“Kalau jalan itu pake mata yaa, jangan Cuma dijadiin pajangan aja.”
Maheswari Andhira Swastika atau biasa dipanggil Andhira, dia menatap tajam laki-laki dihadapannya saat ini yang hanya menaikkan sebelah alis.
“Kamu yang nabrak, kok saya yang diomelin?” tanya laki-laki mengenakan kemeja berwarna hitam lengan panjangan yang dilipat hingga siku, Dareen Arsenio atau biasa dipanggil Arsenio.
“Saya? Jelas-jelas saya yang jatuh, kenapa saya yang dituduh nabrak kamu?” tanya Andhira tidak kalah menantang, dia memang dikenal sebagai perempuan yang tidak bisa dikalahkan, bahkan tidak ada yang berani menyenggolnya.
“Kamu lemah, makanya kamu jatuh.”
Andhira berdecak, kesal dengan Arsenio, “Kamu semester berapa sihh? Kok kayanya udah tua banget. Mahasiswa abadi ya?” tanyanya sedikit mengejek.
Arsenio menaikkann sebelah alisnya, “Saya cuma mau sama kamu ya, Maheswari Andhira Swastika, jaga sikap kamu mulai sekarang, jangan sampai kamu yang malu nantinya.”
Andhira bersidekap dada, meneliti wajah Arsenio yang seperti orang Eropa, “Saya gak pernah liat kamu, apa jangan-jangan kamu penguntit ya?”
Arsenio tertawa, “Saya? Penguntit? Kamu lucu ya ternyata,” ucapnya. Dia menunduk, memperhatikan kedua bola mata Andhira dalam membuat gadis itu bergeming, “Jangan bikin saya melakukan tindakan seperti yang kamu tuduhkan kepada saya ya, Andhira.”
Andhira menggeleng, menaikkan dagunya menantang, “Saya nuduh sesuai fakta. Kamu tau nama panjang saya, berarti kamu cari tau tentang saya, kan?”
Arsenio mengangguk santai, “Lagian yaa, saya gak ada waktu buat jadi penguntit. Waktu saya itu berharga,” ucapnya. Dia menegakkan kembali tubuhnya dan tersenyum kepada Andhira.
Andhira berdecak, dirinya menggeser ke kanan, tetapi Arsenio melakukan hal yang sama. Andhira ke kiri, Arsenio ke kiri. Dia kesal dengan Arsenio yang memang sengaja memancing emosinya.
“Siapapun kamu, saya gak perduli. Minggir!”
Arsenio memegang pergelangan tangan Andhira, “Saya mau buat kesepakatan sama kamu,” ucapnya. Andhira menaikkann sebelah alisnya, dia bingung dengan Arsenio.
“Buat apa? Keuntungan saya apa?”
Arsenio tersenyum manis, “Banyak keuntungan buat kita berdua.”
Andhira menarik tangannya agar terlepas dari cengkraman Arsenio, tetapi tidak semudah yang dibayangkan. “Lepasin atau saya teriak karena kamu melakukan kekerasan sama saya?”
Arsenio mengangguk, “Buat kesepakatan sama saya, atau saya tarik kamu ke kelas buat ikut kelasnya pak Yudi?”
“Kamu gak berhak maksa saya.”
Arsenio terkekeh, dia menarik Andhira untuk mendekat, tidak ada jarak dengannya dan Andhira. “Kamu itu tanggung jawab saya mulai saat ini. Jadi, kamu gak bisa seenaknya bertindak tanpa persetujuan atau sepengetahuan dari saya.”
Andhira melebarkan kedua matanya, tetapi di tahan oleh Arsenio, dia berdecak, “Kamu siapa sih?”
Arsenio tersenyum manis, dia mendekatkan wajahnya kepada Andhira, meneliti wajah cantik yang dimiliki oleh Andhira, walaupun tanpa polesan makeup. Sedangkan Andhira mengatur jantungnya yang berdegup dengan kencang.
“Sampai bertemu dilain waktu, Maheswari Andhira Swastika.”
***
“Kamu kenapa sihh? Daritadi aku perhatiin kok kaya kesel gitu.”
Darwis Kusuma atau biasa dipanggil Darwis, sahabat dari Andhira. Dia dan Andhira saat ini sedang berada di gazebo fakultas Ilmu Komunikasi, hanya berdua. Sedangkan Andhira hanya bergeming dengan wajah yang kesal.
“Aku itu lagi kesel banget-banget,” ucap Andhira, dia menatap Darwis yang sedang mengepulkan asap ke udara.
“Kenapa?”
Andhira membenarkan posisinya, duduk bersila menatap Darwis, “Aku tadi kan cabut dari kelas, terus pas diparkiran, aku ketemu sama cowo, ganteng tauu. Tapii ngeselin, rasanya tuhh mau aku cakar aja mukanya yang tengil.”
Darwis menaikkan sebelah alisnya, “Anak sini juga?” tanyanya, dijawab dengan gelengan kepala.
“Aku gak tauu, tapi aku inget orangnya. Nanti kalau ketemu yaa aku kasih tau.”
Darwis bergumam, dirinya menaruh rokok elektrik di lantai beralaskan kayu yang sudah dicat menjadi aesteutik. Dia menatap dalam sahabatnya yang sudah bersama dari masih bayi.
“Kamu gak suka sama cowo tadi, kan?” tanya Darwis, membuat Andhira menyemburkan air mineral yang sedang diteguk.
Gadis itu menatap Darwis dengan mengerjapkan mata satu kali, “Kamu bilang apa, Dar? Suka? Gakk lahh, aku gak mungkin suka sama dia. Bukan level akuu.”
Darwis tersenyum menggoda, “Oh iya? Kamu tadi bilang kalau dia itu tadi ganteng, kamu kan sukanya sama yang ganteng-ganteng.”
Andhira menggeleng, “Gak seratus persen. Buktinya kamu ganteng, tapi aku gak suka sama kamu. Berarti kan itu hoax dan kita gak boleh percaya sama hoax,” ucapnya, diakhiri dengan tertawa.
Darwis bergumam, “Menurut kamu, cowo yang kamu tabrak tadi itu seumuran sama kita? Atau dia di atas kitas?” tanyanya. Andhira bergeming, dirinya kembali membayangkan wajah Arsenio yang hampir mendekati kata sempurna.
Gadis itu menggeleng, menghilangkan wajah Arsenio yang memang mempesona, “Gak tauu. Aku gak merhatiin wajah dia.”
Darwis menangguk, percaya dengan apa yang dikatakan oleh sahabatnya itu. Tidak lagi menanyakan atau membahas kejadian yang menimpa Andhira tadi pagi, bisa dikatakan gadis itu sedang tidak beruntung.
Hening, keduanya sibuk dengann fikiran masing-masing. Suasana lantai dasar fakultas Ilmu Komunikasi membuat mereka semakin larut dalam fikiran. Andhira kembali membayangkan perdebatan antara dirinya dan Arsenio.
Wajah Arsenio kembali hadir di fikirannya, tetapi Andhira tidak ingin menghilangkan bayangan tersebut, bahkan gadis itu terhanyut, seperti sedang menonton kembali film yang sudah dia tonton sebelumnya.
“Andhira,” panggil Darwis, tetapi tidak membuat Andhira kembali ke kehidupan nyata, membuat Darwis tersenyum jahil.
“Ehhh ada cowo ganteng yang ngeliatin kamu, Dhir,” ucap Darwis, membuat Andhira menoleh, Sedangkan Darwis tertawa melihat respon dari Andhira.
“Kamu ngerjain aku?” tanya Andhira tertahan, sahabatnya itu hanya tertawa. “Tau ah, aku males sama kamu.”
“Kamu itu aku panggil daritadi, malah gak nyaut. Giliran cowo ganteng aja langsung ada respon. Jujur aja sama aku, kamu jatuh cinta sama itu cowo, kan?”
Andhira menggeleng dengan tegas, “Gak yaa. Daripada bahas aku, mending bahas kamu sama Caca. Kamu gak ikut kelasnya Caca?” tanyanya. Darwis menggeleng, dia mengepulkan asap ke udara.
“Kelasnya Caca itu cewe semua. Gak mau lah akuu, nanti sih Caca kesel sama aku kalau ada yang genit. Padahal ya aku kan gak ada genit sama mereka,” ucap Darwis, membuat Andhira tertawa.
“Caca itu kan cemburuan, makanya kamu gak usah berulah. Kalau kalian putus, kamu yang rugi.”
Darwis mengangguk, “Ya makanya, untung aja dia percaya kalau kamu itu penyuka sesama jenis,” katanya, diakhiri dengan tertawa.
Andhira mendelik, “Kurang ajar emang. Aku masih normal tauu.”
“Oh iya? Buktinya sama cowo yang kamu bilang ganteng aja kamu gak suka. Jadi, aku sebagai sahabat kamu juga meragukan, Dhir. Kecuali, kamu kenalin pacar kamu itu ke aku, baru aku percaya kamu itu normal.”
“Kalau aku punya pacar, motor kesayangan kamu itu buat aku yaa?” tantang Andhira, diangguki oleh Darwis.
“Dalam waktu satu bulan, kalau kamu gak punyar pacar, aku percaya rumor yang beredar, kalau kamu itu penyuka sesama jenis.”
“ARE YOU CRAZY, DARWIS KUSUMA?” teriak Andhira, benar-benar terkejut dengan tantangan yang diberikan oleh sahabatnya. Bayangkan, darimana dia bisa punya pacar dalam waktu satu bulan?
Darwis menaikkan sebelah alisnya, “Gak bisa? Gapapa kok, batalin aja. Kan motor aku aman jadinya,” ucapnya diakhiri dengan terkekeh.
Andhira bingung, menyanggupi atau tidak tantangan dari Darwis? Tetapi, kalau dia menyerah begitu saja, harga dirinya jatuh.
“Oke. Dalam satu bulan aku bisa punya pacar, motor sport kesayangan kamu itu buat aku.”
---
“Kamu gak bikin masalah sama dosen PA kamu, kan?” tanya Darwis kepada Andhira yang duduk di kursi sebelah kanan. “Dosen PA aku kan Ibu Kartika, dan aku hari ini belum ketemu sama beliau, gimana bisa aku bikin masalah?” tanya Andhira dengan bingung, dirinya kembali mengingat kejadian apa saja yang sudah dilalui setengah hari ini. Darwis menggeleng, “Reno bilang sama aku, katanya Dosen PA dia mau ketemu sama kamu. Terus kata Reno, Dosen PA kamu diganti, bukan Bu Kartika lagi.” Andhira menaikkan sebelah alisnya, “Dosen PAnya Reno kan Pak Arsenio, kan?” tanyanya, diangguki oleh Darwis. “Kamu tau pak Arsenio?” tanya Darwis serius, dijawab dengan gelengan kepala. Hal ini membuat Darwis memijat keningnya. “Bentar, aku punya fotonya pak Arsenio.” Andhira hanya bergumam, menunggu foto yang akan diberikan oleh sahabatnya itu. Dirinya benar-benar tidak tahu seperti apa bentukannya seorang Arsenio. Dia memang tidak asing dengan nama Arsenio, hanya saja tidak mengetahui wajah dari seorang D
“Andhira sayang,” panggil seorang pria paruh baya. Andhira menoleh, dan tersenyum manis saat mendapati papihnya yang datang dengan pakaian masih lengkap, Ginantara Alaindra. “Papih baru balik kerja?” tanya Andhira menatap Papih yang sudah duduk di sisi kanannya pada kursi panjang yang ada di balkon kamarnya. Papih mengangguk, ia memeluk anak perempuan satu-satunya yang dirawat dan dijaga sampai saat ini. Papih mengecup puncak kepala Andhira, dan menatap kedua bola mata anak semata wayangnya tersebut, “Kamu lagi mikir apa sihh? Sampai gak sadar kalau ada Papih.” Andhira hanya menggeleng dan tersenyum tipis, “Hari ini bu Kartika udah fix pensiun jadi Dosen PA aku, Pih. Besok Dosen PA aku udah ganti,” ucapnya menatap papihnya yang sedang menaikkan sebelah alisnya. “Kamu galau karena gak bisa rusuh lagi sama bu Kartika?” tanya Papih lembut, anak perempuannya tersebut mengangguk meng-iyakan pertanyaan Ginantara. “Dosen PA aku yang baru itu cowo tau, Pih. Udah gitu ganteng lagi. Kalau m
“Come on, my little girl.” Andhira mengangguk. Kedua berjalaan beriringan, dan sekali lagi, tidak lepas dari atensi Mahasiswa-mahasiswi Ilmu Komunikasi. Mungkin sedikit heran dengan kedatangan Papih yang secara tiba-tiba ke fakultas Ilmu Komunikasi. Mereka tidak terkejut dengan Papih dari seorang Maheswari Andhira Swastika. “Sugar daddy, tau gitu aku deketin aja sih Andhira, biar bisa deketin bapaknya.” Sepanjang koridor, Andhira jelas mendengar celotehan para siswi yang memuja-muji ketampanan yang dimiliki oleh papihnya. Satu ide terlintas di otaknya, dan terbitlah senyum remeh. Dengan sengaja, gadis itu mengamit lengan sang Papih, membuat papihnya itu tersenyum tipis. “Lohh Pak Ginantara?” gumam seorang laki-laki mengenakan kemeja berwarna putih lengan panjang yang dilipat hingga siku, Dareen Arsenio. Papih dan Andhira menghentikan langkahnya saat berpapasan dengan Arsenio. Ginantara melepaskan kacamata hitamnya dan tersenyum kepada Arsenio. Sedangkan Andhira menaikkan sebela
“Andhira Andhira,” gumam Darwis saat gadis itu duduk di sebelahnya. Ya, Andhira dan Darwis memang duduk satu meja yang sama. Bukan Andhira tidak memiliki teman perempuan, tetapi memang lebih enjoy untuk Andhira duduk dengan seseorang yang sudah kenal dekat. Andhira bersidekap dada, “Kesel banget.” “Kok kamu gak pernah bilang sih punya bokap secakep itu?” tanya gadis bersurai sebahu berwarna hitam yang duduk di kursi depan Andhira. Andhira menaikkan sebelah alisnya, “Mau kamu deketin? Deketin aja kalau bisa. Selama dua puluh tahun aku hidup, aku gak pernah denger berita tentang Papih aku yang deket sama perempuan.” Darwis hanya bergeming, dirinya memainkan ponselnya untuk bertukar pesan dengan Caca-kekasihnya yang berbeda kelas dengannya-. Sedangkan, Andhira menatap gadis yang bernama Lailara Tarsika. Lailara bergumam, “Serius?” tanyanya. Andhira memicingkann matanya. “Kamu mau bukti apa? Aku kalau nanya ke Papih, selalu bilang sibuk kerja, gak ada waktu buat nyari pasangan,” ucap
“Aku males banget sama pak Arsenio, dia bener-bener ngawasin aku.” Andhira menatap Darwis yang sedang men-dribble bola basket, sahabatnya itu melakukan teknik Lay Up Shoot, dan bola basket tersebut masuk ke dalam ring. Andhira yang melihatnya hanya bersidekap dada dan duduk bersandar pada kursi di pinggir lapangan indoor. Darwis menghampiri sahabatnya dan membiarkan bola basket tersebut menggelinding tanpa arah. Dirinya mengambil botol minum berwarna hitam di sisi kanan Andhira, dan menatap sahabatnya itu. “Emangnya pak Arsenio ngapain kamu?” tanya Darwis kepada Andhira yang memasang wajah badmood. “Dia ngawasin aku dari cctv, dia kan tau jadwal aku kapan-kapan aja, dan ruangan yang mana. Pas dia lagi ada kelas, dia nyuruh orang IT buat ngawasin aku, gila gak?” ucap Andhira menggebu-gebu, sedangkan Darwis tertawa. Jujur saja, baru kali ini Andhira kesal dengan seseorang, biasanya gadis itu yang bikin orang lain kesal. Darwis akan memberikan apresiasi kepada Arsenio, karena sudah
“Siomaynya enak ya?”Andhira bergeming sejenak sebelum akhirnya menoleh ke sisi kiri, dia mendongak dan mendapati wajah menyebalkan milik Dareen Arsenio, atau biasa dipanggil Pak Arsenio. Hal itu membuat Andhira menyugar surai berwarna caramel menyala.“Enak. Masih banyak tuhh, tinggal pesen doang,” jawab Andhira tanpa menatap Arsenio, dia kembali memakan siomay yang tinggal setengah.Arsenio menarik Andhira untuk berdiri, kini keduanya berdiri berhadapan. Andhira berdecak, acara makan siomaynya diganggu oleh Arsenio, selaku Dosen Pembimbing Akademiknya selama tiga hari.“Kenapa sih selalu ganggu saya?” tanya Andhira dengan tidak santai, pergelangan tangannya masih digenggam oleh Arsenio, bukan karena nyaman, tetapi tenaganya jauh dibawah tenaga yang dimiliki oleh Arsenio.“Kamu ada kelasnya Bu Siska, dan malah nongkrong di kantin sendirian?” tanya Arsenio dengan penuh penekanan membuat Andhira menaikkan sebelah alisnya.“Emangnya saya ada kelas jam segini ya? Bukannya jam sebelas?” t
“Pantas saja Bu Kartika nyerahin kamu ke saya, ternyata emang kelakuan kamu benar-benar memancing emosi.”Andhira menaikkan sebelah alisnya, kini dirinya sedang berada di ruangan Arsenio, hanya berdua. Hari-harinya tidak sebebas dahulu sebelum pria dewasa di sebrangnya saat ini menjadi Dosen Pembimbing Akademiknya.“Pak Arsen gak kuat? Gapapa, Pak. Mundur ajaa. Biar saya gak punya dosen PA, kan saya bisa bebas lagi,” ucap Andhira dengan santai, benar-benar tidak ada takutnya dengan Arsenio.Arsenio menatap tajam Andhira, “Kamu lupa sama kesepakatan kita?” tanyanya dengan penuh penekanan. Bisa saja dia bertindak lebih tegas dari sekarang, tetapi dirinya lebih suka main ganteng, tidak terburu-buru mengambil tindakan.Andhira bergumam, “Kalau saya lupa, bisa gak dilupain sekalian aja, Pak?” tanyanya dengan menantang, benar-benar bikin naik darah.Arsenio menegakkan tubuhnya, melipat kedua tangannya di meja, dan tersenyum manis, “Kamu nyerah? Kalau kamu kalah, berarti kamu jadi pembantu s
“Pak Arsenio gak ada ya hari ini?” Andhira saat ini sedang bersama dengan Rena, baru mereka berdua, karena mengambil mata kuliah yang sama hari ini. Reno menatap Andhira yang bertanya tentang Dosen PA mereka, dirinya yang sedikit jahil pun tersenyum menggoda. “Kamu nyariin Pak Arsenio buat apa, Dhir? Kamu kangen sama Pak Arsenio? Katanya gak butuh Pak Arsenio, tapi kok malah kaya kehilangan gitu sih.” Andhira mendesis, berbeda dengan Reno yang tertawa cukup keras, membuat perhatian mahasiswa ataupun mahasiswi yang singgah di kantin indoor tertuju kepada mereka berdua. Sedangkan Andhira menatap tidak suka Reno. “Aku nanya doang sihh. Takut aja tiba-tiba ada di hadapan aku, terus aku serangan jantung, kan bahaya bangett,” ucap Andhira sembari memakan rujak colek. Berbeda dengan Renio yang memakan mie ayam. “Aku kasih tau ya sama kamu, karena kamu baru nih jadi anaknya Pak Arsenio, jangan coba-coba bikin dia marah. Bukan satu orang aja nanti yang kena, semua anakannya Pak Arsenio jug