Dalam kegelapan mata yang terpejam, sebuah kain mendarat di atas kepalaku diiringi dengan aroma maskulin yang tak asing. Perpaduan aroma citrus, rempah, dan kayu-kayuan yang energik dan memikat, menguasai untuk indra penciumanku. Rasanya seperti sedang dipeluk oleh Pak Malik.
BUG!! “Akh.”
BUG! “Akh…, akh…, Hueekk.”
Suara jelek itu sungguh mengganggu, terutama yang terakhir. Terdengar seperti orang muntah.
“Pak Rasendriya, berhenti Pak! Kasihan dia,” ucap seorang lelaki, aku tak tahu siapa dia.
“Ada apa ini?” tanya seorang wanita, aku yakin dia baru datang.
“Ya ampun, mereka kenapa sih?” Dari cara bicaranya, sepertinya dia biang gosip.
“Ada apa sih ribut-ribut?” Aku tak bisa menilai siapa dia, diriku lelah.
Entah apa yang dilakukan oleh Pak Malik sehingga membuat orang-orang ini berkumpul. Aku mendengar perkataan mereka dengan jelas meskipun ya
“Pak Rasendriya, cepat ikuti mereka,” ucap Rosiana dengan lantang, dadanya membusung membentuk dua perisai kesombongan dengan posisi sejajar kiri dan kanan.Dia melakukannya untuk membuktikan jika perkataan Pak Malik saat mereka kencan buta dahulu adalah salah. Pada malam itu, Pak Bos mengatai Rosiana akan menjadi bungkuk karena melakukan implan, tentu saja wanita tersebut tidak terima.Sejak saat itu dia selalu membusungkan dada jika bertemu dengan hal yang berkaitan dengan Pak Malik, baik secara langsung maupun tidak langsung.“Tunggu aku ya,” Pak Malik memberikan kunci kamarnya padaku, lalu beliau mengikuti dua lelaki itu tanpa protes.“Hei, apa dia baru saja mengabaikanku?” tanya Rosiana sambil menepuk-nepuk pundakku. Dia tidak terima karena dianggap sebagai makhluk transparan oleh Pak Malik.Agar wanita ini tidak berteriak lagi dan mengganggu tamu lain, aku segera membawanya masuk ke kamar Pak Bos. Untung saja ada Rosiana, dia bisa menemaniku sembari menunggu Pak Malik kembali.“
“Iya, Ma. Ini Rara sudah sampai kamar.” Pak Malik memeluk pinggangku, seperti yang biasa dia lakukan saat sedang berkomunikasi dengan Ibu Susan.“Mana mantu Mama?” tanya Bu Susan melalui sambungan video.“Halo, Ma.” Aku melambaikan tangan pada beliau.“Coba putar kameranya, Mama mau lihat kamar kalian,” pinta beliau. Sepertinya Pak Malik sudah memberi tahu ibunya kalau kami sedang menginap di luar kota.Sesuai dengan permintaan Ibu Susan, Pak Malik pun memutar badan kami sehingga kamera dapat menangkap gambar ruangan kamar ini secara keseluruhan, termasuk wanita muda yang bergeming di depan pintu kamar mandi.Memang benar apa kata orang, sepandai-pandainya menyembunyikan durian, baunya tercium juga. Pernikahanku dengan Pak Malik yang kami sembunyikan dari publik, akhirnya ketahuan oleh Rosiana.Aku pun memberi kode pada Pak Malik dengan cara menarik ujung lengan bajunya sebagai tanda agar beliau mengatasi situasi yang krisis ini.“Ma, kita lanjut besok ya,” ucap Pak Malik. Beliau mela
“Kamu gugup?” tanya Pak Malik.Tentu saja iya. Wanita mana yang tidak gugup kalau ada lelaki yang hanya mengenakan jubah tidur naik ke atas ranjang yang sama dengannya.“Hmm. Kalau ngomong jangan asal ucap ya.” Sebagai perempuan, menjaga harga diri adalah wajib hukumnya, terutama yang berhubungan dengan perasaan. Gengsi dong mengakui perasaan kita yang sesungguhnya.Karena pernikahan kami sudah ketahuan oleh Rosiana, aku pun tak jadi menginap di kamarnya maupun mencari penginapan lain. Mau tidak mau aku harus tidur sekamar dengan Pak Malik.“Saya di sebelah sini, Bapak di sana.” Tanganku menunjuk sisi ranjang yang sudah kubuat batas menggunakan bantal.Meskipun ranjang ini memiliki ukuran 200 x 200 cm namun tidak cukup besar untuk ditempati oleh dua manusia laki-laki dan perempuan. Terlebih lagi, lelaki tersebut baru saja menyatakan cintanya pada si perempuan.Benar! Pak Malik sudah mengatakan perasaannya
“Tumben makan siang bareng kita, Al,” celetuk Aulia.Sudah lama aku tidak makan bersama dengan rekan kerja di lantai 17 karena biasanya diriku menemani Pak Malik makan siang di luar bersama rekan bisnis.“Iya, Bapak lagi ada janji dengan calon klien perusahaan,” jawabku.Hari ini Pak Bos makan berdua dengan Ibu Felicia atas inisiatif wanita itu sendiri. Dia datang ke kantor mendekati jam dua belas siang. Dengan alasan tidak ada waktu, beliau meminta agar dapat mengobrol tentang bisnis sambil menikmati makan siang dengannya, tanpa ditemani oleh siapa pun.“Oh perempuan yang pakai baju merah itu ya?” tanya Bunga, wajahnya menunjukkan ketidaksukaan.“Ternyata kamu lihat juga, Nga?” sambung Aulia sambil membuka bekal makan siang yang dia bawa dari rumah.Lain dengan bunga yang suasana hatinya sedang buruk, Aulia malah menunjukkan sikap yang antusias.“Jelas saya lihat, Bu. Orang dia jalannya geal-geol di depan Bunga.” Perempuan itu mengiris perkedel di atas piring menggunakan tenaga kuda
“Ya Tuhan. Ini kan sepatu yang dibuat oleh desainer terkenal,”-Aulia menepuk-nepuk pundakku-“kalian tahu enggak? Ini sepatu cuma ada tiga di Indonesia.”Aku tidak menyangka kalau sepatu ini sangat langka karena diriku hanya menerimanya saja tanpa mencari tahu informasi tentang barang ini lebih lanjut. Kalau saja aku tahu lebih awal bahwa sepatu ini merupakan edisi terbatas, sudah pasti benda ini tak akan kupakai di kantor.“Masa sih Bu hanya ada tiga? Saya yakin pernah lihat ada orang pakai sepatu yang sama,” timpal Bunga.Tentu saja gadis ini pernah melihatnya karena akulah yang pakai. Dengan percaya diri, sepatu ini sudah kubawa keliling lantai 17 mulai dari ruangan Departemen Marketing, ruang kerja CEO, pantri, toilet, bahkan diriku juga sudah membawanya berlenggang ke ruangan Sekretaris Perusahaan di lantai 15.“Kamu lihat di mana, Nga?” tanya Aulia.“Di kantor,” jawabnya.Selesai sudah rahasia pernikahanku dan Pak Malik hari ini jika mereka tahu bahwa sepatu yang hanya ada tiga di
Lelaki itu tak langsung duduk setelah memasuki ruang kerjanya. Dia hanya berdiri di sana, tak jauh dari pintu masuk. Dirinya juga tidak memberiku perintah apa pun.Karena situasi jadi canggung seperti ini, mau tak mau diriku harus mengambil inisiatif. Jika tidak melakukannya, mungkin saja kami akan jadi maneken sampai jam kerja berakhir.“Apa yang harus saya lakukan, Pak?” tanyaku yang sekarang berada di belakang tubuh orang itu persis.“Pak?” Dia tak menjawab.Aku takut terjadi sesuatu yang buruk padanya seperti kesurupan atau apa. Maka dari itu, aku tarik lengan bajunya secara pelan-pelan untuk memastikan apakah dia masih sadar atau tidak.“Ah.” Diriku tersentak karena Pak Malik langsung mengunci tubuhku ke dalam pelukannya saat aku menarik lengan baju beliau.Lelaki itu menggosok rambutku dengan lembut dan berkata, “Jangan bergerak, biarkan seperti ini sebentar saja.” Pak Malik mencium puncak kepalaku.Sebenarnya apa yang baru saja terjadi dengan pria ini? Sebelum pergi makan sia
“Dalam beberapa bulan terakhir, kita mendapat keluhan pelanggan dari beberapa brand perawatan kulit. Mereka mengatakan bahwa konsumennya mengeluh tentang cairan toner yang sering tumpah,” ucap Bunga dalam ruang rapat.Pecitra memang bukan perusahaan yang menjual produk kecantikan menggunakan merek sendiri. Kami hanya memproduksi produk tersebut untuk klien dan mereka yang menjualnya menggunakan merek masing-masing.Mengenai kandungan bahan, manfaat dan tujuan penggunaan produk, sepenuhnya diputuskan oleh klien. Posisi Pecitra hanya memberi saran dan rekomendasi pada mereka dalam menentukan pilihan. Meskipun begitu, kami memberikan kualitas yang terbaik agar para klien kami dan konsumennya puas.“Sebagai jawaban atas keresahan mereka, kami memutuskan untuk mengubah packaging dari kemasan lama yang berbentuk tube menjadi kemasan botol,” imbuh Bunga.Ratna pun segera membagikan contoh kemasan baru yang direkomendasikan oleh tim marketing kepada seluruh peserta rapat.Sambil memegang boto
“Pak, saya bisa jalan sendiri. Tolong turunkan saya,” pintaku pada Pak Malik, namun beliau menolaknya. Lelaki itu mengemban diriku dari ruang rapat hingga masuk ke mobil, bahkan sampai di rumah sakit.Aku malu setengah mati karena tatapan khalayak. Lebih malu lagi karena siapa pun yang melihat kami pasti akan merekamnya.Momen memalukan yang seharusnya dapat mereka lupakan dalam sehari berubah menjadi kenangan abadi yang tersimpan di galeri ponsel mereka. Semoga saja mereka tidak mengunggahnya ke dunia maya.“Nona Alba!” seru perawat di rumah sakit.Pak Malik sungguh berlebihan. Hanya karena kepalaku terbentur meja, beliau membawaku bertemu dengan dokter spesialis neurologi.“Silakan masuk, Kak,” ucap perawat tersebut.“Dengan Nona Alba Ayuningtyas?” tanya Pak Dokter.Aku meringis. “Benar Dok.”“Ehm….” Pak Malik mengoreksi, “Nyonya Alba, Dok.”Aish, Pak Malik kenapa sih? Antara nona dan nyonya saja dikomentari.“Baik Nyonya Alba, silakan katakan keluhannya,” ucap dokter spesialis neuro