“Pelan-pelan dong! Jangan sampai lecet! Ucapku pada Rasenda yang sedang bekerja keras memainkan jemarinya di kulit leherku.“Iya, sayang. Ini juga sudah pelan kok. Kamu tenang saja.” Lelaki ini masih mengerjakan tugas yang aku berikan untuknya sebagai pertanggungjawaban karena sudah membuat tubuhku dipenuhi tanda memar.Ada begitu banyak jejak yang ditinggalkan oleh Rasenda di sekujur tubuh. Mulai dari leher, dada hingga kaki, pasti ada kissmark, begitu juga di area lengan. Kalau tanda ini tidak ditangani dengan benar, orang lain pasti mengira bahwa diriku baru saja dihajar massa.“Kamu yakin metode ini efektif? Kok ini tidak hilang?” tanya Rasenda.Baru beberapa menit saja menggosok nanas di area yang dia singgahi, dirinya sudah protes. Siapa suruh tadi siang dia berubah menjadi macan kumbang?Sebelumnya, aku meminta lelaki ini untuk makan siang bersama Ibu Felicia. Jika beliau tidak bersedia, aku memberi ancaman kalau dia tidak dapat memelukku malam ini. Bukannya menjadi anjing pe
Rosiana!Mengapa wanita itu datang di saat yang tidak tepat seperti sekarang?Selain keluarga Rasenda, Rosiana adalah satu-satunya orang yang mengetahui tentang pernikahan kami. Untuk mencegah sesuatu yang tidak diinginkan, aku pun segera membawa orang ini pergi dari pantri.“Coba sekarang katakan, kenapa cara jalanmu tertatih-tatih seperti pengantin sunat?” tanya Rosiana. Dia seperti ibu yang sedang mengomel pada anak gadisnya.Saat Rosiana datang, aku langsung mengirim pesan singkat kepada Rasenda agar beliau memperbolehkan kami menggunakan ruangannya, untung saja suamiku mengizinkan.“Pasti perbuatan si mulut kaktus, kan?” lanjutnya.Aku mengangguk, membenarkan dugaan wanita ini. Lebih baik aku jujur saja padanya, lagi pula dia sudah mengetahui semua, jadi berbohong pun tidak ada gunanya.Rosiana mengepalkan tangannya. “Bedebah itu benar-benar!”“Terus apa maksud mereka nyuruh kamu supaya laporin Rasendriya ke polisi?” tanya wanita ini.Ternyata anak dari Pak Wirawan ini mendengar
“Siang, Pak Malik,” sapa mereka, karyawan Pecitra yang berpapasan dengan kami.“Siang, kalian tidak keluar?” tanya Rasenda pada mereka.“Tidak Pak. Kami bawa bekal dari rumah,” jawab Ibu Adelia. Wanita itu tersenyum manis pada Rasenda seolah tak pernah terjadi apa-apa. Mungkin kesan Ibu Adelia pada Rasenda sudah berubah.Baru saja beberapa detik diriku berpikir positif, wanita ini sudah menunjukkan gelagat yang aneh.“Kemeja Bapak hmmpp….” Dia menutup mulutnya dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanannya menunjuk baju atasan Rasenda. Sontak, perhatian kami pun tertuju pada baju yang dipakai oleh suamiku.Betapa terkejutnya kami semua saat melihat kemeja yang dikenakan oleh Rasenda karena ada noda merah yang sangat jelas. Noda ini berbentuk bibir dengan warna lipstik yang sama denganku. Tentu saja sama karena akulah sang pelaku.Saat kami sedang berbicara dengan Rosiana di ruangan CEO, R
“Sebal sebal sebal…, pokoknya seeebal!” ucapku setelah kembali dari acara makan siang bersama Pak Wirawan dan Rosiana.Ketika kami sampai kantor, aku mengikuti Rasenda masuk ke ruangannya dan langsung melemparkan tubuh ini ke sofa empuk yang ada di sana.“Sebal kenapa sih? Cerita dong,” ucap Rasenda dengan suara khas bebek sambil mencubit pipiku di kedua sisi, kiri dan kanan. Dia pikir pipi ini sama dengan bakpao?Aku menyingkirkan tangan nakal lelaki ini dari pipiku, lalu menyandarkan kepala di dadanya yang padat, sepadat kue brownies.“Ya karena apa lagi? Pak Wirawan tuh, bisa-bisanya beliau mengira kalau aku ini selingkuhan kamu,” ucapku dengan bibir yang dimonyong-monyongkan supaya terlihat dramatis.Rasenda mengelus-elus pipiku yang dia cubit sebelumnya. “Terus kamu maunya gimana? Mau hubungan kita go public biar semua orang tahu kalau kamu adalah menantu Keluarga Malik yang sah, begitu?”“Go public…, go public…, memangnya hubungan kita seperti emiten?” Aku mencubit dada pria ini
Setelah mempertimbangkan banyak hal, aku memutuskan untuk hadir di reuni SMA. Acara ini diselenggarakan di pondok wisata alam yang berlokasi di Cikole, Bandung.“Akhirnya ketemu kasur lagi,” desahku lirih sambil mengempaskan tubuh ke benda empuk yang ditutupi dengan kain putih. Saat ini diriku berada di dalam kamar hotel yang dipesan secara pribadi oleh Rasenda.Sebenarnya, acara reuni dimulai pada pukul tujuh malam, namun aku tiba di sini saat masih pagi karena diriku berangkat bersama Rasenda, bukannya naik mobil rombongan dari Jakarta yang disediakan oleh panitia.“Kamu suka tempatnya?” tanya Rasenda.“Tentu saja suka. Tempatnya sejuk dan asri, tidak seperti Jakarta. Di sini juga banyak pohon pinus di kanan dan kiri. Selain itu, kamarnya juga unik, seperti sedang berada di rumah hobbit.” Aku berguling di kasur agar bisa menghadap suamiku.Salah satu alasan mengapa aku bersedia menghadiri reuni adalah karena acara ini diadakan saat libur panjang, dari jumat sampai minggu. Kedua kare
Makin lama menyusuri area penginapan, diriku merasa ada sesuatu yang tak beres. Selama di perjalanan, terdengar dengan jelas langkah kaki seseorang. Namun, saat aku hendak melihat ke belakang, seseorang menutup mata dan mulutku.“Sst…, ini aku,” ucap orang itu.Rasenda! Dasar suami nakal! Lelaki ini baru saja membuatku hampir mati berdiri karena ketakutan.“AAKHH!” teriak Rasenda karena kakinya baru saja kuinjak. Rasakan itu! Siapa suruh dia menutup mataku. Dia pikir berjalan dengan mata tertutup rasanya nyaman?“Eum…, eum…, eum…,” ucapku sambil memberontak meminta dirinya untuk membiarkan mata dan mulutku terbebas dari belenggu.Bukannya menuruti permintaanku, dia malah kukuh membiarkanku berada dalam kegelapan dan kebisuan. “Tunggu sebentar, sayang. Dikit lagi kita sampai kok,” ucapnya.‘Sebentar’ adalah kata yang paling tidak konsisten yang pernah ada.
“Kamu ingin ke mana, sayang?” tanya Pak Sopir alias suamiku.Kami yang setiap hari berkutat di kota Jakarta tidak begitu paham dengan daerah lain seperti Bandung. Satu hal yang bisa kami lakukan adalah mencari rekomendasi tempat wisata di internet.“Ke sini aja dulu deh. Tempat ini paling banyak dapat rekomendasi,” ucapku.Agar lebih meyakinkan lelaki di sampingku, aku pun memberikan beberapa gambar yang beredar di internet padanya. “Coba lihat deh. Kamu cocok enggak kalau ke sini?”“Not bad. Coba saja.” Dia mengembalikan ponselku.Tak perlu waktu lama untuk sampai di lokasi kebun anggrek. Hanya perlu sekitar sepuluh menit bagi kami untuk sampai di objek wisata yang direkomendasikan oleh warganet tersebut.“Sayang, ambil foto dulu dong,” pintaku saat kami sampai di Grand Entrance.Sekali-kali suruh Bos Pecitra memotret, tidak masalah bukan? Biasanya kan aku yang melakukannya untuk beliau.Jika kami melakukan perjalanan dinas, aku selalu mengambil dokumentasi kegiatan dari berbagai mo
“Ahh… Ahh… Aah… pelan-pelan dong!” keluh Rasenda saat diriku memberikan sentuhan ajaib padanya.Pria ini tak henti mendesah acapkali tanganku merayap di badannya. Dia pikir suara desahannya enak didengar apa.Aku pun berdengus. Kalau tidak ingat apa yang Rasenda lakukan untukku saat kami di kebun anggrek, pasti sudah kutendang dia. Biar tahu rasa.“Aaahh…, kapan selesainya sih, sayang?” rintihnya.“Kalau sudah merah semua baru selesai,” jawabku. “Kenapa sih teriak mulu?”“Ya mau gimana? Orang kamu gosoknya keras banget.” Ada saja alasan yang dia gunakan untuk berdalih.“Coba kalau kamu pelan, pasti rasanya enak,” sambungnya.Aku memutar bola mata dengan malas saat mendengar perkataan orang ini. “Kalau pelan, nanti enggak merah,” ujarku.“Gak percaya. Coba aku lihat dulu hasilnya,” pinta lelaki yang kini se