“Andhira sayang,” panggil seorang pria paruh baya. Andhira menoleh, dan tersenyum manis saat mendapati papihnya yang datang dengan pakaian masih lengkap, Ginantara Alaindra.
“Papih baru balik kerja?” tanya Andhira menatap Papih yang sudah duduk di sisi kanannya pada kursi panjang yang ada di balkon kamarnya. Papih mengangguk, ia memeluk anak perempuan satu-satunya yang dirawat dan dijaga sampai saat ini.
Papih mengecup puncak kepala Andhira, dan menatap kedua bola mata anak semata wayangnya tersebut, “Kamu lagi mikir apa sihh? Sampai gak sadar kalau ada Papih.”
Andhira hanya menggeleng dan tersenyum tipis, “Hari ini bu Kartika udah fix pensiun jadi Dosen PA aku, Pih. Besok Dosen PA aku udah ganti,” ucapnya menatap papihnya yang sedang menaikkan sebelah alisnya.
“Kamu galau karena gak bisa rusuh lagi sama bu Kartika?” tanya Papih lembut, anak perempuannya tersebut mengangguk meng-iyakan pertanyaan Ginantara.
“Dosen PA aku yang baru itu cowo tau, Pih. Udah gitu ganteng lagi. Kalau misalkann aku yang oleng, gimana ya?” tanya Andhira diakhiri dengan terkekeh dan membayangkan jika dirinya harus jatuh hati kepada seorang guru muda.
Papih tertawa, “Ganteng banget emangnya? Kamu udah ketemu?” tanyannya, diangguki antusia oleh Andhira. Gadis itu menegakkan tubuhnya, dan menatap Papih yang tersenyum menggoda.
“Tadi kan aku gak sengaja nabrak cowo kann, ganteng sih emang, aku kira dia itu senior aku, Pih. Mana aku ngatain dia jadi mahasiswa abadi lagi, ternyata eh ternyata, dia itu Dosen PA aku yang baru, ngegantiin bu Kartika,” oceh Andhira dengan menggebu-gebu.
“Terus?”
“Pas aku lagi di kelas, cuma sama Darwis kan ya, Pih. Sih Darwis ini kirim chat, isinya aku harus keruangan Dosen PA aku yang baru, pas aku sadar satu hal, dosenn PA yang disebutin sama Darwis itu, cowo yang aku tabrak tadi pagi, mana aku ngatain itu cowo lagi," oceh Andhira dengan bersidekap dada dan mengerucutkan bibir.
Papih hanya bergeming dengan menaikkan sebelah alisnya, “Abis itu dihukum gak sama Dosen PA yang baru? Karena kamu ngatain dia mahasiwa abadi,” tanyanya. Andhira mengangguk.
“Dia bikin kesepakatan sama aku, Pih. Kalau dalam satu bulan aku gak ada cabut dari kelas, selalu hadir setiap pertemuan, dan gak rusuh, dia mau bayarin tiket libur. Tapi … kalau aku gagal, aku harus jadi asisten rumah tangga dia satu hari.”
“Oh iyaa? Nama dosennya siapa?” tanya lembuat Papih kepada Andhira, anak semata wayangnya itu mengangguk dengan cepat. “Siapa?”
“Kalau aku gak salah ingat ya, Pih. Dareen Arsenio,” jawab Andhira. Papih bergeming, dirinya seperti tidak asing dengan nama tersebut.
Saat teringat sesuatu, pria setengah paruh baya itu merogoh saku celana. Andhira hanya bergeming menatap papihnya yang sedang mengotak-ngatik ponsel. Ginantara memberikannya kepada anak tunggalnya.
Andhira menerima ponsel Papih, dan menyipitkan mata saat melihat satu foto di layar ponsel milik papihnya. Seperti tidak percaya, dirinya memperbesar foto tersebut, hingga terlihat cukup jelas wajah pada foto tersebut.
“Itu kan orangnya?” tanya Papih menatap Andhira yang sedang menatapnya dan mengangguk.
“Kok Papih punya fotonyaa? Jangan-jangan ini rencana Papih? Kasih duit ke Bu Kartika buat libur dulu, terus digantiin sama pak Arsen Arsen ini?”
Papih menyentil kening Andhira gemas, sehingga membuat gadis itu meringis. “Enak ajaa. Papih gak ada ya komunikasi sama Bu Kartika, terus Papih sibuk. Mana sempat Papih mikirin rencana kaya gitu. Kalaupun misalkan Papih yang ngerencanain apa yang ada di fikiran kamu, tujuannya apa?”
Andhira mengendikkan kedua bahunya, “Kali aja kaya di nopel nopel, Papih mau ngejodohin aku sama pak Arsen itu.”
Papih menaikkan sebelah alisnya, “Boleh. Kamu mau? Papih kerjasama soalnya sama pak Dareen.”
Andhira berdecak, dirinya menggeleng menolak, “Gakk, Pih. Awas aja yaa kalau beneran ada niatan gak jelas kaya gitu.”
Papih terkekeh, “Kamu tidur, Andhira. Besok kan kamu ada kelas. Besok Papih yang nganterin kamu ke kampus.”
Andhira memicingkan matanya tidak percaya, papihnya itu akan mengantarkan dirinya untuk ke kampus? Biasanya sang papih itu sibuknya sudah seperti presiden, tidak ada waktu. Saat Papih pulang malam Andhira sudah tertidur, begitu juga pada saat pagi hari. Papih pergi pada saat Andhira masih tertidur.
“Papihh kenapa jadi mau nganterin aku ke sekolah?” tanya Andhira penuh curiga. “Papih mau ketemu sama pak Arsenn? Buat ngobrolin perjodohan aku sama pak Arsen?”
Papih mengangguk santai, dirinya hanya asal mengangguk saja, atau dengan kata lainnya, hanya iseng memancing. Kapan lagi kan dirinya bisa berbincang dan bercanda dengan anak semata wayangnya seperti saat ini? Papih menyadari dan mengakui, tidak mempunyai cukup banyak waktu untuk me time dengan Andhira.
“Papihh.”
Papih terkekeh, “Bercanda. Lagian emangnya gak boleh yaa kalau Papih nganterin kamu ke kampus? Gapapa dong harusnya, sekalian Papih mau ketemu sama Dosen PA kamu yang baru. Mau ngasih beberapa tips buat ngadepin kamu.”
Andhira mendelik, “Papihhhhh.”
Tawa dari sang Papih masih belum reda, membuat Andhira kesal. Papih tersenyum kepada Andhira, “Kamu itu jangan kesel-kesel terus dongg, nanti cepet tua loh.”
Andhira bergumam, “Iya dah yang masih muda.”
Papih dari Andhira itu terkekeh, membelai puncak kepala anak semata wayangnya itu dengan penuh kasih sayang, benar-benar memanfaat waktu bersama. Wajah saja, dirinya terlalu sibuk kerja, jadi minim waktu untuk bersama dengan Andhira.
“Maafin Papih yaa yang belum bisa jadi Papih yang sesungguhnya, maafin Papih yang belum punya banyak waktu buat kamu.”
Andhira mendongak, menatap Papih yang tersenyum tipis, “Kenapa ngomong kaya gitu? Menurut aku, Papih itu udah menjadi Papih yang sesungguhnya buat aku kok. Ada apa? Jangan bilang Papih sama Mamih ribut?”
Papih hanya bergeming, hal ini membuat Andhira berdecak, tidak habis fikir dengan mamihnya itu yang tidak ada kontribusinya sama sekali dalam hidupnya. Andhira sudah muak dengan mamihnya yang terus memojokan papihnya.
“Bukan, Papih sama Mamih baik-baik aja kok, Sayang.”
Andhira menaikkan sebelah alisnya, “Papih bisa bohong sama orang lain, tapi Papih gak bisa bohong sama aku, karena kita sedarah, dan aku bisa ngerasain apa yang Papih rasain. Jadi, jangan coba-coba bohong sama aku.”
---
“Come on, my little girl.” Andhira mengangguk. Kedua berjalaan beriringan, dan sekali lagi, tidak lepas dari atensi Mahasiswa-mahasiswi Ilmu Komunikasi. Mungkin sedikit heran dengan kedatangan Papih yang secara tiba-tiba ke fakultas Ilmu Komunikasi. Mereka tidak terkejut dengan Papih dari seorang Maheswari Andhira Swastika. “Sugar daddy, tau gitu aku deketin aja sih Andhira, biar bisa deketin bapaknya.” Sepanjang koridor, Andhira jelas mendengar celotehan para siswi yang memuja-muji ketampanan yang dimiliki oleh papihnya. Satu ide terlintas di otaknya, dan terbitlah senyum remeh. Dengan sengaja, gadis itu mengamit lengan sang Papih, membuat papihnya itu tersenyum tipis. “Lohh Pak Ginantara?” gumam seorang laki-laki mengenakan kemeja berwarna putih lengan panjang yang dilipat hingga siku, Dareen Arsenio. Papih dan Andhira menghentikan langkahnya saat berpapasan dengan Arsenio. Ginantara melepaskan kacamata hitamnya dan tersenyum kepada Arsenio. Sedangkan Andhira menaikkan sebela
“Andhira Andhira,” gumam Darwis saat gadis itu duduk di sebelahnya. Ya, Andhira dan Darwis memang duduk satu meja yang sama. Bukan Andhira tidak memiliki teman perempuan, tetapi memang lebih enjoy untuk Andhira duduk dengan seseorang yang sudah kenal dekat. Andhira bersidekap dada, “Kesel banget.” “Kok kamu gak pernah bilang sih punya bokap secakep itu?” tanya gadis bersurai sebahu berwarna hitam yang duduk di kursi depan Andhira. Andhira menaikkan sebelah alisnya, “Mau kamu deketin? Deketin aja kalau bisa. Selama dua puluh tahun aku hidup, aku gak pernah denger berita tentang Papih aku yang deket sama perempuan.” Darwis hanya bergeming, dirinya memainkan ponselnya untuk bertukar pesan dengan Caca-kekasihnya yang berbeda kelas dengannya-. Sedangkan, Andhira menatap gadis yang bernama Lailara Tarsika. Lailara bergumam, “Serius?” tanyanya. Andhira memicingkann matanya. “Kamu mau bukti apa? Aku kalau nanya ke Papih, selalu bilang sibuk kerja, gak ada waktu buat nyari pasangan,” ucap
“Aku males banget sama pak Arsenio, dia bener-bener ngawasin aku.” Andhira menatap Darwis yang sedang men-dribble bola basket, sahabatnya itu melakukan teknik Lay Up Shoot, dan bola basket tersebut masuk ke dalam ring. Andhira yang melihatnya hanya bersidekap dada dan duduk bersandar pada kursi di pinggir lapangan indoor. Darwis menghampiri sahabatnya dan membiarkan bola basket tersebut menggelinding tanpa arah. Dirinya mengambil botol minum berwarna hitam di sisi kanan Andhira, dan menatap sahabatnya itu. “Emangnya pak Arsenio ngapain kamu?” tanya Darwis kepada Andhira yang memasang wajah badmood. “Dia ngawasin aku dari cctv, dia kan tau jadwal aku kapan-kapan aja, dan ruangan yang mana. Pas dia lagi ada kelas, dia nyuruh orang IT buat ngawasin aku, gila gak?” ucap Andhira menggebu-gebu, sedangkan Darwis tertawa. Jujur saja, baru kali ini Andhira kesal dengan seseorang, biasanya gadis itu yang bikin orang lain kesal. Darwis akan memberikan apresiasi kepada Arsenio, karena sudah
“Siomaynya enak ya?”Andhira bergeming sejenak sebelum akhirnya menoleh ke sisi kiri, dia mendongak dan mendapati wajah menyebalkan milik Dareen Arsenio, atau biasa dipanggil Pak Arsenio. Hal itu membuat Andhira menyugar surai berwarna caramel menyala.“Enak. Masih banyak tuhh, tinggal pesen doang,” jawab Andhira tanpa menatap Arsenio, dia kembali memakan siomay yang tinggal setengah.Arsenio menarik Andhira untuk berdiri, kini keduanya berdiri berhadapan. Andhira berdecak, acara makan siomaynya diganggu oleh Arsenio, selaku Dosen Pembimbing Akademiknya selama tiga hari.“Kenapa sih selalu ganggu saya?” tanya Andhira dengan tidak santai, pergelangan tangannya masih digenggam oleh Arsenio, bukan karena nyaman, tetapi tenaganya jauh dibawah tenaga yang dimiliki oleh Arsenio.“Kamu ada kelasnya Bu Siska, dan malah nongkrong di kantin sendirian?” tanya Arsenio dengan penuh penekanan membuat Andhira menaikkan sebelah alisnya.“Emangnya saya ada kelas jam segini ya? Bukannya jam sebelas?” t
“Pantas saja Bu Kartika nyerahin kamu ke saya, ternyata emang kelakuan kamu benar-benar memancing emosi.”Andhira menaikkan sebelah alisnya, kini dirinya sedang berada di ruangan Arsenio, hanya berdua. Hari-harinya tidak sebebas dahulu sebelum pria dewasa di sebrangnya saat ini menjadi Dosen Pembimbing Akademiknya.“Pak Arsen gak kuat? Gapapa, Pak. Mundur ajaa. Biar saya gak punya dosen PA, kan saya bisa bebas lagi,” ucap Andhira dengan santai, benar-benar tidak ada takutnya dengan Arsenio.Arsenio menatap tajam Andhira, “Kamu lupa sama kesepakatan kita?” tanyanya dengan penuh penekanan. Bisa saja dia bertindak lebih tegas dari sekarang, tetapi dirinya lebih suka main ganteng, tidak terburu-buru mengambil tindakan.Andhira bergumam, “Kalau saya lupa, bisa gak dilupain sekalian aja, Pak?” tanyanya dengan menantang, benar-benar bikin naik darah.Arsenio menegakkan tubuhnya, melipat kedua tangannya di meja, dan tersenyum manis, “Kamu nyerah? Kalau kamu kalah, berarti kamu jadi pembantu s
“Pak Arsenio gak ada ya hari ini?” Andhira saat ini sedang bersama dengan Rena, baru mereka berdua, karena mengambil mata kuliah yang sama hari ini. Reno menatap Andhira yang bertanya tentang Dosen PA mereka, dirinya yang sedikit jahil pun tersenyum menggoda. “Kamu nyariin Pak Arsenio buat apa, Dhir? Kamu kangen sama Pak Arsenio? Katanya gak butuh Pak Arsenio, tapi kok malah kaya kehilangan gitu sih.” Andhira mendesis, berbeda dengan Reno yang tertawa cukup keras, membuat perhatian mahasiswa ataupun mahasiswi yang singgah di kantin indoor tertuju kepada mereka berdua. Sedangkan Andhira menatap tidak suka Reno. “Aku nanya doang sihh. Takut aja tiba-tiba ada di hadapan aku, terus aku serangan jantung, kan bahaya bangett,” ucap Andhira sembari memakan rujak colek. Berbeda dengan Renio yang memakan mie ayam. “Aku kasih tau ya sama kamu, karena kamu baru nih jadi anaknya Pak Arsenio, jangan coba-coba bikin dia marah. Bukan satu orang aja nanti yang kena, semua anakannya Pak Arsenio jug
“Enak yaa ice creamnya?”Andhira duduk di sisi kanan gadis cilik diperkirakan usianya sekitar 7 tahun, dia tersenyum manis kepada gadis cilik yang sedang memakan ice cream coklat, sudah dipastikan dibelikan oleh Reno.Gadis cilik itu mengangguk, dan menatap Andhira dengan tatapan polos, “Tante mau?” tanyanya, dijawab dengan gelengan kepala dari Andhira.“Buat kamu aja. Cepet dihabisin yaa, nanti ice creamnya keburu mencair,” ucap Andhira dengan lembut, membuat Reno yang melihatnya terpesona. Gadis cilik itu mengangguk, dan menurut. Sedangkan Andhira terkekeh, dirinya beranjak, tetapi ditahan oleh gadis cilik di sisi kirinya.“Tante mau kemana?”Andhira tersenyum, “Beli tissue, bentar yaa,” ucapnya dengan lembut, dan melenggang pergi setelah mendapatkan ijin. Reno benar-benar takjub dengan Andhira yang menunjukkan sikap berbeda dari biasanya kepada anak kecil yang baru saja dikenal.“Om pacarnya Tante?” tanya polos gadis cilik yang duduk di sebrang Reno, membuat Reno terkekeh.Reno men
“Kata Reno, kamu kemaren ribut sama Tesya?” tanya Arsenio kepada Andhira yang duduk di kursi sebrangnya. Andhira mengangguk dengan santai, tidak merasa bersalah sedikitpun, karena memang dia tidak salah.“Kenapa emangnya, Pak? Sih nini lampir itu kasih laporan ke Pak Arsen?” tanya Andhira dengan santai, diangguki oleh Arsenio, dan hal itu membuatnya berdecak. “Dasar nini lampir, kaya gitu aja ngadu.”Arsenio melipat kedua lengannya di meja, dan menatap tajam Andhira, “Kamu ribut apa lagi?” tanyanya. Andhira menegakkan tubuhnya, menyugar surai panjangnya, dan menatap kedua bola mata Arsenio.“Dia kemaren bikin anak kecil nangis, terus saya harus diem aja gitu?” tanya Andhira, membuat Arsenio menaikkan sebelah alisnya.“Anak kecil? Anaknya siapa?” tanya Arsenio dengan perasaan was-was. Andhira mengendikkan kedua bahunya.“Lupa saya tanya.”“Kamu tau namanya?” tanya Arsenio dengan cepat, dan hal itu membuat Andhira memicingkan mata curiga. Sedangkan Arsenio mengulum bibir, dan berdeham.