“Ini taruh di mana, Bu?” tanya salah satu office boy yang bernama Bobi pada Aulia.
“Di sana saja, Mas.” Aulia menunjuk ruangan CEO.
Semua karyawan di lantai 17 terbengong-bengong karena ulah Bobi. Bagaimana tidak, office boy tersebut membawa satu troli penuh berisi buket bunga dari berbagai jenis.
“ALBA!” Seru Pak Malik.
Biasanya dia memanggilku melalui interkom. Namun, kali ini beliau memanggilku langsung dengan suara yang menggelegar seperti guntur di musim gugur.
Aku buru-buru meninggalkan meja kerjaku dan segera masuk ke ruangan beliau. “Iya Pak. Apa yang harus saya lakukan?” Napasku masih tersengal-sengal.
Hal pertama yang aku rasakan saat berada di ruangan CEO adalah wangi yang semerbak. Saking wanginya, aku sempat mengira kalau tempat ini sudah berubah menjadi pabrik minyak wangi.
“Cari tahu apa yang terjadi!” Pak Malik menunjuk sekumpulan bunga dalam ruangannya tanpa
“Halo Ma!” Pak Malik menjawab telepon masuk.“Kok gelap?”Suara itu…, tidak mungkin beliau, kan?“Dasar anak nakal! Mama mau ngobrol sama mantu. Cepat kasih teleponnya!” pekik Ibu Susan melalui sambungan video.Hal ini terjadi secara tiba-tiba dan aku belum siap. Aku pun melambai-lambaikan tangan pada anak Ibu Susan tersebut sebagai isyarat bahwa bahwa diriku tidak ingin menerimanya.Pak Malik memberi tanda setuju melalui gerakan tangannya. “Ma, Alba lagi di kamar mandi jadi enggak bisa ngobrol.”“Mama tungguin sampai selesai. Kangen banget pengen ngobrol sama dia,” ucap wanita itu dengan kukuh.“Coba kamu ke depan kamar mandi. Kita kasih dia kejutan,” lanjutnya.Ternyata Ibu Susan pantang menyerah. Kalau seperti ini cara mainnya, mau tak mau harus mengikuti permainan wanita itu.Aku berjalan ke kamar mandi secara diam-diam tanpa mengeluarkan
“Apa Bapak marah karena saya memanggil nama Anda sembarangan?”Aku ingin memutar badan untuk melihat ekspresi Pak Malik, namun tubuh ini masih terkunci dalam kungkungan beliau.“Kamu mulai lagi memanggilku bapak.” Dia menjatuhkan kepalanya di pundakku yang kanan.“Maaf, Pak.”“Tidak ada kata maaf. Kamu harus dihukum!” Lelaki itu menggigit telingaku, rasanya tidak sakit namun gigitan itu berhasil membuat bulu kuduk meremang.“Ngomong-ngomong, apa kamu nyaman pakai baju ini?” tanya Pak Malik.Oh iya. Aku lupa akan satu hal. Saat ini baju Pak Malik masih menempel di badanku. Meskipun sudah mendapat izin dari beliau sebelum memakainya, namun atas nama kesopanan harusnya aku mengatakan sesuatu setelah selesai berbicara dengan Ibu Susan.“Hmm, ini… biar saya cuci dulu,” ucapku.“Bukan begitu maksudku. Kalau kamu nyaman, kamu boleh memakainya kapan pu
Kami menghadiri pesta yang diadakan oleh Onenabe dalam rangka merayakan peresmian pabrik baru mereka. Acara ini diselenggarakan di hotel mewah bintang lima yang berlokasi di daerah Puncak.“Selamat Pak atas berdirinya pabrik baru Anda.” Pak Malik menyalami tuan rumah pesta, Pak Wirawan.Meskipun saat ini lelaki itu masih menjabat sebagai direktur di Onenabe, namun orang-orang percaya bahwa yang akan duduk di kursi presiden direktur kelak adalah beliau, bukan saudaranya yang lain.“Terima kasih Pak Rasendriya,”-Pak Wirawan melihat ke arahku-“kalau boleh tahu, siapa wanita cantik yang menemani Bapak?“Pak Malik meraih pinggangku dan menariknya pelan agar jarak kami berdua makin dekat. “Ini….”“Perkenalkan, saya Alba. Sekretarisnya Pak Malik.” Aku langsung menjabat tangan Pak Wirawan.“Sebelumnya, saya kira dia ini pasangan Anda, Pak. Soalnya kalian berdua tampak serasi,&r
“Kamu masih ingat aku?” Indra tersenyum lembut padaku, seperti teman lama yang baru saja bertemu.Wajah lelaki ini tampak tak asing, namun aku tidak memiliki ingatan mengenai dia sedikit pun. Sepertinya aku harus mulai mengonsumsi ginkgo biloba agar kesehatan otakku menjadi lebih baik.“Kita dulu pernah duduk bersama di kelas filsafat Universitas Pelita Harapan Jaya.” Mimik wajah Indra seakan mengatakan ‘sekarang kamu sudah ingat, kan?’ namun, aku sama sekali tak mengingat apa pun tentang lelaki ini.Sebaiknya, dia tidak memaksaku untuk membelah kepala ini demi menemukan sisa-sisa ingatan tentang kisah silam karena selama sepuluh tahun ke belakang, diriku sudah tidak berhubungan dengan lingkaran sosial, kecuali yang berhubungan dengan pekerjaan.“Ya ampun, sudah lama tidak ketemu. Gimana kabar?”Daripada mengingat-ingat masa lalu yang sudah terlupakan, lebih baik jika aku pura-pura saja sok kenal. Dem
Dalam kegelapan mata yang terpejam, sebuah kain mendarat di atas kepalaku diiringi dengan aroma maskulin yang tak asing. Perpaduan aroma citrus, rempah, dan kayu-kayuan yang energik dan memikat, menguasai untuk indra penciumanku. Rasanya seperti sedang dipeluk oleh Pak Malik.BUG!! “Akh.”BUG! “Akh…, akh…, Hueekk.”Suara jelek itu sungguh mengganggu, terutama yang terakhir. Terdengar seperti orang muntah.“Pak Rasendriya, berhenti Pak! Kasihan dia,” ucap seorang lelaki, aku tak tahu siapa dia.“Ada apa ini?” tanya seorang wanita, aku yakin dia baru datang.“Ya ampun, mereka kenapa sih?” Dari cara bicaranya, sepertinya dia biang gosip.“Ada apa sih ribut-ribut?” Aku tak bisa menilai siapa dia, diriku lelah.Entah apa yang dilakukan oleh Pak Malik sehingga membuat orang-orang ini berkumpul. Aku mendengar perkataan mereka dengan jelas meskipun ya
“Pak Rasendriya, cepat ikuti mereka,” ucap Rosiana dengan lantang, dadanya membusung membentuk dua perisai kesombongan dengan posisi sejajar kiri dan kanan.Dia melakukannya untuk membuktikan jika perkataan Pak Malik saat mereka kencan buta dahulu adalah salah. Pada malam itu, Pak Bos mengatai Rosiana akan menjadi bungkuk karena melakukan implan, tentu saja wanita tersebut tidak terima.Sejak saat itu dia selalu membusungkan dada jika bertemu dengan hal yang berkaitan dengan Pak Malik, baik secara langsung maupun tidak langsung.“Tunggu aku ya,” Pak Malik memberikan kunci kamarnya padaku, lalu beliau mengikuti dua lelaki itu tanpa protes.“Hei, apa dia baru saja mengabaikanku?” tanya Rosiana sambil menepuk-nepuk pundakku. Dia tidak terima karena dianggap sebagai makhluk transparan oleh Pak Malik.Agar wanita ini tidak berteriak lagi dan mengganggu tamu lain, aku segera membawanya masuk ke kamar Pak Bos. Untung saja ada Rosiana, dia bisa menemaniku sembari menunggu Pak Malik kembali.“
“Iya, Ma. Ini Rara sudah sampai kamar.” Pak Malik memeluk pinggangku, seperti yang biasa dia lakukan saat sedang berkomunikasi dengan Ibu Susan.“Mana mantu Mama?” tanya Bu Susan melalui sambungan video.“Halo, Ma.” Aku melambaikan tangan pada beliau.“Coba putar kameranya, Mama mau lihat kamar kalian,” pinta beliau. Sepertinya Pak Malik sudah memberi tahu ibunya kalau kami sedang menginap di luar kota.Sesuai dengan permintaan Ibu Susan, Pak Malik pun memutar badan kami sehingga kamera dapat menangkap gambar ruangan kamar ini secara keseluruhan, termasuk wanita muda yang bergeming di depan pintu kamar mandi.Memang benar apa kata orang, sepandai-pandainya menyembunyikan durian, baunya tercium juga. Pernikahanku dengan Pak Malik yang kami sembunyikan dari publik, akhirnya ketahuan oleh Rosiana.Aku pun memberi kode pada Pak Malik dengan cara menarik ujung lengan bajunya sebagai tanda agar beliau mengatasi situasi yang krisis ini.“Ma, kita lanjut besok ya,” ucap Pak Malik. Beliau mela
“Kamu gugup?” tanya Pak Malik.Tentu saja iya. Wanita mana yang tidak gugup kalau ada lelaki yang hanya mengenakan jubah tidur naik ke atas ranjang yang sama dengannya.“Hmm. Kalau ngomong jangan asal ucap ya.” Sebagai perempuan, menjaga harga diri adalah wajib hukumnya, terutama yang berhubungan dengan perasaan. Gengsi dong mengakui perasaan kita yang sesungguhnya.Karena pernikahan kami sudah ketahuan oleh Rosiana, aku pun tak jadi menginap di kamarnya maupun mencari penginapan lain. Mau tidak mau aku harus tidur sekamar dengan Pak Malik.“Saya di sebelah sini, Bapak di sana.” Tanganku menunjuk sisi ranjang yang sudah kubuat batas menggunakan bantal.Meskipun ranjang ini memiliki ukuran 200 x 200 cm namun tidak cukup besar untuk ditempati oleh dua manusia laki-laki dan perempuan. Terlebih lagi, lelaki tersebut baru saja menyatakan cintanya pada si perempuan.Benar! Pak Malik sudah mengatakan perasaannya