Dalam sebulan waktu terakhir, sikap Pak Malik banyak menunjukkan perubahan. Setelah diingat-ingat, beliau mulai berubah semenjak kami berdua terkurung di dalam lift, beberapa jam sebelum beliau melakukan kencan buta dengan Nona Rosiana dari Onenabe.Dahulu beliau selalu bersikap sopan dan segan padaku. Namun, sekarang dia selalu mencuri kesempatan untuk memelukku dari belakang, baik ketika sedang di kantor maupun di luar jam kerja.“Alba, aku pulang.” Pak Malik masuk ke kamar hotel dengan membawa dua kantong makanan di tangan.Satu lagi perubahan yang beliau miliki. Sekarang dia tidak pernah menyebut dirinya ‘saya’, tetapi ‘aku’.“Kamu pasti belum makan siang, kan?”Dia membuka kantong makanan yang berisi nasi kuning dalam bentuk tumpeng mini dengan lauk ayam bumbu rujak, sate ayam madura, dan rawon. Beliau tahu betul kalau lidahku lebih cocok memakan menu nusantara daripada makanan luar.“Buka mulutmu, aaa….”Perubahan Pak Malik yang lain ialah beliau ringan tangan untuk menyuapiku.
Senyaman-nyamannya tinggal di kamar hotel, lebih nyaman berada di kamar sendiri karena aku dapat memeluk replika Jin dengan bebas. Dia adalah ‘suamiku’ yang sebenarnya, si lelaki paling tampan di dunia pada abad ini.“Bagaimana kabarmu, kesayanganku?”Seperti magnet yang menarik besi, replika Jin yang aku letakkan di balik pintu masuk langsung menarik bibir ini untuk mengecup. Racun rindu yang menjalar di dada selama satu minggu ini pun telah menemukan penawarnya.TINGG!TINGG!TINGG!Selama berada di Singapura, aku sengaja tidak mengaktifkan jaringan komunikasi di ponselku karena menginginkan ketenangan. Alhasil saat aku menyalakan jaringan nirkabel setelah sampai di Indonesia, pemberitahuan yang masuk pun menumpuk hingga ratusan.“Bu, apakah kita perlu membersihkan video yang beredar di masyarakat?”“Apakah kita perlu mengeluarkan siaran pers?”“Bu, apakah kita perl
Aku ingat betul kalau pada hari itu Pak Malik setuju untuk merahasiakan pernikahan kami. Anehnya ketika rekaman itu diputar tidak ada ucapan beliau yang mengatakan kalau dia bersedia melakukannya.“Saya mau pernikahan ini dirahasiakan dan Bapak harus memberi kompensasi yang besar pada saya setelah perceraian!” Itulah yang aku katakan pada Pak Malik sebelum menandatangani perjanjian perkawinan.Setelah mendengar permintaanku, beliau tidak menjawab dengan kata ‘iya’ maupun ‘tidak’, tetapi dengan pertanyaan ‘Ada lagi?’ dan pada saat itu, aku salah mengartikan jawaban beliau tersebut sebagai sebuah persetujuan.Bodohnya aku karena tidak mengecek dua kali akan jawaban beliau. Lebih bodoh lagi karena diriku tidak membaca kontrak secara lengkap, padahal saat itu beliau menyuruhku untuk memeriksanya.“Kamu baik-baik saja?” tanya Pak Malik.Bagaimana bisa baik-baik saja? Aku telah menandatangani pe
“Eh…, eh, orangnya datang.”Para karyawan Pecitra di lantai 17 langsung balik kanan ke meja kerja masing-masing saat CEO mereka memasuki ruangan. Aku yang berjalan di belakang beliau mendengar dengan jelas kalau mereka sedang bergunjing tentang Pak Malik dan pasangan yang masih dirahasiakan identitasnya.“Panggil Bu Angelic dan Pak Kevin, sekarang,” perintah Pak Bos sebelum beliau memasuki ruangan CEO.“Baik, Pak,” jawabku.Satu minggu kami meninggalkan kantor mengakibatkan banyak pekerjaan terbengkalai dan aku harus segera mengurusnya. Namun, Pak Malik masih berdiri di depan mejaku membuat diri ini tak dapat mengabaikan keberadaan lelaki itu begitu saja.“Ada lagi yang perlu saya lakukan untuk Bapak?”“Kamu bisa menyelesaikan ini sendiri?” Beliau menunjuk tumpukan berkas di mejaku.Untung saja hanya satu minggu. Kalau kami tinggal di Singapura lebih lama lagi, berkas-
Lebih baik aku iyakan saja pertanyaan Pak Malik daripada harus memasak makan malam sendiri untuknya karena aku sudah sangat lelah. Anggap saja sebagai balas budi karena beliau sudah membantuku.“Selamat malam, selamat datang di Dapur Malam, dengan saya Sari, mau pesan makan apa kak?” tanya karyawan restoran yang kami kunjungi.“Kamu punya rekomendasi?”“Kami memiliki paket untuk pasangan, sangat cocok untuk kakak berdua. Menu yang paling banyak dipesan adalah ‘paket cinta sejati menyatukan perbedaan dalam satu nampan’ yang terdiri dari nasi putih, ayam bakar, sate lilit, gudeg, lalapan dan untuk kuahnya kita ada tongseng.Sebagai sajian penutup, Kakak akan mendapatkan nanas bakar dan salad buah. Selain itu, Kakak juga akan mendapat es jeruk gratis karena hidup tidak selalu manis.”Menu macam apa itu? Bulu kudukku langsung berdiri saat mendengarnya.“Kami pesan itu, dua.” Pak Malik langsung melihat ke arahku dengan bangga. Dia pikir yang dia lakukan hebat?Awalnya kami berniat makan m
“Ini taruh di mana, Bu?” tanya salah satu office boy yang bernama Bobi pada Aulia.“Di sana saja, Mas.” Aulia menunjuk ruangan CEO.Semua karyawan di lantai 17 terbengong-bengong karena ulah Bobi. Bagaimana tidak, office boy tersebut membawa satu troli penuh berisi buket bunga dari berbagai jenis.“ALBA!” Seru Pak Malik.Biasanya dia memanggilku melalui interkom. Namun, kali ini beliau memanggilku langsung dengan suara yang menggelegar seperti guntur di musim gugur.Aku buru-buru meninggalkan meja kerjaku dan segera masuk ke ruangan beliau. “Iya Pak. Apa yang harus saya lakukan?” Napasku masih tersengal-sengal.Hal pertama yang aku rasakan saat berada di ruangan CEO adalah wangi yang semerbak. Saking wanginya, aku sempat mengira kalau tempat ini sudah berubah menjadi pabrik minyak wangi.“Cari tahu apa yang terjadi!” Pak Malik menunjuk sekumpulan bunga dalam ruangannya tanpa
“Halo Ma!” Pak Malik menjawab telepon masuk.“Kok gelap?”Suara itu…, tidak mungkin beliau, kan?“Dasar anak nakal! Mama mau ngobrol sama mantu. Cepat kasih teleponnya!” pekik Ibu Susan melalui sambungan video.Hal ini terjadi secara tiba-tiba dan aku belum siap. Aku pun melambai-lambaikan tangan pada anak Ibu Susan tersebut sebagai isyarat bahwa bahwa diriku tidak ingin menerimanya.Pak Malik memberi tanda setuju melalui gerakan tangannya. “Ma, Alba lagi di kamar mandi jadi enggak bisa ngobrol.”“Mama tungguin sampai selesai. Kangen banget pengen ngobrol sama dia,” ucap wanita itu dengan kukuh.“Coba kamu ke depan kamar mandi. Kita kasih dia kejutan,” lanjutnya.Ternyata Ibu Susan pantang menyerah. Kalau seperti ini cara mainnya, mau tak mau harus mengikuti permainan wanita itu.Aku berjalan ke kamar mandi secara diam-diam tanpa mengeluarkan
“Apa Bapak marah karena saya memanggil nama Anda sembarangan?”Aku ingin memutar badan untuk melihat ekspresi Pak Malik, namun tubuh ini masih terkunci dalam kungkungan beliau.“Kamu mulai lagi memanggilku bapak.” Dia menjatuhkan kepalanya di pundakku yang kanan.“Maaf, Pak.”“Tidak ada kata maaf. Kamu harus dihukum!” Lelaki itu menggigit telingaku, rasanya tidak sakit namun gigitan itu berhasil membuat bulu kuduk meremang.“Ngomong-ngomong, apa kamu nyaman pakai baju ini?” tanya Pak Malik.Oh iya. Aku lupa akan satu hal. Saat ini baju Pak Malik masih menempel di badanku. Meskipun sudah mendapat izin dari beliau sebelum memakainya, namun atas nama kesopanan harusnya aku mengatakan sesuatu setelah selesai berbicara dengan Ibu Susan.“Hmm, ini… biar saya cuci dulu,” ucapku.“Bukan begitu maksudku. Kalau kamu nyaman, kamu boleh memakainya kapan pu
Terima kasih aku ucapkan pada:Editorku, Kak Dian dan Kak Lucy. Berkat kalian berdua, ‘Jebakan Cinta sang CEO’ dapat tayang di Goodnovel;Para pembaca. Kalian memotivasiku untuk menyelesaikan cerita. ‘Jebakan Cinta sang CEO’ atau memiliki judul lain ‘Suami Magnetis’ merupakan naskah pertamaku di platform ini. Aku harap kalian menyukainya;Terkhusus untuk Jin, lelaki paling tampan di dunia dan sejagat raya pada abad ini. Oppa, thank you for giving me inspiration in writing this manuscript. If Oppa hadn’t held fan meeting a few months ago as well as became the torch bearer for The Paris 2024 Olympics, ‘Jebakan Cinta sang CEO’ would have had a different storyline. Oppa, i have a dream that one day my scripts will be adapted into drama and you become the one who play the main role. I hope my dreams come true.Saat ini aku sedang mengerjakan naskah lain berjudul Hidden Tea. Semoga cerita tersebut dapat tayang di platform ini juga. Sekian.
“Sayang, kamu enggak marah sama aku?” tanyaku.Saat ini diriku berada di bawah selimut yang sama dengan Rasenda. Setelah kami berdua melakukan penyatuan, rindu yang mengapur pun melebur. Suasana yang awalnya dingin, kini menjadi cair.Dengan lembut, Rasenda memeluk tubuhku yang masih polos dan apa adanya. “Marah kenapa?”“Karena aku jual Jantung Medusa, hadiah dari Mama,” jawabku dengan suara yang pelan, lalu menyembunyikan wajah di pelukan Rasenda.Pada saat diriku bilang ke Rosiana bahwa aku akan melepas Jantung Medusa, sebenarnya aku takut jika Rasenda membenciku. Meski pada saat itu lelaki ini membiarkan tindakanku, namun tetap saja ada perasaan tak enak.“Asalkan itu membuatmu senang, tidak ada masalah,” jawabnya.“Lagi pula, kamu tidak jual benda itu atas dasar keputusanmu sendiri. Aku masih punya andil di dalamnya. Ingat! Aku yang melepas perhiasan itu ke orang lain karena akulah yang menyimpannya. Jadi, jangan salahkan dirimu, oke,” imbuhnya.Betapa baiknya suamiku. Padahal ka
Empat hari kami berada di Korea mulai dari Kamis hingga Minggu. Kalau saja Aulia bukan budak korporasi, mungkin kami akan berada di sana hingga satu minggu ke depan.“Manu, tolong bawa ke dalam dan bagi dengan yang lain,” pintaku pada orang itu, wanita yang disuruh oleh Rasenda untuk mengawasi gerak-gerikku.Dia membawa masuk koper yang kuberikan dan membukanya. Betapa terkejut wanita itu setelah dia melihat isi dalam koper tersebut. Terdapat berbagai produk kecantikan, seperti masker wajah, lipstik dan pelembab. Tak ketinggalan juga teh yuja, ginseng serta berbagai makanan khas Korea.Selama berada di negeri K-pop, Aku dan Aulia memuaskan diri berkeliling ke berbagai tempat. Dari lokasi wisata hingga pusat perbelanjaan, kami kunjungi semua. Tak peduli mau beli atau tidak, yang penting kami bisa cuci mata.“Ya ampun banyak banget, Bu. Apa enggak rugi kena cukai?” respons Manu.Persetan dengan cukai atau apa pun itu, toh yang bayar suamiku. Dia sendiri juga sudah bilang agar aku memuas
“Hai sayang! Gimana kabar?” Rosiana mencium pipiku, kiri dan kanan.“Baik Kak. Kakak gimana?” jawabku.Wanita yang kini mengenakan kemeja putih ini menggenggam tanganku. “Luar biasa.”Kami bertemu di kafe yang terletak di daerah Megamendung. Tempat itu memiliki pemandangan indah yang menghadap ke Gunung Salak.Selain memanjakan mata, kafe tersebut juga memanjakan lidah, terutama bagi pengunjung yang mencintai makanan pedas. Mereka menyediakan berbagai menu yang dipadukan dengan sambal bakar seperti ikan gurame, ayam bakar pedas manis, steik bumbu kacang dan masih banyak lagi.“Langsung saja tidak usah basa-basi. Aku dengar kamu punya Jantung Medusa.” Baru saja bertemu, wanita ini sudah bertanya tentang perhiasan.“Dari mana Kakak mendengarnya?” tanyaku.“Dari kenalanku. Dia ingin membelinya,” ujar Rosiana.Memang yang namanya gosip cepat beredar. Mend
“Sayang kamu pasti bercanda, kan?”Aku menarik jas pria ini dengan tangan yang gemetar. Bagaimana mungkin dia berubah menjadi begitu kejam?Kertas yang dia berikan padaku merupakan surat pengunduran diri yang sudah diatur olehnya. Dia, bahkan tak meminta pendapatku lebih dahulu. Inikah hukuman darinya?“Selama ini aku tak bermaksud untuk menyembunyikan kebenaran ini. Aku hanya belum sempat mengatakannya…, tidak…, aku tak berani mengatakannya karena takut kalau kamu jadi makin sedih,” ucapku.“Saat itu, kamu baru saja kehilangan Mama. Jika aku memberi tahu kalau aku keguguran….”“Tetap saja aku berhak tahu!” bentaknya. “Bagaimanapun juga, dia juga anakku.”Seumur hidup, aku tak pernah melihat Rasenda marah sampai membentakku seperti malam ini. Biasanya, tak peduli seburuk apa suasana hatinya, dia tak akan berbicara dengan nada tinggi padaku.“Apa kar
Semenjak Ayu mengunggah video klarifikasi, kepercayaan publik yang sempat hilang pun kembali. Demikian juga dengan kepulangan Rasenda dari Singapura membuat atmosfer Pecitra menjadi lebih baik dari hari ke hari.Lelaki itu berhasil membujuk klien Pecitra yang ingin memutus kerja sama untuk mengurungkan niatnya. Dengan demikian, kerugian yang mengancam perusahaan dapat ditekan.Rasenda berjalan keluar dari ruangannya dan singgah di mejaku. “Sayang, buka akun sekuritas kamu deh,” ucap lelaki itu. Aku pun menurutinya.Betapa terkejut diriku saat melihat ekuitas yang aku miliki saat ini. Besarnya tak tanggung-tanggung hingga mencapai enam bagger. Modal awal yang aku taruh adalah delapan belas miliar enam ratus juta rupiah dan kini nilainya menjadi seratus sebelas miliar enam ratus juta rupiah.“Sayang! Ini beneran uang aku naik lima ratus persen?” tanyaku pada suami untuk memastikan diriku yang masih percaya bahwa ini mimpi.
Setelah menyelesaikan sambungan telepon dengan suami, aku merasakan ada sesuatu yang mengalir di bawah sana. Awalnya hanya terasa lengket, namun makin lama terasa kian deras.“Bu, silakan dipakai.” Bu Angelic memberikan pembalut padaku. “Di dekat sini ada mol, kita bisa pakai toilet di sana,” sambungnya.Setelah wanita itu berkata demikian, aku pun refleks meraba celanaku dan melihat ke belakang sana. Betapa terkejutnya diriku mendapati rembesan darah yang masih segar.“Ini tidak mungkin,” gumamku.“Sudah Bu, tidak usah malu. Kita kan sama-sama perempuan. Wajar saja kalau bocor saat sedang deras-derasnya,” ujar Ibu Angelic.Selama ini, tak ada yang mengetahui kehamilanku, kecuali suami dan ibu mertua. Oleh karena itu, tak heran jika wanita ini mengira bahwa aku sedang menstruasi. Hal ini ada baiknya juga sebab pendarahanku tak menimbulkan kegaduhan.“Pak Kevin dan Bu Angelic balik duluan
“Surprise, moda faka!” ucapku dengan intonasi yang manis disertai senyuman lebar pada Ayu, wanita yang membuat kekacauan di tubuh Pecitra dalam beberapa minggu belakangan.Perempuan itu terburu-buru menutup kembali pintu masuk begitu dia tahu kalau yang berkunjung ke tempat tinggalnya adalah diriku dan dua pejabat tinggi Pecitra. Berani bertaruh, dia pasti tak menyangka kalau kami akan datang ke rumah yang dia rahasiakan dengan baik.“Tidak mempersilakan kami masuk?” Aku menahan daun pintu dengan sepatu.Ayu tetap bersikeras menutup pintu, namun Pak Kevin berhasil menariknya dan menerobos masuk. Perempuan itu pun berteriak minta tolong. Sayangnya, usaha tersebut tak membuahkan hasil karena kami lebih dahulu membungkam mulutnya.“Jangan kamu pikir bisa berbuat seenaknya setelah merusak nama baik Pecitra,” ucapku padanya dengan suara pelan, tepat di telinga perempuan itu.“Kalau kalian berani macam-m
“Bagaimana situasi di Jakarta?” tanya Rasenda padaku yang sedang berada dalam perjalanan menuju Petals Allure.“Semua aman terkendali meskipun ada kayu yang melintang. Kamu tenang saja karena aku sudah membereskannya,” kataku, merujuk pada Rapat Dewan Direksi yang baru saja digelar.Bila teringat tentang rapat tersebut, dadaku jadi bergemuruh. Kalau berbuat kekerasan tak melanggar hukum, mungkin aku sudah menarik rambut para direksi sampai kepala mereka botak.“Aku kesal banget tahu. Bisa-bisanya mereka mau gantiin kamu. Dibilangnya kamu mangkir dari tugas saat perusahaan sedang ada masalah. Padahal kan di sana kamu juga masih mengerjakan urusan kantor,” sambungku.“Lalu apa yang kamu lakukan?” tanya lelaki itu dari balik telepon.“Ya aku lawan. Untung saja kamu kasih aku surat kuasa untuk atur saham yang kamu punya. Aku bilang saja kalau aku memegang saham mayoritas bahkan sampai tujuh puluh persen, jadinya mereka enggak bisa berdebat lagi,” jawabku.Rasenda pun tertawa keras setelah