Senyaman-nyamannya tinggal di kamar hotel, lebih nyaman berada di kamar sendiri karena aku dapat memeluk replika Jin dengan bebas. Dia adalah ‘suamiku’ yang sebenarnya, si lelaki paling tampan di dunia pada abad ini.
“Bagaimana kabarmu, kesayanganku?”
Seperti magnet yang menarik besi, replika Jin yang aku letakkan di balik pintu masuk langsung menarik bibir ini untuk mengecup. Racun rindu yang menjalar di dada selama satu minggu ini pun telah menemukan penawarnya.
TINGG!
TINGG!
TINGG!
Selama berada di Singapura, aku sengaja tidak mengaktifkan jaringan komunikasi di ponselku karena menginginkan ketenangan. Alhasil saat aku menyalakan jaringan nirkabel setelah sampai di Indonesia, pemberitahuan yang masuk pun menumpuk hingga ratusan.
“Bu, apakah kita perlu membersihkan video yang beredar di masyarakat?”
“Apakah kita perlu mengeluarkan siaran pers?”
“Bu, apakah kita perl
Aku ingat betul kalau pada hari itu Pak Malik setuju untuk merahasiakan pernikahan kami. Anehnya ketika rekaman itu diputar tidak ada ucapan beliau yang mengatakan kalau dia bersedia melakukannya.“Saya mau pernikahan ini dirahasiakan dan Bapak harus memberi kompensasi yang besar pada saya setelah perceraian!” Itulah yang aku katakan pada Pak Malik sebelum menandatangani perjanjian perkawinan.Setelah mendengar permintaanku, beliau tidak menjawab dengan kata ‘iya’ maupun ‘tidak’, tetapi dengan pertanyaan ‘Ada lagi?’ dan pada saat itu, aku salah mengartikan jawaban beliau tersebut sebagai sebuah persetujuan.Bodohnya aku karena tidak mengecek dua kali akan jawaban beliau. Lebih bodoh lagi karena diriku tidak membaca kontrak secara lengkap, padahal saat itu beliau menyuruhku untuk memeriksanya.“Kamu baik-baik saja?” tanya Pak Malik.Bagaimana bisa baik-baik saja? Aku telah menandatangani pe
“Eh…, eh, orangnya datang.”Para karyawan Pecitra di lantai 17 langsung balik kanan ke meja kerja masing-masing saat CEO mereka memasuki ruangan. Aku yang berjalan di belakang beliau mendengar dengan jelas kalau mereka sedang bergunjing tentang Pak Malik dan pasangan yang masih dirahasiakan identitasnya.“Panggil Bu Angelic dan Pak Kevin, sekarang,” perintah Pak Bos sebelum beliau memasuki ruangan CEO.“Baik, Pak,” jawabku.Satu minggu kami meninggalkan kantor mengakibatkan banyak pekerjaan terbengkalai dan aku harus segera mengurusnya. Namun, Pak Malik masih berdiri di depan mejaku membuat diri ini tak dapat mengabaikan keberadaan lelaki itu begitu saja.“Ada lagi yang perlu saya lakukan untuk Bapak?”“Kamu bisa menyelesaikan ini sendiri?” Beliau menunjuk tumpukan berkas di mejaku.Untung saja hanya satu minggu. Kalau kami tinggal di Singapura lebih lama lagi, berkas-
Lebih baik aku iyakan saja pertanyaan Pak Malik daripada harus memasak makan malam sendiri untuknya karena aku sudah sangat lelah. Anggap saja sebagai balas budi karena beliau sudah membantuku.“Selamat malam, selamat datang di Dapur Malam, dengan saya Sari, mau pesan makan apa kak?” tanya karyawan restoran yang kami kunjungi.“Kamu punya rekomendasi?”“Kami memiliki paket untuk pasangan, sangat cocok untuk kakak berdua. Menu yang paling banyak dipesan adalah ‘paket cinta sejati menyatukan perbedaan dalam satu nampan’ yang terdiri dari nasi putih, ayam bakar, sate lilit, gudeg, lalapan dan untuk kuahnya kita ada tongseng.Sebagai sajian penutup, Kakak akan mendapatkan nanas bakar dan salad buah. Selain itu, Kakak juga akan mendapat es jeruk gratis karena hidup tidak selalu manis.”Menu macam apa itu? Bulu kudukku langsung berdiri saat mendengarnya.“Kami pesan itu, dua.” Pak Malik langsung melihat ke arahku dengan bangga. Dia pikir yang dia lakukan hebat?Awalnya kami berniat makan m
“Ini taruh di mana, Bu?” tanya salah satu office boy yang bernama Bobi pada Aulia.“Di sana saja, Mas.” Aulia menunjuk ruangan CEO.Semua karyawan di lantai 17 terbengong-bengong karena ulah Bobi. Bagaimana tidak, office boy tersebut membawa satu troli penuh berisi buket bunga dari berbagai jenis.“ALBA!” Seru Pak Malik.Biasanya dia memanggilku melalui interkom. Namun, kali ini beliau memanggilku langsung dengan suara yang menggelegar seperti guntur di musim gugur.Aku buru-buru meninggalkan meja kerjaku dan segera masuk ke ruangan beliau. “Iya Pak. Apa yang harus saya lakukan?” Napasku masih tersengal-sengal.Hal pertama yang aku rasakan saat berada di ruangan CEO adalah wangi yang semerbak. Saking wanginya, aku sempat mengira kalau tempat ini sudah berubah menjadi pabrik minyak wangi.“Cari tahu apa yang terjadi!” Pak Malik menunjuk sekumpulan bunga dalam ruangannya tanpa
“Halo Ma!” Pak Malik menjawab telepon masuk.“Kok gelap?”Suara itu…, tidak mungkin beliau, kan?“Dasar anak nakal! Mama mau ngobrol sama mantu. Cepat kasih teleponnya!” pekik Ibu Susan melalui sambungan video.Hal ini terjadi secara tiba-tiba dan aku belum siap. Aku pun melambai-lambaikan tangan pada anak Ibu Susan tersebut sebagai isyarat bahwa bahwa diriku tidak ingin menerimanya.Pak Malik memberi tanda setuju melalui gerakan tangannya. “Ma, Alba lagi di kamar mandi jadi enggak bisa ngobrol.”“Mama tungguin sampai selesai. Kangen banget pengen ngobrol sama dia,” ucap wanita itu dengan kukuh.“Coba kamu ke depan kamar mandi. Kita kasih dia kejutan,” lanjutnya.Ternyata Ibu Susan pantang menyerah. Kalau seperti ini cara mainnya, mau tak mau harus mengikuti permainan wanita itu.Aku berjalan ke kamar mandi secara diam-diam tanpa mengeluarkan
“Apa Bapak marah karena saya memanggil nama Anda sembarangan?”Aku ingin memutar badan untuk melihat ekspresi Pak Malik, namun tubuh ini masih terkunci dalam kungkungan beliau.“Kamu mulai lagi memanggilku bapak.” Dia menjatuhkan kepalanya di pundakku yang kanan.“Maaf, Pak.”“Tidak ada kata maaf. Kamu harus dihukum!” Lelaki itu menggigit telingaku, rasanya tidak sakit namun gigitan itu berhasil membuat bulu kuduk meremang.“Ngomong-ngomong, apa kamu nyaman pakai baju ini?” tanya Pak Malik.Oh iya. Aku lupa akan satu hal. Saat ini baju Pak Malik masih menempel di badanku. Meskipun sudah mendapat izin dari beliau sebelum memakainya, namun atas nama kesopanan harusnya aku mengatakan sesuatu setelah selesai berbicara dengan Ibu Susan.“Hmm, ini… biar saya cuci dulu,” ucapku.“Bukan begitu maksudku. Kalau kamu nyaman, kamu boleh memakainya kapan pu
Kami menghadiri pesta yang diadakan oleh Onenabe dalam rangka merayakan peresmian pabrik baru mereka. Acara ini diselenggarakan di hotel mewah bintang lima yang berlokasi di daerah Puncak.“Selamat Pak atas berdirinya pabrik baru Anda.” Pak Malik menyalami tuan rumah pesta, Pak Wirawan.Meskipun saat ini lelaki itu masih menjabat sebagai direktur di Onenabe, namun orang-orang percaya bahwa yang akan duduk di kursi presiden direktur kelak adalah beliau, bukan saudaranya yang lain.“Terima kasih Pak Rasendriya,”-Pak Wirawan melihat ke arahku-“kalau boleh tahu, siapa wanita cantik yang menemani Bapak?“Pak Malik meraih pinggangku dan menariknya pelan agar jarak kami berdua makin dekat. “Ini….”“Perkenalkan, saya Alba. Sekretarisnya Pak Malik.” Aku langsung menjabat tangan Pak Wirawan.“Sebelumnya, saya kira dia ini pasangan Anda, Pak. Soalnya kalian berdua tampak serasi,&r
“Kamu masih ingat aku?” Indra tersenyum lembut padaku, seperti teman lama yang baru saja bertemu.Wajah lelaki ini tampak tak asing, namun aku tidak memiliki ingatan mengenai dia sedikit pun. Sepertinya aku harus mulai mengonsumsi ginkgo biloba agar kesehatan otakku menjadi lebih baik.“Kita dulu pernah duduk bersama di kelas filsafat Universitas Pelita Harapan Jaya.” Mimik wajah Indra seakan mengatakan ‘sekarang kamu sudah ingat, kan?’ namun, aku sama sekali tak mengingat apa pun tentang lelaki ini.Sebaiknya, dia tidak memaksaku untuk membelah kepala ini demi menemukan sisa-sisa ingatan tentang kisah silam karena selama sepuluh tahun ke belakang, diriku sudah tidak berhubungan dengan lingkaran sosial, kecuali yang berhubungan dengan pekerjaan.“Ya ampun, sudah lama tidak ketemu. Gimana kabar?”Daripada mengingat-ingat masa lalu yang sudah terlupakan, lebih baik jika aku pura-pura saja sok kenal. Dem