“Come on, my little girl.”
Andhira mengangguk. Kedua berjalaan beriringan, dan sekali lagi, tidak lepas dari atensi Mahasiswa-mahasiswi Ilmu Komunikasi. Mungkin sedikit heran dengan kedatangan Papih yang secara tiba-tiba ke fakultas Ilmu Komunikasi. Mereka tidak terkejut dengan Papih dari seorang Maheswari Andhira Swastika.
“Sugar daddy, tau gitu aku deketin aja sih Andhira, biar bisa deketin bapaknya.”
Sepanjang koridor, Andhira jelas mendengar celotehan para siswi yang memuja-muji ketampanan yang dimiliki oleh papihnya. Satu ide terlintas di otaknya, dan terbitlah senyum remeh. Dengan sengaja, gadis itu mengamit lengan sang Papih, membuat papihnya itu tersenyum tipis.
“Lohh Pak Ginantara?” gumam seorang laki-laki mengenakan kemeja berwarna putih lengan panjang yang dilipat hingga siku, Dareen Arsenio.
Papih dan Andhira menghentikan langkahnya saat berpapasan dengan Arsenio. Ginantara melepaskan kacamata hitamnya dan tersenyum kepada Arsenio. Sedangkan Andhira menaikkan sebelah alisnya, tanpa melepaskan pelukannya pada lengan papihnya.
“Selamat pagi, pak Dareen,” sapa lembut Papih, diiringi dengan senyum manisnya. Arsenio membalasnya dengan tersenyum manis, dan menatap Andhira yang mengerjapkann mata.
Arsenio menatap Papih, “Andhira ini anaknya pak Ginantara?” tanyanya, diangguki oleh Papih. Interaksi antara ketiganya tidak lepas dari atensi para mahasiswa-mahasiswi yang berlalu lalang di koridor.
“Semalem Andhira cerita ke saya, katanya ada Dosen gan—”
Andhira dengan spontan mencubit perut Papih, membuat sang empu mengaduh dan menatap dirinya. “Gak perlu diceritainn, Pih,” ucapnya tertahan. Papih terkekeh, dan kembali menatap Arsenio.
“Andhira cerita ada Dosen muda di kampus, dan katanya ngegantiin bu Kartika. Itu pak Dareen?” tanya Papih. Arsenio menatap Papih dan Andhira silih berganti.
“Ternyata dunia itu sempit ya, Pak. Atau saya yang kurang berselancar di dunia?” tanya Arsenio tanpa menjawab pertanyaan dari Papih, diakhiri dengan terkekeh.
Papih melirik Andhira yang tidak bisa melepaskan fokus dari Arsenio, dengan sengaja dirinya berdeham untuk menyadarkan anak perempuannya. Andhira mengerjapkann mata sekali, lalu mendongak menatap papihnya.
“Papih bukannya ada rapat yaa pagi ini? Nanti telat lohh.”
Papih menatap Andhira, “Kamu ngusir Papih? Biar gak ketahuan Papih kalau kamu mau nge—”
“Papihhh,” ucap tertahan Andhira, dan berhasil membuat Papih tertawa pelan. “Awas aja nyebar gosip.”
Papih tersenyum manis, dirinya berbisik, “Kalau kamu sama pak Dareen, Papih setujui.” Setelahnya menegakkan tubuhnya kembali, dan menatap Arsenio. “Senang bertemu dengan pak Dareen dipagi hari ini. Sebenernya saya ingin berbicara banyak sama pak Dareen, tapi saya harus segera ke kantor.”
Arsenio tersenyum manis, dirinya mengangguk, “Mungkin, kita bisa ngatur jadwal buat ngopi bareng? Pak Ginantara nanti siang ada waktu? Saya mau memperkenalkan caffe yang baru saya launching kemarin.”
Papih mengangguk setuju, “Bolehh. Nanti share lokasi saja, pak Dareen,”
“Aku mau ikut, gak perduli diijinin atau gak sama kalian,” ucap Andhira menatap Papih dan Arsenio silih berganti. Kedua laki-laki dewasa itu menatap Andhira, dan membuat gadis itu menaikkan sebelah alisnya, “Apaa?”
“Kamu gak boleh kelayapan di luar, Andhira. Nanti siang kamu ada kelasnya pak Yatmo,” larang Arsenio penuh penekanan. Andhira melepaskan pelukannya di lengan sang Papih, lalu bersidekap dada.
“Lahh saya bisa minta papih saya buat ijin. Saya juga harus ngejaga Papih saya biar gak ngomong yang ngelantur.”
“Maheswari Andhira Swastika,” panggil Arsenio secara lengkap, dan hanya di respon dengan gumamam dari Andhira. “Saya akan minta ijin kepada pak Yatmo untuk kamu bisa ikut dengan saya.”
Andhira memicingkan matanya, bolehkah dirinya menaruh curiga dengan Arsenio yang dengan mudahnya menuruti apa yang dia mau?
“Dengan syarat?” tanya Andhira, diangguki oleh Arsenio. “Oke. Tapi saya pergi sendiri, tanpa bareng sama pak Dareen atau pak Arsenio atau siapalah itu.”
Arsenio mengangguk, “Oke. Dibatalkan.”
Andhira mendelik, dirinya menatap Papih yang hanya bergeming memperhatikan interaksi dirinya dengan Arsenio, Dosen PA Andhira baru yang menggantikan Kartika. Dihari kedua Arsenio menjadi Dosen PA seorang Maheswari Andhira Swastika, sudah mempunyai aturan sendiri.
“Pihh,” panggil Andhira kepada pria dewasa disisi kirinya ini. Ginantara menggeleng, dirinya tidak berhak untuk menuruti apa yang diinginkan oleh putri tunggalnya itu. “Oke fine. Gak mau lagi ngomong sama pak Ginantara.”
Setelahnya, gadis itu menghentakkan kakinya dan pergi dari hadapan Papih dan Arsenio yang memperhatikan punggung Andhira. Setelah Andhira menjauh, kedua pria dewasa itu saling menatap satu sama lain.
Papih menampilkan wajah bersalah, “Saya mewakili Andhira, meminta maaf karena sikapnya yang tidak sopan kepada pak Dareen.”
Arsenio tersenyum manis, “Gapapa, Pak. Saya sudah diceritakan banyak oleh Bu Kartika tentang Andhira. Menurut saya dari cerita Bu Kartika, maaf ya sebelumnya pak Ginantara bukan maksud saya untuk menggurui, tetapi ini memang penting.”
Papih mengangguk, “Tidak perlu meminta maaf, pak Dareen. Katakan saja kepada saya selaku orang tua dari Andhira.”
Arsenio bergeming sejenak, dia dan Papih saling menatap satu sama lain. “Andhira butuh seseorang yang mengerti dia. Saya tahu, pak Ginantara seorang single parent, setidaknya kalau memang pak Ginantara sedang sibuk, ijinkan saya untuk tetap berada disisi Andhira.”
Papih menatap Arsenio dengan tatapan bingung, rekan kerja sekaligus Dosen Pembimbing dari anak semata wayangnya mengajukan diri untuk menjaga Andhira, membuatnya memikirkan ini hal baik atau buruk untuk putrinya.
“Sorry, pak Dareen ingin berada di sisi putri saya?” tanya Papih, diangguki oleh Arsenio. Papih tentu saja senang, masih ada seseorang yang ingin membuat putrinya bahagia dan melakukan pengawasan pada saat dirinya bekerja.
“Bagaimana, pak Ginantara? Ohh atau pak Ginantara tidak percaya dengan saya? Apa perlu saya kasih surat tanah sebagai jaminan?” tanya Arsenio membuat Papih mengerjapkan kedua mata. Papih bukannya tidak percaya, tetapi dirinya masih tidak yakin.
“Pak Dareen sudah tahu kan Andhira seperti apa? Saya takut, nanti Andhira akan membuat masalah terus sama pak Arsenio.”
Arsenio terkekeh, dan mengangguk. Dia sudah tahu resiko apa yang akan terjadi, sudah dia fikirkan matang-matang, “Saya sudah memikirkan semuanya, Pak. Saya perlu ijin dari pak Ginantara sebagai Papih dari Andhira.”
“Pak Dareen yakin?” tanya Papih, bukannya tidak percaya, hanya saja dia tahu tingkah laku putrinya, selalu membuat masalah dan bikin orang lain tidak kuat jika harus berhadapan dengan putri kesayangannya.
Arsenio tersenyum manis, dan mengangguk, “Seribu yakin, pak Ginantara. Menurut saya, Andhira tidak seburuk yang kebanyakan orang fikirkan. Dia baik, ketutup sama tingkah lakunya saja yang membuat dia terlihat buruk di mata orang lain.”
Papih menatap Arsenio sekali lagi, lebih dalam, walaupun sering kerjasama dengan Arsenio, Papih belum mengenal Arsenio luar dalam seperti apa. “Saya tanya sekali lagi pak Dareen, jangan salah ambil langkah.”
Arsenio tersenyum, mengangguk, dan bergeming menunggu pertanyaan dari Papih. Dia siap dengan segala pertanyaan yang diberikan oleh Papih untuknya.
“Pak Dareen yakin akan tetap ada di sisi putri saya? Apapun itu, tidak akan meninggalkan putri saya?”
Arsenio mengangguk, “Yakin, pak Ginantara. Saya tidak akan meninggalkan Maheswari Andhira Swastika, apapun kondisinya.”
“Kalau pak Dareen meninggalkan putri, saya berhak melakukan apapun saya yang mau, kan?”
Lagi-lagi Arsenio mengangguk, dia tidak keberatan sama sekali. Arsenio sudah berusia 28 tahun, jadi untuk apa dirinya mengumbar janji semata saja?
“Silahkan pak Ginantara melakukan apapun ke saya, jika saya meninggalkan Andhira.”
---
“Andhira Andhira,” gumam Darwis saat gadis itu duduk di sebelahnya. Ya, Andhira dan Darwis memang duduk satu meja yang sama. Bukan Andhira tidak memiliki teman perempuan, tetapi memang lebih enjoy untuk Andhira duduk dengan seseorang yang sudah kenal dekat. Andhira bersidekap dada, “Kesel banget.” “Kok kamu gak pernah bilang sih punya bokap secakep itu?” tanya gadis bersurai sebahu berwarna hitam yang duduk di kursi depan Andhira. Andhira menaikkan sebelah alisnya, “Mau kamu deketin? Deketin aja kalau bisa. Selama dua puluh tahun aku hidup, aku gak pernah denger berita tentang Papih aku yang deket sama perempuan.” Darwis hanya bergeming, dirinya memainkan ponselnya untuk bertukar pesan dengan Caca-kekasihnya yang berbeda kelas dengannya-. Sedangkan, Andhira menatap gadis yang bernama Lailara Tarsika. Lailara bergumam, “Serius?” tanyanya. Andhira memicingkann matanya. “Kamu mau bukti apa? Aku kalau nanya ke Papih, selalu bilang sibuk kerja, gak ada waktu buat nyari pasangan,” ucap
“Aku males banget sama pak Arsenio, dia bener-bener ngawasin aku.” Andhira menatap Darwis yang sedang men-dribble bola basket, sahabatnya itu melakukan teknik Lay Up Shoot, dan bola basket tersebut masuk ke dalam ring. Andhira yang melihatnya hanya bersidekap dada dan duduk bersandar pada kursi di pinggir lapangan indoor. Darwis menghampiri sahabatnya dan membiarkan bola basket tersebut menggelinding tanpa arah. Dirinya mengambil botol minum berwarna hitam di sisi kanan Andhira, dan menatap sahabatnya itu. “Emangnya pak Arsenio ngapain kamu?” tanya Darwis kepada Andhira yang memasang wajah badmood. “Dia ngawasin aku dari cctv, dia kan tau jadwal aku kapan-kapan aja, dan ruangan yang mana. Pas dia lagi ada kelas, dia nyuruh orang IT buat ngawasin aku, gila gak?” ucap Andhira menggebu-gebu, sedangkan Darwis tertawa. Jujur saja, baru kali ini Andhira kesal dengan seseorang, biasanya gadis itu yang bikin orang lain kesal. Darwis akan memberikan apresiasi kepada Arsenio, karena sudah
“Siomaynya enak ya?”Andhira bergeming sejenak sebelum akhirnya menoleh ke sisi kiri, dia mendongak dan mendapati wajah menyebalkan milik Dareen Arsenio, atau biasa dipanggil Pak Arsenio. Hal itu membuat Andhira menyugar surai berwarna caramel menyala.“Enak. Masih banyak tuhh, tinggal pesen doang,” jawab Andhira tanpa menatap Arsenio, dia kembali memakan siomay yang tinggal setengah.Arsenio menarik Andhira untuk berdiri, kini keduanya berdiri berhadapan. Andhira berdecak, acara makan siomaynya diganggu oleh Arsenio, selaku Dosen Pembimbing Akademiknya selama tiga hari.“Kenapa sih selalu ganggu saya?” tanya Andhira dengan tidak santai, pergelangan tangannya masih digenggam oleh Arsenio, bukan karena nyaman, tetapi tenaganya jauh dibawah tenaga yang dimiliki oleh Arsenio.“Kamu ada kelasnya Bu Siska, dan malah nongkrong di kantin sendirian?” tanya Arsenio dengan penuh penekanan membuat Andhira menaikkan sebelah alisnya.“Emangnya saya ada kelas jam segini ya? Bukannya jam sebelas?” t
“Pantas saja Bu Kartika nyerahin kamu ke saya, ternyata emang kelakuan kamu benar-benar memancing emosi.”Andhira menaikkan sebelah alisnya, kini dirinya sedang berada di ruangan Arsenio, hanya berdua. Hari-harinya tidak sebebas dahulu sebelum pria dewasa di sebrangnya saat ini menjadi Dosen Pembimbing Akademiknya.“Pak Arsen gak kuat? Gapapa, Pak. Mundur ajaa. Biar saya gak punya dosen PA, kan saya bisa bebas lagi,” ucap Andhira dengan santai, benar-benar tidak ada takutnya dengan Arsenio.Arsenio menatap tajam Andhira, “Kamu lupa sama kesepakatan kita?” tanyanya dengan penuh penekanan. Bisa saja dia bertindak lebih tegas dari sekarang, tetapi dirinya lebih suka main ganteng, tidak terburu-buru mengambil tindakan.Andhira bergumam, “Kalau saya lupa, bisa gak dilupain sekalian aja, Pak?” tanyanya dengan menantang, benar-benar bikin naik darah.Arsenio menegakkan tubuhnya, melipat kedua tangannya di meja, dan tersenyum manis, “Kamu nyerah? Kalau kamu kalah, berarti kamu jadi pembantu s
“Pak Arsenio gak ada ya hari ini?” Andhira saat ini sedang bersama dengan Rena, baru mereka berdua, karena mengambil mata kuliah yang sama hari ini. Reno menatap Andhira yang bertanya tentang Dosen PA mereka, dirinya yang sedikit jahil pun tersenyum menggoda. “Kamu nyariin Pak Arsenio buat apa, Dhir? Kamu kangen sama Pak Arsenio? Katanya gak butuh Pak Arsenio, tapi kok malah kaya kehilangan gitu sih.” Andhira mendesis, berbeda dengan Reno yang tertawa cukup keras, membuat perhatian mahasiswa ataupun mahasiswi yang singgah di kantin indoor tertuju kepada mereka berdua. Sedangkan Andhira menatap tidak suka Reno. “Aku nanya doang sihh. Takut aja tiba-tiba ada di hadapan aku, terus aku serangan jantung, kan bahaya bangett,” ucap Andhira sembari memakan rujak colek. Berbeda dengan Renio yang memakan mie ayam. “Aku kasih tau ya sama kamu, karena kamu baru nih jadi anaknya Pak Arsenio, jangan coba-coba bikin dia marah. Bukan satu orang aja nanti yang kena, semua anakannya Pak Arsenio jug
“Enak yaa ice creamnya?”Andhira duduk di sisi kanan gadis cilik diperkirakan usianya sekitar 7 tahun, dia tersenyum manis kepada gadis cilik yang sedang memakan ice cream coklat, sudah dipastikan dibelikan oleh Reno.Gadis cilik itu mengangguk, dan menatap Andhira dengan tatapan polos, “Tante mau?” tanyanya, dijawab dengan gelengan kepala dari Andhira.“Buat kamu aja. Cepet dihabisin yaa, nanti ice creamnya keburu mencair,” ucap Andhira dengan lembut, membuat Reno yang melihatnya terpesona. Gadis cilik itu mengangguk, dan menurut. Sedangkan Andhira terkekeh, dirinya beranjak, tetapi ditahan oleh gadis cilik di sisi kirinya.“Tante mau kemana?”Andhira tersenyum, “Beli tissue, bentar yaa,” ucapnya dengan lembut, dan melenggang pergi setelah mendapatkan ijin. Reno benar-benar takjub dengan Andhira yang menunjukkan sikap berbeda dari biasanya kepada anak kecil yang baru saja dikenal.“Om pacarnya Tante?” tanya polos gadis cilik yang duduk di sebrang Reno, membuat Reno terkekeh.Reno men
“Kata Reno, kamu kemaren ribut sama Tesya?” tanya Arsenio kepada Andhira yang duduk di kursi sebrangnya. Andhira mengangguk dengan santai, tidak merasa bersalah sedikitpun, karena memang dia tidak salah.“Kenapa emangnya, Pak? Sih nini lampir itu kasih laporan ke Pak Arsen?” tanya Andhira dengan santai, diangguki oleh Arsenio, dan hal itu membuatnya berdecak. “Dasar nini lampir, kaya gitu aja ngadu.”Arsenio melipat kedua lengannya di meja, dan menatap tajam Andhira, “Kamu ribut apa lagi?” tanyanya. Andhira menegakkan tubuhnya, menyugar surai panjangnya, dan menatap kedua bola mata Arsenio.“Dia kemaren bikin anak kecil nangis, terus saya harus diem aja gitu?” tanya Andhira, membuat Arsenio menaikkan sebelah alisnya.“Anak kecil? Anaknya siapa?” tanya Arsenio dengan perasaan was-was. Andhira mengendikkan kedua bahunya.“Lupa saya tanya.”“Kamu tau namanya?” tanya Arsenio dengan cepat, dan hal itu membuat Andhira memicingkan mata curiga. Sedangkan Arsenio mengulum bibir, dan berdeham.
“Lepas, Pak. Gak enak diliat sama yang lainnya.”Andhira berusaha untuk melepaskan diri dari rangkulan Arsenio, tetapi tidak digubris. Andhira yang malu dilihat sama mahasiswi-mahasiswa yang melintasi koridor lantai dua, menggigit tangan kekar Arsenio. Hal itu membuat Arsenio melebarkan kedua bola matanya.“Udah kamu diem aja, kaki kamu perlu diobatin,” ucap Arsenio, dirinya mengangkat tubuh Andhira secara tiba-tiba, sehingga membuat gadis itu memekik, dan meronta untuk diturunkan.“Turunin, Pak. Saya bisa ke unit kesehatan sendirian kok.”Arsenio menatap kedua mata Andhira, “Kamu bisa diem gak? Saya bisa berbuat lebih nekat dari ini.”Andhira mengerucutkan bibir, dan memilih menyembunyikan wajahnya pada bidang dada Arsenio. Hal itu membuat Arsenio tersenyum.“Good girl,” bisik Arsenio dengan lembut, membuat Andhira mengangkat kembali wajahnya, dan seketika dirinya melebarkan kedua bola matanya. Berbeda dengan Arsenio, dirinya hanya terkekeh, dan mengalihkan atensinya.Arsenio terseny