“Kamu gak bikin masalah sama dosen PA kamu, kan?” tanya Darwis kepada Andhira yang duduk di kursi sebelah kanan.
“Dosen PA aku kan Ibu Kartika, dan aku hari ini belum ketemu sama beliau, gimana bisa aku bikin masalah?” tanya Andhira dengan bingung, dirinya kembali mengingat kejadian apa saja yang sudah dilalui setengah hari ini.
Darwis menggeleng, “Reno bilang sama aku, katanya Dosen PA dia mau ketemu sama kamu. Terus kata Reno, Dosen PA kamu diganti, bukan Bu Kartika lagi.”
Andhira menaikkan sebelah alisnya, “Dosen PAnya Reno kan Pak Arsenio, kan?” tanyanya, diangguki oleh Darwis.
“Kamu tau pak Arsenio?” tanya Darwis serius, dijawab dengan gelengan kepala. Hal ini membuat Darwis memijat keningnya. “Bentar, aku punya fotonya pak Arsenio.”
Andhira hanya bergumam, menunggu foto yang akan diberikan oleh sahabatnya itu. Dirinya benar-benar tidak tahu seperti apa bentukannya seorang Arsenio. Dia memang tidak asing dengan nama Arsenio, hanya saja tidak mengetahui wajah dari seorang Dareen Arsenio.
Darwis memberikan ponselnya kepada Andhira, dilayar ponsel tersebut terdapat satu foto seorang laki-laki mengernakan hoodie berwarna purple polos, tersenyum kearah kamera. Andhira menerima dan memperhatikan wajah Arsenio.
Andhira menajamkan penglihatannya, menatap wajah Arsenio yang tidak asing untuknya, “Dia kan yang aku tabrak tadi,” gumamnya, masih bisa didengar oleh Darwis. Darwis menaikkan sebelah alisnya, kedua telinganya masih berfungsi dengan baik.
“Kamu dalam masalah. Mending sekarang kamu ke ruangannya Pak Arsenio deh, daripada kamu kenapa-kenapa nantinya,” ucap Darwis, mengambil alih ponselnya. Andhira bergeming, tidak mengindahkan apa yang katakana oleh sahabatnya itu.
“Mampus akuu. Pantes aja dia bilang kalau aku tanggung jawab dia,” ucap Andhira, dia menyembunyikan wajahnya di meja, bukannya tidak berani, tetapi malu.
Darwis menepuk tngan Andhira, membuat gadis itu mengangkat kepala dan menatap Darwis. Sedangkan laki-laki itu hanya melirik pintu kelas yang dibuka oleh seorang lelaki mengenakan kemeja hitam. Andhira masih belum menyadari kode dari Darwis.
“Apasihh, Dar? Kamu ganggu waktu tidur aku tau gak,” ucap Andhira, dengan mata yang sayu karena mengantuk, menjadi tidak fokus. Dia menjatuhkan wajahnya pada meja, dan mencium punggung tangan seseorang.
Kesadaran Andhira kembali pulih, mengerjapkan kedua mata, dan mengangkat kepala secara perlahan untuk melihat pemilik tangan yang baru saja disentuh oleh bibirnya. Lagi-lagi Andhira harus terkejut, seketika dirinya beranjak dan menjauh.
“Kamu?” tanya Andhira, diangguki oleh Arsenio. “Kok bisa ada di sini?”
Arsenio menaikkan sebelah alisnya, dia menatap Darwisn, “Reno gak ngasih tau emangnya kalau Andhira telat ke ruangan saya, saya yang datang menghampiri Andhira.”
Darwis beranjak, dia tersenyum tipis, “Saya udah kasih tau ke Andhira kalau pak Arsenio menyuruh Andhira untuk ke ruangan pak Arsenio.”
“Terus kenapa lama?”
Andhira menaikkan sebelah alisnya, lama? Belum juga ada lima menit. “Ini belum ada ada setengah jam yaa dari perintah pak Arsenio.”
Arsenio menatap Andhira, “Saya harap kamu gak lupa sama apa yang saya bilang tadi pagi. Waktu itu sangat berharga buat saya. Satu menit saja bisa merubah keuntungan menjadi kerugian.”
Andhira berdecak, dirinya dibikin naik darah, anggap saja perkenalan, tetapi benar-benar memancing kesabarannya yang setipis plastik. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana hari-harinya jika harus berhadapan dengan Arsenio.
“Saya ada kelas, Pak. Setelah selesai kelas, saya keruangannya pak Arsenio.”
“Gak perlu,” ucap Arsenio, membuat Andhira memicingkan mata. Benar-benar dibuat bingung oleh Arsenio. “Saya sudah ijin sama Bu Karisa, dan beliau mengijinkan. Jadi, saya tidak menerima alasan apapun.”
Andhira bergumam, “Oke. Duluan aja, Pak. Nanti saya nyu—”
Gadis itu menghentikan ucapannya saat tangannya ditarik oleh Arsenio, sedangkan laki-laki itu menatap Darwis yang hanya bergeming memperhatikan Andhira dan Arsenio.
“Sahabat kamu saya pinjem dulu ya, Darwis Kusuma,” ujar Arsenio, diangguki oleh Darwis. Hal itu membuat Andhira berdecak kesal, sahabatnya itu tidak membantunya sama sekali.
Arsenio tersenyum kepada Darwis, dan melenggang pergi dengan Andhira yang pasrah ditarik pelan oleh Darwis. Keduanya menjadi pusat perhatian mahasiswa-mahasiswi yang sedang berada di koridor atau sedang berlalu lalang.
Andhira menatap wajah Arsenio yang hanya menampilkan ekspresi datar, tanpa ekspresi. Sangat berbeda jika berhadapan dengannya, seketika Andhira menggeleng, menghilangkan sifat percaya dirinya yang mengambil kesimpulan bahwa Arsenio tertarik dengannya.
Arsenio mengunci ruangannya, membuat Andhira melebarkan kedua matanya. Gadis itu benar-benar terkejut dengan apa yang dilakukan oleh Arsenio. Hanya berdua di dalam satu ruangan yang sama, pintu di kunci, tidak salahkan jika Andhira menaruh curiga terhadap Arsenio?
Arsenio menarik tangannya, dan duduk di kursi kerjanya. Dia menatap Andhira yang hanya berdiri dan bergeming seperti patung. “Maheswari Andhira Swastika, duduk. Gak mungkin saya berbicara sama kamu kaya gini.”
Andhira menoleh, menndapati Arsenio yang melipat kedua lengan di meja dan melirik salah satu kursi kosong di sebrang. Andhira mengindahkan perintah Arsenio, duduk di salah satu kursi kosong dihadapan Arsenio.
Arsenio menatap serius Andhira, sedangkan gadis itu hanya menampilkan wajah yang lesuh, karena mengantuk. “Kamu tidur jam berapa emangnya semalem?” tanyanya.
Andhira menaikkan sebelah alisnya. “Urusannya sama kamu apa ya?” tanyanya tidak sopan. Arsenio terkekeh, dirinya mengacungi jempol untuk keberanian yang Andhira punya.
“Saya Dareen Arsenio, saya yang akan menjadi Dosen PA kamu yang baru. Jadi, apapun yang kamu lakukan itu sudah menjadi tanggung jawab saya.”
Andhira bergumam, “Apapun ya? Kaya harus di tambahin selama di kampus deh, Pak.”
Arsenio menggeleng, “Termasuk kegiatan kamu di luar kampus.”
“Itu namanya pak Arsenio yang tidak sopan.”
Arsenio menegakkan tubuhnya, menatap serius Andhira, “Kamu special, Andhira. Jadi, saya harus tau semua kegiatan kamu di luar kampus dan di lingkungan kampus.”
“Saya curiga, ini cuma akal-akalan pak Arsenio aja kan biar bisa deket-deket sama saya?”
Arsenio menaikkan sebelah alisnya, dan tertawa, “Kamu tau? Secara tidak langsung, kamu itu yang pengen deket-deket sama saya, kan? Kamu suka sama saya?”
Andhira bergidik geli, “Saya? Suka sama pak Arsenio? Kaya gak ada cowo lain aja di dunia ini selain kamu.”
Arsenio terkekeh, “Kesepakatan kita masih belum dibentuk. Mari kita bentuk, Andhira.”
“Gak kesepakatan apapun di antara kita.”
Arsenio menaikkan sebelah alisnya, “Kamu takut kalau saya menang?” tanyanya, dijawab dengan gelengan cepat.
“Meremehkan saya? Oh tentu tidak bisa.”
“Kalau kaya gitu, kenapa takut saya ajak buat bikin kesepakatan? Takut ketahuan kalau kamu suka sama saya, kann?” tanya Arsenio, dia menaik-turunkan kedua alisnya, dan tersenyum misterius.
Andhira menggeleng, “Mau buat kepakatan apa?” tanyanya, pada akhirnya mengikuti apa yang diinginkan oleh Arsenio. Keputusan yang Andhira ambil, membuat Arsenio tersenyum penuh kemenangan.
“Dalam waktu satu bulan absen kamu tidak ada yang bolong, hadir terus disetiap pertemuan bukan yang hanya nitip absen, saya kasih tiket pesawat buat kamu liburan ke Negara yang kamu mau. Tapi kalau kamu gagal ….”
Andhira menaikkan sebelah alisnya, dirinya menunggu apa yang dikatakan oleh Arsenio, Dosen Pembimbing Akademik-nya yang baru. Sedangkan Arsenio dengan sengaja menggantungkan kalimatnya.
“Jangan salahin saya kalau saya akan memperketat lingkungan kamu.”
Andhira menggeleng menolak, “Gak bisa gitu, Pak. Saya gak setuju dengan konsekuensi jika saya gagal.”
Arsenio menaikkan sebelah alisnya, hanya Andhira yang dapat membuatnya gemas ingin menarik bulu hidung gadis dihadapannya saat ini, benar-benar gemas dengan segala tindak perlawan yang gadis itu perlihatkan.
“Hukuman apa yang kamu inginkan jika kamu gagal?”
Andhira mengulum bibirnya, dan menggeleng. Dia menghilangkan fikiran yang mengajaknya untuk menjadikan Arsenio pacarnya dalam sebulan. Tidak, Andhira tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Arsenio menaikkan sebelah alisnya.
“Maheswari Andhira Swastika, kalau kamu gagal hukuman apa yang harus saya berikan untuk kamu?”
Andhira menatap, “Jadi pembantu pak Arsenio selama satu hari."
---
“Andhira sayang,” panggil seorang pria paruh baya. Andhira menoleh, dan tersenyum manis saat mendapati papihnya yang datang dengan pakaian masih lengkap, Ginantara Alaindra. “Papih baru balik kerja?” tanya Andhira menatap Papih yang sudah duduk di sisi kanannya pada kursi panjang yang ada di balkon kamarnya. Papih mengangguk, ia memeluk anak perempuan satu-satunya yang dirawat dan dijaga sampai saat ini. Papih mengecup puncak kepala Andhira, dan menatap kedua bola mata anak semata wayangnya tersebut, “Kamu lagi mikir apa sihh? Sampai gak sadar kalau ada Papih.” Andhira hanya menggeleng dan tersenyum tipis, “Hari ini bu Kartika udah fix pensiun jadi Dosen PA aku, Pih. Besok Dosen PA aku udah ganti,” ucapnya menatap papihnya yang sedang menaikkan sebelah alisnya. “Kamu galau karena gak bisa rusuh lagi sama bu Kartika?” tanya Papih lembut, anak perempuannya tersebut mengangguk meng-iyakan pertanyaan Ginantara. “Dosen PA aku yang baru itu cowo tau, Pih. Udah gitu ganteng lagi. Kalau m
“Come on, my little girl.” Andhira mengangguk. Kedua berjalaan beriringan, dan sekali lagi, tidak lepas dari atensi Mahasiswa-mahasiswi Ilmu Komunikasi. Mungkin sedikit heran dengan kedatangan Papih yang secara tiba-tiba ke fakultas Ilmu Komunikasi. Mereka tidak terkejut dengan Papih dari seorang Maheswari Andhira Swastika. “Sugar daddy, tau gitu aku deketin aja sih Andhira, biar bisa deketin bapaknya.” Sepanjang koridor, Andhira jelas mendengar celotehan para siswi yang memuja-muji ketampanan yang dimiliki oleh papihnya. Satu ide terlintas di otaknya, dan terbitlah senyum remeh. Dengan sengaja, gadis itu mengamit lengan sang Papih, membuat papihnya itu tersenyum tipis. “Lohh Pak Ginantara?” gumam seorang laki-laki mengenakan kemeja berwarna putih lengan panjang yang dilipat hingga siku, Dareen Arsenio. Papih dan Andhira menghentikan langkahnya saat berpapasan dengan Arsenio. Ginantara melepaskan kacamata hitamnya dan tersenyum kepada Arsenio. Sedangkan Andhira menaikkan sebela
“Andhira Andhira,” gumam Darwis saat gadis itu duduk di sebelahnya. Ya, Andhira dan Darwis memang duduk satu meja yang sama. Bukan Andhira tidak memiliki teman perempuan, tetapi memang lebih enjoy untuk Andhira duduk dengan seseorang yang sudah kenal dekat. Andhira bersidekap dada, “Kesel banget.” “Kok kamu gak pernah bilang sih punya bokap secakep itu?” tanya gadis bersurai sebahu berwarna hitam yang duduk di kursi depan Andhira. Andhira menaikkan sebelah alisnya, “Mau kamu deketin? Deketin aja kalau bisa. Selama dua puluh tahun aku hidup, aku gak pernah denger berita tentang Papih aku yang deket sama perempuan.” Darwis hanya bergeming, dirinya memainkan ponselnya untuk bertukar pesan dengan Caca-kekasihnya yang berbeda kelas dengannya-. Sedangkan, Andhira menatap gadis yang bernama Lailara Tarsika. Lailara bergumam, “Serius?” tanyanya. Andhira memicingkann matanya. “Kamu mau bukti apa? Aku kalau nanya ke Papih, selalu bilang sibuk kerja, gak ada waktu buat nyari pasangan,” ucap
“Aku males banget sama pak Arsenio, dia bener-bener ngawasin aku.” Andhira menatap Darwis yang sedang men-dribble bola basket, sahabatnya itu melakukan teknik Lay Up Shoot, dan bola basket tersebut masuk ke dalam ring. Andhira yang melihatnya hanya bersidekap dada dan duduk bersandar pada kursi di pinggir lapangan indoor. Darwis menghampiri sahabatnya dan membiarkan bola basket tersebut menggelinding tanpa arah. Dirinya mengambil botol minum berwarna hitam di sisi kanan Andhira, dan menatap sahabatnya itu. “Emangnya pak Arsenio ngapain kamu?” tanya Darwis kepada Andhira yang memasang wajah badmood. “Dia ngawasin aku dari cctv, dia kan tau jadwal aku kapan-kapan aja, dan ruangan yang mana. Pas dia lagi ada kelas, dia nyuruh orang IT buat ngawasin aku, gila gak?” ucap Andhira menggebu-gebu, sedangkan Darwis tertawa. Jujur saja, baru kali ini Andhira kesal dengan seseorang, biasanya gadis itu yang bikin orang lain kesal. Darwis akan memberikan apresiasi kepada Arsenio, karena sudah
“Siomaynya enak ya?”Andhira bergeming sejenak sebelum akhirnya menoleh ke sisi kiri, dia mendongak dan mendapati wajah menyebalkan milik Dareen Arsenio, atau biasa dipanggil Pak Arsenio. Hal itu membuat Andhira menyugar surai berwarna caramel menyala.“Enak. Masih banyak tuhh, tinggal pesen doang,” jawab Andhira tanpa menatap Arsenio, dia kembali memakan siomay yang tinggal setengah.Arsenio menarik Andhira untuk berdiri, kini keduanya berdiri berhadapan. Andhira berdecak, acara makan siomaynya diganggu oleh Arsenio, selaku Dosen Pembimbing Akademiknya selama tiga hari.“Kenapa sih selalu ganggu saya?” tanya Andhira dengan tidak santai, pergelangan tangannya masih digenggam oleh Arsenio, bukan karena nyaman, tetapi tenaganya jauh dibawah tenaga yang dimiliki oleh Arsenio.“Kamu ada kelasnya Bu Siska, dan malah nongkrong di kantin sendirian?” tanya Arsenio dengan penuh penekanan membuat Andhira menaikkan sebelah alisnya.“Emangnya saya ada kelas jam segini ya? Bukannya jam sebelas?” t
“Pantas saja Bu Kartika nyerahin kamu ke saya, ternyata emang kelakuan kamu benar-benar memancing emosi.”Andhira menaikkan sebelah alisnya, kini dirinya sedang berada di ruangan Arsenio, hanya berdua. Hari-harinya tidak sebebas dahulu sebelum pria dewasa di sebrangnya saat ini menjadi Dosen Pembimbing Akademiknya.“Pak Arsen gak kuat? Gapapa, Pak. Mundur ajaa. Biar saya gak punya dosen PA, kan saya bisa bebas lagi,” ucap Andhira dengan santai, benar-benar tidak ada takutnya dengan Arsenio.Arsenio menatap tajam Andhira, “Kamu lupa sama kesepakatan kita?” tanyanya dengan penuh penekanan. Bisa saja dia bertindak lebih tegas dari sekarang, tetapi dirinya lebih suka main ganteng, tidak terburu-buru mengambil tindakan.Andhira bergumam, “Kalau saya lupa, bisa gak dilupain sekalian aja, Pak?” tanyanya dengan menantang, benar-benar bikin naik darah.Arsenio menegakkan tubuhnya, melipat kedua tangannya di meja, dan tersenyum manis, “Kamu nyerah? Kalau kamu kalah, berarti kamu jadi pembantu s
“Pak Arsenio gak ada ya hari ini?” Andhira saat ini sedang bersama dengan Rena, baru mereka berdua, karena mengambil mata kuliah yang sama hari ini. Reno menatap Andhira yang bertanya tentang Dosen PA mereka, dirinya yang sedikit jahil pun tersenyum menggoda. “Kamu nyariin Pak Arsenio buat apa, Dhir? Kamu kangen sama Pak Arsenio? Katanya gak butuh Pak Arsenio, tapi kok malah kaya kehilangan gitu sih.” Andhira mendesis, berbeda dengan Reno yang tertawa cukup keras, membuat perhatian mahasiswa ataupun mahasiswi yang singgah di kantin indoor tertuju kepada mereka berdua. Sedangkan Andhira menatap tidak suka Reno. “Aku nanya doang sihh. Takut aja tiba-tiba ada di hadapan aku, terus aku serangan jantung, kan bahaya bangett,” ucap Andhira sembari memakan rujak colek. Berbeda dengan Renio yang memakan mie ayam. “Aku kasih tau ya sama kamu, karena kamu baru nih jadi anaknya Pak Arsenio, jangan coba-coba bikin dia marah. Bukan satu orang aja nanti yang kena, semua anakannya Pak Arsenio jug
“Enak yaa ice creamnya?”Andhira duduk di sisi kanan gadis cilik diperkirakan usianya sekitar 7 tahun, dia tersenyum manis kepada gadis cilik yang sedang memakan ice cream coklat, sudah dipastikan dibelikan oleh Reno.Gadis cilik itu mengangguk, dan menatap Andhira dengan tatapan polos, “Tante mau?” tanyanya, dijawab dengan gelengan kepala dari Andhira.“Buat kamu aja. Cepet dihabisin yaa, nanti ice creamnya keburu mencair,” ucap Andhira dengan lembut, membuat Reno yang melihatnya terpesona. Gadis cilik itu mengangguk, dan menurut. Sedangkan Andhira terkekeh, dirinya beranjak, tetapi ditahan oleh gadis cilik di sisi kirinya.“Tante mau kemana?”Andhira tersenyum, “Beli tissue, bentar yaa,” ucapnya dengan lembut, dan melenggang pergi setelah mendapatkan ijin. Reno benar-benar takjub dengan Andhira yang menunjukkan sikap berbeda dari biasanya kepada anak kecil yang baru saja dikenal.“Om pacarnya Tante?” tanya polos gadis cilik yang duduk di sebrang Reno, membuat Reno terkekeh.Reno men