“Pantas saja Bu Kartika nyerahin kamu ke saya, ternyata emang kelakuan kamu benar-benar memancing emosi.”Andhira menaikkan sebelah alisnya, kini dirinya sedang berada di ruangan Arsenio, hanya berdua. Hari-harinya tidak sebebas dahulu sebelum pria dewasa di sebrangnya saat ini menjadi Dosen Pembimbing Akademiknya.“Pak Arsen gak kuat? Gapapa, Pak. Mundur ajaa. Biar saya gak punya dosen PA, kan saya bisa bebas lagi,” ucap Andhira dengan santai, benar-benar tidak ada takutnya dengan Arsenio.Arsenio menatap tajam Andhira, “Kamu lupa sama kesepakatan kita?” tanyanya dengan penuh penekanan. Bisa saja dia bertindak lebih tegas dari sekarang, tetapi dirinya lebih suka main ganteng, tidak terburu-buru mengambil tindakan.Andhira bergumam, “Kalau saya lupa, bisa gak dilupain sekalian aja, Pak?” tanyanya dengan menantang, benar-benar bikin naik darah.Arsenio menegakkan tubuhnya, melipat kedua tangannya di meja, dan tersenyum manis, “Kamu nyerah? Kalau kamu kalah, berarti kamu jadi pembantu s
“Pak Arsenio gak ada ya hari ini?” Andhira saat ini sedang bersama dengan Rena, baru mereka berdua, karena mengambil mata kuliah yang sama hari ini. Reno menatap Andhira yang bertanya tentang Dosen PA mereka, dirinya yang sedikit jahil pun tersenyum menggoda. “Kamu nyariin Pak Arsenio buat apa, Dhir? Kamu kangen sama Pak Arsenio? Katanya gak butuh Pak Arsenio, tapi kok malah kaya kehilangan gitu sih.” Andhira mendesis, berbeda dengan Reno yang tertawa cukup keras, membuat perhatian mahasiswa ataupun mahasiswi yang singgah di kantin indoor tertuju kepada mereka berdua. Sedangkan Andhira menatap tidak suka Reno. “Aku nanya doang sihh. Takut aja tiba-tiba ada di hadapan aku, terus aku serangan jantung, kan bahaya bangett,” ucap Andhira sembari memakan rujak colek. Berbeda dengan Renio yang memakan mie ayam. “Aku kasih tau ya sama kamu, karena kamu baru nih jadi anaknya Pak Arsenio, jangan coba-coba bikin dia marah. Bukan satu orang aja nanti yang kena, semua anakannya Pak Arsenio jug
“Enak yaa ice creamnya?”Andhira duduk di sisi kanan gadis cilik diperkirakan usianya sekitar 7 tahun, dia tersenyum manis kepada gadis cilik yang sedang memakan ice cream coklat, sudah dipastikan dibelikan oleh Reno.Gadis cilik itu mengangguk, dan menatap Andhira dengan tatapan polos, “Tante mau?” tanyanya, dijawab dengan gelengan kepala dari Andhira.“Buat kamu aja. Cepet dihabisin yaa, nanti ice creamnya keburu mencair,” ucap Andhira dengan lembut, membuat Reno yang melihatnya terpesona. Gadis cilik itu mengangguk, dan menurut. Sedangkan Andhira terkekeh, dirinya beranjak, tetapi ditahan oleh gadis cilik di sisi kirinya.“Tante mau kemana?”Andhira tersenyum, “Beli tissue, bentar yaa,” ucapnya dengan lembut, dan melenggang pergi setelah mendapatkan ijin. Reno benar-benar takjub dengan Andhira yang menunjukkan sikap berbeda dari biasanya kepada anak kecil yang baru saja dikenal.“Om pacarnya Tante?” tanya polos gadis cilik yang duduk di sebrang Reno, membuat Reno terkekeh.Reno men
“Kata Reno, kamu kemaren ribut sama Tesya?” tanya Arsenio kepada Andhira yang duduk di kursi sebrangnya. Andhira mengangguk dengan santai, tidak merasa bersalah sedikitpun, karena memang dia tidak salah.“Kenapa emangnya, Pak? Sih nini lampir itu kasih laporan ke Pak Arsen?” tanya Andhira dengan santai, diangguki oleh Arsenio, dan hal itu membuatnya berdecak. “Dasar nini lampir, kaya gitu aja ngadu.”Arsenio melipat kedua lengannya di meja, dan menatap tajam Andhira, “Kamu ribut apa lagi?” tanyanya. Andhira menegakkan tubuhnya, menyugar surai panjangnya, dan menatap kedua bola mata Arsenio.“Dia kemaren bikin anak kecil nangis, terus saya harus diem aja gitu?” tanya Andhira, membuat Arsenio menaikkan sebelah alisnya.“Anak kecil? Anaknya siapa?” tanya Arsenio dengan perasaan was-was. Andhira mengendikkan kedua bahunya.“Lupa saya tanya.”“Kamu tau namanya?” tanya Arsenio dengan cepat, dan hal itu membuat Andhira memicingkan mata curiga. Sedangkan Arsenio mengulum bibir, dan berdeham.
“Lepas, Pak. Gak enak diliat sama yang lainnya.”Andhira berusaha untuk melepaskan diri dari rangkulan Arsenio, tetapi tidak digubris. Andhira yang malu dilihat sama mahasiswi-mahasiswa yang melintasi koridor lantai dua, menggigit tangan kekar Arsenio. Hal itu membuat Arsenio melebarkan kedua bola matanya.“Udah kamu diem aja, kaki kamu perlu diobatin,” ucap Arsenio, dirinya mengangkat tubuh Andhira secara tiba-tiba, sehingga membuat gadis itu memekik, dan meronta untuk diturunkan.“Turunin, Pak. Saya bisa ke unit kesehatan sendirian kok.”Arsenio menatap kedua mata Andhira, “Kamu bisa diem gak? Saya bisa berbuat lebih nekat dari ini.”Andhira mengerucutkan bibir, dan memilih menyembunyikan wajahnya pada bidang dada Arsenio. Hal itu membuat Arsenio tersenyum.“Good girl,” bisik Arsenio dengan lembut, membuat Andhira mengangkat kembali wajahnya, dan seketika dirinya melebarkan kedua bola matanya. Berbeda dengan Arsenio, dirinya hanya terkekeh, dan mengalihkan atensinya.Arsenio terseny
“TANTE ANDHIRA, CALON MAMIHNYA AMANDA.”Andhira yang mendengar teriakan khas, dan sering dia dengar pun menoleh. Amanda berlari menghampiri Andhira yang sedang duduk seorang diri di gazebo, dia naik ke Gazebo dibantu oleh Andhira.“Mbak Maya mana?” tanya Andhira lembut, dirinya memang tidak bisa bertindak kasar kalau kepada anak kecil, kecuali anak kecil itu memancing kesabarannya.“Ituu, lagi ngobrol sama Papih,” jawab Amanda, menatap Mbak Maya yang sedang berbicara dengan seorang pria bertubuh tegap mengenakan kemeja berwarna berwarna putih lengan pendek.Andhira menatap pria tersebut dengan menyipitkan kedua matanya, dirinya tidak dapat mengetahui sosok tersebut, karena berdiri membelakanginya. Sedangkan Amanda menatap Andhira.“Tante kenal kenal sama Papih aku?” tanya Amanda, membuat Andhira menoleh dan menggeleng.“Kamu kenapa nyasarnya ke sini? Emangnya gak takut ditinggal sama Papih?” tanya Andhira kepada Amanda, gadis kecil itu menggeleng.“Kata Papih, kalau aku mau disini, ga
“Amanda, kamu ngapain di sini?”Andhira terkejut dengan kehadiran dari Amanda di kelasnya, sudah tiga hari tidak bertemu dengan gadis kecil itu, kini dirinya harus menerima kenyataan bahwa Amanda masih terus mengganggunya. Terhitung kurang lebih lima hari Amanda hadir dihadapannya.Amanda menoleh, dan tersenyum manis. “TANTEE.”Andhira menghampiri Amanda dan Darwis berada, di dalam ruangan ini hanya ada mereka berdua, sebelum akhirnya Andhira.“Kata Om Darwis, Tante Andhira gak dateng, tapi ternyata dateng. Om bohong sama aku yaa?” tanya Amanda kepada Darwis dengan mata menyipit, sedangkan Darwis hanya bergumam tidak bersalah.“Tadinya mau gak dateng, terus kata temen aku Dosen PAnya yang ngegantiin dosen lainnya, jadi aku harus masuk,” jelas Andhira, dirinya duduk di kursi belakang Amanda.“Emangnya Pak Kiki berhalangan hadir?” tanya Darwis, menatap Andhira yang mengangguk. Jawaban dari Andhira membuat Darwis berdecak, “Kenapa gak diliburin aja sih? Jadwalin kuliah pengganti.”Andhir
“Kok kamu dateng sendirian? Gak bareng sama Amanda? Oh atau itu bocah udah sama Mbak Maya?”Andhira menyeruput es jeruk, ditemani satu porsi roti bakar. Dirinya cabut dari kelas Pak Kiki yang digantikan oleh Arsenio, dan pergi ke café yang tidak jauh kampus. Dia mengirimkan lokasi kepada sahabatnya.“Di jemput sama Mbak Maya, buat pulang. Katanya, biar gak ngerengek ketemu kamu,” ujar Darwis.Andhira bergumam, dirinya memakan satu potong roti bakar, menatap Darwis yang sedang menatapnya serius. “Kenapa? Ada yang mau diomongin?”“Aku minta maaf yaa, apapun yang terjadi setelah ini,” ucap Darwis dengan serius, membuat Andhira menaikkan sebelah alisnya.“Ada apa sih, Darwis Kusuma?” tanya Andhira menuntut, sahabatnya itu hanya menggeleng dan tersenyum manis.“Jangan musuhin aku, sumpah aku terpaksa.”Andhira mendelik, dirinya bingung harus bereaksi seperti apa, sedangkan Darwis tidak memberitahukan apa yang terjadi.“Maheswari Andhira Swastika.”Andhira melebarkan kedua matanya, menatap