“Ahh… Ahh… Aah… pelan-pelan dong!” keluh Rasenda saat diriku memberikan sentuhan ajaib padanya.Pria ini tak henti mendesah acapkali tanganku merayap di badannya. Dia pikir suara desahannya enak didengar apa.Aku pun berdengus. Kalau tidak ingat apa yang Rasenda lakukan untukku saat kami di kebun anggrek, pasti sudah kutendang dia. Biar tahu rasa.“Aaahh…, kapan selesainya sih, sayang?” rintihnya.“Kalau sudah merah semua baru selesai,” jawabku. “Kenapa sih teriak mulu?”“Ya mau gimana? Orang kamu gosoknya keras banget.” Ada saja alasan yang dia gunakan untuk berdalih.“Coba kalau kamu pelan, pasti rasanya enak,” sambungnya.Aku memutar bola mata dengan malas saat mendengar perkataan orang ini. “Kalau pelan, nanti enggak merah,” ujarku.“Gak percaya. Coba aku lihat dulu hasilnya,” pinta lelaki yang kini se
“Selamat datang Pak Gunawan dan Pak Rasendriya,” ucap Pak Rais. Beliau adalah Manajer Umum Hotel Pelisia InnDream, hotel yang berada di bawah sayap bisnis Pelisia Grup.Pagi ini Rasenda memintaku untuk menemani dirinya bertemu dengan Pak Gunawan di Hotel Pelisia InnDream yang terletak di daerah Sentul untuk meninjau persiapan perayaan hari jadi yang ke-15.“Kita langsung masuk saja, Pak,” ujar Pak Rais pada kami.“Mari Pak,” sahut Pak Gunawan.Aku dapat bocoran dari Rasenda, menurut lelaki tersebut, Pelisia InnDream melakukan beberapa inovasi untuk menyambut hari jadi yang akan dirayakan dalam beberapa hari mendatang.Salah satu inovasi yang dilakukan oleh InnDream adalah menempatkan robot penyambut tamu di depan pintu masuk. Selain membantu para tamu mendapatkan informasi seputar hotel, robot ini juga dapat mendeteksi benda berbahaya yang dibawa oleh pengunjung.“Welcome to Pelisia InnDream. It’s the inn you dream of,” kata robot penjaga yang menyambut kami.Aku lihat mereka berdua,
Bibir para karyawan tidak dapat mengatup dengan benar. Beberapa dari mereka, bahkan bibirnya berubah menjadi seperti bunga kantong semar saat menonton adegan Ibu Felicia memeluk Rasenda. Sebagian yang lain tak dapat menutupi rasa terkejutnya hingga mereka tak kuasa mengedipkan kelopak mata.Siapa yang tidak terkejut apabila mendapati atasan yang sangat mereka hormati sedang dipeluk oleh seorang wanita. Di depan umum pula. Mana perempuan itu langsung main sosor tanpa aba-aba.“Alba!” Lelaki ini menggerakkan tangan kirinya sebagai tanda bahwa dia membutuhkan bantuanku.Baguslah kalau dia ingat bahwa dirinya sudah punya istri dan orang itu sedang memperhatikan suaminya dari belakang. Awas saja kalau dia menikmati keadaan.“Bu Felicia, tolong kendalikan diri Anda,” ucapku sambil menarik tubuh wanita ini agar menjauh dari suamiku.“Kalian yang di sana, tolong bantu juga,” pintaku pada karyawan yang sedang asyik menont
Hanya ada satu orang yang hatinya berbunga-bunga saat ini. Siapa lagi kalau bukan Ibu Felicia, anak dari Pak Basuki, yang punya gedung di sebelah Pelisia Quarter Keeps.Wanita ini tidak bohong saat dia berucap bahwa dirinya tidak akan pergi dari Pecitra, kecuali bertemu dengan Rasenda terlebih dahulu.“Selamat makan!” ucapnya pada kami.Ibu Felicia memang luar biasa. Wanita ini memesan semua yang ada di buku menu tanpa mempertimbangkan harga. Jika saja aku sudah lupa akan perbuatannya di kantor Pecitra, pasti aku akan menikmati makanan ini dengan penuh syukur.Siang tadi, Rasenda menemui Ibu Felicia setelah menyelesaikan urusan yang lain. Dia membujuk wanita ini agar kembali ke kantornya sendiri karena lelaki ini tidak dapat menemaninya. Banyak pekerjaan yang harus dia tangani.Bukan Felicia namanya kalau dia menerima penolakan Rasenda begitu saja. Wanita keras kepala ini berjanji akan membiarkan Rasenda melakukan aktivitasnya asal dia
“Welcome home anak dan mantu Mama!” seru Ibu Susan saat masuk apartemen.Ibu mertua satu ini super heboh. Beliau tidak hanya memakai megafon saat mengucapkan ‘welcome home’, tetapi juga menabur konfeti di atas kepala kami.“Halo Ma,” ucapku pada Ibu Susan, lalu diriku langsung memeluknya.Rasenda pun melakukan hal yang sama denganku. “Hai Ma,” ucapnya.“Sudah, jangan di pintu terus. Ayo masuk!” ujar wanita ini.Tidak cukup dengan sambutan yang heboh, mertuaku masih memberi kejutan yang lain. Terdapat dua koper yang berisi buah tangan. Satu koper berisi makanan seperti cokelat dari berbagai merek dan masih banyak lagi. Untuk koper yang lain, di dalamnya berisi banyak gaun cantik yang bertabur batu kristal.Meskipun kedua koper tersebut berisi barang yang berbeda, namun semua barang itu memiliki satu kesamaan. Sama-sama mahal. Aku bertanya-tanya bagaimana beliau menghadapi bea cukai.“Semua barang ini Mama siapkan khusus untuk mantu Mama satu-satunya,” ucap Ibu Susan.Oleh-oleh yang be
“Makasih banyak, Bu,” ucap Bunga saat menerima cokelat yang kubagikan.Gadis ini segera menikmati cokelat yang dia dapat, wajahnya terlihat berbunga-bunga. Syukurlah kalau dia suka.Saat ibu mertua berada di tempat kami, aku mengeluh pada wanita itu bahwa makanan yang ia berikan terlalu banyak. Beliau pun memberi saran agar aku membaginya dengan teman maupun rekan kerja.“Cokelatnya enak banget sih, Bu,” ujar Ratna.Sesuai dengan saran dari ibu mertua, aku pun mengambil buah tangan sebanyak yang kuinginkan dan selebihnya aku bagi ke seluruh karyawan di lantai tujuh belas.“Cokelat ini enggak dijual di Indonesia deh, kapan Ibu ke luar negeri?” tanya Bunga.“Bukan saya yang dari luar negeri, tapi Ibunya Pak Malik. Semua cokelat ini dari beliau, saya hanya bertugas untuk membagi ke semua orang,” terangku.Mereka pun manggut-manggut setelah mendengar penjelasanku.“Ya ampun, Pak Malik baik banget. Sekarang kuputuskan untuk jadi penggemar beliau lagi,” ucap Bunga.Dasar perempuan labil. Beb
Setelah menerima info dari Aulia, aku pun meminta izin pada Rasenda untuk turun ke lobi. Saat pintu lift terbuka, ternyata di dalam sana sudah penuh. Yah, diriku harus menunggu lift selanjutnya.Aku menjadi lesu karena lift selanjutnya ternyata dipenuhi oleh orang aneh. Masa saat melihatku, mereka langsung memberi hormat. Demi menghargai mereka, aku pun mengangguk. Setelah itu, semua orang di sana meninggalkan lift, tanpa terkecuali.Tindakan mereka sontak membuatku menengok ke belakang dan menemukan Rasenda di balik punggungku. Sekarang aku mengerti, ternyata mereka mengosongkan lift karena ada sang CEO.“Ngapain sih ngikut?” tanyaku dengan ketus pada Rasenda. Berkat orang ini, aku harus menanggung malu karena sempat mengira kalau orang-orang tadi memberi hormat padaku.“Idih, sewot banget sih? Aku cuma mau ke bawah kok,” jawabnya.“Mau ngapain ke bawah? Sebentar lagi kan kamu ada meeting sama Pak Kevin,” ucapku mengingatkan.“Mau beli kopi dulu. Lagian masih ada waktu setengah jam,
“Sudah jangan tengok kanan-kiri, tidak ada pohon cemara. Jalan saja lurus ke depan,” ucap Rasenda saat membawaku keluar dari tangga darurat.Aku yakin semua mata pasti sedang tertuju padaku. Bagaimana tidak? Saat ini diriku menggunakan kacamata super besar dengan warna hitam yang pekat.“Kenapa mukamu kayak gitu? Apa yang kamu pikirkan?” tanya lelaki yang sedang menuntunku.“Aku hanya lagi mikir kalau rumput sintetis yang ada di Pelisia Quarter Keeps bisa ngomong, mereka pasti akan bergosip tentangku sepanjang masa,” jawabku.“Kalau memang benar begitu, biar kubuang saja semua rumput yang ada dan ganti pakai yang baru,” ucapnya. Dasar tukang buang barang! Mentang-mentang dia kaya dan punya kuasa.“Masih lama apa enggak sih?” tanyaku yang mulai bosan dengan kegelapan ini. Kalau bukan karena mataku yang bengkak, aku juga tidak mau menutupnya.Beberapa waktu yang lalu, Rasenda menghubungiku melalui panggilan telepon karena diriku tak kunjung kembali ke kantor. Pada saat itu, tak ada suar