“Pak, saya bisa jalan sendiri. Tolong turunkan saya,” pintaku pada Pak Malik, namun beliau menolaknya. Lelaki itu mengemban diriku dari ruang rapat hingga masuk ke mobil, bahkan sampai di rumah sakit.Aku malu setengah mati karena tatapan khalayak. Lebih malu lagi karena siapa pun yang melihat kami pasti akan merekamnya.Momen memalukan yang seharusnya dapat mereka lupakan dalam sehari berubah menjadi kenangan abadi yang tersimpan di galeri ponsel mereka. Semoga saja mereka tidak mengunggahnya ke dunia maya.“Nona Alba!” seru perawat di rumah sakit.Pak Malik sungguh berlebihan. Hanya karena kepalaku terbentur meja, beliau membawaku bertemu dengan dokter spesialis neurologi.“Silakan masuk, Kak,” ucap perawat tersebut.“Dengan Nona Alba Ayuningtyas?” tanya Pak Dokter.Aku meringis. “Benar Dok.”“Ehm….” Pak Malik mengoreksi, “Nyonya Alba, Dok.”Aish, Pak Malik kenapa sih? Antara nona dan nyonya saja dikomentari.“Baik Nyonya Alba, silakan katakan keluhannya,” ucap dokter spesialis neuro
Hampir setengah jam diriku berada di sini, di ruang pakaian Pak Malik. Sejak selesai mandi hingga sekarang, aku hanya melihat-lihat pakaian saja, tak dapat menentukan akan memakai baju yang mana.“Alba, makan malamnya sudah siap!” teriak Pak Malik dari ruang makan.“Iya Pak, tunggu! Saya pakai baju dulu,” jawabku.Meski banyak pakaian wanita tersedia, namun mereka tak pantas untuk dikenakan di depan orang lain, apalagi di depan lawan jenis karena sebagian dari pakaian yang ada di sini menggunakan kain yang tipis. Ukuran bajunya juga tak panjang, hampir semuanya di atas lutut, sedangkan bagian dada terlalu ke bawah.“Kamu ngapain aja sih di dalam, kenapa lama sekali?” tanya Pak Malik. Lelaki itu masuk begitu saja tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu.“Aaahh…!” Tanganku refleks menutupi dada saat lelaki itu datang. Bagaimana ini? Sekarang aku masih memakai handuk mandi dan tak memakai apa pun selain itu.Aku terkejut, Pak Malik juga demikian. Lelaki itu langsung menutup matanya dan berba
“Aku tampan, mapan, kaya, dan sehat,” ucap Pak Malik.Dahulu apabila dia mengatakan empat kelebihannya, aku akan menganggap bahwa dia merupakan lelaki yang angkuh. Namun, malam ini entah mengapa aku merasa bahwa dia hanya sedang menjual nilai diri agar aku menerima hatinya.CUP!!Mata Pak Malik membulat saat aku mengecup bibirnya. Dia pun langsung menjatuhkan tubuhku di sofa dan mengungkungnya.Lelaki ini menindih tubuhku. Dia membuat kami berbagi napas kehidupan bersama dengan cara menempelkan hidung miliknya dengan milikku, seperti suku Maori yang melakukan hongi.“Berani sekali gadis kecil membangunkan naga yang sedang tidur,” ucap Pak Malik, suaranya berat namun terdengar menggemaskan di telinga.Pak Malik mengikat pergelangan tanganku menggunakan jari-jemarinya hingga diriku tak dapat melakukan apa pun selain pasrah.Dia mengecup ringan bibirku lalu perlahan-lahan kecupan itu berubah menjadi ciuman panas. Bibir kami berpagutan dalam keheningan malam, menciptakan suara yang beririn
“Pelan-pelan dong! Jangan sampai lecet! Ucapku pada Rasenda yang sedang bekerja keras memainkan jemarinya di kulit leherku.“Iya, sayang. Ini juga sudah pelan kok. Kamu tenang saja.” Lelaki ini masih mengerjakan tugas yang aku berikan untuknya sebagai pertanggungjawaban karena sudah membuat tubuhku dipenuhi tanda memar.Ada begitu banyak jejak yang ditinggalkan oleh Rasenda di sekujur tubuh. Mulai dari leher, dada hingga kaki, pasti ada kissmark, begitu juga di area lengan. Kalau tanda ini tidak ditangani dengan benar, orang lain pasti mengira bahwa diriku baru saja dihajar massa.“Kamu yakin metode ini efektif? Kok ini tidak hilang?” tanya Rasenda.Baru beberapa menit saja menggosok nanas di area yang dia singgahi, dirinya sudah protes. Siapa suruh tadi siang dia berubah menjadi macan kumbang?Sebelumnya, aku meminta lelaki ini untuk makan siang bersama Ibu Felicia. Jika beliau tidak bersedia, aku memberi ancaman kalau dia tidak dapat memelukku malam ini. Bukannya menjadi anjing pe
Rosiana!Mengapa wanita itu datang di saat yang tidak tepat seperti sekarang?Selain keluarga Rasenda, Rosiana adalah satu-satunya orang yang mengetahui tentang pernikahan kami. Untuk mencegah sesuatu yang tidak diinginkan, aku pun segera membawa orang ini pergi dari pantri.“Coba sekarang katakan, kenapa cara jalanmu tertatih-tatih seperti pengantin sunat?” tanya Rosiana. Dia seperti ibu yang sedang mengomel pada anak gadisnya.Saat Rosiana datang, aku langsung mengirim pesan singkat kepada Rasenda agar beliau memperbolehkan kami menggunakan ruangannya, untung saja suamiku mengizinkan.“Pasti perbuatan si mulut kaktus, kan?” lanjutnya.Aku mengangguk, membenarkan dugaan wanita ini. Lebih baik aku jujur saja padanya, lagi pula dia sudah mengetahui semua, jadi berbohong pun tidak ada gunanya.Rosiana mengepalkan tangannya. “Bedebah itu benar-benar!”“Terus apa maksud mereka nyuruh kamu supaya laporin Rasendriya ke polisi?” tanya wanita ini.Ternyata anak dari Pak Wirawan ini mendengar
“Siang, Pak Malik,” sapa mereka, karyawan Pecitra yang berpapasan dengan kami.“Siang, kalian tidak keluar?” tanya Rasenda pada mereka.“Tidak Pak. Kami bawa bekal dari rumah,” jawab Ibu Adelia. Wanita itu tersenyum manis pada Rasenda seolah tak pernah terjadi apa-apa. Mungkin kesan Ibu Adelia pada Rasenda sudah berubah.Baru saja beberapa detik diriku berpikir positif, wanita ini sudah menunjukkan gelagat yang aneh.“Kemeja Bapak hmmpp….” Dia menutup mulutnya dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanannya menunjuk baju atasan Rasenda. Sontak, perhatian kami pun tertuju pada baju yang dipakai oleh suamiku.Betapa terkejutnya kami semua saat melihat kemeja yang dikenakan oleh Rasenda karena ada noda merah yang sangat jelas. Noda ini berbentuk bibir dengan warna lipstik yang sama denganku. Tentu saja sama karena akulah sang pelaku.Saat kami sedang berbicara dengan Rosiana di ruangan CEO, R
“Sebal sebal sebal…, pokoknya seeebal!” ucapku setelah kembali dari acara makan siang bersama Pak Wirawan dan Rosiana.Ketika kami sampai kantor, aku mengikuti Rasenda masuk ke ruangannya dan langsung melemparkan tubuh ini ke sofa empuk yang ada di sana.“Sebal kenapa sih? Cerita dong,” ucap Rasenda dengan suara khas bebek sambil mencubit pipiku di kedua sisi, kiri dan kanan. Dia pikir pipi ini sama dengan bakpao?Aku menyingkirkan tangan nakal lelaki ini dari pipiku, lalu menyandarkan kepala di dadanya yang padat, sepadat kue brownies.“Ya karena apa lagi? Pak Wirawan tuh, bisa-bisanya beliau mengira kalau aku ini selingkuhan kamu,” ucapku dengan bibir yang dimonyong-monyongkan supaya terlihat dramatis.Rasenda mengelus-elus pipiku yang dia cubit sebelumnya. “Terus kamu maunya gimana? Mau hubungan kita go public biar semua orang tahu kalau kamu adalah menantu Keluarga Malik yang sah, begitu?”“Go public…, go public…, memangnya hubungan kita seperti emiten?” Aku mencubit dada pria ini
Setelah mempertimbangkan banyak hal, aku memutuskan untuk hadir di reuni SMA. Acara ini diselenggarakan di pondok wisata alam yang berlokasi di Cikole, Bandung.“Akhirnya ketemu kasur lagi,” desahku lirih sambil mengempaskan tubuh ke benda empuk yang ditutupi dengan kain putih. Saat ini diriku berada di dalam kamar hotel yang dipesan secara pribadi oleh Rasenda.Sebenarnya, acara reuni dimulai pada pukul tujuh malam, namun aku tiba di sini saat masih pagi karena diriku berangkat bersama Rasenda, bukannya naik mobil rombongan dari Jakarta yang disediakan oleh panitia.“Kamu suka tempatnya?” tanya Rasenda.“Tentu saja suka. Tempatnya sejuk dan asri, tidak seperti Jakarta. Di sini juga banyak pohon pinus di kanan dan kiri. Selain itu, kamarnya juga unik, seperti sedang berada di rumah hobbit.” Aku berguling di kasur agar bisa menghadap suamiku.Salah satu alasan mengapa aku bersedia menghadiri reuni adalah karena acara ini diadakan saat libur panjang, dari jumat sampai minggu. Kedua kare