“Ibu mau ngapain cari Bunga?” tanya Ratna padaku. Kepalanya dimiringkan, terlihat mirip seperti tokoh antagonis dalam sinetron.“Menurut ngana?” Aku juga memiringkan kepala sambil mengibaskan rambut.Aulia mengelus pundakku. “Sudah Al. Kita tahu kok, memang sudah jadi tugas kamu untuk jaga rahasia Bapak. Masalah ini sampai di sini saja ya, lagi pula Bunga juga tidak tahu siapa calon istri Pak Malik.”Hah?!Ternyata seperti itu.Selamat, aku tidak ketahuan.Meskipun begitu, aku tetap harus memastikan satu kali lagi. “Kamu tidak bohong, kan?”Aulia mengangguk-angguk.“Kami hanya penasaran wanita mana yang akan menjadi pendamping hidup Pak Malik. Kita percaya kalau kamu pasti tahu siapa dia. Makanya….”Syukurlah!Akhirnya, aku bisa bernapas lega. Untung saja aku tidak berkata macam-macam. Bisa runyam urusannya kalau salah bicara pada mereka.&l
“Bapak yakin?” tanyaku sambil menunjuk tumpukan pakaian dalam koper beliau.“Tentu saja.” Dia mengunci koper.Aku ingin sekali meninju Pak Bos. Dia sungguh keterlaluan. Bagaimana mungkin beliau hanya membawa tiga set baju tidur dan satu set pakaian santai untuk perjalanan ke luar negeri selama satu minggu.“Kamu tidak perlu khawatir, di hotel kan ada layanan cuci baju.” Lelaki itu membawa kopernya ke depan pintu masuk apartemen.Ini bukan tentang ada layanan cuci baju atau tidak, melainkan pada perbandingan pakaian yang dia bawa. Biasanya aku menyiapkan dua setel baju formal, satu setel baju santai, dan satu baju tidur untuk satu hari perjalanan dinas.Perbandingan antara baju tidur dan pakaian santai yang dibawa Pak Bos adalah 3:1 artinya selama berada di Singapura beliau akan menghabiskan waktu lebih banyak di kamar hotel daripada melakukan kegiatan di luar.“Kamu sedang mikirin apa? Kenapa diam sa
“Selamat malam Pak Malik dan Bu Alba,” sapa mereka secara serentak.Apa lagi ini?Ketika kami sampai di bandara, ada empat orang yang menyambut kami di Saphire Precious Lounge yang terletak dalam kawasan Terminal 1 Bandara Soekarno-Hatta. Hanya satu orang dari mereka yang aku kenal. Namanya Dewi, dia adalah pegawai butik yang kemarin aku datangi.“Semuanya sudah siap?” tanya Pak Michael pada mereka.“Siap, Pak!” sahut mereka.“Pak Malik dan Bu Alba, sebelumnya saya perkenalkan dahulu mereka adalah tim dari Glady Wedding Boutique yang akan membantu mengurus gaun dan riasan Bu Alba,” terang Pak Michael.Pak Malik mengangguk.“Kak Alba biar saya saja yang bawa kopernya.” Dewi merebut gagang koper dari tanganku.Ada apa ini? Aku masih ingat bagaimana kemarin malam wanita ini bahkan tidak menyebut namaku saat aku ke butiknya.“Kenapa, Kak?” Wajah De
“Mempelai wanita sudah siap.”Aku sungguh takjub dengan kinerja tim Gladys Wedding Boutique. Mereka sukses membuat penampilanku yang biasa saja menjadi luar biasa. Aku bahkan tidak percaya dengan pantulan diriku di depan kaca.“Cantik sekali. Rara tidak salah pilih wanita,” puji Pak Bastian, paman dari Pak Malik.“Terima kasih, Pak.” Aku tersenyum padanya.“Kenapa panggil bapak, sih? Sebentar lagi kita akan jadi keluarga. Panggil saja paman.” Lelaki itu mengangkat tangannya sebagai tanda agar aku menggandeng beliau.“Baik, Paman.”Pak Bastian adalah lelaki yang akan berjalan bersamaku melewati virgin road menggantikan ayah yang sudah tenang di atas sana.“Kak! Tunggu sebentar,” seru Dewi padaku sebelum memasuki aula pernikahan.“Makan ini dahulu, untuk mengurangi rasa gugup.” Dia memberi sepotong cokelat.Sementara diriku menikmati cokelat yang dia berikan, Dewi menyelipkan sesuatu di gaunku.“Saya menaruh beberapa tisu untuk menyeka air mata Kakak dan juga sebuah cermin untuk memeriks
“Hadirin sekalian, izinkan saya perkenalkan pasangan suami-istri, Tuan Rasendriya Tristan Malik dan Nyonya Alba Ayuningtyas Malik.”Semua orang bersorak untuk kami. Mereka semua bahagia, sedangkan diriku hanya berdiri mematung, masih terkejut dengan yang baru saja terjadi.“Kamu baik-baik saja?” Pak Malik melihatku dengan wajah cemas.Bapak berani tanya tentang keadaanku? Sadar Pak! Karena siapa aku jadi seperti ini?!Pak Malik segera merengkuh diriku ke dalam pelukannya, lalu dia mengangkat tangan kiri sebagai tanda untuk Dewi bahwa beliau membutuhkan bantuan.“Apa yang Bapak butuhkan?” tanya Dewi.Wanita itu dengan sigap datang ke tempat kami setelah Pak Malik memanggilnya.“Tolong perbaiki riasan istriku.” Ada kekhawatiran dalam setiap kata yang beliau ucapkan.Istri? Pandai juga dia beradaptasi dengan status baru kami.“Baik, Pak.”***Mereka m
“Sebaiknya Bapak memberi saya penjelasan yang masuk akal, atau ruangan ini akan banjir.”Aku mengancam Pak Malik dengan berdiri di bawah sprinkler sambil memegang korek api. Benda ini aku gunakan untuk mengaktifkan sprinkler apabila ucapan si Bos tidak memuaskan.“Alba, turun dulu ya,” bujuknya.“TIDAK MAU!” Saat ini aku berada di atas kursi yang ditumpuk dengan meja rias.Amarah yang membakar dada tak dapat dihentikan. Hal ini disebabkan karena aku dan Pak Malik harus menggunakan kamar yang sama di malam pertama.“Kita kan hanya menikah kontrak, tidak perlu berbagi kamar!” pekikku.“Kita bisa membicarakannya.” Pak Malik mengangkat kedua tangannya, beliau masih memintaku untuk turun.Apa lagi yang mau dibicarakan? Sudah jelas dia mau mengambil keuntungan pribadi dalam situasi ini.“Mama yang mengatur semua ini melalui Pak Michael. Aku pun tidak dapat berbuat banyak.”Jika dilihat dari raut wajah Pak Malik, sepertinya beliau tidak berbohong. Namun, tetap saja aku tidak terima.“Bapak k
Aku merasakan sesuatu yang aneh, seperti seseorang sedang menggosok keningku dengan sikat yang halus, sangat menggelikan membuatku terpaksa membuka mata untuk melihat situasi saat ini.“Apa yang terjadi?” ucapku lirih.Mataku melotot menyaksikan apa yang ada di didepanku. Terdapat seseorang dengan dada tanpa pakaian tersaji dengan jelas. Ototnya terbentuk dengan baik dan indah untuk dilihat. Lelaki ini pasti sudah melatih tubuhnya sejak lama.“Selamat pagi.” Sebuah kecupan mendarat di keningku.Aku langsung mendongak untuk mendongak wajah orang tersebut. Ternyata dia adalah Pak Malik. Wajahnya terlihat lelah disertai dengan kantung mata yang hitam serta bulu-bulu halus di sekitar rahang.“Jadi itu yang membuatku merasa seperti sedang digosok pakai sikat,” ucapku dengan suara rendah.Kepala ini terasa tak nyaman akibat minum terlalu banyak tadi malam. Aku perlu meminum air putih untuk menenangkan pikiran dan menyatukan kembali nyawa yang tercerai-berai.“Alba….” Suara Pak Malik terden
Aku tak ingin menahan diri lebih lama lagi. Hati ini bisa meledak jika tidak segera mendapat jawaban. Maka setelah Pak Michael dan staf lain pergi, diriku langsung menyerang Pak Malik dengan pertanyaan secara bertubi-tubi.“Pak, sebenarnya apa yang terjadi antara kita tadi malam. Bagaimana bisa tidur bersama, bahkan tanpa mengenakan pakaian yang benar. Dan kenapa Bapak mengatakan hal yang aneh kepada Pak Michael?”Pak Malik yang sedang memilih makanan untuk sarapan langsung menghentikan aktivitasnya ketika mendengar pertanyaanku yang berentet seperti gerbong kereta api. Setelah itu, beliau langsung mendekat.“Jangan ke sini, Pak!”Aku takut dia melakukan sesuatu yang buruk padaku mengingat saat ini aku belum memakai pakaian dan hanya bisa menyembunyikan diri di balik selimut.“Memangnya kenapa kalau ke sana? Kamu ingin mendengar jawaban atas pertanyaanmu, bukan?” Dia tak menuruti perkataanku dan tetap meneruskan langkahnya.Oh Tuhan! Tolong hamba. Lelaki ini berani merayap ke ranjang