheningan subuh, disambut oleh rasa sakit yang tajam di punggung dan perutnya. Sisa-sisa serangan brutal dari Alvin semalam terasa seperti beban yang menekan tubuhnya.Setiap gerakan kecil membuat otot-ototnya menjerit, tapi ia memaksa diri untuk bangkit dari ranjang. Dengan napas berat, Ryan berwudhu perlahan, berpegangan pada dinding kamar mandi untuk menjaga keseimbangan.Saat berdiri menghadap sajadah, ia merasakan nyeri menjalar di punggung, membuat tubuhnya sedikit membungkuk. Ia menunaikan sholat subuh dengan hati-hati, gerakan rukuk dan sujud terasa seperti tantangan berat. Namun, ia tetap khusyuk, memohon kekuatan dan kesembuhan.Setelah selesai, Ryan kembali ke ranjang. Tubuhnya terasa lemah dan keringat dingin membasahi pelipisnya. Ia berbaring, mencoba mencari posisi yang tidak menyakitkan, lalu perlahan-lahan terlelap lagi, membiarkan kelelahan dan rasa sakit membawanya ke dalam tidur yang gelisah.Dika memarkir motornya di depan kos Ryan. Ketika akan m
Ruangan rapat BEM Universitas Nusantara terasa lebih panas dari biasanya, meskipun kipas angin besar di sudut ruangan terus berputar. Meja oval yang menjadi pusat diskusi penuh dengan laptop, buku catatan, dan secangkir kopi yang hampir kosong.Di ujung meja, Ryan Ramadhani, Presiden Mahasiswa, duduk dengan tatapan serius, mencermati laporan yang baru saja dibacakan oleh sekretarisnya.“Baik, teman-teman,” suara Ryan memecah keheningan, tegas namun tetap hangat.“Hari ini kita bahas hasil dari konferensi aspirasi mahasiswa minggu lalu. Banyak sekali curhatan yang masuk. Sekarang, kita perlu memilah mana yang bisa kita tindak lanjuti segera, dan mana yang memerlukan strategi lebih besar.”Korupsi, kolusi, dan nepotisme di Universitas Nusantara telah menjadi rahasia umum yang menyesakkan dada, namun tidak ada seorang pun yang berani melawannya. Dalam lingkaran kekuasaan kampus, praktik ini seolah menjadi bagian dari budaya yang tak t
"Nanti salam buat Ryan, ya, Han, hihi," celoteh Lia sembari membereskan buku-buku di tasnya, memastikan tidak ada yang tertinggal."Aku nggak kenal gimana mau nyalamin," Hana terpaksa berbohong. Ia tahu betul karakter Lia. Hana tidak mungkin cerita yang sebenarnya tentang kejadian di klinik kampus dua hari yang lalu."Aku berangkat dulu, ya,bye!"Hana melangkahkan kaki keluar dari gerbang kosnya. Hari ini ia akan menghadiri Seminar Nasional UMKM yang diadakan di Gedung Soekarno, gedung yang biasanya dipakai untuk acara-acara seminar. Jarak dari kos menuju gedung Soekarno sekitar satu kilometer. Namun, Hana sudah biasa jalan kaki ke kampus.Di depan gerbang Gedung Soekarno, Alvin menghentikan motornya tepat di samping Hana."Hai, Han!" Alvin tersenyum ke arah Hana. Hana hanya melirik sekilas dan tetap menghentikan langkahnya."Han, jangan cuek-cuek, dong. Nanti cantiknya luntur, lho!" goda Alvin."Vin, kamu keterlaluan b
Sejak pertemuan di gazebo, Ryan semakin penasaran tentang Hana. Ia sering mendapati pikirannya melayang, memikirkan senyuman dan sikap lembut Hana. Dalam beberapa kesempatan, Ryan mencoba mencari tahu lebih banyak tentang Hana.Ia bertanya secara tidak langsung kepada teman-teman BEM yang berasal dari FKIP PGSD, satu prodi dengan Hana. Namun, jawaban yang ia dapatkan terbatas, hanya sebatas informasi bahwa Hana adalah sosok yang suka baca dan sering mengunjungi perpustakaan fakultas.Ryan bahkan mencoba mencari tahu melalui akun media sosialnya, tetapi Hana jarang sekali memposting apa pun. Meskipun begitu, usaha Ryan tak pernah surut. Baginya, semakin sulit mencari tahu, semakin kuat keinginannya untuk mengenal Hana lebih dekat."Apa aku harus menemui Hana di FKIP?" batinnya perlahan.Ryan memutar otak. Setelah ditinggal Icha ke Jerman, baru kali ini Ryan merasakan degupan yang tak beraturan ketika berhadapan dengan perempuan. Di kampus Nusantara, banyak perempuan yang mengidolakanny
Sudah beberapa hari berlalu sejak pertandingan persahabatan bela diri antar fakultas, namun rasa sakit di perut Ryan belum juga hilang. Pertandingan itu berlangsung sengit, terutama ketika Ryan harus berhadapan dengan Alvin, seorang mahasiswa dari Fakultas Hukum yang mengajaknya duel di pertandingan persahabatan. Meski merasakan sakit di perutnya, Ryan masih bisa beraktivitas seperti biasanya. Namun, seperti yang dikatakan dokter Surya, ia tidak boleh terlalu memforsir diri. Jabatan sebuaha ketua BEM memaksanya untuk tetap mengikuti beberapa kegiatan yang sudah dijadwalkan. Seperti halnya kemarin, ia harus menjadi pembicara dalam seminar nasional UMKM yang diadakan pihak kampus.Siang ini, ia tak ada jadwal kuliah. Di kamar kosnya, Ryan terbaring lemas di atas kasur. Perutnya terasa perih setiap kali ia mencoba bangun. Ia sudah mencoba mengompres dengan air hangat dan meminum obat, tetapi tak ada yang meredakan rasa sakitnya. Padahal, ketika ia beraktivitas, sakitnya tidak terlalu te
Ryan masih memegangi perutnya dengan napas tersengal. Tubuhnya gemetar, baik karena rasa sakit maupun kekhawatiran. Sambil membantu Ryan berdiri, Dika mengedarkan pandangan ke sekitar bascamp, memastikan tak ada lagi orang yang mencurigakan."Kamu yakin aman?" tanya Dika, suaranya terdengar tegang.Ryan mengangguk lemah. "Aman... cuma perut ini sakit banget."Dika membantu Ryan duduk di kursi terdekat, lalu menatap pintu yang masih terbuka lebar. "Kita harus cari tahu siapa mereka. Ini nggak bisa dianggap enteng."Ryan mencoba berpikir di tengah rasa nyeri yang masih menusuk. Tiga orang tak dikenal masuk ke bascamp dan menyerangnya tanpa alasan jelas. Apakah mereka terkait dengan proposal palsu? Atau ini adalah ancaman langsung untuknya sebagai Ketua BEM?"Aku rasa mereka ada hubungannya dengan masalah sponsor tadi," ujar Ryan dengan pelan. "Mereka tahu sesuatu."Dika menghela napas panjang. "Aku setuju, tapi ini terlalu bahaya, Ryan. Kalau
Ruangan bascamp terasa seperti medan perang, bukan lagi tempat diskusi. Tuduhan demi tuduhan mulai dilemparkan oleh anggota kabinet, masing-masing berusaha membela diri. Ryan, yang duduk di ujung meja sebagai Ketua BEM, hanya bisa bersandar lemah. Perutnya masih terasa nyeri luar biasa setelah terapi di rumah Mbah Joko, sehingga ia sulit bergerak. Ia berbicara pelan, hampir berbisik, agar tidak memicu rasa sakit di tubuhnya."Kita... nggak bisa... saling tuduh tanpa bukti," ucap Ryan dengan suara pelan namun tegas, mencoba meredakan situasi. Meski sulit, ia tahu bahwa tanggung jawab sebagai ketua tak memungkinkannya untuk diam.Arya, ketua divisi humas, menggebrak meja. "Kita tidak mungkin melanjutkan acara tanpa sponsor utama! Dan kalau benar ada orang dalam yang membocorkan informasi ini, dia sudah menghancurkan kerja keras kita semua!""Jangan asal tuduh, Arya!" balas Yuni, ketua divisi logistik. "Bisa saja ini ulah pihak luar yang ingin menjatuhkan kita. Kam
Sudah beberapa hari berlalu sejak pertandingan persahabatan bela diri antar fakultas, namun rasa sakit di perut Ryan belum juga hilang. Pertandingan itu berlangsung sengit, terutama ketika Ryan harus berhadapan dengan Alvin, seorang mahasiswa dari Fakultas Hukum yang mengajaknya duel di pertandingan persahabatan. Meski merasakan sakit di perutnya, Ryan masih bisa beraktivitas seperti biasanya. Namun, seperti yang dikatakan dokter Surya, ia tidak boleh terlalu memforsir diri. Jabatan sebuaha ketua BEM memaksanya untuk tetap mengikuti beberapa kegiatan yang sudah dijadwalkan. Seperti halnya kemarin, ia harus menjadi pembicara dalam seminar nasional UMKM yang diadakan pihak kampus.Siang ini, ia tak ada jadwal kuliah. Di kamar kosnya, Ryan terbaring lemas di atas kasur. Perutnya terasa perih setiap kali ia mencoba bangun. Ia sudah mencoba mengompres dengan air hangat dan meminum obat, tetapi tak ada yang meredakan rasa sakitnya. Padahal, ketika ia beraktivitas, sakitnya tidak terlalu te
Sejak pertemuan di gazebo, Ryan semakin penasaran tentang Hana. Ia sering mendapati pikirannya melayang, memikirkan senyuman dan sikap lembut Hana. Dalam beberapa kesempatan, Ryan mencoba mencari tahu lebih banyak tentang Hana.Ia bertanya secara tidak langsung kepada teman-teman BEM yang berasal dari FKIP PGSD, satu prodi dengan Hana. Namun, jawaban yang ia dapatkan terbatas, hanya sebatas informasi bahwa Hana adalah sosok yang suka baca dan sering mengunjungi perpustakaan fakultas.Ryan bahkan mencoba mencari tahu melalui akun media sosialnya, tetapi Hana jarang sekali memposting apa pun. Meskipun begitu, usaha Ryan tak pernah surut. Baginya, semakin sulit mencari tahu, semakin kuat keinginannya untuk mengenal Hana lebih dekat."Apa aku harus menemui Hana di FKIP?" batinnya perlahan.Ryan memutar otak. Setelah ditinggal Icha ke Jerman, baru kali ini Ryan merasakan degupan yang tak beraturan ketika berhadapan dengan perempuan. Di kampus Nusantara, banyak perempuan yang mengidolakanny
"Nanti salam buat Ryan, ya, Han, hihi," celoteh Lia sembari membereskan buku-buku di tasnya, memastikan tidak ada yang tertinggal."Aku nggak kenal gimana mau nyalamin," Hana terpaksa berbohong. Ia tahu betul karakter Lia. Hana tidak mungkin cerita yang sebenarnya tentang kejadian di klinik kampus dua hari yang lalu."Aku berangkat dulu, ya,bye!"Hana melangkahkan kaki keluar dari gerbang kosnya. Hari ini ia akan menghadiri Seminar Nasional UMKM yang diadakan di Gedung Soekarno, gedung yang biasanya dipakai untuk acara-acara seminar. Jarak dari kos menuju gedung Soekarno sekitar satu kilometer. Namun, Hana sudah biasa jalan kaki ke kampus.Di depan gerbang Gedung Soekarno, Alvin menghentikan motornya tepat di samping Hana."Hai, Han!" Alvin tersenyum ke arah Hana. Hana hanya melirik sekilas dan tetap menghentikan langkahnya."Han, jangan cuek-cuek, dong. Nanti cantiknya luntur, lho!" goda Alvin."Vin, kamu keterlaluan b
Ruangan rapat BEM Universitas Nusantara terasa lebih panas dari biasanya, meskipun kipas angin besar di sudut ruangan terus berputar. Meja oval yang menjadi pusat diskusi penuh dengan laptop, buku catatan, dan secangkir kopi yang hampir kosong.Di ujung meja, Ryan Ramadhani, Presiden Mahasiswa, duduk dengan tatapan serius, mencermati laporan yang baru saja dibacakan oleh sekretarisnya.“Baik, teman-teman,” suara Ryan memecah keheningan, tegas namun tetap hangat.“Hari ini kita bahas hasil dari konferensi aspirasi mahasiswa minggu lalu. Banyak sekali curhatan yang masuk. Sekarang, kita perlu memilah mana yang bisa kita tindak lanjuti segera, dan mana yang memerlukan strategi lebih besar.”Korupsi, kolusi, dan nepotisme di Universitas Nusantara telah menjadi rahasia umum yang menyesakkan dada, namun tidak ada seorang pun yang berani melawannya. Dalam lingkaran kekuasaan kampus, praktik ini seolah menjadi bagian dari budaya yang tak t
Ryan terbangun di keheningan subuh, disambut oleh rasa sakit yang tajam di punggung dan perutnya. Sisa-sisa serangan brutal dari Alvin semalam terasa seperti beban yang menekan tubuhnya.Setiap gerakan kecil membuat otot-ototnya menjerit, tapi ia memaksa diri untuk bangkit dari ranjang. Dengan napas berat, Ryan berwudhu perlahan, berpegangan pada dinding kamar mandi untuk menjaga keseimbangan.Saat berdiri menghadap sajadah, ia merasakan nyeri menjalar di punggung, membuat tubuhnya sedikit membungkuk. Ia menunaikan sholat subuh dengan hati-hati, gerakan rukuk dan sujud terasa seperti tantangan berat. Namun, ia tetap khusyuk, memohon kekuatan dan kesembuhan.Setelah selesai, Ryan kembali ke ranjang. Tubuhnya terasa lemah dan keringat dingin membasahi pelipisnya. Ia berbaring, mencoba mencari posisi yang tidak menyakitkan, lalu perlahan-lahan terlelap lagi, membiarkan kelelahan dan rasa sakit membawanya ke dalam tidur yang gelisah.Dika memarkir motornya di depan kos Ryan. Ketika akan m
Suasana kampus terasa tenang dengan semilir angin yang berhembus lembut di antara pepohonan rindang. Setelah menyelesaikan mata kuliah, Hana dan Lia memutuskan untuk duduk santai di gazebo yang terletak di taman tengah kampus. Gazebo itu dikelilingi bunga-bunga bermekaran yang menambah kesan segar.Hana menyandarkan punggungnya dengan santai sambil menyeruput minuman dingin dari botol, sementara Lia membuka buku catatan, sesekali tertawa kecil saat mereka berbincang ringan tentang materi kuliah yang baru saja selesai.Suara burung berkicau dan gemericik air dari kolam kecil di dekat gazebo menambah kedamaian sore itu, menciptakan momen santai yang penuh kebersamaan di sela rutinitas perkuliahan."Hadeh, sebel banget bisa-bisanya dititipin ke aku. Kemana coba aku harus nyari si presma itu?" Key datang dengan terengah-engah, meletakkan map besar di meja gazebo tempat Hana dan Lia tengah santai menunggu jam kuliah selanjutnya.
Sejak menjadi Presiden Mahasiswa (Presma), Ryan Ramadhani tak pernah benar-benar memiliki waktu untuk dirinya sendiri. Agenda rapat, audiensi dengan pihak kampus, hingga diskusi bersama mahasiswa hampir memenuhi setiap harinya. Namun, Ryan tidak pernah mengeluh. Ia tahu, tanggung jawab besar menuntut pengorbanan.Hari itu, Ryan baru saja selesai memimpin diskusi tentang transparansi anggaran organisasi mahasiswa ketika seorang mahasiswa berbadan kekar menghampirinya di lobi gedung BEM.“Mas Ryan!” panggil mahasiswa itu dengan suara lantang.Ryan menoleh dan tersenyum. “Vino, ya? Ada apa?”Vino, adik tingkat dari Fakultas Teknik yang tergabung dalam Kombimatik (Komunitas Bela Diri Anak Teknik), menggaruk kepalanya dengan canggung. “Mas, saya mau ngajak Mas Ryan ke bascam Kombimatik. Anak-anak mau kenalan sama Mas, sekalian ada hal penting yang perlu dibicarakan.”Ryan mengernyitkan dahi. “Kayaknya habis ini aku ada jam kuliah, Vin. Satu setengah jam lagi, sih.”“Cuma sebentar, Mas. Ini