“Selamat malam Pak Malik dan Bu Alba,” sapa mereka secara serentak.
Apa lagi ini?
Ketika kami sampai di bandara, ada empat orang yang menyambut kami di Saphire Precious Lounge yang terletak dalam kawasan Terminal 1 Bandara Soekarno-Hatta. Hanya satu orang dari mereka yang aku kenal. Namanya Dewi, dia adalah pegawai butik yang kemarin aku datangi.
“Semuanya sudah siap?” tanya Pak Michael pada mereka.
“Siap, Pak!” sahut mereka.
“Pak Malik dan Bu Alba, sebelumnya saya perkenalkan dahulu mereka adalah tim dari Glady Wedding Boutique yang akan membantu mengurus gaun dan riasan Bu Alba,” terang Pak Michael.
Pak Malik mengangguk.
“Kak Alba biar saya saja yang bawa kopernya.” Dewi merebut gagang koper dari tanganku.
Ada apa ini? Aku masih ingat bagaimana kemarin malam wanita ini bahkan tidak menyebut namaku saat aku ke butiknya.
“Kenapa, Kak?” Wajah De
“Mempelai wanita sudah siap.”Aku sungguh takjub dengan kinerja tim Gladys Wedding Boutique. Mereka sukses membuat penampilanku yang biasa saja menjadi luar biasa. Aku bahkan tidak percaya dengan pantulan diriku di depan kaca.“Cantik sekali. Rara tidak salah pilih wanita,” puji Pak Bastian, paman dari Pak Malik.“Terima kasih, Pak.” Aku tersenyum padanya.“Kenapa panggil bapak, sih? Sebentar lagi kita akan jadi keluarga. Panggil saja paman.” Lelaki itu mengangkat tangannya sebagai tanda agar aku menggandeng beliau.“Baik, Paman.”Pak Bastian adalah lelaki yang akan berjalan bersamaku melewati virgin road menggantikan ayah yang sudah tenang di atas sana.“Kak! Tunggu sebentar,” seru Dewi padaku sebelum memasuki aula pernikahan.“Makan ini dahulu, untuk mengurangi rasa gugup.” Dia memberi sepotong cokelat.Sementara diriku menikmati cokelat yang dia berikan, Dewi menyelipkan sesuatu di gaunku.“Saya menaruh beberapa tisu untuk menyeka air mata Kakak dan juga sebuah cermin untuk memeriks
“Hadirin sekalian, izinkan saya perkenalkan pasangan suami-istri, Tuan Rasendriya Tristan Malik dan Nyonya Alba Ayuningtyas Malik.”Semua orang bersorak untuk kami. Mereka semua bahagia, sedangkan diriku hanya berdiri mematung, masih terkejut dengan yang baru saja terjadi.“Kamu baik-baik saja?” Pak Malik melihatku dengan wajah cemas.Bapak berani tanya tentang keadaanku? Sadar Pak! Karena siapa aku jadi seperti ini?!Pak Malik segera merengkuh diriku ke dalam pelukannya, lalu dia mengangkat tangan kiri sebagai tanda untuk Dewi bahwa beliau membutuhkan bantuan.“Apa yang Bapak butuhkan?” tanya Dewi.Wanita itu dengan sigap datang ke tempat kami setelah Pak Malik memanggilnya.“Tolong perbaiki riasan istriku.” Ada kekhawatiran dalam setiap kata yang beliau ucapkan.Istri? Pandai juga dia beradaptasi dengan status baru kami.“Baik, Pak.”***Mereka m
“Sebaiknya Bapak memberi saya penjelasan yang masuk akal, atau ruangan ini akan banjir.”Aku mengancam Pak Malik dengan berdiri di bawah sprinkler sambil memegang korek api. Benda ini aku gunakan untuk mengaktifkan sprinkler apabila ucapan si Bos tidak memuaskan.“Alba, turun dulu ya,” bujuknya.“TIDAK MAU!” Saat ini aku berada di atas kursi yang ditumpuk dengan meja rias.Amarah yang membakar dada tak dapat dihentikan. Hal ini disebabkan karena aku dan Pak Malik harus menggunakan kamar yang sama di malam pertama.“Kita kan hanya menikah kontrak, tidak perlu berbagi kamar!” pekikku.“Kita bisa membicarakannya.” Pak Malik mengangkat kedua tangannya, beliau masih memintaku untuk turun.Apa lagi yang mau dibicarakan? Sudah jelas dia mau mengambil keuntungan pribadi dalam situasi ini.“Mama yang mengatur semua ini melalui Pak Michael. Aku pun tidak dapat berbuat banyak.”Jika dilihat dari raut wajah Pak Malik, sepertinya beliau tidak berbohong. Namun, tetap saja aku tidak terima.“Bapak k
Aku merasakan sesuatu yang aneh, seperti seseorang sedang menggosok keningku dengan sikat yang halus, sangat menggelikan membuatku terpaksa membuka mata untuk melihat situasi saat ini.“Apa yang terjadi?” ucapku lirih.Mataku melotot menyaksikan apa yang ada di didepanku. Terdapat seseorang dengan dada tanpa pakaian tersaji dengan jelas. Ototnya terbentuk dengan baik dan indah untuk dilihat. Lelaki ini pasti sudah melatih tubuhnya sejak lama.“Selamat pagi.” Sebuah kecupan mendarat di keningku.Aku langsung mendongak untuk mendongak wajah orang tersebut. Ternyata dia adalah Pak Malik. Wajahnya terlihat lelah disertai dengan kantung mata yang hitam serta bulu-bulu halus di sekitar rahang.“Jadi itu yang membuatku merasa seperti sedang digosok pakai sikat,” ucapku dengan suara rendah.Kepala ini terasa tak nyaman akibat minum terlalu banyak tadi malam. Aku perlu meminum air putih untuk menenangkan pikiran dan menyatukan kembali nyawa yang tercerai-berai.“Alba….” Suara Pak Malik terden
Aku tak ingin menahan diri lebih lama lagi. Hati ini bisa meledak jika tidak segera mendapat jawaban. Maka setelah Pak Michael dan staf lain pergi, diriku langsung menyerang Pak Malik dengan pertanyaan secara bertubi-tubi.“Pak, sebenarnya apa yang terjadi antara kita tadi malam. Bagaimana bisa tidur bersama, bahkan tanpa mengenakan pakaian yang benar. Dan kenapa Bapak mengatakan hal yang aneh kepada Pak Michael?”Pak Malik yang sedang memilih makanan untuk sarapan langsung menghentikan aktivitasnya ketika mendengar pertanyaanku yang berentet seperti gerbong kereta api. Setelah itu, beliau langsung mendekat.“Jangan ke sini, Pak!”Aku takut dia melakukan sesuatu yang buruk padaku mengingat saat ini aku belum memakai pakaian dan hanya bisa menyembunyikan diri di balik selimut.“Memangnya kenapa kalau ke sana? Kamu ingin mendengar jawaban atas pertanyaanmu, bukan?” Dia tak menuruti perkataanku dan tetap meneruskan langkahnya.Oh Tuhan! Tolong hamba. Lelaki ini berani merayap ke ranjang
Dalam sebulan waktu terakhir, sikap Pak Malik banyak menunjukkan perubahan. Setelah diingat-ingat, beliau mulai berubah semenjak kami berdua terkurung di dalam lift, beberapa jam sebelum beliau melakukan kencan buta dengan Nona Rosiana dari Onenabe.Dahulu beliau selalu bersikap sopan dan segan padaku. Namun, sekarang dia selalu mencuri kesempatan untuk memelukku dari belakang, baik ketika sedang di kantor maupun di luar jam kerja.“Alba, aku pulang.” Pak Malik masuk ke kamar hotel dengan membawa dua kantong makanan di tangan.Satu lagi perubahan yang beliau miliki. Sekarang dia tidak pernah menyebut dirinya ‘saya’, tetapi ‘aku’.“Kamu pasti belum makan siang, kan?”Dia membuka kantong makanan yang berisi nasi kuning dalam bentuk tumpeng mini dengan lauk ayam bumbu rujak, sate ayam madura, dan rawon. Beliau tahu betul kalau lidahku lebih cocok memakan menu nusantara daripada makanan luar.“Buka mulutmu, aaa….”Perubahan Pak Malik yang lain ialah beliau ringan tangan untuk menyuapiku.
Senyaman-nyamannya tinggal di kamar hotel, lebih nyaman berada di kamar sendiri karena aku dapat memeluk replika Jin dengan bebas. Dia adalah ‘suamiku’ yang sebenarnya, si lelaki paling tampan di dunia pada abad ini.“Bagaimana kabarmu, kesayanganku?”Seperti magnet yang menarik besi, replika Jin yang aku letakkan di balik pintu masuk langsung menarik bibir ini untuk mengecup. Racun rindu yang menjalar di dada selama satu minggu ini pun telah menemukan penawarnya.TINGG!TINGG!TINGG!Selama berada di Singapura, aku sengaja tidak mengaktifkan jaringan komunikasi di ponselku karena menginginkan ketenangan. Alhasil saat aku menyalakan jaringan nirkabel setelah sampai di Indonesia, pemberitahuan yang masuk pun menumpuk hingga ratusan.“Bu, apakah kita perlu membersihkan video yang beredar di masyarakat?”“Apakah kita perlu mengeluarkan siaran pers?”“Bu, apakah kita perl
Aku ingat betul kalau pada hari itu Pak Malik setuju untuk merahasiakan pernikahan kami. Anehnya ketika rekaman itu diputar tidak ada ucapan beliau yang mengatakan kalau dia bersedia melakukannya.“Saya mau pernikahan ini dirahasiakan dan Bapak harus memberi kompensasi yang besar pada saya setelah perceraian!” Itulah yang aku katakan pada Pak Malik sebelum menandatangani perjanjian perkawinan.Setelah mendengar permintaanku, beliau tidak menjawab dengan kata ‘iya’ maupun ‘tidak’, tetapi dengan pertanyaan ‘Ada lagi?’ dan pada saat itu, aku salah mengartikan jawaban beliau tersebut sebagai sebuah persetujuan.Bodohnya aku karena tidak mengecek dua kali akan jawaban beliau. Lebih bodoh lagi karena diriku tidak membaca kontrak secara lengkap, padahal saat itu beliau menyuruhku untuk memeriksanya.“Kamu baik-baik saja?” tanya Pak Malik.Bagaimana bisa baik-baik saja? Aku telah menandatangani pe