“Aku males banget sama pak Arsenio, dia bener-bener ngawasin aku.”
Andhira menatap Darwis yang sedang men-dribble bola basket, sahabatnya itu melakukan teknik Lay Up Shoot, dan bola basket tersebut masuk ke dalam ring. Andhira yang melihatnya hanya bersidekap dada dan duduk bersandar pada kursi di pinggir lapangan indoor.
Darwis menghampiri sahabatnya dan membiarkan bola basket tersebut menggelinding tanpa arah. Dirinya mengambil botol minum berwarna hitam di sisi kanan Andhira, dan menatap sahabatnya itu.
“Emangnya pak Arsenio ngapain kamu?” tanya Darwis kepada Andhira yang memasang wajah badmood.
“Dia ngawasin aku dari cctv, dia kan tau jadwal aku kapan-kapan aja, dan ruangan yang mana. Pas dia lagi ada kelas, dia nyuruh orang IT buat ngawasin aku, gila gak?” ucap Andhira menggebu-gebu, sedangkan Darwis tertawa.
Jujur saja, baru kali ini Andhira kesal dengan seseorang, biasanya gadis itu yang bikin orang lain kesal. Darwis akan memberikan apresiasi kepada Arsenio, karena sudah membuat Andhira mengoceh tentang sikap Arsenio.
“Kamu jangan kesel-kesel sama pak Arsenio, nanti kamu yang suka sama dia,” ucap Darwis, diakhiri dengan terkekeh. Sedangkan Andhira langsung bergidik ngeri membayangakan dirinya … suka sama Arsenio?
“Oh tentu gak bisa, Dar. Pak Arsen bukan tipe aku, skip.”
Darwis duduk di sisi kanan Andhira, menatap lurus ke depan sana, “Aku ngeliat pak Arsenio itu baik kok. Gak kaya cowo-cowo yang ngedeketin kamu kebanyakan. Kali aja dia bisa ngebimbing kamu ke jalan yang benar.”
Andhira mendelik, “Emangnya aku ke sasar?” tanyanya dengan tidak suka, sedangkan Darwis menoleh dan mengangguk.
“Kamu itu udah salah jalan. Aku tau kok itu pelampiasan kamu, tapi jangan kelamaan, Andhira. Kamu udah dua puluh tahun, dan kamu harusnya udah nyusun rencana kamu ke depannya. Bukan yang keluar masuk club terus,” oceh Darwis, walaupun dirinya tidak sebaik apa yang dikatakan, tetapi mencoba untuk membawa pengaruh baik.
Andhira duduk menyamping, menatap Darwis dengan mata menyipit, “Kamu ada di pihaknya pak Arsenio? Kamu kan kenal aku duluan, dibandingkan pak Arsenio, kenapa kamu belain pak Arsenio?”
Darwis menoleh, dan menaikkan sebelah alisnya, “Aku yakin pak Arsen orangnya baik. Kaya aku ke Caca.”
Andhira bergumam, “Kamu tau sesuatu ya tentang pak Arsenio?” tanyanya penuh selidik, sedangkan Darwis terkekeh.
“Pak Arsenio itu kan Dosen PAnya Reno ya, masa aku gak tau sih?” tanya Darwis balik, tetapi penuh tanda tanya untuk Andhira.
“Pak Arsenio punya istri? Aku takut tiba-tiba ada perempuan, datengin aku, terus ngajakin aku adu banteng,” ucap Andhira dengan menggebu-gebu, sedangkan Darwis tertawa pelan.
“Kamu ada liat cincin di jari manisnya pak Arsenio gak?” tanya Darwis, semakin membuat Andhira berfikir kembali, mengingat apakah ada cincin yang melingkar atau tidak.
“Seinget aku gak ada, lagian aku baru ketemu dua kali …” Gadis itu menggeleng dengan cepat, menatap Darwis yang menaikkan sebelah alis. “Tiga kali deh, sama tadi pagi pas aku lagi di kantin, pak Arsen dateng terus narik aku buat masuk kelas.”
Darwis menaikkan sebelah alisnya, “Oh iya? Aku kira kamu masuk kelas, karena emang lagi bener.”
Andhira bersidekap dada, dan bersandar, “Kamu belum dateng tadi, makanya gak liat aku di tarik sepenuh tenaga itu orang.”
Darwis melirik sisi kanannya, menengadahkan wajahnya, dan mendapati Arsenio yang menempelkan jemari telunjuk di depan bibir. Darwis hanya mengangguk dan mengulum bibirnya, dirinya membantu Arsenio.
“Oh yaa? Kamu di tariknya karena apa?” tanya Darwis, membuat Andhira menoleh. Tetapi sosok Arsenio di belakang Darwis pun membuat Andhira menyipitkan mata.
Gadis itu bangkit dan menengadahkan wajahnya, dirinya benar-benar terkejut dengan kehadiran Arsenio. Melangkah mundur, dan berdecak kesal.
“Pak Arsenio,” gumam Andhira, masih bisa di dengar oleh Arsenio. Sedangkan Darwis beranjak, mengambil barang-barang miliknya dan saat ingin melangkah, Andhira mencekal tangan. Gadis itu menatap sahabatnya, “Mau kemana? Aku ikut.”
Darwis menggeleng, dirinya melepaskan genggaman tangan Andhira pada pergelangan tangannya, “Inget, pak Arsen itu Dosen PA kamu. Aku mau ke kelasnya Caca, bye, Andhira,” ucapnya, dia menatap Arsenio dan tersenyum manis kepada pria dewasa itu.
Arsenio mengangguk, “Tiati yaa, Darwis.”
Darwis melangkah menjauhi Arsenio dan Andhira, Sekarang hanya ada Arsenio dan Andhira, hanya berdua, membuat Andhira berdecak. Gadis itu tidak ingin bertemu dengan Arsenio, tetapi semesta menolaknya.
“Seru yaa ngomongin saya dari belakang?” tanya Arsenio, dia melangkah mendekati Andhira yang bersidekap dada.
“Pak Arsen gak ada kerjaan emangnya? Sampe ngintilin saya kemanapun saya pergi,” ucap Andhira dengan datar, dirinya tidak perduli jika nanti akan mendapatkan surat peringatan dari Arsenio.
Arsenio menaikkan sebelah alisnya, “Papih kamu nitipin kamu ke saya, jadi kamu itu dalam pemantauan saya, Andhira.”
Andhira bergidik geli, “Itu Papih saya yang minta atau pak Arsenio yang ngajuin diri?” tanyanya, memang menantang laki-laki dihadapannya saat ini.
Arsenio maju satu langkah, membuatnya dekat dengan Andhira, bahkan tidak ada jarak diantara dirinya dan Andhira. “Maheswari Andhira Swastika, ingat dengan kesepakatan kita?” tanyanya dengan nada rendah, membuat Andhir bergeming dan mengulum bibir.
“Pak Arsenio yang terhormat, bisa gak sehari aja gak gangguin saya? Lagian yaa pak, di kesepakatan kita, dalam waktu satu bulan, ini baru dua hari, masih ada dua puluh sembilan hari lagi, kurang lebih.”
Arsenio mengangguk, “Dalam satu bulann itu di hitung dari hari ini. Jadi, kamu harus berkelakuan baik selama satu bulan.”
Andhira bergeming, otaknya ngebug. “Bentar ya, Pak. Ini maksudnya selama satu bulan?” tanyanya, diangguki oleh Arsenio.
“Benar. Selama satu bulan. Kalau pada saat bertemu saya, kamu berulah, saya pastikan satu hari penuh, kamu dalam pengawasan saya.”
“Siomaynya enak ya?”Andhira bergeming sejenak sebelum akhirnya menoleh ke sisi kiri, dia mendongak dan mendapati wajah menyebalkan milik Dareen Arsenio, atau biasa dipanggil Pak Arsenio. Hal itu membuat Andhira menyugar surai berwarna caramel menyala.“Enak. Masih banyak tuhh, tinggal pesen doang,” jawab Andhira tanpa menatap Arsenio, dia kembali memakan siomay yang tinggal setengah.Arsenio menarik Andhira untuk berdiri, kini keduanya berdiri berhadapan. Andhira berdecak, acara makan siomaynya diganggu oleh Arsenio, selaku Dosen Pembimbing Akademiknya selama tiga hari.“Kenapa sih selalu ganggu saya?” tanya Andhira dengan tidak santai, pergelangan tangannya masih digenggam oleh Arsenio, bukan karena nyaman, tetapi tenaganya jauh dibawah tenaga yang dimiliki oleh Arsenio.“Kamu ada kelasnya Bu Siska, dan malah nongkrong di kantin sendirian?” tanya Arsenio dengan penuh penekanan membuat Andhira menaikkan sebelah alisnya.“Emangnya saya ada kelas jam segini ya? Bukannya jam sebelas?” t
“Pantas saja Bu Kartika nyerahin kamu ke saya, ternyata emang kelakuan kamu benar-benar memancing emosi.”Andhira menaikkan sebelah alisnya, kini dirinya sedang berada di ruangan Arsenio, hanya berdua. Hari-harinya tidak sebebas dahulu sebelum pria dewasa di sebrangnya saat ini menjadi Dosen Pembimbing Akademiknya.“Pak Arsen gak kuat? Gapapa, Pak. Mundur ajaa. Biar saya gak punya dosen PA, kan saya bisa bebas lagi,” ucap Andhira dengan santai, benar-benar tidak ada takutnya dengan Arsenio.Arsenio menatap tajam Andhira, “Kamu lupa sama kesepakatan kita?” tanyanya dengan penuh penekanan. Bisa saja dia bertindak lebih tegas dari sekarang, tetapi dirinya lebih suka main ganteng, tidak terburu-buru mengambil tindakan.Andhira bergumam, “Kalau saya lupa, bisa gak dilupain sekalian aja, Pak?” tanyanya dengan menantang, benar-benar bikin naik darah.Arsenio menegakkan tubuhnya, melipat kedua tangannya di meja, dan tersenyum manis, “Kamu nyerah? Kalau kamu kalah, berarti kamu jadi pembantu s
“Pak Arsenio gak ada ya hari ini?” Andhira saat ini sedang bersama dengan Rena, baru mereka berdua, karena mengambil mata kuliah yang sama hari ini. Reno menatap Andhira yang bertanya tentang Dosen PA mereka, dirinya yang sedikit jahil pun tersenyum menggoda. “Kamu nyariin Pak Arsenio buat apa, Dhir? Kamu kangen sama Pak Arsenio? Katanya gak butuh Pak Arsenio, tapi kok malah kaya kehilangan gitu sih.” Andhira mendesis, berbeda dengan Reno yang tertawa cukup keras, membuat perhatian mahasiswa ataupun mahasiswi yang singgah di kantin indoor tertuju kepada mereka berdua. Sedangkan Andhira menatap tidak suka Reno. “Aku nanya doang sihh. Takut aja tiba-tiba ada di hadapan aku, terus aku serangan jantung, kan bahaya bangett,” ucap Andhira sembari memakan rujak colek. Berbeda dengan Renio yang memakan mie ayam. “Aku kasih tau ya sama kamu, karena kamu baru nih jadi anaknya Pak Arsenio, jangan coba-coba bikin dia marah. Bukan satu orang aja nanti yang kena, semua anakannya Pak Arsenio jug
“Enak yaa ice creamnya?”Andhira duduk di sisi kanan gadis cilik diperkirakan usianya sekitar 7 tahun, dia tersenyum manis kepada gadis cilik yang sedang memakan ice cream coklat, sudah dipastikan dibelikan oleh Reno.Gadis cilik itu mengangguk, dan menatap Andhira dengan tatapan polos, “Tante mau?” tanyanya, dijawab dengan gelengan kepala dari Andhira.“Buat kamu aja. Cepet dihabisin yaa, nanti ice creamnya keburu mencair,” ucap Andhira dengan lembut, membuat Reno yang melihatnya terpesona. Gadis cilik itu mengangguk, dan menurut. Sedangkan Andhira terkekeh, dirinya beranjak, tetapi ditahan oleh gadis cilik di sisi kirinya.“Tante mau kemana?”Andhira tersenyum, “Beli tissue, bentar yaa,” ucapnya dengan lembut, dan melenggang pergi setelah mendapatkan ijin. Reno benar-benar takjub dengan Andhira yang menunjukkan sikap berbeda dari biasanya kepada anak kecil yang baru saja dikenal.“Om pacarnya Tante?” tanya polos gadis cilik yang duduk di sebrang Reno, membuat Reno terkekeh.Reno men
“Kata Reno, kamu kemaren ribut sama Tesya?” tanya Arsenio kepada Andhira yang duduk di kursi sebrangnya. Andhira mengangguk dengan santai, tidak merasa bersalah sedikitpun, karena memang dia tidak salah.“Kenapa emangnya, Pak? Sih nini lampir itu kasih laporan ke Pak Arsen?” tanya Andhira dengan santai, diangguki oleh Arsenio, dan hal itu membuatnya berdecak. “Dasar nini lampir, kaya gitu aja ngadu.”Arsenio melipat kedua lengannya di meja, dan menatap tajam Andhira, “Kamu ribut apa lagi?” tanyanya. Andhira menegakkan tubuhnya, menyugar surai panjangnya, dan menatap kedua bola mata Arsenio.“Dia kemaren bikin anak kecil nangis, terus saya harus diem aja gitu?” tanya Andhira, membuat Arsenio menaikkan sebelah alisnya.“Anak kecil? Anaknya siapa?” tanya Arsenio dengan perasaan was-was. Andhira mengendikkan kedua bahunya.“Lupa saya tanya.”“Kamu tau namanya?” tanya Arsenio dengan cepat, dan hal itu membuat Andhira memicingkan mata curiga. Sedangkan Arsenio mengulum bibir, dan berdeham.
“Lepas, Pak. Gak enak diliat sama yang lainnya.”Andhira berusaha untuk melepaskan diri dari rangkulan Arsenio, tetapi tidak digubris. Andhira yang malu dilihat sama mahasiswi-mahasiswa yang melintasi koridor lantai dua, menggigit tangan kekar Arsenio. Hal itu membuat Arsenio melebarkan kedua bola matanya.“Udah kamu diem aja, kaki kamu perlu diobatin,” ucap Arsenio, dirinya mengangkat tubuh Andhira secara tiba-tiba, sehingga membuat gadis itu memekik, dan meronta untuk diturunkan.“Turunin, Pak. Saya bisa ke unit kesehatan sendirian kok.”Arsenio menatap kedua mata Andhira, “Kamu bisa diem gak? Saya bisa berbuat lebih nekat dari ini.”Andhira mengerucutkan bibir, dan memilih menyembunyikan wajahnya pada bidang dada Arsenio. Hal itu membuat Arsenio tersenyum.“Good girl,” bisik Arsenio dengan lembut, membuat Andhira mengangkat kembali wajahnya, dan seketika dirinya melebarkan kedua bola matanya. Berbeda dengan Arsenio, dirinya hanya terkekeh, dan mengalihkan atensinya.Arsenio terseny
“TANTE ANDHIRA, CALON MAMIHNYA AMANDA.”Andhira yang mendengar teriakan khas, dan sering dia dengar pun menoleh. Amanda berlari menghampiri Andhira yang sedang duduk seorang diri di gazebo, dia naik ke Gazebo dibantu oleh Andhira.“Mbak Maya mana?” tanya Andhira lembut, dirinya memang tidak bisa bertindak kasar kalau kepada anak kecil, kecuali anak kecil itu memancing kesabarannya.“Ituu, lagi ngobrol sama Papih,” jawab Amanda, menatap Mbak Maya yang sedang berbicara dengan seorang pria bertubuh tegap mengenakan kemeja berwarna berwarna putih lengan pendek.Andhira menatap pria tersebut dengan menyipitkan kedua matanya, dirinya tidak dapat mengetahui sosok tersebut, karena berdiri membelakanginya. Sedangkan Amanda menatap Andhira.“Tante kenal kenal sama Papih aku?” tanya Amanda, membuat Andhira menoleh dan menggeleng.“Kamu kenapa nyasarnya ke sini? Emangnya gak takut ditinggal sama Papih?” tanya Andhira kepada Amanda, gadis kecil itu menggeleng.“Kata Papih, kalau aku mau disini, ga
“Amanda, kamu ngapain di sini?”Andhira terkejut dengan kehadiran dari Amanda di kelasnya, sudah tiga hari tidak bertemu dengan gadis kecil itu, kini dirinya harus menerima kenyataan bahwa Amanda masih terus mengganggunya. Terhitung kurang lebih lima hari Amanda hadir dihadapannya.Amanda menoleh, dan tersenyum manis. “TANTEE.”Andhira menghampiri Amanda dan Darwis berada, di dalam ruangan ini hanya ada mereka berdua, sebelum akhirnya Andhira.“Kata Om Darwis, Tante Andhira gak dateng, tapi ternyata dateng. Om bohong sama aku yaa?” tanya Amanda kepada Darwis dengan mata menyipit, sedangkan Darwis hanya bergumam tidak bersalah.“Tadinya mau gak dateng, terus kata temen aku Dosen PAnya yang ngegantiin dosen lainnya, jadi aku harus masuk,” jelas Andhira, dirinya duduk di kursi belakang Amanda.“Emangnya Pak Kiki berhalangan hadir?” tanya Darwis, menatap Andhira yang mengangguk. Jawaban dari Andhira membuat Darwis berdecak, “Kenapa gak diliburin aja sih? Jadwalin kuliah pengganti.”Andhir