Share

Chapter 4

“Andhira Andhira,” gumam Darwis saat gadis itu duduk di sebelahnya. Ya, Andhira dan Darwis memang duduk satu meja yang sama. Bukan Andhira tidak memiliki teman perempuan, tetapi memang lebih enjoy untuk Andhira duduk dengan seseorang yang sudah kenal dekat.

Andhira bersidekap dada, “Kesel banget.”

“Kok kamu gak pernah bilang sih punya bokap secakep itu?” tanya gadis bersurai sebahu berwarna hitam yang duduk di kursi depan Andhira.

Andhira menaikkan sebelah alisnya, “Mau kamu deketin? Deketin aja kalau bisa. Selama dua puluh tahun aku hidup, aku gak pernah denger berita tentang Papih aku yang deket sama perempuan.”

Darwis hanya bergeming, dirinya memainkan ponselnya untuk bertukar pesan dengan Caca-kekasihnya yang berbeda kelas dengannya-. Sedangkan, Andhira menatap gadis yang bernama Lailara Tarsika.

Lailara bergumam, “Serius?” tanyanya. Andhira memicingkann matanya.

“Kamu mau bukti apa? Aku kalau nanya ke Papih, selalu bilang sibuk kerja, gak ada waktu buat nyari pasangan,” ucap Andhira, dirinya melipat kedua lengannya di meja. “Sama sibuk mau bahagiain aku.”

“Umur Papah kamu berapa deh?” tanya gadis lainnya di sebelah Lailara. Andhira bergumam, dirinya berfikir terlebih dahulu, jujur saja, dia tidak ingat.

“Katanya nikah sama emak kandung aku dulu pas umur dua puluh dua tahun. Aku sekarang dua puluh tahun. Berarti sekitar empat puluh dua tahun.”

“Masih muda ternyatata.”

Andhira mengangguk, “Makanya masih ganteng,” ucapnya dengan penuh bangga atas apa yang dimiliki atau dititipan kepadanya dan papihnya.

Darwis menoleh, “Lagian tumben banget om Ginan nganterin kamu ke sekolah? Lagi gak banyak kerjaan?” tanyanya. Andhira menoleh dan menggeleng.

“Gak. Mungkin mau ketemu sama pak Arsenio.”

“Om Ginan kenal sama pak Arsenio? Dosen PA kita?” tanya Reno dari kursi belakang Andhira. Andhira mengangguk, dan menoleh.

“Aku sempet kaget sih semalem pas aku sebut nama lengkapnya pak Arsenio, Papih aku  langsung kasih fotonya pak Arsenio.”

Zavian yang duduk di sebelah Reno pun hanya bergeming dengan terfokus pada layar ponsel yang horizontal, karena dirinya sedang main bareng dengan dua sahabat lainnya yang duduk di kursi sebrang sisi kirinya.

Plot twistnya, om Ginan sama pak Arsenio itu kerjasama?” tanya Darwis. Andhira menoleh dan mengangguk.

Gadis itu menatap Darwis yang bergeming, “Terus yaa, nanti siang mereka mau ngopi bareng. Tapi aku gak diijinin. Kalaupun diijinin harus bareng pak Arsen.”

“Terus?”

Andhira menatap Darwis, Reno, Zavian, Garaga, dan Kalvin silih berganti. Dirinya tersenyum misterius, dan menaik-turunkan kedua alisnya. Sedangkan kelima lelaki itu hanya menatap bingung Andhira, gadis yang memiliki kerandoman lainnya.

“Terobos gak? Aku tau kok, kalian itu naroh motor atau mobil gak di kampus. Yayaya?”

“Belajar gila.”

“Dhir, mending ke Dokter yuk nanti.”

“Andhira Andhira, jangan nantangin pak Arsen deh.”

“Bocahh gila, tunggu dulu lahh beberapa waktu, jangan main terabas ajaa. Ngeri mentalnya pak Arsen down, terus kabur karena gak betah,” ucap Garaga, sih paling hebohh diantara lainnya. Andhira menaikkan sebelah alisnya.

“Bagus dongg, biar bu Kartika balik lagi,” ujar Andhira dengan santai. Darwis menyentil kening Andhira, membuat sang empu mendelik. “Kalau gak mau, bilang ajaa. Aku bisa cabut sendiri kok. Tinggal minta tolong supir aku buat jemput.”

“Dhir, tobat sehari kekk. Kasih jeda waktuu seengganya buat pak Arsen bernafas sebentar,” ujar Darwis dengan serius. Andhira menggeleng, dirinya menatap laki-laki di hadapannya dengan tajam.

“Aku itu ada feeling yaa. Kayanya diantara Papih aku sama pak Arsen itu ada yang direncanakan. Aku gak mau lah kalau semisal di jodohin sama pak Arsen. Ntar aku gak bisa bebas lagi.”

“Dhir, mending kamu diem deh,” ucap Garaga, dirinya memberikan kode lirikan kepada Andhira, tetapi gadis itu tidak peka dengan kode yang diberikan olehnya. Sedangkan keempat laki lainnya mengerjapkan mata saat di tatap oleh Andhira.

“Apasihh. Ini juga anak kelas kenapa langsung pada diem?” oceh Andhira, dirinya mendapati satu kejanggalan. Setelah dirinya menatap Darwis, dan sahabatnya itu melirik ke arah belakang Andhira.

Gadis itu bergeming terlebih dahulu, sebelum akhirnya memutar tubuhnya dan menengadahkan wajahnya. Dirinya mengerjapkan kedua matanya saat mendapati wajah Arsenio yang cukup dekat dengannya, dan …

PLAK!

“Andhira woii.”

“Hehhh.”

“Astaghfiruallah Andhira, kamu dalam masalah, Nak.”

“Haduhh, aku cuma berdoa hari ini kamu selamet deh ya, Dhir.”

Andhira mengulum bibirnya, mengerjapkan kedua matanya dua kali terkejut dengan tindakannya yang spontan dan ceKamutehan teman satu kelasnya. Sedangkan Arsenio menyentuh pipi kanannya yang di tampar oleh gadis dihadapannya saat ini.

“Maheswari Andhira Swastika.”

Andhira menggeser kursinya ke kiri, mendeketi kursi Darwis. Satu yang ada di otaknya, menjauh dari Arsenio, walaupun sedikit, setidaknya menghindari adegan bales dendam jika itu terjadi.

“Sakit ya, Pak?” tanya Andhira dengan polos, dirinya menyembunyikan telapak tangan kanannya. Jujur saja, Andhira benar-benar spontan melakukan hal seperti tadi, bukan di sengaja. Ini harus percaya.

Arsenio menaikkan sebelah alisnya, “Menurut kamu?” tanyanya dengan nada rendah, membuat Andhira mengumpat dalam hati. “Kalau saya minta kamu tanggung jawab, kamu mau tanggung jawab? Kalau gak, saya bawa masalah ini ke Dekan.”

Andhira mendelik, “Hello, pak Arsen. Itu cuma tamparan kecil yaa. Lagian nih yaa, saya gak salah. Siapa suruh pak Arsen nyerahin tuh muka? Wajar dong saya kaget, dan spontan nampar pak Arsen, saya bisa nuntut pak Arsen juga kok.”

Darwis mengulum bibirnya, sudah bisa ditebak Andhira akan seperti apa. Sahabatnya itu tidak akan mau kalah, apalagi itu memang bukan kesalahan Andhira. Gadis itu benar-benar terkejut dengan wajah Arsenio yang menurut Darwis cukup dekat.

“Kamu bisa saya tuntut karena  kekerasan. Kamu mau nuntut saya apa?”

Andhira beranjak dari duduknya, menatap intens Arsenio. “Pelecehan. Tau gak, pak Arsenio yang terhormat? Jarak muka bapak itu terlalu deket, hampir seperti orang mau berciuman. Oh … atau emang pak Arsen mau nyium saya?”

Andhira menggeleng tidak percaya, “Pak Arsen baru sehari loh jadi Dosen PA saya, masa udah mau modusin saya sih?”

Arsenio menaikkan sebelah alisnya, “Kamu terlalu percaya diri sekali, Andhira. Saya cuma mau mastiin kamu benar-benar ada di kelas, sebelum bu Putri masuk ke kelas. Tetapi, saya mendengar rencana kamu yang mau kabur. Bagaimana, Andhira? Mau lewat tembok belakang kantin? Terus nelfon supir buat jemput kamu?”

Andhira berdecakk, dirinya mengepalkan kedua tangannya, benar-bener menyebalkan sekali guru baru satu ini. “Itu juga salah satu pelanggaran. Seorang Dosen gak boleh menguping pembicaraan mahasiswa atau mahasiswinya.”

Arsenio menaikkan sebelah alisnya, “Kantin sudah  lengkap, semua ada. Bahkan, koperasi kampus juga lengkap. Kenapa masih mau keluyuran?”

Andhira bersidekap dada, “Mau saya keluyuran atau gak, itu urusan saya. Bukan urusan pak Arsen. Kenapa pak Arsen mau repot-repot ngurusin saya? Sedangkan, orang tua saja tidak ada yang mau repot-repot mengurusi saya?”

“Maheswari Andhira Swastika, ikut saya,” ucap Arsenio dengan penuh penekanan, ia menarik Andhira, tetapi di tepis oleh gadis itu.

Andhira menaikkan dagunya menantang, “Udahlah, Pak. Mending pak Arsen ke kantin, di sana banyak makanan kalau pak Arsen lagi laper. Saya bakalan anteng di kelas, setidaknya sampai jam mata kuliah pertama selesai.”

Arsenio menaikkan sebelah alisnya, benar-benar takjub dengan keberanian yang Andhira punya. Dia berdeham, berhasil membuat perhatian anak kelas hanya tertuju kepadanya dan Andhira. Dosen yang dihari pertamanya menjadi Dosen PA seorang Maheswari Andhira Swastika, sudah berhadapan sikap Andhira yang benar-benar memancing kesabarannya.

“Papih kamu dan bu Kartika nitipin kamu ke saya, jadi saya berhak mengurusi kamu selama di Kampus, Andhira.”

---

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status