Haiii haii, gimana bonus chapternya? Semoga bisa kalian para pembaca setia senyam-senyum yaa. Apakah nanti akan ada sequelnya? Mungkin iya, mungkin tidak. Mohon maaf jika banyak kesalahan dalam penulisan, maaf jika alurnya membosankan atau semacamnya, dan maaf masih banyak kekurangannya. Sampai jumpa di karya aku yang lainnya! Jangan lupa baca karyaku : Terpaksa Menikahi CEO Arogan Terimakasih sebanyak-banyaknya untuk kalian semuanya, lop you pull
“Kalau jalan itu pake mata yaa, jangan Cuma dijadiin pajangan aja.” Maheswari Andhira Swastika atau biasa dipanggil Andhira, dia menatap tajam laki-laki dihadapannya saat ini yang hanya menaikkan sebelah alis. “Kamu yang nabrak, kok saya yang diomelin?” tanya laki-laki mengenakan kemeja berwarna hitam lengan panjangan yang dilipat hingga siku, Dareen Arsenio atau biasa dipanggil Arsenio. “Saya? Jelas-jelas saya yang jatuh, kenapa saya yang dituduh nabrak kamu?” tanya Andhira tidak kalah menantang, dia memang dikenal sebagai perempuan yang tidak bisa dikalahkan, bahkan tidak ada yang berani menyenggolnya. “Kamu lemah, makanya kamu jatuh.” Andhira berdecak, kesal dengan Arsenio, “Kamu semester berapa sihh? Kok kayanya udah tua banget. Mahasiswa abadi ya?” tanyanya sedikit mengejek. Arsenio menaikkann sebelah alisnya, “Saya cuma mau sama kamu ya, Maheswari Andhira Swastika, jaga sikap kamu mulai sekarang, jangan sampai kamu yang malu nantinya.” Andhira bersidekap dada, meneliti waj
“Kamu gak bikin masalah sama dosen PA kamu, kan?” tanya Darwis kepada Andhira yang duduk di kursi sebelah kanan. “Dosen PA aku kan Ibu Kartika, dan aku hari ini belum ketemu sama beliau, gimana bisa aku bikin masalah?” tanya Andhira dengan bingung, dirinya kembali mengingat kejadian apa saja yang sudah dilalui setengah hari ini. Darwis menggeleng, “Reno bilang sama aku, katanya Dosen PA dia mau ketemu sama kamu. Terus kata Reno, Dosen PA kamu diganti, bukan Bu Kartika lagi.” Andhira menaikkan sebelah alisnya, “Dosen PAnya Reno kan Pak Arsenio, kan?” tanyanya, diangguki oleh Darwis. “Kamu tau pak Arsenio?” tanya Darwis serius, dijawab dengan gelengan kepala. Hal ini membuat Darwis memijat keningnya. “Bentar, aku punya fotonya pak Arsenio.” Andhira hanya bergumam, menunggu foto yang akan diberikan oleh sahabatnya itu. Dirinya benar-benar tidak tahu seperti apa bentukannya seorang Arsenio. Dia memang tidak asing dengan nama Arsenio, hanya saja tidak mengetahui wajah dari seorang D
“Andhira sayang,” panggil seorang pria paruh baya. Andhira menoleh, dan tersenyum manis saat mendapati papihnya yang datang dengan pakaian masih lengkap, Ginantara Alaindra. “Papih baru balik kerja?” tanya Andhira menatap Papih yang sudah duduk di sisi kanannya pada kursi panjang yang ada di balkon kamarnya. Papih mengangguk, ia memeluk anak perempuan satu-satunya yang dirawat dan dijaga sampai saat ini. Papih mengecup puncak kepala Andhira, dan menatap kedua bola mata anak semata wayangnya tersebut, “Kamu lagi mikir apa sihh? Sampai gak sadar kalau ada Papih.” Andhira hanya menggeleng dan tersenyum tipis, “Hari ini bu Kartika udah fix pensiun jadi Dosen PA aku, Pih. Besok Dosen PA aku udah ganti,” ucapnya menatap papihnya yang sedang menaikkan sebelah alisnya. “Kamu galau karena gak bisa rusuh lagi sama bu Kartika?” tanya Papih lembut, anak perempuannya tersebut mengangguk meng-iyakan pertanyaan Ginantara. “Dosen PA aku yang baru itu cowo tau, Pih. Udah gitu ganteng lagi. Kalau m
“Come on, my little girl.” Andhira mengangguk. Kedua berjalaan beriringan, dan sekali lagi, tidak lepas dari atensi Mahasiswa-mahasiswi Ilmu Komunikasi. Mungkin sedikit heran dengan kedatangan Papih yang secara tiba-tiba ke fakultas Ilmu Komunikasi. Mereka tidak terkejut dengan Papih dari seorang Maheswari Andhira Swastika. “Sugar daddy, tau gitu aku deketin aja sih Andhira, biar bisa deketin bapaknya.” Sepanjang koridor, Andhira jelas mendengar celotehan para siswi yang memuja-muji ketampanan yang dimiliki oleh papihnya. Satu ide terlintas di otaknya, dan terbitlah senyum remeh. Dengan sengaja, gadis itu mengamit lengan sang Papih, membuat papihnya itu tersenyum tipis. “Lohh Pak Ginantara?” gumam seorang laki-laki mengenakan kemeja berwarna putih lengan panjang yang dilipat hingga siku, Dareen Arsenio. Papih dan Andhira menghentikan langkahnya saat berpapasan dengan Arsenio. Ginantara melepaskan kacamata hitamnya dan tersenyum kepada Arsenio. Sedangkan Andhira menaikkan sebela
“Andhira Andhira,” gumam Darwis saat gadis itu duduk di sebelahnya. Ya, Andhira dan Darwis memang duduk satu meja yang sama. Bukan Andhira tidak memiliki teman perempuan, tetapi memang lebih enjoy untuk Andhira duduk dengan seseorang yang sudah kenal dekat. Andhira bersidekap dada, “Kesel banget.” “Kok kamu gak pernah bilang sih punya bokap secakep itu?” tanya gadis bersurai sebahu berwarna hitam yang duduk di kursi depan Andhira. Andhira menaikkan sebelah alisnya, “Mau kamu deketin? Deketin aja kalau bisa. Selama dua puluh tahun aku hidup, aku gak pernah denger berita tentang Papih aku yang deket sama perempuan.” Darwis hanya bergeming, dirinya memainkan ponselnya untuk bertukar pesan dengan Caca-kekasihnya yang berbeda kelas dengannya-. Sedangkan, Andhira menatap gadis yang bernama Lailara Tarsika. Lailara bergumam, “Serius?” tanyanya. Andhira memicingkann matanya. “Kamu mau bukti apa? Aku kalau nanya ke Papih, selalu bilang sibuk kerja, gak ada waktu buat nyari pasangan,” ucap
“Aku males banget sama pak Arsenio, dia bener-bener ngawasin aku.” Andhira menatap Darwis yang sedang men-dribble bola basket, sahabatnya itu melakukan teknik Lay Up Shoot, dan bola basket tersebut masuk ke dalam ring. Andhira yang melihatnya hanya bersidekap dada dan duduk bersandar pada kursi di pinggir lapangan indoor. Darwis menghampiri sahabatnya dan membiarkan bola basket tersebut menggelinding tanpa arah. Dirinya mengambil botol minum berwarna hitam di sisi kanan Andhira, dan menatap sahabatnya itu. “Emangnya pak Arsenio ngapain kamu?” tanya Darwis kepada Andhira yang memasang wajah badmood. “Dia ngawasin aku dari cctv, dia kan tau jadwal aku kapan-kapan aja, dan ruangan yang mana. Pas dia lagi ada kelas, dia nyuruh orang IT buat ngawasin aku, gila gak?” ucap Andhira menggebu-gebu, sedangkan Darwis tertawa. Jujur saja, baru kali ini Andhira kesal dengan seseorang, biasanya gadis itu yang bikin orang lain kesal. Darwis akan memberikan apresiasi kepada Arsenio, karena sudah
“Siomaynya enak ya?”Andhira bergeming sejenak sebelum akhirnya menoleh ke sisi kiri, dia mendongak dan mendapati wajah menyebalkan milik Dareen Arsenio, atau biasa dipanggil Pak Arsenio. Hal itu membuat Andhira menyugar surai berwarna caramel menyala.“Enak. Masih banyak tuhh, tinggal pesen doang,” jawab Andhira tanpa menatap Arsenio, dia kembali memakan siomay yang tinggal setengah.Arsenio menarik Andhira untuk berdiri, kini keduanya berdiri berhadapan. Andhira berdecak, acara makan siomaynya diganggu oleh Arsenio, selaku Dosen Pembimbing Akademiknya selama tiga hari.“Kenapa sih selalu ganggu saya?” tanya Andhira dengan tidak santai, pergelangan tangannya masih digenggam oleh Arsenio, bukan karena nyaman, tetapi tenaganya jauh dibawah tenaga yang dimiliki oleh Arsenio.“Kamu ada kelasnya Bu Siska, dan malah nongkrong di kantin sendirian?” tanya Arsenio dengan penuh penekanan membuat Andhira menaikkan sebelah alisnya.“Emangnya saya ada kelas jam segini ya? Bukannya jam sebelas?” t
“Pantas saja Bu Kartika nyerahin kamu ke saya, ternyata emang kelakuan kamu benar-benar memancing emosi.”Andhira menaikkan sebelah alisnya, kini dirinya sedang berada di ruangan Arsenio, hanya berdua. Hari-harinya tidak sebebas dahulu sebelum pria dewasa di sebrangnya saat ini menjadi Dosen Pembimbing Akademiknya.“Pak Arsen gak kuat? Gapapa, Pak. Mundur ajaa. Biar saya gak punya dosen PA, kan saya bisa bebas lagi,” ucap Andhira dengan santai, benar-benar tidak ada takutnya dengan Arsenio.Arsenio menatap tajam Andhira, “Kamu lupa sama kesepakatan kita?” tanyanya dengan penuh penekanan. Bisa saja dia bertindak lebih tegas dari sekarang, tetapi dirinya lebih suka main ganteng, tidak terburu-buru mengambil tindakan.Andhira bergumam, “Kalau saya lupa, bisa gak dilupain sekalian aja, Pak?” tanyanya dengan menantang, benar-benar bikin naik darah.Arsenio menegakkan tubuhnya, melipat kedua tangannya di meja, dan tersenyum manis, “Kamu nyerah? Kalau kamu kalah, berarti kamu jadi pembantu s