“Makasih banyak, Bu,” ucap Bunga saat menerima cokelat yang kubagikan.Gadis ini segera menikmati cokelat yang dia dapat, wajahnya terlihat berbunga-bunga. Syukurlah kalau dia suka.Saat ibu mertua berada di tempat kami, aku mengeluh pada wanita itu bahwa makanan yang ia berikan terlalu banyak. Beliau pun memberi saran agar aku membaginya dengan teman maupun rekan kerja.“Cokelatnya enak banget sih, Bu,” ujar Ratna.Sesuai dengan saran dari ibu mertua, aku pun mengambil buah tangan sebanyak yang kuinginkan dan selebihnya aku bagi ke seluruh karyawan di lantai tujuh belas.“Cokelat ini enggak dijual di Indonesia deh, kapan Ibu ke luar negeri?” tanya Bunga.“Bukan saya yang dari luar negeri, tapi Ibunya Pak Malik. Semua cokelat ini dari beliau, saya hanya bertugas untuk membagi ke semua orang,” terangku.Mereka pun manggut-manggut setelah mendengar penjelasanku.“Ya ampun, Pak Malik baik banget. Sekarang kuputuskan untuk jadi penggemar beliau lagi,” ucap Bunga.Dasar perempuan labil. Beb
Setelah menerima info dari Aulia, aku pun meminta izin pada Rasenda untuk turun ke lobi. Saat pintu lift terbuka, ternyata di dalam sana sudah penuh. Yah, diriku harus menunggu lift selanjutnya.Aku menjadi lesu karena lift selanjutnya ternyata dipenuhi oleh orang aneh. Masa saat melihatku, mereka langsung memberi hormat. Demi menghargai mereka, aku pun mengangguk. Setelah itu, semua orang di sana meninggalkan lift, tanpa terkecuali.Tindakan mereka sontak membuatku menengok ke belakang dan menemukan Rasenda di balik punggungku. Sekarang aku mengerti, ternyata mereka mengosongkan lift karena ada sang CEO.“Ngapain sih ngikut?” tanyaku dengan ketus pada Rasenda. Berkat orang ini, aku harus menanggung malu karena sempat mengira kalau orang-orang tadi memberi hormat padaku.“Idih, sewot banget sih? Aku cuma mau ke bawah kok,” jawabnya.“Mau ngapain ke bawah? Sebentar lagi kan kamu ada meeting sama Pak Kevin,” ucapku mengingatkan.“Mau beli kopi dulu. Lagian masih ada waktu setengah jam,
“Sudah jangan tengok kanan-kiri, tidak ada pohon cemara. Jalan saja lurus ke depan,” ucap Rasenda saat membawaku keluar dari tangga darurat.Aku yakin semua mata pasti sedang tertuju padaku. Bagaimana tidak? Saat ini diriku menggunakan kacamata super besar dengan warna hitam yang pekat.“Kenapa mukamu kayak gitu? Apa yang kamu pikirkan?” tanya lelaki yang sedang menuntunku.“Aku hanya lagi mikir kalau rumput sintetis yang ada di Pelisia Quarter Keeps bisa ngomong, mereka pasti akan bergosip tentangku sepanjang masa,” jawabku.“Kalau memang benar begitu, biar kubuang saja semua rumput yang ada dan ganti pakai yang baru,” ucapnya. Dasar tukang buang barang! Mentang-mentang dia kaya dan punya kuasa.“Masih lama apa enggak sih?” tanyaku yang mulai bosan dengan kegelapan ini. Kalau bukan karena mataku yang bengkak, aku juga tidak mau menutupnya.Beberapa waktu yang lalu, Rasenda menghubungiku melalui panggilan telepon karena diriku tak kunjung kembali ke kantor. Pada saat itu, tak ada suar
“Kamu yakin mau pakai ini?” tanyaku pada Rasenda saat menyisir rambutnya.“Iya. Ada masalah?” balas lelaki ini seraya menarik pinggangku ke dalam pelukan kemudian mencicip bibirku dengan lembut. Aish, bisa saja dia mengambil kesempatan. Dasar nakal!Hari ini merupakan Hari Ulang Tahun ke-12 Pelisia Citra Ayu tbk. Kami merayakannya dengan mengadakan berbagai kegiatan seperti potong tumpeng, pertunjukan dari berbagai departemen, olahraga, dan lainnya.Aku mengecek lagi penampilan suamiku tercinta. Rambut, rapi. Celana dan sepatu juga tak ada masalah. Tetapi, pakaian yang dia gunakan….“Emangnya ini enggak terlalu ketat ya?” ucapku padanya.“Enggak kok. Pas malah di badan,”ujar lelaki yang kini ada di depanku.Rasenda memakai kaus putih polos dengan corak warna hitam di setiap jahitan. Biar dilihat dari sisi mana pun, kaus yang menggunakan model kerah Shanghai ini terlalu ketat untuk suamiku. Akan lebih baik jika dia menggunakan ukuran yang lebih besar.Sang CEO Pecitra melihat ke arah
Wanita itu masuk ke dalam ruangan. Tindakan tersebut sukses membuat semua orang yang ada di sini langsung memusatkan perhatian mereka padanya, wanita yang bernama Rosiana.Kedatangan Rosiana merupakan petaka dan juga keberuntungan bagi kami. Dikatakan petaka karena dia memegang rahasia besar antara aku dan Rasenda. Takutnya dia lupa akan janjinya dan memberi tahu semua orang tentang hubungan kami berdua.Di sisi lain dia juga menjadi keberuntungan karena kedatangannya membuat dua pesaing Rasenda gugur akibat terlalu terkejut. Sementara Rasenda, dia masih menggendongku tanpa goyah sedikit pun.“Sampai kapan kalian akan main gendong-gendongan?” tanya Rosiana. Tangannya menunjuk kami berdua.Dasar Rasenda, bukannya menurunkanku setelah disindir oleh Rosiana, dia malah menghampiri wanita itu tanpa melepasku.“Ikut ke ruanganku!” ucapnya pada Rosiana, di depan semua orang.***“Bagaimana kamu bisa masuk?&rdquo
Saat aku dan Rasenda turun ke lobi, kami berdua disambut oleh tamu tak diundang. Untuk apa dia ke sini? Apakah air mata yang kemarin membanjiri pipiku tidak cukup?“Sayang, tempo hari kamu kan tanya, bagaimana dia bisa ada di sini,” ucapku pada Rasenda dengan suara pelan.Rasenda, lelaki yang sekarang berdiri di sampingku ini hanya memberi respons dengan anggukan.“Ada yang kasih tahu di mana tempat kerjaku sama orang itu. Dia adalah perempuan yang jadi pasangan Pak Yanto saat lomba angkat beban. Namanya Ayu Larasati dari Departemen Public Relations,” imbuhku.Karena jarak antara kami dengan Marcel cukup jauh sekitar dua puluh meter, aku yakin Marcel tidak mendengar apa yang baru saja aku katakan pada Rasenda.“Alba, tolong luangin waktu kamu sebentar saja,” pinta Marcel. Sekarang dia ada di depanku. Lelaki ini menggenggam tanganku dengan ekspresi seperti anak kecil yang sedang meminta permen.“Ngapa
“Kamu masuk dulu ya,” ucap Rasenda saat dirinya membuka pintu mobil sisi belakang untukku.Setelah menutup pintu, lelaki ini meminta Pak Budi keluar dari kursi pengemudi. Dia juga memberikan sejumlah uang berwarna merah. Pak Budi pun mengangguk-angguk dan segera pergi dari tempat ini.“Kamu suruh beliau ke mana?” tanyaku pada Rasenda saat dia masuk ke dalam mobil dan duduk di sampingku.“Suruh balik,” ucapnya.Lelaki yang saat ini duduk di sebelah kananku mengambil segepok tisu di dasbor, lalu memberikan benda tersebut padaku.“Untuk apa?” tanyaku kebingungan. Aku kan tidak terserang influenza.Lelaki ini bukan langsung memberi jawaban, malah menarik tubuh ini ke dalam dekapannya. Kenapa sih dia suka sekali main peluk-pelukan? Sudah begitu, dia tidak memberi aba-aba sebelum menarik badanku. Aku kan jadi kaget.“Buat lap saat kamu nangis,” ujarnya.Nangis?Ah, aku tahu. Dia pasti berpikir kalau aku sedang bersedih k
“Eeuuh….” Suara lenguhan mencelos begitu saja dari bibirku karena badan ini terasa begitu berat. Sejak diriku menerima perasaan Rasenda beberapa bulan yang lalu, tak ada lagi tubuh yang bugar.Saat malam menjelang, lelaki ini selalu merapatkan tubuhnya padaku. Dia mengaduk raga ini seakan sedang mengolah adonan roti. Alhasil, badan ini menjadi letih saat pagi menyapa.“Bisa geser tidak?” keluhku pada pria yang sedang menempelkan badannya dari belakang. Kedua lengan milik lelaki ini mengungkung tubuhku hingga tak bisa bergerak sedikit pun.“Sebentar lagi, sayang,” ucapnya seraya menggosok-gosok rahangnya pada rambutku yang panjang dan tergerai bebas. Untung saja aku sudah terbiasa, jadi tidak kaget lagi seperti dahulu, saat pertama kali dia melakukannya.“Sebentar laginya sampai kapan?” protesku.Rasenda selalu menggunakan kalimat andalan ‘sebentar lagi’ untuk mengurung dan menahanku