“AAAAAYOO DIGOYAAAAANG…! SEMUANYA TERIIAAAK AAAAAAAAAAAAA!”
Semua orang bersemangat, tak terkecuali Aulia yang kini sedang bernyanyi di depan sana.
Sesuai dengan perkataan Pak Malik, seluruh karyawan Pecitra yang berada di lantai 17 Pelisia Quarter Keeps menikmati makan malam bersama dan bernyanyi ria setelahnya.
Mereka memanfaatkan momen ini dengan baik. Kapan lagi orang-orang ini dapat bersenang-senang tanpa perlu memikirkan biaya yang dihabiskan.
“ALBA! KENAPA SIH PAK MALIK TIDAK IKUT?” tanya Aulia. Wanita tersebut masih memegang mik di tangan kanannya.
“TIDAK TAHU!”
Sebenarnya aku tidak memberi tahu Pak Malik di mana lokasi acara malam ini karena aku tidak ingin bertemu beliau. Bosan rasanya setiap hari bertemu dengan orang itu terus-menerus dari pagi, siang hingga malam.
“AYO KITA BUAT VIDEO TERIMA KASIH UNTUK BAPAK. SEMUANYA KUMPUL DI SINI.” Aulia meminta semua orang untuk b
Rasa kesal dalam dada terhadap Pak Malik tak bisa ditutupi. Bagaimana tidak? Ternyata tempat yang beliau datangi malam ini adalah butik pengantin, yang lebih mengesalkan adalah ketika seorang karyawan butik bertanya tentang model gaun pengantin seperti apa yang kami inginkan, dengan santainya Pak Malik berucap kalau dia ingin yang paling mahal. Mentang-mentang dia kaya.“Calon pengantin wanita sudah siap,” ucap salah satu pegawai butik di mana aku mencoba gaun pengantin.Saat kain penutup kamar pas dibuka, pemandangan pertama yang aku lihat adalah ekspresi Pak Malik yang tidak pernah dia tunjukkan sebelumnya. Pria itu bangkit dari kursi tunggu dengan mata membulat. Terlihat jakunnya naik turun bersamaan dengan ludah yang meluncur dalam kerongkongan.“Bagaimana, Pak?” tanyaku.“Yang ini saja.” Lelaki itu menghampiriku kemudian memasang tudung pengantin.Hanya itu yang Bapak katakan? Setidaknya berikan pendapat meskipun hanya satu kalimat singkat.“Yakin tidak mau lihat yang lain dulu?”
“Ibu mau ngapain cari Bunga?” tanya Ratna padaku. Kepalanya dimiringkan, terlihat mirip seperti tokoh antagonis dalam sinetron.“Menurut ngana?” Aku juga memiringkan kepala sambil mengibaskan rambut.Aulia mengelus pundakku. “Sudah Al. Kita tahu kok, memang sudah jadi tugas kamu untuk jaga rahasia Bapak. Masalah ini sampai di sini saja ya, lagi pula Bunga juga tidak tahu siapa calon istri Pak Malik.”Hah?!Ternyata seperti itu.Selamat, aku tidak ketahuan.Meskipun begitu, aku tetap harus memastikan satu kali lagi. “Kamu tidak bohong, kan?”Aulia mengangguk-angguk.“Kami hanya penasaran wanita mana yang akan menjadi pendamping hidup Pak Malik. Kita percaya kalau kamu pasti tahu siapa dia. Makanya….”Syukurlah!Akhirnya, aku bisa bernapas lega. Untung saja aku tidak berkata macam-macam. Bisa runyam urusannya kalau salah bicara pada mereka.&l
“Bapak yakin?” tanyaku sambil menunjuk tumpukan pakaian dalam koper beliau.“Tentu saja.” Dia mengunci koper.Aku ingin sekali meninju Pak Bos. Dia sungguh keterlaluan. Bagaimana mungkin beliau hanya membawa tiga set baju tidur dan satu set pakaian santai untuk perjalanan ke luar negeri selama satu minggu.“Kamu tidak perlu khawatir, di hotel kan ada layanan cuci baju.” Lelaki itu membawa kopernya ke depan pintu masuk apartemen.Ini bukan tentang ada layanan cuci baju atau tidak, melainkan pada perbandingan pakaian yang dia bawa. Biasanya aku menyiapkan dua setel baju formal, satu setel baju santai, dan satu baju tidur untuk satu hari perjalanan dinas.Perbandingan antara baju tidur dan pakaian santai yang dibawa Pak Bos adalah 3:1 artinya selama berada di Singapura beliau akan menghabiskan waktu lebih banyak di kamar hotel daripada melakukan kegiatan di luar.“Kamu sedang mikirin apa? Kenapa diam sa
“Selamat malam Pak Malik dan Bu Alba,” sapa mereka secara serentak.Apa lagi ini?Ketika kami sampai di bandara, ada empat orang yang menyambut kami di Saphire Precious Lounge yang terletak dalam kawasan Terminal 1 Bandara Soekarno-Hatta. Hanya satu orang dari mereka yang aku kenal. Namanya Dewi, dia adalah pegawai butik yang kemarin aku datangi.“Semuanya sudah siap?” tanya Pak Michael pada mereka.“Siap, Pak!” sahut mereka.“Pak Malik dan Bu Alba, sebelumnya saya perkenalkan dahulu mereka adalah tim dari Glady Wedding Boutique yang akan membantu mengurus gaun dan riasan Bu Alba,” terang Pak Michael.Pak Malik mengangguk.“Kak Alba biar saya saja yang bawa kopernya.” Dewi merebut gagang koper dari tanganku.Ada apa ini? Aku masih ingat bagaimana kemarin malam wanita ini bahkan tidak menyebut namaku saat aku ke butiknya.“Kenapa, Kak?” Wajah De
“Mempelai wanita sudah siap.”Aku sungguh takjub dengan kinerja tim Gladys Wedding Boutique. Mereka sukses membuat penampilanku yang biasa saja menjadi luar biasa. Aku bahkan tidak percaya dengan pantulan diriku di depan kaca.“Cantik sekali. Rara tidak salah pilih wanita,” puji Pak Bastian, paman dari Pak Malik.“Terima kasih, Pak.” Aku tersenyum padanya.“Kenapa panggil bapak, sih? Sebentar lagi kita akan jadi keluarga. Panggil saja paman.” Lelaki itu mengangkat tangannya sebagai tanda agar aku menggandeng beliau.“Baik, Paman.”Pak Bastian adalah lelaki yang akan berjalan bersamaku melewati virgin road menggantikan ayah yang sudah tenang di atas sana.“Kak! Tunggu sebentar,” seru Dewi padaku sebelum memasuki aula pernikahan.“Makan ini dahulu, untuk mengurangi rasa gugup.” Dia memberi sepotong cokelat.Sementara diriku menikmati cokelat yang dia berikan, Dewi menyelipkan sesuatu di gaunku.“Saya menaruh beberapa tisu untuk menyeka air mata Kakak dan juga sebuah cermin untuk memeriks
“Hadirin sekalian, izinkan saya perkenalkan pasangan suami-istri, Tuan Rasendriya Tristan Malik dan Nyonya Alba Ayuningtyas Malik.”Semua orang bersorak untuk kami. Mereka semua bahagia, sedangkan diriku hanya berdiri mematung, masih terkejut dengan yang baru saja terjadi.“Kamu baik-baik saja?” Pak Malik melihatku dengan wajah cemas.Bapak berani tanya tentang keadaanku? Sadar Pak! Karena siapa aku jadi seperti ini?!Pak Malik segera merengkuh diriku ke dalam pelukannya, lalu dia mengangkat tangan kiri sebagai tanda untuk Dewi bahwa beliau membutuhkan bantuan.“Apa yang Bapak butuhkan?” tanya Dewi.Wanita itu dengan sigap datang ke tempat kami setelah Pak Malik memanggilnya.“Tolong perbaiki riasan istriku.” Ada kekhawatiran dalam setiap kata yang beliau ucapkan.Istri? Pandai juga dia beradaptasi dengan status baru kami.“Baik, Pak.”***Mereka m
“Sebaiknya Bapak memberi saya penjelasan yang masuk akal, atau ruangan ini akan banjir.”Aku mengancam Pak Malik dengan berdiri di bawah sprinkler sambil memegang korek api. Benda ini aku gunakan untuk mengaktifkan sprinkler apabila ucapan si Bos tidak memuaskan.“Alba, turun dulu ya,” bujuknya.“TIDAK MAU!” Saat ini aku berada di atas kursi yang ditumpuk dengan meja rias.Amarah yang membakar dada tak dapat dihentikan. Hal ini disebabkan karena aku dan Pak Malik harus menggunakan kamar yang sama di malam pertama.“Kita kan hanya menikah kontrak, tidak perlu berbagi kamar!” pekikku.“Kita bisa membicarakannya.” Pak Malik mengangkat kedua tangannya, beliau masih memintaku untuk turun.Apa lagi yang mau dibicarakan? Sudah jelas dia mau mengambil keuntungan pribadi dalam situasi ini.“Mama yang mengatur semua ini melalui Pak Michael. Aku pun tidak dapat berbuat banyak.”Jika dilihat dari raut wajah Pak Malik, sepertinya beliau tidak berbohong. Namun, tetap saja aku tidak terima.“Bapak k
Aku merasakan sesuatu yang aneh, seperti seseorang sedang menggosok keningku dengan sikat yang halus, sangat menggelikan membuatku terpaksa membuka mata untuk melihat situasi saat ini.“Apa yang terjadi?” ucapku lirih.Mataku melotot menyaksikan apa yang ada di didepanku. Terdapat seseorang dengan dada tanpa pakaian tersaji dengan jelas. Ototnya terbentuk dengan baik dan indah untuk dilihat. Lelaki ini pasti sudah melatih tubuhnya sejak lama.“Selamat pagi.” Sebuah kecupan mendarat di keningku.Aku langsung mendongak untuk mendongak wajah orang tersebut. Ternyata dia adalah Pak Malik. Wajahnya terlihat lelah disertai dengan kantung mata yang hitam serta bulu-bulu halus di sekitar rahang.“Jadi itu yang membuatku merasa seperti sedang digosok pakai sikat,” ucapku dengan suara rendah.Kepala ini terasa tak nyaman akibat minum terlalu banyak tadi malam. Aku perlu meminum air putih untuk menenangkan pikiran dan menyatukan kembali nyawa yang tercerai-berai.“Alba….” Suara Pak Malik terden
Terima kasih aku ucapkan pada:Editorku, Kak Dian dan Kak Lucy. Berkat kalian berdua, ‘Jebakan Cinta sang CEO’ dapat tayang di Goodnovel;Para pembaca. Kalian memotivasiku untuk menyelesaikan cerita. ‘Jebakan Cinta sang CEO’ atau memiliki judul lain ‘Suami Magnetis’ merupakan naskah pertamaku di platform ini. Aku harap kalian menyukainya;Terkhusus untuk Jin, lelaki paling tampan di dunia dan sejagat raya pada abad ini. Oppa, thank you for giving me inspiration in writing this manuscript. If Oppa hadn’t held fan meeting a few months ago as well as became the torch bearer for The Paris 2024 Olympics, ‘Jebakan Cinta sang CEO’ would have had a different storyline. Oppa, i have a dream that one day my scripts will be adapted into drama and you become the one who play the main role. I hope my dreams come true.Saat ini aku sedang mengerjakan naskah lain berjudul Hidden Tea. Semoga cerita tersebut dapat tayang di platform ini juga. Sekian.
“Sayang, kamu enggak marah sama aku?” tanyaku.Saat ini diriku berada di bawah selimut yang sama dengan Rasenda. Setelah kami berdua melakukan penyatuan, rindu yang mengapur pun melebur. Suasana yang awalnya dingin, kini menjadi cair.Dengan lembut, Rasenda memeluk tubuhku yang masih polos dan apa adanya. “Marah kenapa?”“Karena aku jual Jantung Medusa, hadiah dari Mama,” jawabku dengan suara yang pelan, lalu menyembunyikan wajah di pelukan Rasenda.Pada saat diriku bilang ke Rosiana bahwa aku akan melepas Jantung Medusa, sebenarnya aku takut jika Rasenda membenciku. Meski pada saat itu lelaki ini membiarkan tindakanku, namun tetap saja ada perasaan tak enak.“Asalkan itu membuatmu senang, tidak ada masalah,” jawabnya.“Lagi pula, kamu tidak jual benda itu atas dasar keputusanmu sendiri. Aku masih punya andil di dalamnya. Ingat! Aku yang melepas perhiasan itu ke orang lain karena akulah yang menyimpannya. Jadi, jangan salahkan dirimu, oke,” imbuhnya.Betapa baiknya suamiku. Padahal ka
Empat hari kami berada di Korea mulai dari Kamis hingga Minggu. Kalau saja Aulia bukan budak korporasi, mungkin kami akan berada di sana hingga satu minggu ke depan.“Manu, tolong bawa ke dalam dan bagi dengan yang lain,” pintaku pada orang itu, wanita yang disuruh oleh Rasenda untuk mengawasi gerak-gerikku.Dia membawa masuk koper yang kuberikan dan membukanya. Betapa terkejut wanita itu setelah dia melihat isi dalam koper tersebut. Terdapat berbagai produk kecantikan, seperti masker wajah, lipstik dan pelembab. Tak ketinggalan juga teh yuja, ginseng serta berbagai makanan khas Korea.Selama berada di negeri K-pop, Aku dan Aulia memuaskan diri berkeliling ke berbagai tempat. Dari lokasi wisata hingga pusat perbelanjaan, kami kunjungi semua. Tak peduli mau beli atau tidak, yang penting kami bisa cuci mata.“Ya ampun banyak banget, Bu. Apa enggak rugi kena cukai?” respons Manu.Persetan dengan cukai atau apa pun itu, toh yang bayar suamiku. Dia sendiri juga sudah bilang agar aku memuas
“Hai sayang! Gimana kabar?” Rosiana mencium pipiku, kiri dan kanan.“Baik Kak. Kakak gimana?” jawabku.Wanita yang kini mengenakan kemeja putih ini menggenggam tanganku. “Luar biasa.”Kami bertemu di kafe yang terletak di daerah Megamendung. Tempat itu memiliki pemandangan indah yang menghadap ke Gunung Salak.Selain memanjakan mata, kafe tersebut juga memanjakan lidah, terutama bagi pengunjung yang mencintai makanan pedas. Mereka menyediakan berbagai menu yang dipadukan dengan sambal bakar seperti ikan gurame, ayam bakar pedas manis, steik bumbu kacang dan masih banyak lagi.“Langsung saja tidak usah basa-basi. Aku dengar kamu punya Jantung Medusa.” Baru saja bertemu, wanita ini sudah bertanya tentang perhiasan.“Dari mana Kakak mendengarnya?” tanyaku.“Dari kenalanku. Dia ingin membelinya,” ujar Rosiana.Memang yang namanya gosip cepat beredar. Mend
“Sayang kamu pasti bercanda, kan?”Aku menarik jas pria ini dengan tangan yang gemetar. Bagaimana mungkin dia berubah menjadi begitu kejam?Kertas yang dia berikan padaku merupakan surat pengunduran diri yang sudah diatur olehnya. Dia, bahkan tak meminta pendapatku lebih dahulu. Inikah hukuman darinya?“Selama ini aku tak bermaksud untuk menyembunyikan kebenaran ini. Aku hanya belum sempat mengatakannya…, tidak…, aku tak berani mengatakannya karena takut kalau kamu jadi makin sedih,” ucapku.“Saat itu, kamu baru saja kehilangan Mama. Jika aku memberi tahu kalau aku keguguran….”“Tetap saja aku berhak tahu!” bentaknya. “Bagaimanapun juga, dia juga anakku.”Seumur hidup, aku tak pernah melihat Rasenda marah sampai membentakku seperti malam ini. Biasanya, tak peduli seburuk apa suasana hatinya, dia tak akan berbicara dengan nada tinggi padaku.“Apa kar
Semenjak Ayu mengunggah video klarifikasi, kepercayaan publik yang sempat hilang pun kembali. Demikian juga dengan kepulangan Rasenda dari Singapura membuat atmosfer Pecitra menjadi lebih baik dari hari ke hari.Lelaki itu berhasil membujuk klien Pecitra yang ingin memutus kerja sama untuk mengurungkan niatnya. Dengan demikian, kerugian yang mengancam perusahaan dapat ditekan.Rasenda berjalan keluar dari ruangannya dan singgah di mejaku. “Sayang, buka akun sekuritas kamu deh,” ucap lelaki itu. Aku pun menurutinya.Betapa terkejut diriku saat melihat ekuitas yang aku miliki saat ini. Besarnya tak tanggung-tanggung hingga mencapai enam bagger. Modal awal yang aku taruh adalah delapan belas miliar enam ratus juta rupiah dan kini nilainya menjadi seratus sebelas miliar enam ratus juta rupiah.“Sayang! Ini beneran uang aku naik lima ratus persen?” tanyaku pada suami untuk memastikan diriku yang masih percaya bahwa ini mimpi.
Setelah menyelesaikan sambungan telepon dengan suami, aku merasakan ada sesuatu yang mengalir di bawah sana. Awalnya hanya terasa lengket, namun makin lama terasa kian deras.“Bu, silakan dipakai.” Bu Angelic memberikan pembalut padaku. “Di dekat sini ada mol, kita bisa pakai toilet di sana,” sambungnya.Setelah wanita itu berkata demikian, aku pun refleks meraba celanaku dan melihat ke belakang sana. Betapa terkejutnya diriku mendapati rembesan darah yang masih segar.“Ini tidak mungkin,” gumamku.“Sudah Bu, tidak usah malu. Kita kan sama-sama perempuan. Wajar saja kalau bocor saat sedang deras-derasnya,” ujar Ibu Angelic.Selama ini, tak ada yang mengetahui kehamilanku, kecuali suami dan ibu mertua. Oleh karena itu, tak heran jika wanita ini mengira bahwa aku sedang menstruasi. Hal ini ada baiknya juga sebab pendarahanku tak menimbulkan kegaduhan.“Pak Kevin dan Bu Angelic balik duluan
“Surprise, moda faka!” ucapku dengan intonasi yang manis disertai senyuman lebar pada Ayu, wanita yang membuat kekacauan di tubuh Pecitra dalam beberapa minggu belakangan.Perempuan itu terburu-buru menutup kembali pintu masuk begitu dia tahu kalau yang berkunjung ke tempat tinggalnya adalah diriku dan dua pejabat tinggi Pecitra. Berani bertaruh, dia pasti tak menyangka kalau kami akan datang ke rumah yang dia rahasiakan dengan baik.“Tidak mempersilakan kami masuk?” Aku menahan daun pintu dengan sepatu.Ayu tetap bersikeras menutup pintu, namun Pak Kevin berhasil menariknya dan menerobos masuk. Perempuan itu pun berteriak minta tolong. Sayangnya, usaha tersebut tak membuahkan hasil karena kami lebih dahulu membungkam mulutnya.“Jangan kamu pikir bisa berbuat seenaknya setelah merusak nama baik Pecitra,” ucapku padanya dengan suara pelan, tepat di telinga perempuan itu.“Kalau kalian berani macam-m
“Bagaimana situasi di Jakarta?” tanya Rasenda padaku yang sedang berada dalam perjalanan menuju Petals Allure.“Semua aman terkendali meskipun ada kayu yang melintang. Kamu tenang saja karena aku sudah membereskannya,” kataku, merujuk pada Rapat Dewan Direksi yang baru saja digelar.Bila teringat tentang rapat tersebut, dadaku jadi bergemuruh. Kalau berbuat kekerasan tak melanggar hukum, mungkin aku sudah menarik rambut para direksi sampai kepala mereka botak.“Aku kesal banget tahu. Bisa-bisanya mereka mau gantiin kamu. Dibilangnya kamu mangkir dari tugas saat perusahaan sedang ada masalah. Padahal kan di sana kamu juga masih mengerjakan urusan kantor,” sambungku.“Lalu apa yang kamu lakukan?” tanya lelaki itu dari balik telepon.“Ya aku lawan. Untung saja kamu kasih aku surat kuasa untuk atur saham yang kamu punya. Aku bilang saja kalau aku memegang saham mayoritas bahkan sampai tujuh puluh persen, jadinya mereka enggak bisa berdebat lagi,” jawabku.Rasenda pun tertawa keras setelah