“Ya Tuhan. Ini kan sepatu yang dibuat oleh desainer terkenal,”-Aulia menepuk-nepuk pundakku-“kalian tahu enggak? Ini sepatu cuma ada tiga di Indonesia.”Aku tidak menyangka kalau sepatu ini sangat langka karena diriku hanya menerimanya saja tanpa mencari tahu informasi tentang barang ini lebih lanjut. Kalau saja aku tahu lebih awal bahwa sepatu ini merupakan edisi terbatas, sudah pasti benda ini tak akan kupakai di kantor.“Masa sih Bu hanya ada tiga? Saya yakin pernah lihat ada orang pakai sepatu yang sama,” timpal Bunga.Tentu saja gadis ini pernah melihatnya karena akulah yang pakai. Dengan percaya diri, sepatu ini sudah kubawa keliling lantai 17 mulai dari ruangan Departemen Marketing, ruang kerja CEO, pantri, toilet, bahkan diriku juga sudah membawanya berlenggang ke ruangan Sekretaris Perusahaan di lantai 15.“Kamu lihat di mana, Nga?” tanya Aulia.“Di kantor,” jawabnya.Selesai sudah rahasia pernikahanku dan Pak Malik hari ini jika mereka tahu bahwa sepatu yang hanya ada tiga di
Lelaki itu tak langsung duduk setelah memasuki ruang kerjanya. Dia hanya berdiri di sana, tak jauh dari pintu masuk. Dirinya juga tidak memberiku perintah apa pun.Karena situasi jadi canggung seperti ini, mau tak mau diriku harus mengambil inisiatif. Jika tidak melakukannya, mungkin saja kami akan jadi maneken sampai jam kerja berakhir.“Apa yang harus saya lakukan, Pak?” tanyaku yang sekarang berada di belakang tubuh orang itu persis.“Pak?” Dia tak menjawab.Aku takut terjadi sesuatu yang buruk padanya seperti kesurupan atau apa. Maka dari itu, aku tarik lengan bajunya secara pelan-pelan untuk memastikan apakah dia masih sadar atau tidak.“Ah.” Diriku tersentak karena Pak Malik langsung mengunci tubuhku ke dalam pelukannya saat aku menarik lengan baju beliau.Lelaki itu menggosok rambutku dengan lembut dan berkata, “Jangan bergerak, biarkan seperti ini sebentar saja.” Pak Malik mencium puncak kepalaku.Sebenarnya apa yang baru saja terjadi dengan pria ini? Sebelum pergi makan sia
“Dalam beberapa bulan terakhir, kita mendapat keluhan pelanggan dari beberapa brand perawatan kulit. Mereka mengatakan bahwa konsumennya mengeluh tentang cairan toner yang sering tumpah,” ucap Bunga dalam ruang rapat.Pecitra memang bukan perusahaan yang menjual produk kecantikan menggunakan merek sendiri. Kami hanya memproduksi produk tersebut untuk klien dan mereka yang menjualnya menggunakan merek masing-masing.Mengenai kandungan bahan, manfaat dan tujuan penggunaan produk, sepenuhnya diputuskan oleh klien. Posisi Pecitra hanya memberi saran dan rekomendasi pada mereka dalam menentukan pilihan. Meskipun begitu, kami memberikan kualitas yang terbaik agar para klien kami dan konsumennya puas.“Sebagai jawaban atas keresahan mereka, kami memutuskan untuk mengubah packaging dari kemasan lama yang berbentuk tube menjadi kemasan botol,” imbuh Bunga.Ratna pun segera membagikan contoh kemasan baru yang direkomendasikan oleh tim marketing kepada seluruh peserta rapat.Sambil memegang boto
“Pak, saya bisa jalan sendiri. Tolong turunkan saya,” pintaku pada Pak Malik, namun beliau menolaknya. Lelaki itu mengemban diriku dari ruang rapat hingga masuk ke mobil, bahkan sampai di rumah sakit.Aku malu setengah mati karena tatapan khalayak. Lebih malu lagi karena siapa pun yang melihat kami pasti akan merekamnya.Momen memalukan yang seharusnya dapat mereka lupakan dalam sehari berubah menjadi kenangan abadi yang tersimpan di galeri ponsel mereka. Semoga saja mereka tidak mengunggahnya ke dunia maya.“Nona Alba!” seru perawat di rumah sakit.Pak Malik sungguh berlebihan. Hanya karena kepalaku terbentur meja, beliau membawaku bertemu dengan dokter spesialis neurologi.“Silakan masuk, Kak,” ucap perawat tersebut.“Dengan Nona Alba Ayuningtyas?” tanya Pak Dokter.Aku meringis. “Benar Dok.”“Ehm….” Pak Malik mengoreksi, “Nyonya Alba, Dok.”Aish, Pak Malik kenapa sih? Antara nona dan nyonya saja dikomentari.“Baik Nyonya Alba, silakan katakan keluhannya,” ucap dokter spesialis neuro
Hampir setengah jam diriku berada di sini, di ruang pakaian Pak Malik. Sejak selesai mandi hingga sekarang, aku hanya melihat-lihat pakaian saja, tak dapat menentukan akan memakai baju yang mana.“Alba, makan malamnya sudah siap!” teriak Pak Malik dari ruang makan.“Iya Pak, tunggu! Saya pakai baju dulu,” jawabku.Meski banyak pakaian wanita tersedia, namun mereka tak pantas untuk dikenakan di depan orang lain, apalagi di depan lawan jenis karena sebagian dari pakaian yang ada di sini menggunakan kain yang tipis. Ukuran bajunya juga tak panjang, hampir semuanya di atas lutut, sedangkan bagian dada terlalu ke bawah.“Kamu ngapain aja sih di dalam, kenapa lama sekali?” tanya Pak Malik. Lelaki itu masuk begitu saja tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu.“Aaahh…!” Tanganku refleks menutupi dada saat lelaki itu datang. Bagaimana ini? Sekarang aku masih memakai handuk mandi dan tak memakai apa pun selain itu.Aku terkejut, Pak Malik juga demikian. Lelaki itu langsung menutup matanya dan berba
“Aku tampan, mapan, kaya, dan sehat,” ucap Pak Malik.Dahulu apabila dia mengatakan empat kelebihannya, aku akan menganggap bahwa dia merupakan lelaki yang angkuh. Namun, malam ini entah mengapa aku merasa bahwa dia hanya sedang menjual nilai diri agar aku menerima hatinya.CUP!!Mata Pak Malik membulat saat aku mengecup bibirnya. Dia pun langsung menjatuhkan tubuhku di sofa dan mengungkungnya.Lelaki ini menindih tubuhku. Dia membuat kami berbagi napas kehidupan bersama dengan cara menempelkan hidung miliknya dengan milikku, seperti suku Maori yang melakukan hongi.“Berani sekali gadis kecil membangunkan naga yang sedang tidur,” ucap Pak Malik, suaranya berat namun terdengar menggemaskan di telinga.Pak Malik mengikat pergelangan tanganku menggunakan jari-jemarinya hingga diriku tak dapat melakukan apa pun selain pasrah.Dia mengecup ringan bibirku lalu perlahan-lahan kecupan itu berubah menjadi ciuman panas. Bibir kami berpagutan dalam keheningan malam, menciptakan suara yang beririn
“Pelan-pelan dong! Jangan sampai lecet! Ucapku pada Rasenda yang sedang bekerja keras memainkan jemarinya di kulit leherku.“Iya, sayang. Ini juga sudah pelan kok. Kamu tenang saja.” Lelaki ini masih mengerjakan tugas yang aku berikan untuknya sebagai pertanggungjawaban karena sudah membuat tubuhku dipenuhi tanda memar.Ada begitu banyak jejak yang ditinggalkan oleh Rasenda di sekujur tubuh. Mulai dari leher, dada hingga kaki, pasti ada kissmark, begitu juga di area lengan. Kalau tanda ini tidak ditangani dengan benar, orang lain pasti mengira bahwa diriku baru saja dihajar massa.“Kamu yakin metode ini efektif? Kok ini tidak hilang?” tanya Rasenda.Baru beberapa menit saja menggosok nanas di area yang dia singgahi, dirinya sudah protes. Siapa suruh tadi siang dia berubah menjadi macan kumbang?Sebelumnya, aku meminta lelaki ini untuk makan siang bersama Ibu Felicia. Jika beliau tidak bersedia, aku memberi ancaman kalau dia tidak dapat memelukku malam ini. Bukannya menjadi anjing pe
Rosiana!Mengapa wanita itu datang di saat yang tidak tepat seperti sekarang?Selain keluarga Rasenda, Rosiana adalah satu-satunya orang yang mengetahui tentang pernikahan kami. Untuk mencegah sesuatu yang tidak diinginkan, aku pun segera membawa orang ini pergi dari pantri.“Coba sekarang katakan, kenapa cara jalanmu tertatih-tatih seperti pengantin sunat?” tanya Rosiana. Dia seperti ibu yang sedang mengomel pada anak gadisnya.Saat Rosiana datang, aku langsung mengirim pesan singkat kepada Rasenda agar beliau memperbolehkan kami menggunakan ruangannya, untung saja suamiku mengizinkan.“Pasti perbuatan si mulut kaktus, kan?” lanjutnya.Aku mengangguk, membenarkan dugaan wanita ini. Lebih baik aku jujur saja padanya, lagi pula dia sudah mengetahui semua, jadi berbohong pun tidak ada gunanya.Rosiana mengepalkan tangannya. “Bedebah itu benar-benar!”“Terus apa maksud mereka nyuruh kamu supaya laporin Rasendriya ke polisi?” tanya wanita ini.Ternyata anak dari Pak Wirawan ini mendengar