Share

Chapter 3

Come on, my little girl.”

Andhira mengangguk. Kedua berjalaan beriringan, dan sekali lagi, tidak lepas dari atensi Mahasiswa-mahasiswi Ilmu Komunikasi. Mungkin sedikit heran dengan kedatangan Papih yang secara  tiba-tiba ke fakultas Ilmu Komunikasi. Mereka tidak terkejut dengan Papih dari seorang Maheswari  Andhira Swastika.

Sugar daddy, tau gitu aku deketin aja sih Andhira, biar bisa deketin bapaknya.”

Sepanjang koridor, Andhira jelas mendengar celotehan para siswi yang memuja-muji ketampanan yang dimiliki oleh papihnya. Satu ide terlintas di otaknya, dan terbitlah senyum remeh. Dengan sengaja, gadis itu mengamit lengan sang Papih, membuat papihnya  itu tersenyum tipis.

“Lohh Pak Ginantara?” gumam seorang laki-laki mengenakan kemeja berwarna putih lengan panjang yang dilipat hingga siku, Dareen Arsenio.

Papih dan Andhira menghentikan langkahnya saat berpapasan dengan Arsenio. Ginantara melepaskan kacamata hitamnya dan tersenyum kepada Arsenio. Sedangkan Andhira menaikkan sebelah alisnya, tanpa melepaskan pelukannya pada lengan papihnya.

“Selamat pagi, pak Dareen,” sapa lembut Papih, diiringi dengan senyum manisnya. Arsenio membalasnya  dengan tersenyum manis, dan menatap Andhira yang mengerjapkann mata.

Arsenio menatap Papih, “Andhira ini anaknya pak Ginantara?” tanyanya, diangguki oleh Papih. Interaksi antara ketiganya tidak lepas dari atensi para mahasiswa-mahasiswi yang berlalu lalang di koridor.

“Semalem Andhira cerita ke saya, katanya  ada Dosen gan—”

Andhira dengan spontan mencubit perut Papih, membuat sang empu mengaduh dan menatap dirinya. “Gak perlu diceritainn, Pih,” ucapnya tertahan. Papih terkekeh, dan kembali menatap Arsenio.

“Andhira cerita ada Dosen muda di kampus, dan katanya ngegantiin bu Kartika. Itu pak Dareen?” tanya Papih. Arsenio menatap Papih dan Andhira silih berganti.

“Ternyata dunia itu sempit ya, Pak. Atau saya yang kurang berselancar di dunia?” tanya Arsenio tanpa menjawab pertanyaan dari Papih, diakhiri dengan terkekeh.

Papih melirik Andhira yang tidak bisa melepaskan fokus dari Arsenio, dengan sengaja dirinya berdeham untuk menyadarkan anak perempuannya. Andhira mengerjapkann mata sekali,  lalu mendongak menatap papihnya.

“Papih bukannya ada rapat yaa pagi ini? Nanti telat lohh.”

Papih menatap Andhira, “Kamu ngusir Papih? Biar gak ketahuan Papih kalau kamu mau nge—”

“Papihhh,” ucap tertahan Andhira, dan berhasil membuat Papih tertawa pelan. “Awas aja nyebar gosip.”

Papih tersenyum manis, dirinya berbisik, “Kalau kamu sama pak Dareen, Papih setujui.” Setelahnya menegakkan tubuhnya kembali, dan menatap Arsenio. “Senang bertemu dengan pak Dareen dipagi hari ini. Sebenernya saya ingin berbicara banyak sama pak Dareen, tapi saya harus segera ke kantor.”

Arsenio tersenyum manis, dirinya mengangguk, “Mungkin, kita bisa ngatur jadwal buat  ngopi bareng? Pak Ginantara nanti siang ada waktu?  Saya mau memperkenalkan caffe yang baru saya launching kemarin.”

Papih mengangguk setuju, “Bolehh. Nanti share lokasi saja, pak Dareen,”

“Aku mau ikut, gak perduli diijinin atau gak sama kalian,” ucap Andhira menatap Papih dan Arsenio  silih berganti. Kedua  laki-laki dewasa itu menatap Andhira, dan membuat gadis itu menaikkan sebelah alisnya, “Apaa?”

“Kamu gak boleh kelayapan di luar, Andhira. Nanti siang kamu ada kelasnya pak Yatmo,” larang Arsenio penuh penekanan. Andhira melepaskan pelukannya di lengan sang Papih, lalu bersidekap dada.

“Lahh saya bisa minta papih saya buat ijin. Saya juga harus ngejaga Papih saya biar gak ngomong yang ngelantur.”

“Maheswari Andhira Swastika,” panggil Arsenio secara  lengkap, dan hanya di respon dengan gumamam dari Andhira. “Saya akan minta ijin kepada pak Yatmo untuk kamu bisa ikut dengan saya.”

Andhira memicingkan matanya, bolehkah dirinya menaruh curiga dengan Arsenio yang dengan mudahnya menuruti apa yang dia mau?

“Dengan syarat?” tanya Andhira, diangguki oleh Arsenio. “Oke. Tapi saya pergi sendiri, tanpa bareng sama  pak Dareen atau pak Arsenio atau siapalah itu.”

Arsenio mengangguk, “Oke. Dibatalkan.”

Andhira mendelik, dirinya menatap Papih yang hanya bergeming memperhatikan interaksi dirinya dengan Arsenio, Dosen PA Andhira baru yang menggantikan Kartika. Dihari kedua Arsenio menjadi Dosen PA seorang Maheswari Andhira Swastika, sudah mempunyai aturan sendiri.

“Pihh,” panggil Andhira kepada pria dewasa disisi kirinya ini. Ginantara menggeleng, dirinya  tidak berhak untuk menuruti apa yang diinginkan oleh putri tunggalnya itu. “Oke fine. Gak mau lagi ngomong sama pak Ginantara.”

Setelahnya, gadis itu menghentakkan kakinya dan pergi dari hadapan Papih dan Arsenio yang memperhatikan punggung Andhira. Setelah Andhira menjauh, kedua pria dewasa itu saling menatap satu sama lain.

Papih menampilkan wajah bersalah, “Saya mewakili Andhira, meminta maaf karena sikapnya yang tidak sopan kepada pak Dareen.”

Arsenio tersenyum manis, “Gapapa, Pak. Saya sudah diceritakan banyak oleh Bu Kartika tentang Andhira. Menurut saya dari cerita Bu Kartika, maaf ya sebelumnya pak Ginantara bukan maksud saya untuk menggurui, tetapi ini memang penting.”

Papih mengangguk, “Tidak perlu meminta maaf, pak Dareen. Katakan saja kepada saya selaku orang tua dari Andhira.”

Arsenio bergeming sejenak, dia dan Papih saling menatap satu sama lain. “Andhira butuh seseorang yang mengerti dia. Saya tahu, pak Ginantara seorang  single parent, setidaknya kalau  memang pak Ginantara sedang sibuk, ijinkan saya untuk tetap berada disisi Andhira.”

Papih menatap Arsenio dengan tatapan bingung, rekan kerja sekaligus Dosen Pembimbing dari anak semata wayangnya mengajukan diri untuk menjaga Andhira, membuatnya memikirkan ini hal baik atau buruk untuk putrinya.

Sorry, pak Dareen ingin berada di sisi putri saya?” tanya Papih, diangguki oleh Arsenio. Papih tentu saja senang, masih ada seseorang yang ingin membuat putrinya bahagia dan melakukan pengawasan pada saat dirinya bekerja.

“Bagaimana, pak Ginantara? Ohh atau pak Ginantara tidak percaya dengan saya? Apa perlu saya kasih surat tanah sebagai jaminan?” tanya Arsenio membuat Papih mengerjapkan kedua mata. Papih bukannya tidak percaya, tetapi dirinya masih tidak yakin.

“Pak Dareen sudah tahu kan Andhira seperti apa? Saya takut, nanti Andhira akan membuat masalah terus sama pak Arsenio.”

Arsenio terkekeh, dan mengangguk. Dia sudah tahu resiko apa yang akan terjadi, sudah dia fikirkan matang-matang, “Saya sudah memikirkan semuanya, Pak. Saya perlu ijin dari pak Ginantara sebagai Papih dari Andhira.”

“Pak Dareen yakin?” tanya Papih, bukannya tidak percaya, hanya saja dia tahu tingkah laku putrinya, selalu membuat masalah dan bikin orang lain tidak kuat jika harus berhadapan dengan putri kesayangannya.

Arsenio tersenyum manis, dan mengangguk, “Seribu yakin, pak Ginantara. Menurut saya, Andhira tidak seburuk yang kebanyakan orang fikirkan. Dia baik, ketutup sama tingkah lakunya saja yang membuat dia terlihat buruk di mata orang lain.”

Papih menatap Arsenio sekali lagi, lebih dalam, walaupun sering kerjasama dengan Arsenio, Papih belum mengenal Arsenio luar dalam seperti apa. “Saya tanya sekali lagi pak Dareen, jangan salah ambil langkah.”

Arsenio tersenyum, mengangguk, dan bergeming menunggu pertanyaan dari Papih. Dia siap dengan segala pertanyaan yang diberikan oleh Papih untuknya.

“Pak Dareen yakin akan tetap ada di sisi putri saya? Apapun itu, tidak akan meninggalkan putri saya?”

Arsenio mengangguk, “Yakin, pak Ginantara. Saya tidak akan meninggalkan Maheswari Andhira Swastika, apapun kondisinya.”

“Kalau pak Dareen meninggalkan putri, saya berhak melakukan apapun saya yang mau, kan?”

Lagi-lagi Arsenio mengangguk,  dia tidak keberatan sama sekali. Arsenio sudah berusia 28 tahun, jadi untuk apa dirinya  mengumbar janji semata saja?

“Silahkan pak Ginantara melakukan apapun ke saya, jika saya meninggalkan Andhira.”

---

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status