“Come on, my little girl.”
Andhira mengangguk. Kedua berjalaan beriringan, dan sekali lagi, tidak lepas dari atensi Mahasiswa-mahasiswi Ilmu Komunikasi. Mungkin sedikit heran dengan kedatangan Papih yang secara tiba-tiba ke fakultas Ilmu Komunikasi. Mereka tidak terkejut dengan Papih dari seorang Maheswari Andhira Swastika.
“Sugar daddy, tau gitu aku deketin aja sih Andhira, biar bisa deketin bapaknya.”
Sepanjang koridor, Andhira jelas mendengar celotehan para siswi yang memuja-muji ketampanan yang dimiliki oleh papihnya. Satu ide terlintas di otaknya, dan terbitlah senyum remeh. Dengan sengaja, gadis itu mengamit lengan sang Papih, membuat papihnya itu tersenyum tipis.
“Lohh Pak Ginantara?” gumam seorang laki-laki mengenakan kemeja berwarna putih lengan panjang yang dilipat hingga siku, Dareen Arsenio.
Papih dan Andhira menghentikan langkahnya saat berpapasan dengan Arsenio. Ginantara melepaskan kacamata hitamnya dan tersenyum kepada Arsenio. Sedangkan Andhira menaikkan sebelah alisnya, tanpa melepaskan pelukannya pada lengan papihnya.
“Selamat pagi, pak Dareen,” sapa lembut Papih, diiringi dengan senyum manisnya. Arsenio membalasnya dengan tersenyum manis, dan menatap Andhira yang mengerjapkann mata.
Arsenio menatap Papih, “Andhira ini anaknya pak Ginantara?” tanyanya, diangguki oleh Papih. Interaksi antara ketiganya tidak lepas dari atensi para mahasiswa-mahasiswi yang berlalu lalang di koridor.
“Semalem Andhira cerita ke saya, katanya ada Dosen gan—”
Andhira dengan spontan mencubit perut Papih, membuat sang empu mengaduh dan menatap dirinya. “Gak perlu diceritainn, Pih,” ucapnya tertahan. Papih terkekeh, dan kembali menatap Arsenio.
“Andhira cerita ada Dosen muda di kampus, dan katanya ngegantiin bu Kartika. Itu pak Dareen?” tanya Papih. Arsenio menatap Papih dan Andhira silih berganti.
“Ternyata dunia itu sempit ya, Pak. Atau saya yang kurang berselancar di dunia?” tanya Arsenio tanpa menjawab pertanyaan dari Papih, diakhiri dengan terkekeh.
Papih melirik Andhira yang tidak bisa melepaskan fokus dari Arsenio, dengan sengaja dirinya berdeham untuk menyadarkan anak perempuannya. Andhira mengerjapkann mata sekali, lalu mendongak menatap papihnya.
“Papih bukannya ada rapat yaa pagi ini? Nanti telat lohh.”
Papih menatap Andhira, “Kamu ngusir Papih? Biar gak ketahuan Papih kalau kamu mau nge—”
“Papihhh,” ucap tertahan Andhira, dan berhasil membuat Papih tertawa pelan. “Awas aja nyebar gosip.”
Papih tersenyum manis, dirinya berbisik, “Kalau kamu sama pak Dareen, Papih setujui.” Setelahnya menegakkan tubuhnya kembali, dan menatap Arsenio. “Senang bertemu dengan pak Dareen dipagi hari ini. Sebenernya saya ingin berbicara banyak sama pak Dareen, tapi saya harus segera ke kantor.”
Arsenio tersenyum manis, dirinya mengangguk, “Mungkin, kita bisa ngatur jadwal buat ngopi bareng? Pak Ginantara nanti siang ada waktu? Saya mau memperkenalkan caffe yang baru saya launching kemarin.”
Papih mengangguk setuju, “Bolehh. Nanti share lokasi saja, pak Dareen,”
“Aku mau ikut, gak perduli diijinin atau gak sama kalian,” ucap Andhira menatap Papih dan Arsenio silih berganti. Kedua laki-laki dewasa itu menatap Andhira, dan membuat gadis itu menaikkan sebelah alisnya, “Apaa?”
“Kamu gak boleh kelayapan di luar, Andhira. Nanti siang kamu ada kelasnya pak Yatmo,” larang Arsenio penuh penekanan. Andhira melepaskan pelukannya di lengan sang Papih, lalu bersidekap dada.
“Lahh saya bisa minta papih saya buat ijin. Saya juga harus ngejaga Papih saya biar gak ngomong yang ngelantur.”
“Maheswari Andhira Swastika,” panggil Arsenio secara lengkap, dan hanya di respon dengan gumamam dari Andhira. “Saya akan minta ijin kepada pak Yatmo untuk kamu bisa ikut dengan saya.”
Andhira memicingkan matanya, bolehkah dirinya menaruh curiga dengan Arsenio yang dengan mudahnya menuruti apa yang dia mau?
“Dengan syarat?” tanya Andhira, diangguki oleh Arsenio. “Oke. Tapi saya pergi sendiri, tanpa bareng sama pak Dareen atau pak Arsenio atau siapalah itu.”
Arsenio mengangguk, “Oke. Dibatalkan.”
Andhira mendelik, dirinya menatap Papih yang hanya bergeming memperhatikan interaksi dirinya dengan Arsenio, Dosen PA Andhira baru yang menggantikan Kartika. Dihari kedua Arsenio menjadi Dosen PA seorang Maheswari Andhira Swastika, sudah mempunyai aturan sendiri.
“Pihh,” panggil Andhira kepada pria dewasa disisi kirinya ini. Ginantara menggeleng, dirinya tidak berhak untuk menuruti apa yang diinginkan oleh putri tunggalnya itu. “Oke fine. Gak mau lagi ngomong sama pak Ginantara.”
Setelahnya, gadis itu menghentakkan kakinya dan pergi dari hadapan Papih dan Arsenio yang memperhatikan punggung Andhira. Setelah Andhira menjauh, kedua pria dewasa itu saling menatap satu sama lain.
Papih menampilkan wajah bersalah, “Saya mewakili Andhira, meminta maaf karena sikapnya yang tidak sopan kepada pak Dareen.”
Arsenio tersenyum manis, “Gapapa, Pak. Saya sudah diceritakan banyak oleh Bu Kartika tentang Andhira. Menurut saya dari cerita Bu Kartika, maaf ya sebelumnya pak Ginantara bukan maksud saya untuk menggurui, tetapi ini memang penting.”
Papih mengangguk, “Tidak perlu meminta maaf, pak Dareen. Katakan saja kepada saya selaku orang tua dari Andhira.”
Arsenio bergeming sejenak, dia dan Papih saling menatap satu sama lain. “Andhira butuh seseorang yang mengerti dia. Saya tahu, pak Ginantara seorang single parent, setidaknya kalau memang pak Ginantara sedang sibuk, ijinkan saya untuk tetap berada disisi Andhira.”
Papih menatap Arsenio dengan tatapan bingung, rekan kerja sekaligus Dosen Pembimbing dari anak semata wayangnya mengajukan diri untuk menjaga Andhira, membuatnya memikirkan ini hal baik atau buruk untuk putrinya.
“Sorry, pak Dareen ingin berada di sisi putri saya?” tanya Papih, diangguki oleh Arsenio. Papih tentu saja senang, masih ada seseorang yang ingin membuat putrinya bahagia dan melakukan pengawasan pada saat dirinya bekerja.
“Bagaimana, pak Ginantara? Ohh atau pak Ginantara tidak percaya dengan saya? Apa perlu saya kasih surat tanah sebagai jaminan?” tanya Arsenio membuat Papih mengerjapkan kedua mata. Papih bukannya tidak percaya, tetapi dirinya masih tidak yakin.
“Pak Dareen sudah tahu kan Andhira seperti apa? Saya takut, nanti Andhira akan membuat masalah terus sama pak Arsenio.”
Arsenio terkekeh, dan mengangguk. Dia sudah tahu resiko apa yang akan terjadi, sudah dia fikirkan matang-matang, “Saya sudah memikirkan semuanya, Pak. Saya perlu ijin dari pak Ginantara sebagai Papih dari Andhira.”
“Pak Dareen yakin?” tanya Papih, bukannya tidak percaya, hanya saja dia tahu tingkah laku putrinya, selalu membuat masalah dan bikin orang lain tidak kuat jika harus berhadapan dengan putri kesayangannya.
Arsenio tersenyum manis, dan mengangguk, “Seribu yakin, pak Ginantara. Menurut saya, Andhira tidak seburuk yang kebanyakan orang fikirkan. Dia baik, ketutup sama tingkah lakunya saja yang membuat dia terlihat buruk di mata orang lain.”
Papih menatap Arsenio sekali lagi, lebih dalam, walaupun sering kerjasama dengan Arsenio, Papih belum mengenal Arsenio luar dalam seperti apa. “Saya tanya sekali lagi pak Dareen, jangan salah ambil langkah.”
Arsenio tersenyum, mengangguk, dan bergeming menunggu pertanyaan dari Papih. Dia siap dengan segala pertanyaan yang diberikan oleh Papih untuknya.
“Pak Dareen yakin akan tetap ada di sisi putri saya? Apapun itu, tidak akan meninggalkan putri saya?”
Arsenio mengangguk, “Yakin, pak Ginantara. Saya tidak akan meninggalkan Maheswari Andhira Swastika, apapun kondisinya.”
“Kalau pak Dareen meninggalkan putri, saya berhak melakukan apapun saya yang mau, kan?”
Lagi-lagi Arsenio mengangguk, dia tidak keberatan sama sekali. Arsenio sudah berusia 28 tahun, jadi untuk apa dirinya mengumbar janji semata saja?
“Silahkan pak Ginantara melakukan apapun ke saya, jika saya meninggalkan Andhira.”
---
“Andhira Andhira,” gumam Darwis saat gadis itu duduk di sebelahnya. Ya, Andhira dan Darwis memang duduk satu meja yang sama. Bukan Andhira tidak memiliki teman perempuan, tetapi memang lebih enjoy untuk Andhira duduk dengan seseorang yang sudah kenal dekat. Andhira bersidekap dada, “Kesel banget.” “Kok kamu gak pernah bilang sih punya bokap secakep itu?” tanya gadis bersurai sebahu berwarna hitam yang duduk di kursi depan Andhira. Andhira menaikkan sebelah alisnya, “Mau kamu deketin? Deketin aja kalau bisa. Selama dua puluh tahun aku hidup, aku gak pernah denger berita tentang Papih aku yang deket sama perempuan.” Darwis hanya bergeming, dirinya memainkan ponselnya untuk bertukar pesan dengan Caca-kekasihnya yang berbeda kelas dengannya-. Sedangkan, Andhira menatap gadis yang bernama Lailara Tarsika. Lailara bergumam, “Serius?” tanyanya. Andhira memicingkann matanya. “Kamu mau bukti apa? Aku kalau nanya ke Papih, selalu bilang sibuk kerja, gak ada waktu buat nyari pasangan,” ucap
“Aku males banget sama pak Arsenio, dia bener-bener ngawasin aku.” Andhira menatap Darwis yang sedang men-dribble bola basket, sahabatnya itu melakukan teknik Lay Up Shoot, dan bola basket tersebut masuk ke dalam ring. Andhira yang melihatnya hanya bersidekap dada dan duduk bersandar pada kursi di pinggir lapangan indoor. Darwis menghampiri sahabatnya dan membiarkan bola basket tersebut menggelinding tanpa arah. Dirinya mengambil botol minum berwarna hitam di sisi kanan Andhira, dan menatap sahabatnya itu. “Emangnya pak Arsenio ngapain kamu?” tanya Darwis kepada Andhira yang memasang wajah badmood. “Dia ngawasin aku dari cctv, dia kan tau jadwal aku kapan-kapan aja, dan ruangan yang mana. Pas dia lagi ada kelas, dia nyuruh orang IT buat ngawasin aku, gila gak?” ucap Andhira menggebu-gebu, sedangkan Darwis tertawa. Jujur saja, baru kali ini Andhira kesal dengan seseorang, biasanya gadis itu yang bikin orang lain kesal. Darwis akan memberikan apresiasi kepada Arsenio, karena sudah
“Siomaynya enak ya?”Andhira bergeming sejenak sebelum akhirnya menoleh ke sisi kiri, dia mendongak dan mendapati wajah menyebalkan milik Dareen Arsenio, atau biasa dipanggil Pak Arsenio. Hal itu membuat Andhira menyugar surai berwarna caramel menyala.“Enak. Masih banyak tuhh, tinggal pesen doang,” jawab Andhira tanpa menatap Arsenio, dia kembali memakan siomay yang tinggal setengah.Arsenio menarik Andhira untuk berdiri, kini keduanya berdiri berhadapan. Andhira berdecak, acara makan siomaynya diganggu oleh Arsenio, selaku Dosen Pembimbing Akademiknya selama tiga hari.“Kenapa sih selalu ganggu saya?” tanya Andhira dengan tidak santai, pergelangan tangannya masih digenggam oleh Arsenio, bukan karena nyaman, tetapi tenaganya jauh dibawah tenaga yang dimiliki oleh Arsenio.“Kamu ada kelasnya Bu Siska, dan malah nongkrong di kantin sendirian?” tanya Arsenio dengan penuh penekanan membuat Andhira menaikkan sebelah alisnya.“Emangnya saya ada kelas jam segini ya? Bukannya jam sebelas?” t
“Pantas saja Bu Kartika nyerahin kamu ke saya, ternyata emang kelakuan kamu benar-benar memancing emosi.”Andhira menaikkan sebelah alisnya, kini dirinya sedang berada di ruangan Arsenio, hanya berdua. Hari-harinya tidak sebebas dahulu sebelum pria dewasa di sebrangnya saat ini menjadi Dosen Pembimbing Akademiknya.“Pak Arsen gak kuat? Gapapa, Pak. Mundur ajaa. Biar saya gak punya dosen PA, kan saya bisa bebas lagi,” ucap Andhira dengan santai, benar-benar tidak ada takutnya dengan Arsenio.Arsenio menatap tajam Andhira, “Kamu lupa sama kesepakatan kita?” tanyanya dengan penuh penekanan. Bisa saja dia bertindak lebih tegas dari sekarang, tetapi dirinya lebih suka main ganteng, tidak terburu-buru mengambil tindakan.Andhira bergumam, “Kalau saya lupa, bisa gak dilupain sekalian aja, Pak?” tanyanya dengan menantang, benar-benar bikin naik darah.Arsenio menegakkan tubuhnya, melipat kedua tangannya di meja, dan tersenyum manis, “Kamu nyerah? Kalau kamu kalah, berarti kamu jadi pembantu s
“Pak Arsenio gak ada ya hari ini?” Andhira saat ini sedang bersama dengan Rena, baru mereka berdua, karena mengambil mata kuliah yang sama hari ini. Reno menatap Andhira yang bertanya tentang Dosen PA mereka, dirinya yang sedikit jahil pun tersenyum menggoda. “Kamu nyariin Pak Arsenio buat apa, Dhir? Kamu kangen sama Pak Arsenio? Katanya gak butuh Pak Arsenio, tapi kok malah kaya kehilangan gitu sih.” Andhira mendesis, berbeda dengan Reno yang tertawa cukup keras, membuat perhatian mahasiswa ataupun mahasiswi yang singgah di kantin indoor tertuju kepada mereka berdua. Sedangkan Andhira menatap tidak suka Reno. “Aku nanya doang sihh. Takut aja tiba-tiba ada di hadapan aku, terus aku serangan jantung, kan bahaya bangett,” ucap Andhira sembari memakan rujak colek. Berbeda dengan Renio yang memakan mie ayam. “Aku kasih tau ya sama kamu, karena kamu baru nih jadi anaknya Pak Arsenio, jangan coba-coba bikin dia marah. Bukan satu orang aja nanti yang kena, semua anakannya Pak Arsenio jug
“Enak yaa ice creamnya?”Andhira duduk di sisi kanan gadis cilik diperkirakan usianya sekitar 7 tahun, dia tersenyum manis kepada gadis cilik yang sedang memakan ice cream coklat, sudah dipastikan dibelikan oleh Reno.Gadis cilik itu mengangguk, dan menatap Andhira dengan tatapan polos, “Tante mau?” tanyanya, dijawab dengan gelengan kepala dari Andhira.“Buat kamu aja. Cepet dihabisin yaa, nanti ice creamnya keburu mencair,” ucap Andhira dengan lembut, membuat Reno yang melihatnya terpesona. Gadis cilik itu mengangguk, dan menurut. Sedangkan Andhira terkekeh, dirinya beranjak, tetapi ditahan oleh gadis cilik di sisi kirinya.“Tante mau kemana?”Andhira tersenyum, “Beli tissue, bentar yaa,” ucapnya dengan lembut, dan melenggang pergi setelah mendapatkan ijin. Reno benar-benar takjub dengan Andhira yang menunjukkan sikap berbeda dari biasanya kepada anak kecil yang baru saja dikenal.“Om pacarnya Tante?” tanya polos gadis cilik yang duduk di sebrang Reno, membuat Reno terkekeh.Reno men
“Kata Reno, kamu kemaren ribut sama Tesya?” tanya Arsenio kepada Andhira yang duduk di kursi sebrangnya. Andhira mengangguk dengan santai, tidak merasa bersalah sedikitpun, karena memang dia tidak salah.“Kenapa emangnya, Pak? Sih nini lampir itu kasih laporan ke Pak Arsen?” tanya Andhira dengan santai, diangguki oleh Arsenio, dan hal itu membuatnya berdecak. “Dasar nini lampir, kaya gitu aja ngadu.”Arsenio melipat kedua lengannya di meja, dan menatap tajam Andhira, “Kamu ribut apa lagi?” tanyanya. Andhira menegakkan tubuhnya, menyugar surai panjangnya, dan menatap kedua bola mata Arsenio.“Dia kemaren bikin anak kecil nangis, terus saya harus diem aja gitu?” tanya Andhira, membuat Arsenio menaikkan sebelah alisnya.“Anak kecil? Anaknya siapa?” tanya Arsenio dengan perasaan was-was. Andhira mengendikkan kedua bahunya.“Lupa saya tanya.”“Kamu tau namanya?” tanya Arsenio dengan cepat, dan hal itu membuat Andhira memicingkan mata curiga. Sedangkan Arsenio mengulum bibir, dan berdeham.
“Lepas, Pak. Gak enak diliat sama yang lainnya.”Andhira berusaha untuk melepaskan diri dari rangkulan Arsenio, tetapi tidak digubris. Andhira yang malu dilihat sama mahasiswi-mahasiswa yang melintasi koridor lantai dua, menggigit tangan kekar Arsenio. Hal itu membuat Arsenio melebarkan kedua bola matanya.“Udah kamu diem aja, kaki kamu perlu diobatin,” ucap Arsenio, dirinya mengangkat tubuh Andhira secara tiba-tiba, sehingga membuat gadis itu memekik, dan meronta untuk diturunkan.“Turunin, Pak. Saya bisa ke unit kesehatan sendirian kok.”Arsenio menatap kedua mata Andhira, “Kamu bisa diem gak? Saya bisa berbuat lebih nekat dari ini.”Andhira mengerucutkan bibir, dan memilih menyembunyikan wajahnya pada bidang dada Arsenio. Hal itu membuat Arsenio tersenyum.“Good girl,” bisik Arsenio dengan lembut, membuat Andhira mengangkat kembali wajahnya, dan seketika dirinya melebarkan kedua bola matanya. Berbeda dengan Arsenio, dirinya hanya terkekeh, dan mengalihkan atensinya.Arsenio terseny
“Nempel teruss. Awas awass, ngalangin jalann.” Andhira yang kesal kepada Garaga pun menendang tulang kering laki-laki dihadapannya saat ini, baru kemarin Garaga bersikap diluar nalarnya, kini kembali ke setelan pabrik. Arsenio yang berdiri di sisi kanan Andhira pun menepuk lengan tunangannya. “Aku tuh kemarin kaya bukan ketemu sama kamu. Jangan-jangan, kemarin itu kembaran kamu, kan?” tanya Andhira dengan penuh curiga, karena memang berbeda Garaga yang hadir di acara lamarannya dengan Garaga yang ada dihadapannya saat ini. “Enak aja, itu aku tau. Mode kalem, karena kamu mode kalem,” ucap Garaga, membuat Andhira menaikkan sebelah alisnya. Bingung dengan apa yang dikatakan oleh Garaga. “Aku daritadi kalem padahal, kok bisa-bisanya? Jangan salahin aku kalau jambul kamu longsor dalam waktu sekejap,” ancam Andhira, dan dia melihat Garaga melangkah mundur agar tidak terkena sasarannya. Arsenio hanya menggelengkan kepala melihat tingkah tunangannya yang memang berbeda dari hari kemarin
“Aku tidak menyangka, ternyata yang menjadi calon suaminya Andhira itu Arsenio. Pria yang pernah aku tidak restui karena memiliki anak.” Papih hanya mengabaikannya, melepaskan genggaman tangan Mamih dan menggantikannya dengan rangkulan di pinggang. Keduanya melangkahkan kaki keluar dari pagar rumah untuk menyambut kedatangan keluarga Arsenio. Reno ditunjuk untuk menjadi MC di acara lamaran sahabatnya itu memakai pakaian batik, jujur saja jika bukan permintaan dari Andhira, dirinya tidak berdiri di sini, tetapii berdiri dibelakang bersama dengan Darwis,, Garaga, Kalvin dan Zavian. Dirinya saat ini berdiri di dekat di sisi kanan Papih. Arsenio berada di tengah, sisi kanannya terdapat Amanda dan Mommy, sedangkan di sisi kirinya terdapat Daddy. Nenek dan Kakek dari Amanda ikut hadir, bahkan sudah tiba di Nusantara dari satu minggu yang lalu. Saat Arsenio mengabarkan akan melamar seseorang perempuan. “Selamat datang, Tuan Daniel dan Nyonya Elizabeth,” sapa Papih kepada kedua oran
“Ini kamu sendiri yang desain?”Andhira menatap Arsenio, dan kekasihnya itu mengangguk. Sebuah foto menarik atensinya, sebuah maxi dress bersiluet A yang memiliki panjang hingga semata kaki dan lengan tranparan. Motif bunga, dan berwarna biru.“Kamu suka? Atau ada yang mau kamu tambahin?” tanya Arsenio, saat ini mereka sedang berada di butik milik Tante Kir, tanpa Amanda.Setelah satu hari kemarin menghabiskan waktu bersama, hari ini adalah waktunya Arsenio dan Andhira menyiapkan acara untuk lamaran, tidak bukan seserahan, tetapi pakaian. Permintaan Andhira mengenakan dresscode couple pada saat acara lamaran nanti.“Mas Arsen desain juga buat pakaiannya?” tanya Andhira, diangguki oleh Arsenio. Kekasihnya itu menggeser foto lain. Tante Kir hanya terdiam memperhatikan kedua pasangan yang sedang diskusi.Andhira menatap serius foto tersebut, lalu berkata, “Jelek. Gak usahh. Mas Arsen pake kemeja warna biru aja.”Arsenio mendelik, “Aku desain itu biar sama kaya punya kamu. Katanya mau c
“Aku belum ngeliat Amanda sebahagia itu.”Arsenio memperhatikan Amanda yang sedang bermain pasir di depan sana, hanya seorang diri. Sedangkan dirinya duduk tiga langkah dari posisi Amanda saat ini, bersama dengan Andhira yang memfokuskan atensi hanya kepada Amanda.“Oh iya? Dia juga tadi bahagia banget pas denger kalau aku sama kamu mau lamaran,” ucap Andhira, menoleh ke sisi kirinya dan tersenyum kepada Arsenio.Arsenio menoleh, tersenyum manis kepada kekasihnya dan kembali menatap Amanda yang sedang berusaha membangun istana dari pasir.“Keinginan dia dari pertama kali ketemu sama kamu, ya ngejadiin kamu sebagai mamihnya. Udah lama gak punya mamih, terus harapan dia cuma kamu.”Andhira bergumam, memfokuskan atensinya hanya kepada Amanda. Gadis cilik yang selalu mengganggu hari-harinya, sering datang ke kampus untuk bertemu dengannya, dan bahkan dia tidak tahu kalau Amanda itu anak dari Arsenio, dosen pembimbing akademiknya yang baru.“Aku sampe sekarang masih gak percaya sihh. Kaya
“Kamu jangan kaya gitu lain kali. Gak baik, apalagi ada ibunya, nanti beliau kesinggung, gimana?”Amanda hanya bergeming mendengarkan apa yang diucapkan oleh Andhira dari sejak mereka di sekolah dan saat ini dalam perjalanan menuju rumah.“Iya, maaf. Lagian aku kesel sama Angga, dia di dalam kelas aja ngisengin aku. Jadinya, mau ngehindar aja kalau keluar kelas,” ucap Amanda, lebih membela diri sendiri.Andhira menoleh sekilas, lalu kembali fokus menyetir. Dirinya mengerti, dan pernah melakukan hal yang sama seperti yang Amanda lakukan. Tahu akhirannya seperti apa? Orangtua sih pelaku pengganggu menyuruh Andhira untuk meminta maaf.“Aku pernah di posisi kamu, digangguin sama lawann jenis. Aku yang minta maaf, tapi aku dibilang gak sopan, orangtuanya gak terima malah minta aku buat ngebantu anak mereka dalam ngerjain tugas,” ujar Andhira, membuat Amanda menoleh dan memicingkan mata.Jujur saja, Amanda antara percaya dan tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh Andhira. Sedikit ke
“Kok baru keliatan lagi, Jeng?” Andhira tersenyum kepada Ibu Angga yang duduk di sisi kanannya. Mereka saat ini sedang duduk di kursi yang terletak dipinggir dekat dengan taman bermain yang ada di sekolah Amanda. “Iya, Bu. Kemarin-kemarin sibuk mengerjakan tugas yang dikasih dosen,” jawab Andhira, berusaha untuk sopan kepada Ibu Angga, dan berusaha untuk tidak menyinggung Ibu Angga. “Oh iya. Jeng Andhira kan sedang kuliah. Lancar yaa jeng kuliahnya? Harus dong, biar cepet dapet gelar. Terus fokus merawat Amanda,” balas Ibu Angga, ditanggapi dengan senyum manis dari Andhira. “Anaknya semakin lucu ya, Bu,” ucap Andhira diakhiri dengan terkekeh, dia kembali mengingat tingkah Angga tadi pagi sehingga membuat Amanda ngambek tidak ingin masuk kelas. Ibu Angga menyengir malu, dirinya merasa bersalah karena putranya, membuat Andhira harus membujuk Amanda untuk masuk kelas dan mengikuti pelajaran hari ini. Diluar prediksinya, dan membuatnya mengingat kembali sifat yang dimiliki oleh Angga
“Loh kok ada mamih Andhira?”Amanda menatap bingung Andhira yang saat ini duduk di ruang tamu, hanya seorang diri. Andhira mengangkat kepalanya, dan tersenyum kepada Amanda yang langsung duduk di sisi kanannya.“Gak suka kalau aku dateng ke sini?” tanya Andhira, raut wajahnya seolah sedih, dan memperhatikan Amanda yang mengangguk lalu menggeleng.“Maksud aku, kok di sini? Emangnya mamih gak kuliah?”Andhira terkekeh, lalu menggelengkan kepala. Dirinya memang sengaja datang ke sini untuk mengantar Amanda ke sekolah dan menunggunya hingga pulang sekolah. Sedangkan Arsenio sedang ada keperluan, dan sudah berangkat dari pukul tujuh.“Aku libur hari ini, udah siap?” tanya Andhira, diakhiri dengan senyum manis. Dia mendengar suara derap langkah kaki yang mendekat, membuatnya menoleh dan mendapati Mbak Maya yang datang dengan membawa tas sekolah berwarna pink milik Amanda.“Kamu benerann gapapa nganterin Amanda ke sekolah?” tanya Mbak Maya setelah berdiri di dekat Amanda dan Andhira. Amanda
“Kamu sama sih Airina gak bisa akur emangnya ya?” Andhira menyeruput jus jambunya dengan santai, dihadapannya ada Arsenio. Keduanya saat ini berada di sebuah café yang tidak terlalu banyak di kunjungi oleh customer, menghabiskan waktu berdua setelah melewati hari yang cukup menguras tenaga. “Aku sih bisa aja akur, tapi kan mas Arsen liat sih kelakuan syaitonnya. Baru juga mas Arsen dateng, dia udah berulah,” ucap Andhira, mengambil satu stick kentang dan colek ke saos sambal. Kedua matanya hanya terfokus untuk Arsenio. “Oh iya?” Andhira mengangguk, membenarkan posisi duduknya. Dia berdeham, lalu berkata, “Kayanya dia emang sengaja deh cari perhatian. Soalnya ya, pas mas Arsen gak ada beberapa hari kemarin, di kampus itu dia gak ada berulah tau.” Arsenio menyeruput kopi hitam, matanya memperhatikan kekasihnya yang sedang bercerita. Hanya dengan melihat wajah Andhira saja membuatnya sedikit tenang, apalagi kekasihnya itu berceloteh seperti biasanya, tidak perlu dipertanyakan lagi.
“Tadi aku ketemu sama perempuan, dia ini mukanya berseri-seri gitu. Mungkin karena ketemu sama mas pacar kali ya?”Garaga melirik ke sisi kanan, mendapati Andhira yang datang bersama dengan Reno. Perempuan yang dimaksud oleh Garaga ialah Andhira, sang empu menyadari dan ….“AKHH ANDHIRA,” teriak Garaga saat Andhira menarik jambulnya sekuat tenaga, Reno yang melihatnya pun menarik Andhira untuk menjauh dari Garaga. Sedangkan Garaga mengibas surainya sekalian, jambulnya sudah rusak akibat ulah dari Andhira.“Apa?” tanya Andhira dengan kedua matanya melotot kepada Garaga yang menatapnya.Reno yang tidak ingin adanya pertengkaran pada pagi hari ini, memberikan kode kepada Darwis untuk bertukar tempat duduk dengan Garaga. Darwis tanpa banyak bicara mengambil tas milik Garaga dan dipindahkan ke meja belakang.Di dalam ruangan hanya ada Darwis, Garaga, Zavian, Kalvin, Reno dan Andhira. Zavian dan Kalvin memang tipe yang jarang bicara, jadi hanya duduk tenang di kursi paling belakang sejajar