“Kalian kok bisa masuk?”Andhira melangkah gontai menghampiri Darwis dan Reno yang duduk di sofa ruang tamu, lalu duduk diantara keduanya. Menatap silih berganti, menunggu jawaban yang akan diberikan oleh Darwis ataupun Reno.“Bisa. Mereka nelfon Manuel, karena aku yang dateng, makanya diijinin masuk,” jawab Darwis, menatap Andhira, diam-diam memperhatikan kondisi sahabatnya itu.Andhira mengangguk, “Bawa aku pergi dong, gak mau disini. Hawanya panas, padahal pake pendingin ruangan,” ucapnya dengan suara pelan kepada Darwis.Darwis melirik Reno yang mengendikkan kedua bahu, menandakan tidak tahu apaa-apa, dan tidak bisa melakukan apapun. Reno tidak terlalu mengenal siapa Manuel, Darwis pun mengenal hanya dimasalalu.Andhira menatap Darwis dan Reno silih berganti, dirinya menatap penuh curiga kedua sahabatnya. Feelingnya mengatakan, mereka sedang merencanakaan sesuatu yang tidak diketahui olehnya.“Gak bisa, Andhira,” ucap Reno, lalu berbisik kepada Andhira, “Kamu gak liat? CCTVnya aja
“Segarnya, walaupun cuma bisa ke taman deket rumahnya sih Manuel, tapi gapapa deh.”Darwis yang duduk di bangku taman hanya memperhatikan Andhira yang berdiri depan sana dengan merentangkan kedua lengan dan wajah yang menatap langit. Ya, hanya mereka berdua, tanpa adanya Reno. Bukan karena tidak diizinkan, tetapi Reno pamit karena ada keperluan.“Aku jadi penasarann, Manuel itu kejam gak sih ke kamu?” tanya Darwis, membuat Andhira menoleh.“Gak. Dia ini pria mesum, katanya cuma ke aku aja sihh. Pernah waktu dimana yaa, aku kecolongan lupa kunci pintu, dia ini main masuk aja ke kamar. Untungnya aku masih selamat,” ucap Andhira, lalu duduk di sisi kiri Darwis.Darwis menoleh, memperhatikan sekitar, dan terdapat tiga pengawal yang diperintahkan oleh Manuel untuk mengawasi dirinya dan Andhira agar tidak kabur. Benar-benar seperti tahanan yang melakukan kesalahan paling berat.“Kalau kaya gini, aku ragu sama rencanya pak Arsen,” bisik Darwis dengan suara pelan, dan hanya didengar oleh Andh
“Kok cemberut sih? Kan mau ketemu sama papih kamu, senyum dong.”Andhira tersenyum terpaksa kepada Manuel, memang benar, dirinya akan diantarkan pulangg ke rumah Papih, tetapi tidak dengan persyaratan yang diberikan oleh Manuel tadi malam. Dirinya tidak boleh bertemu dengan Arsenio ataupun Amanda.“Udah, kan?”Manuel terkekeh, “Lucu banget sih. Udah siap, kan?” tanyanya, hanya dijawab dengan bergumam. Manuel menautkann jemarinya dengan jemari Andhira.Andhira hanya menurut, karena dirinya sedang capek dan tidak punya tenaga lebih. Saat keluar dari kamar, ekor matanya melirik kanan-kirinya tidak ada apa-apa, terlalu sepi rumah Manuel saat ini.Tadi malam Andhira berdebat dengan Manuel, perihal keinginannya yang ketemu dengan Papih dan tinggal bareng sama Papih. Awalnya ditolak oleh Manuel, tetapi akhirnya pria dewasa itu mengiyakan permintaan dari Andhira.Andhira merasakan lega, setidaknya setiap malam dia akan merasakan ketenangan jika tinggal bersama Papih atau Mamih. Rumah Manuel
“Apasih, Manuel. Saya gak mau pake.”Andhira melepaskan gelas berwarna hitam yang baru saja dipasang oleh Manuel pada pergelangan tangan kirinya, jelas saja dirinya menolak untuk menggunakan gelang tersebut. Sedangkan Manuel memasakan kembali gelang tersebut, lalu menatap tajam Andhira.“Aku gak terima penolakan, kamu pake atau dia gak selamat?”Andhira berdecak, “FINE!” Hanya itu yang keluar dari mulutnya, menurut dengan Manuel bukan suatu masalah daripada Arsenio kenapa-kenapa. Manuel memang se-menyeram-kan itu.Manuel tersenyum manis, lalu mengetuk pintu rumah Papih. Matanya memperhatikan Andhira yang hanya menampilkan ekspresi datar. Hal itu membuatnya terkekeh, dan gemas dengan Andhira.Tidak butuh waktu lama, Papih membuka pintu dan Andhira langsung memeluk Papih cukup erat. Sedangkan Manuel menyalimi Papih, dan tersenyum kepada Papih.“Loh kok bisa sama Manuel?” tanya Papih bingung, menatap Andhira dan Manuel silih berganti.Manuel mengangguk, “Maaf yaa, Om. Andhira udah 4 hari
“Mamih beneran gak ada di rumah, Pih?”Arsenio menatap Amanda yang duduk di kursi penumpang sisi kirinya, tersenyum manis, mencoba untuk menenangkan putrinya yang khawatir dengan keadaan Andhira.“Katanya, lagi nginep di rumah temennya. Kamu gak perlu khawatir, disana pasti aman,” ucap Arsenio, membawa Amanda ke dalam dekapannya, tetapi kedua matanya menatap jendela kamar yang ada di lantai dua.Kedua matanya sekilas melihat Andhira sebelum akhirnya lampu kamar padam, Arsenio tidak tahu, apakah sosok tersebut memang benar Andhira atau hanya halusinasinya saja. Entah, dia tidak terlalu mengambil pusing.“Apa mamih marah sama aku?” tanya Amanda pelan, membuat Arsenio merenggangkan pelukannya. Kedua mata mereka saling menatap satu sama lain, Amanda tersenyum tipis.Arsenio menggelengkan kepala, “Lebih baik kita pulang, secepatnya papih akan membawa calon mamih kamu balik ya.”“MAKASIH, PAPIHH.”***“Jadi, Andhira beneran udah pulang ke rumah papihnya?” tanya Arsenio kepada Darwis yang du
“Akuu? Balik lagi ke rumahnya Manuel? Kamu udah gila!”Darwis memejamkan kedua matanya saat Andhira terbawa emosi. Dirinya terpaksa, tidak ingin melibatkan Andhira, tetapi tidak ada jalan lain. Hal ini sudah dia prediksi sebelumnya, dan kembali teringat ucapan Arsenio.Darwis menghela nafas, menatap Andhira yang hanya menampilkan ekspresi datar. Dia berkata, “Gak ada cara lain selain kamu kembali ke sana, dan menguliknya sendiri.”“Gak. Gila aja, aku mengajukan diri lagi ke Manuel? Gak.”Mereka saat ini berada di rumah Papih, hanya ada mereka berdua, dan rumah ini tempat ternyaman untuk berbicara berdua. Memang keadaan yang sulit untk mereka, terutama Andhira. Melawan Manuel tidak mudah, harus punya taktik yang tidak sembarangan.“Kamu milih buat dipantau terus sama Manuel? Kamu gak kangen sama pak Arsen? Gak kangen sama Amanda?”Andhira bergeming, sahabatnya itu menyebut nama dua orang yang selalu dia rindukan hingga saat ini. Tetapi menggeleng saat mengingat Arsenio yang tiba-tiba
“Jadi gimana menurut papih? Aku kembali lagi ke rumahnya Manuel atau pakai cara lain?”Saat ini Andhira sedang berdiskusi dengan Papih, dia butuh saran dari Papih yang lebih berpengalaman darinya dan lebih tahu dunia luar itu seperti apa. Sesuai dengan apa yang Andhira katakana kepada Darwis, tidak bisa sembarangan memutuskan.“Kamu ada rekaman suaranya? Kalau ada, papih mau denger, kalau kuat buat jadi bukti, papih kasih itu ke temen papih.”Andhira mengangguk, dan segera mencari rekaman suara yang sempat dia rekam saat tinggal di rumah Manuel. Setelah menemukan file yang dicari, Andhira memberikan kepada Papih. Papih mendengarkan dengan fokus rekaman tersebut.Andhira menatap Papih, dirinya tidak yakin sebenarnya kalau rekaman yang dipunya bisa menjadi bukti, karena rekaman tersebut hanya seperti orang yang sedang marah-marah biasa.“Gimana, Pih?” tanya Andhira saat Papih selesai mendengarkan rekaman yang dimiliki. Papih membalas tatapan Andhira, lalu tersenyum manis.“Kamu kirim k
“Andhira, bisa ke ruangan saya?”Andhira mengabaikan Arsenio, tidak perduli dengann kehadiran Arsenio saat ini. Bahkan, Andhira mengenakan kacamata hitam supaya tidak melihat Arsenio.“Andhira.”Andhira menghentikan aktivitasnya yang sedang bermain ponsel, tanpa menatap Arsenio, dia berkata, “Gak bisa. Saya gak mau ketemu sama pak Arsen.”“Kamu marah banget sama saya?” tanya Arsenio, tidak menyerah untuk berbicara dengan Andhira, walaupun sudah diabaikan oleh kekasihnya itu.Andhira beranjak, melenggang pergi tanpa mengatakan apapun kepada Arsenio. Hal itu membuat Arsenio memperhatikan punggung Andhira yang menjauh, bertepatan dengan Darwis yang memasuki ruang kelas.Darwis menatap Arsenio dengan menaikkan sebelah alisnya, “Kenapa?” tanyanya saat berdiri dihadapan Arsenio.Arsenio menghela nafas beratnya, “Dia gak mau bicara sama saya,” jawabnya dengan pelan. Membuat Darwis bergumam.“Pak Arsen mending balik ke kelas, dan jangan ketemu sama Andhira, dia butuh waktu, Pak.”Arsenio mena