Aku tak ingin menahan diri lebih lama lagi. Hati ini bisa meledak jika tidak segera mendapat jawaban. Maka setelah Pak Michael dan staf lain pergi, diriku langsung menyerang Pak Malik dengan pertanyaan secara bertubi-tubi.“Pak, sebenarnya apa yang terjadi antara kita tadi malam. Bagaimana bisa tidur bersama, bahkan tanpa mengenakan pakaian yang benar. Dan kenapa Bapak mengatakan hal yang aneh kepada Pak Michael?”Pak Malik yang sedang memilih makanan untuk sarapan langsung menghentikan aktivitasnya ketika mendengar pertanyaanku yang berentet seperti gerbong kereta api. Setelah itu, beliau langsung mendekat.“Jangan ke sini, Pak!”Aku takut dia melakukan sesuatu yang buruk padaku mengingat saat ini aku belum memakai pakaian dan hanya bisa menyembunyikan diri di balik selimut.“Memangnya kenapa kalau ke sana? Kamu ingin mendengar jawaban atas pertanyaanmu, bukan?” Dia tak menuruti perkataanku dan tetap meneruskan langkahnya.Oh Tuhan! Tolong hamba. Lelaki ini berani merayap ke ranjang
Dalam sebulan waktu terakhir, sikap Pak Malik banyak menunjukkan perubahan. Setelah diingat-ingat, beliau mulai berubah semenjak kami berdua terkurung di dalam lift, beberapa jam sebelum beliau melakukan kencan buta dengan Nona Rosiana dari Onenabe.Dahulu beliau selalu bersikap sopan dan segan padaku. Namun, sekarang dia selalu mencuri kesempatan untuk memelukku dari belakang, baik ketika sedang di kantor maupun di luar jam kerja.“Alba, aku pulang.” Pak Malik masuk ke kamar hotel dengan membawa dua kantong makanan di tangan.Satu lagi perubahan yang beliau miliki. Sekarang dia tidak pernah menyebut dirinya ‘saya’, tetapi ‘aku’.“Kamu pasti belum makan siang, kan?”Dia membuka kantong makanan yang berisi nasi kuning dalam bentuk tumpeng mini dengan lauk ayam bumbu rujak, sate ayam madura, dan rawon. Beliau tahu betul kalau lidahku lebih cocok memakan menu nusantara daripada makanan luar.“Buka mulutmu, aaa….”Perubahan Pak Malik yang lain ialah beliau ringan tangan untuk menyuapiku.
Senyaman-nyamannya tinggal di kamar hotel, lebih nyaman berada di kamar sendiri karena aku dapat memeluk replika Jin dengan bebas. Dia adalah ‘suamiku’ yang sebenarnya, si lelaki paling tampan di dunia pada abad ini.“Bagaimana kabarmu, kesayanganku?”Seperti magnet yang menarik besi, replika Jin yang aku letakkan di balik pintu masuk langsung menarik bibir ini untuk mengecup. Racun rindu yang menjalar di dada selama satu minggu ini pun telah menemukan penawarnya.TINGG!TINGG!TINGG!Selama berada di Singapura, aku sengaja tidak mengaktifkan jaringan komunikasi di ponselku karena menginginkan ketenangan. Alhasil saat aku menyalakan jaringan nirkabel setelah sampai di Indonesia, pemberitahuan yang masuk pun menumpuk hingga ratusan.“Bu, apakah kita perlu membersihkan video yang beredar di masyarakat?”“Apakah kita perlu mengeluarkan siaran pers?”“Bu, apakah kita perl
Aku ingat betul kalau pada hari itu Pak Malik setuju untuk merahasiakan pernikahan kami. Anehnya ketika rekaman itu diputar tidak ada ucapan beliau yang mengatakan kalau dia bersedia melakukannya.“Saya mau pernikahan ini dirahasiakan dan Bapak harus memberi kompensasi yang besar pada saya setelah perceraian!” Itulah yang aku katakan pada Pak Malik sebelum menandatangani perjanjian perkawinan.Setelah mendengar permintaanku, beliau tidak menjawab dengan kata ‘iya’ maupun ‘tidak’, tetapi dengan pertanyaan ‘Ada lagi?’ dan pada saat itu, aku salah mengartikan jawaban beliau tersebut sebagai sebuah persetujuan.Bodohnya aku karena tidak mengecek dua kali akan jawaban beliau. Lebih bodoh lagi karena diriku tidak membaca kontrak secara lengkap, padahal saat itu beliau menyuruhku untuk memeriksanya.“Kamu baik-baik saja?” tanya Pak Malik.Bagaimana bisa baik-baik saja? Aku telah menandatangani pe
“Eh…, eh, orangnya datang.”Para karyawan Pecitra di lantai 17 langsung balik kanan ke meja kerja masing-masing saat CEO mereka memasuki ruangan. Aku yang berjalan di belakang beliau mendengar dengan jelas kalau mereka sedang bergunjing tentang Pak Malik dan pasangan yang masih dirahasiakan identitasnya.“Panggil Bu Angelic dan Pak Kevin, sekarang,” perintah Pak Bos sebelum beliau memasuki ruangan CEO.“Baik, Pak,” jawabku.Satu minggu kami meninggalkan kantor mengakibatkan banyak pekerjaan terbengkalai dan aku harus segera mengurusnya. Namun, Pak Malik masih berdiri di depan mejaku membuat diri ini tak dapat mengabaikan keberadaan lelaki itu begitu saja.“Ada lagi yang perlu saya lakukan untuk Bapak?”“Kamu bisa menyelesaikan ini sendiri?” Beliau menunjuk tumpukan berkas di mejaku.Untung saja hanya satu minggu. Kalau kami tinggal di Singapura lebih lama lagi, berkas-
Lebih baik aku iyakan saja pertanyaan Pak Malik daripada harus memasak makan malam sendiri untuknya karena aku sudah sangat lelah. Anggap saja sebagai balas budi karena beliau sudah membantuku.“Selamat malam, selamat datang di Dapur Malam, dengan saya Sari, mau pesan makan apa kak?” tanya karyawan restoran yang kami kunjungi.“Kamu punya rekomendasi?”“Kami memiliki paket untuk pasangan, sangat cocok untuk kakak berdua. Menu yang paling banyak dipesan adalah ‘paket cinta sejati menyatukan perbedaan dalam satu nampan’ yang terdiri dari nasi putih, ayam bakar, sate lilit, gudeg, lalapan dan untuk kuahnya kita ada tongseng.Sebagai sajian penutup, Kakak akan mendapatkan nanas bakar dan salad buah. Selain itu, Kakak juga akan mendapat es jeruk gratis karena hidup tidak selalu manis.”Menu macam apa itu? Bulu kudukku langsung berdiri saat mendengarnya.“Kami pesan itu, dua.” Pak Malik langsung melihat ke arahku dengan bangga. Dia pikir yang dia lakukan hebat?Awalnya kami berniat makan m
“Ini taruh di mana, Bu?” tanya salah satu office boy yang bernama Bobi pada Aulia.“Di sana saja, Mas.” Aulia menunjuk ruangan CEO.Semua karyawan di lantai 17 terbengong-bengong karena ulah Bobi. Bagaimana tidak, office boy tersebut membawa satu troli penuh berisi buket bunga dari berbagai jenis.“ALBA!” Seru Pak Malik.Biasanya dia memanggilku melalui interkom. Namun, kali ini beliau memanggilku langsung dengan suara yang menggelegar seperti guntur di musim gugur.Aku buru-buru meninggalkan meja kerjaku dan segera masuk ke ruangan beliau. “Iya Pak. Apa yang harus saya lakukan?” Napasku masih tersengal-sengal.Hal pertama yang aku rasakan saat berada di ruangan CEO adalah wangi yang semerbak. Saking wanginya, aku sempat mengira kalau tempat ini sudah berubah menjadi pabrik minyak wangi.“Cari tahu apa yang terjadi!” Pak Malik menunjuk sekumpulan bunga dalam ruangannya tanpa
“Halo Ma!” Pak Malik menjawab telepon masuk.“Kok gelap?”Suara itu…, tidak mungkin beliau, kan?“Dasar anak nakal! Mama mau ngobrol sama mantu. Cepat kasih teleponnya!” pekik Ibu Susan melalui sambungan video.Hal ini terjadi secara tiba-tiba dan aku belum siap. Aku pun melambai-lambaikan tangan pada anak Ibu Susan tersebut sebagai isyarat bahwa bahwa diriku tidak ingin menerimanya.Pak Malik memberi tanda setuju melalui gerakan tangannya. “Ma, Alba lagi di kamar mandi jadi enggak bisa ngobrol.”“Mama tungguin sampai selesai. Kangen banget pengen ngobrol sama dia,” ucap wanita itu dengan kukuh.“Coba kamu ke depan kamar mandi. Kita kasih dia kejutan,” lanjutnya.Ternyata Ibu Susan pantang menyerah. Kalau seperti ini cara mainnya, mau tak mau harus mengikuti permainan wanita itu.Aku berjalan ke kamar mandi secara diam-diam tanpa mengeluarkan