“Andhira Andhira,” gumam Darwis saat gadis itu duduk di sebelahnya. Ya, Andhira dan Darwis memang duduk satu meja yang sama. Bukan Andhira tidak memiliki teman perempuan, tetapi memang lebih enjoy untuk Andhira duduk dengan seseorang yang sudah kenal dekat.
Andhira bersidekap dada, “Kesel banget.”
“Kok kamu gak pernah bilang sih punya bokap secakep itu?” tanya gadis bersurai sebahu berwarna hitam yang duduk di kursi depan Andhira.
Andhira menaikkan sebelah alisnya, “Mau kamu deketin? Deketin aja kalau bisa. Selama dua puluh tahun aku hidup, aku gak pernah denger berita tentang Papih aku yang deket sama perempuan.”
Darwis hanya bergeming, dirinya memainkan ponselnya untuk bertukar pesan dengan Caca-kekasihnya yang berbeda kelas dengannya-. Sedangkan, Andhira menatap gadis yang bernama Lailara Tarsika.
Lailara bergumam, “Serius?” tanyanya. Andhira memicingkann matanya.
“Kamu mau bukti apa? Aku kalau nanya ke Papih, selalu bilang sibuk kerja, gak ada waktu buat nyari pasangan,” ucap Andhira, dirinya melipat kedua lengannya di meja. “Sama sibuk mau bahagiain aku.”
“Umur Papah kamu berapa deh?” tanya gadis lainnya di sebelah Lailara. Andhira bergumam, dirinya berfikir terlebih dahulu, jujur saja, dia tidak ingat.
“Katanya nikah sama emak kandung aku dulu pas umur dua puluh dua tahun. Aku sekarang dua puluh tahun. Berarti sekitar empat puluh dua tahun.”
“Masih muda ternyatata.”
Andhira mengangguk, “Makanya masih ganteng,” ucapnya dengan penuh bangga atas apa yang dimiliki atau dititipan kepadanya dan papihnya.
Darwis menoleh, “Lagian tumben banget om Ginan nganterin kamu ke sekolah? Lagi gak banyak kerjaan?” tanyanya. Andhira menoleh dan menggeleng.
“Gak. Mungkin mau ketemu sama pak Arsenio.”
“Om Ginan kenal sama pak Arsenio? Dosen PA kita?” tanya Reno dari kursi belakang Andhira. Andhira mengangguk, dan menoleh.
“Aku sempet kaget sih semalem pas aku sebut nama lengkapnya pak Arsenio, Papih aku langsung kasih fotonya pak Arsenio.”
Zavian yang duduk di sebelah Reno pun hanya bergeming dengan terfokus pada layar ponsel yang horizontal, karena dirinya sedang main bareng dengan dua sahabat lainnya yang duduk di kursi sebrang sisi kirinya.
“Plot twistnya, om Ginan sama pak Arsenio itu kerjasama?” tanya Darwis. Andhira menoleh dan mengangguk.
Gadis itu menatap Darwis yang bergeming, “Terus yaa, nanti siang mereka mau ngopi bareng. Tapi aku gak diijinin. Kalaupun diijinin harus bareng pak Arsen.”
“Terus?”
Andhira menatap Darwis, Reno, Zavian, Garaga, dan Kalvin silih berganti. Dirinya tersenyum misterius, dan menaik-turunkan kedua alisnya. Sedangkan kelima lelaki itu hanya menatap bingung Andhira, gadis yang memiliki kerandoman lainnya.
“Terobos gak? Aku tau kok, kalian itu naroh motor atau mobil gak di kampus. Yayaya?”
“Belajar gila.”
“Dhir, mending ke Dokter yuk nanti.”
“Andhira Andhira, jangan nantangin pak Arsen deh.”
“Bocahh gila, tunggu dulu lahh beberapa waktu, jangan main terabas ajaa. Ngeri mentalnya pak Arsen down, terus kabur karena gak betah,” ucap Garaga, sih paling hebohh diantara lainnya. Andhira menaikkan sebelah alisnya.
“Bagus dongg, biar bu Kartika balik lagi,” ujar Andhira dengan santai. Darwis menyentil kening Andhira, membuat sang empu mendelik. “Kalau gak mau, bilang ajaa. Aku bisa cabut sendiri kok. Tinggal minta tolong supir aku buat jemput.”
“Dhir, tobat sehari kekk. Kasih jeda waktuu seengganya buat pak Arsen bernafas sebentar,” ujar Darwis dengan serius. Andhira menggeleng, dirinya menatap laki-laki di hadapannya dengan tajam.
“Aku itu ada feeling yaa. Kayanya diantara Papih aku sama pak Arsen itu ada yang direncanakan. Aku gak mau lah kalau semisal di jodohin sama pak Arsen. Ntar aku gak bisa bebas lagi.”
“Dhir, mending kamu diem deh,” ucap Garaga, dirinya memberikan kode lirikan kepada Andhira, tetapi gadis itu tidak peka dengan kode yang diberikan olehnya. Sedangkan keempat laki lainnya mengerjapkan mata saat di tatap oleh Andhira.
“Apasihh. Ini juga anak kelas kenapa langsung pada diem?” oceh Andhira, dirinya mendapati satu kejanggalan. Setelah dirinya menatap Darwis, dan sahabatnya itu melirik ke arah belakang Andhira.
Gadis itu bergeming terlebih dahulu, sebelum akhirnya memutar tubuhnya dan menengadahkan wajahnya. Dirinya mengerjapkan kedua matanya saat mendapati wajah Arsenio yang cukup dekat dengannya, dan …
PLAK!
“Andhira woii.”
“Hehhh.”
“Astaghfiruallah Andhira, kamu dalam masalah, Nak.”
“Haduhh, aku cuma berdoa hari ini kamu selamet deh ya, Dhir.”
Andhira mengulum bibirnya, mengerjapkan kedua matanya dua kali terkejut dengan tindakannya yang spontan dan ceKamutehan teman satu kelasnya. Sedangkan Arsenio menyentuh pipi kanannya yang di tampar oleh gadis dihadapannya saat ini.
“Maheswari Andhira Swastika.”
Andhira menggeser kursinya ke kiri, mendeketi kursi Darwis. Satu yang ada di otaknya, menjauh dari Arsenio, walaupun sedikit, setidaknya menghindari adegan bales dendam jika itu terjadi.
“Sakit ya, Pak?” tanya Andhira dengan polos, dirinya menyembunyikan telapak tangan kanannya. Jujur saja, Andhira benar-benar spontan melakukan hal seperti tadi, bukan di sengaja. Ini harus percaya.
Arsenio menaikkan sebelah alisnya, “Menurut kamu?” tanyanya dengan nada rendah, membuat Andhira mengumpat dalam hati. “Kalau saya minta kamu tanggung jawab, kamu mau tanggung jawab? Kalau gak, saya bawa masalah ini ke Dekan.”
Andhira mendelik, “Hello, pak Arsen. Itu cuma tamparan kecil yaa. Lagian nih yaa, saya gak salah. Siapa suruh pak Arsen nyerahin tuh muka? Wajar dong saya kaget, dan spontan nampar pak Arsen, saya bisa nuntut pak Arsen juga kok.”
Darwis mengulum bibirnya, sudah bisa ditebak Andhira akan seperti apa. Sahabatnya itu tidak akan mau kalah, apalagi itu memang bukan kesalahan Andhira. Gadis itu benar-benar terkejut dengan wajah Arsenio yang menurut Darwis cukup dekat.
“Kamu bisa saya tuntut karena kekerasan. Kamu mau nuntut saya apa?”
Andhira beranjak dari duduknya, menatap intens Arsenio. “Pelecehan. Tau gak, pak Arsenio yang terhormat? Jarak muka bapak itu terlalu deket, hampir seperti orang mau berciuman. Oh … atau emang pak Arsen mau nyium saya?”
Andhira menggeleng tidak percaya, “Pak Arsen baru sehari loh jadi Dosen PA saya, masa udah mau modusin saya sih?”
Arsenio menaikkan sebelah alisnya, “Kamu terlalu percaya diri sekali, Andhira. Saya cuma mau mastiin kamu benar-benar ada di kelas, sebelum bu Putri masuk ke kelas. Tetapi, saya mendengar rencana kamu yang mau kabur. Bagaimana, Andhira? Mau lewat tembok belakang kantin? Terus nelfon supir buat jemput kamu?”
Andhira berdecakk, dirinya mengepalkan kedua tangannya, benar-bener menyebalkan sekali guru baru satu ini. “Itu juga salah satu pelanggaran. Seorang Dosen gak boleh menguping pembicaraan mahasiswa atau mahasiswinya.”
Arsenio menaikkan sebelah alisnya, “Kantin sudah lengkap, semua ada. Bahkan, koperasi kampus juga lengkap. Kenapa masih mau keluyuran?”
Andhira bersidekap dada, “Mau saya keluyuran atau gak, itu urusan saya. Bukan urusan pak Arsen. Kenapa pak Arsen mau repot-repot ngurusin saya? Sedangkan, orang tua saja tidak ada yang mau repot-repot mengurusi saya?”
“Maheswari Andhira Swastika, ikut saya,” ucap Arsenio dengan penuh penekanan, ia menarik Andhira, tetapi di tepis oleh gadis itu.
Andhira menaikkan dagunya menantang, “Udahlah, Pak. Mending pak Arsen ke kantin, di sana banyak makanan kalau pak Arsen lagi laper. Saya bakalan anteng di kelas, setidaknya sampai jam mata kuliah pertama selesai.”
Arsenio menaikkan sebelah alisnya, benar-benar takjub dengan keberanian yang Andhira punya. Dia berdeham, berhasil membuat perhatian anak kelas hanya tertuju kepadanya dan Andhira. Dosen yang dihari pertamanya menjadi Dosen PA seorang Maheswari Andhira Swastika, sudah berhadapan sikap Andhira yang benar-benar memancing kesabarannya.
“Papih kamu dan bu Kartika nitipin kamu ke saya, jadi saya berhak mengurusi kamu selama di Kampus, Andhira.”
---
“Aku males banget sama pak Arsenio, dia bener-bener ngawasin aku.” Andhira menatap Darwis yang sedang men-dribble bola basket, sahabatnya itu melakukan teknik Lay Up Shoot, dan bola basket tersebut masuk ke dalam ring. Andhira yang melihatnya hanya bersidekap dada dan duduk bersandar pada kursi di pinggir lapangan indoor. Darwis menghampiri sahabatnya dan membiarkan bola basket tersebut menggelinding tanpa arah. Dirinya mengambil botol minum berwarna hitam di sisi kanan Andhira, dan menatap sahabatnya itu. “Emangnya pak Arsenio ngapain kamu?” tanya Darwis kepada Andhira yang memasang wajah badmood. “Dia ngawasin aku dari cctv, dia kan tau jadwal aku kapan-kapan aja, dan ruangan yang mana. Pas dia lagi ada kelas, dia nyuruh orang IT buat ngawasin aku, gila gak?” ucap Andhira menggebu-gebu, sedangkan Darwis tertawa. Jujur saja, baru kali ini Andhira kesal dengan seseorang, biasanya gadis itu yang bikin orang lain kesal. Darwis akan memberikan apresiasi kepada Arsenio, karena sudah
“Siomaynya enak ya?”Andhira bergeming sejenak sebelum akhirnya menoleh ke sisi kiri, dia mendongak dan mendapati wajah menyebalkan milik Dareen Arsenio, atau biasa dipanggil Pak Arsenio. Hal itu membuat Andhira menyugar surai berwarna caramel menyala.“Enak. Masih banyak tuhh, tinggal pesen doang,” jawab Andhira tanpa menatap Arsenio, dia kembali memakan siomay yang tinggal setengah.Arsenio menarik Andhira untuk berdiri, kini keduanya berdiri berhadapan. Andhira berdecak, acara makan siomaynya diganggu oleh Arsenio, selaku Dosen Pembimbing Akademiknya selama tiga hari.“Kenapa sih selalu ganggu saya?” tanya Andhira dengan tidak santai, pergelangan tangannya masih digenggam oleh Arsenio, bukan karena nyaman, tetapi tenaganya jauh dibawah tenaga yang dimiliki oleh Arsenio.“Kamu ada kelasnya Bu Siska, dan malah nongkrong di kantin sendirian?” tanya Arsenio dengan penuh penekanan membuat Andhira menaikkan sebelah alisnya.“Emangnya saya ada kelas jam segini ya? Bukannya jam sebelas?” t
“Pantas saja Bu Kartika nyerahin kamu ke saya, ternyata emang kelakuan kamu benar-benar memancing emosi.”Andhira menaikkan sebelah alisnya, kini dirinya sedang berada di ruangan Arsenio, hanya berdua. Hari-harinya tidak sebebas dahulu sebelum pria dewasa di sebrangnya saat ini menjadi Dosen Pembimbing Akademiknya.“Pak Arsen gak kuat? Gapapa, Pak. Mundur ajaa. Biar saya gak punya dosen PA, kan saya bisa bebas lagi,” ucap Andhira dengan santai, benar-benar tidak ada takutnya dengan Arsenio.Arsenio menatap tajam Andhira, “Kamu lupa sama kesepakatan kita?” tanyanya dengan penuh penekanan. Bisa saja dia bertindak lebih tegas dari sekarang, tetapi dirinya lebih suka main ganteng, tidak terburu-buru mengambil tindakan.Andhira bergumam, “Kalau saya lupa, bisa gak dilupain sekalian aja, Pak?” tanyanya dengan menantang, benar-benar bikin naik darah.Arsenio menegakkan tubuhnya, melipat kedua tangannya di meja, dan tersenyum manis, “Kamu nyerah? Kalau kamu kalah, berarti kamu jadi pembantu s
“Pak Arsenio gak ada ya hari ini?” Andhira saat ini sedang bersama dengan Rena, baru mereka berdua, karena mengambil mata kuliah yang sama hari ini. Reno menatap Andhira yang bertanya tentang Dosen PA mereka, dirinya yang sedikit jahil pun tersenyum menggoda. “Kamu nyariin Pak Arsenio buat apa, Dhir? Kamu kangen sama Pak Arsenio? Katanya gak butuh Pak Arsenio, tapi kok malah kaya kehilangan gitu sih.” Andhira mendesis, berbeda dengan Reno yang tertawa cukup keras, membuat perhatian mahasiswa ataupun mahasiswi yang singgah di kantin indoor tertuju kepada mereka berdua. Sedangkan Andhira menatap tidak suka Reno. “Aku nanya doang sihh. Takut aja tiba-tiba ada di hadapan aku, terus aku serangan jantung, kan bahaya bangett,” ucap Andhira sembari memakan rujak colek. Berbeda dengan Renio yang memakan mie ayam. “Aku kasih tau ya sama kamu, karena kamu baru nih jadi anaknya Pak Arsenio, jangan coba-coba bikin dia marah. Bukan satu orang aja nanti yang kena, semua anakannya Pak Arsenio jug
“Enak yaa ice creamnya?”Andhira duduk di sisi kanan gadis cilik diperkirakan usianya sekitar 7 tahun, dia tersenyum manis kepada gadis cilik yang sedang memakan ice cream coklat, sudah dipastikan dibelikan oleh Reno.Gadis cilik itu mengangguk, dan menatap Andhira dengan tatapan polos, “Tante mau?” tanyanya, dijawab dengan gelengan kepala dari Andhira.“Buat kamu aja. Cepet dihabisin yaa, nanti ice creamnya keburu mencair,” ucap Andhira dengan lembut, membuat Reno yang melihatnya terpesona. Gadis cilik itu mengangguk, dan menurut. Sedangkan Andhira terkekeh, dirinya beranjak, tetapi ditahan oleh gadis cilik di sisi kirinya.“Tante mau kemana?”Andhira tersenyum, “Beli tissue, bentar yaa,” ucapnya dengan lembut, dan melenggang pergi setelah mendapatkan ijin. Reno benar-benar takjub dengan Andhira yang menunjukkan sikap berbeda dari biasanya kepada anak kecil yang baru saja dikenal.“Om pacarnya Tante?” tanya polos gadis cilik yang duduk di sebrang Reno, membuat Reno terkekeh.Reno men
“Kata Reno, kamu kemaren ribut sama Tesya?” tanya Arsenio kepada Andhira yang duduk di kursi sebrangnya. Andhira mengangguk dengan santai, tidak merasa bersalah sedikitpun, karena memang dia tidak salah.“Kenapa emangnya, Pak? Sih nini lampir itu kasih laporan ke Pak Arsen?” tanya Andhira dengan santai, diangguki oleh Arsenio, dan hal itu membuatnya berdecak. “Dasar nini lampir, kaya gitu aja ngadu.”Arsenio melipat kedua lengannya di meja, dan menatap tajam Andhira, “Kamu ribut apa lagi?” tanyanya. Andhira menegakkan tubuhnya, menyugar surai panjangnya, dan menatap kedua bola mata Arsenio.“Dia kemaren bikin anak kecil nangis, terus saya harus diem aja gitu?” tanya Andhira, membuat Arsenio menaikkan sebelah alisnya.“Anak kecil? Anaknya siapa?” tanya Arsenio dengan perasaan was-was. Andhira mengendikkan kedua bahunya.“Lupa saya tanya.”“Kamu tau namanya?” tanya Arsenio dengan cepat, dan hal itu membuat Andhira memicingkan mata curiga. Sedangkan Arsenio mengulum bibir, dan berdeham.
“Lepas, Pak. Gak enak diliat sama yang lainnya.”Andhira berusaha untuk melepaskan diri dari rangkulan Arsenio, tetapi tidak digubris. Andhira yang malu dilihat sama mahasiswi-mahasiswa yang melintasi koridor lantai dua, menggigit tangan kekar Arsenio. Hal itu membuat Arsenio melebarkan kedua bola matanya.“Udah kamu diem aja, kaki kamu perlu diobatin,” ucap Arsenio, dirinya mengangkat tubuh Andhira secara tiba-tiba, sehingga membuat gadis itu memekik, dan meronta untuk diturunkan.“Turunin, Pak. Saya bisa ke unit kesehatan sendirian kok.”Arsenio menatap kedua mata Andhira, “Kamu bisa diem gak? Saya bisa berbuat lebih nekat dari ini.”Andhira mengerucutkan bibir, dan memilih menyembunyikan wajahnya pada bidang dada Arsenio. Hal itu membuat Arsenio tersenyum.“Good girl,” bisik Arsenio dengan lembut, membuat Andhira mengangkat kembali wajahnya, dan seketika dirinya melebarkan kedua bola matanya. Berbeda dengan Arsenio, dirinya hanya terkekeh, dan mengalihkan atensinya.Arsenio terseny
“TANTE ANDHIRA, CALON MAMIHNYA AMANDA.”Andhira yang mendengar teriakan khas, dan sering dia dengar pun menoleh. Amanda berlari menghampiri Andhira yang sedang duduk seorang diri di gazebo, dia naik ke Gazebo dibantu oleh Andhira.“Mbak Maya mana?” tanya Andhira lembut, dirinya memang tidak bisa bertindak kasar kalau kepada anak kecil, kecuali anak kecil itu memancing kesabarannya.“Ituu, lagi ngobrol sama Papih,” jawab Amanda, menatap Mbak Maya yang sedang berbicara dengan seorang pria bertubuh tegap mengenakan kemeja berwarna berwarna putih lengan pendek.Andhira menatap pria tersebut dengan menyipitkan kedua matanya, dirinya tidak dapat mengetahui sosok tersebut, karena berdiri membelakanginya. Sedangkan Amanda menatap Andhira.“Tante kenal kenal sama Papih aku?” tanya Amanda, membuat Andhira menoleh dan menggeleng.“Kamu kenapa nyasarnya ke sini? Emangnya gak takut ditinggal sama Papih?” tanya Andhira kepada Amanda, gadis kecil itu menggeleng.“Kata Papih, kalau aku mau disini, ga